Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Budaya. Tampilkan semua postingan

sawang sinawang (Sastro Sukamiskin)

Setiap masyarakat menciptakan dan mengembangkan kebudayaan sebagai sinar yang memandu kehidupan, sesuai dengan lingkungan sosial dan fisik di wilayahnya. Dalam perjalanan waktu, generasi baru muncul dan dibentuk oleh kebudayaan itu agar mewarisi dan mengembangkan sinar kehidupan itu menjadi lebih terang. Meskipun demikian, tidak jarang generasi baru menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan tekanan, sehingga kurang berhasil mengembangkannya. Salah satu hambatan yang paling kuat adalah adanya kebudayaan lain yang tidak toleran dan bahkan melakukan penjajahan budaya. Akibatnya, generasi baru tidak hanya gagal mengembangkan, tetapi juga mengambil sinar kebudayaan lain untuk memandu kehidupannya. Disinilah titik awal munculnya kebudayaan hibrid atau campuran.
Pengambilan kebudayaan lain sebagai sinar, seiring dengan pergantian generasi tanpa disadari jumlahnya semakin banyak. Pada generasi tertentu, sebagian besar hidup masyarakat berada dalam terang sinar kebudayaan lain. Dengan kata lain, sebagian besar kebudayaan nenek moyangnya tidak lagi menjadi sinar penerang kehidupan dan hilang, sisanya menjadi fosil yang dipajang di museum.

Apa ruginya meninggalkan kebudayaan nenek moyang sendiri dan menggunakan kebudayaan asing? Tidak ada, selama masyarakat mampu menjadikan nenek moyang asing sebagai nenek moyangnya. Bahkan mungkin akan banyak keuntungannya, selama masyarakat mengambil jiwa kebudayaan asing sebagai jiwanya. Akan tetapi ketika jiwanya menggunakan kebudayaan asli dan kehidupan sehari-hari menggunakan kebudayaan asing, maka masyarakat akan menjadi bingung dan bahkan linglung. Banyak perilaku yang tidak sesuai dengan hati nurani terjadi di depan mata, tanpa dapat dicegah. Puncaknya adalah krisis sebagai bentuk berubahnya sinar

Dalam kondisi seperti itu, tak ada buah kehidupan yang manis dan bermakna dapat dinikmati. Tertib kehidupan menjadi hilang, karena tidak ada lagi etika yang dijunjung bersama. Tragedi dari pucuk pimpinan nasional sampai pangkal bawahan lokal menjadi menu harian yang suka tidak suka, mau tidak mau harus ditelan.

Solusi yang mungkin ditempuh adalah menemukan kembali warisan masa lampau yang masih sesuai dengan peri kehidupan sekarang. Tentu tidak akan semudah orang Eropa me-reaissance keeropaannya atau orang Jepang saat melakukan kokugaku. Meski sulit dan harus menempuh jarak yang sangat jauh, perjalanan pulang tampaknya harus dilakukan. Meski harus mandi keringat dan berkubang lumpur, penggalian sari kehidupan nenek moyang harus diselesaikan.

Salah satu warisan yang perlu dijernihkan adalah sawang sinawang. Pepatah jawa ini sengaja sebagai awalan, karena memiliki makna yang sangat dalam. Paling tidak ada tiga point penting yang terkandung dalam pepatah itu, yaitu sawang, sinawang dan sawang sinawang. Padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata kerja sawang adalah memandang, menyimak atau memperhatikan. Di sisi lain, sinawang terdiri dari kata dasar sawang dan imbuhan in. Pemberian imbuhan dalam konteks ini berfungsi untuk mempasifkan kata kerja, sehingga sinawang dapat diartikan sebagai dipandang, disimak atau diperhatikan.

Kedudukan sawang sebagai kata dasar kerja menunjukkan bahwa memandang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh subyek terhadap suatu obyek. Apabila dilekatkan pada subyek, kata dasar sawang akan mengalami peluluhan menjadi nyawang, seperti pada kalimat Kliwon lagi nyawang omahe sing miring amarga kena gempa. Aktivitas memandang bukan semata-mata dilakukan oleh panca indera mata. Memandang melibatkan seluruh kemampuan aspek kemanusiaan subyek, baik mata, akal maupun budi. Melalui proses memandang, subyek mengolah informasi yang diterima melalui mata dengan jalan membandingkan terhadap pengalamannya sebagai individu maupun pengetahuan yang dimilikinya dari berbagai pihak. Ketika memandang rumahnya yang miring, dalam benak Kliwon terdapat ingatan tentang gambaran rumah itu sebelum terjadi gempa. Dengan kata lain, dalam aktivitas memandang terdapat dialog antara masa lampau (pengalaman dan pengetahuan) dengan masa kini (obyek pandangan).

Dialog masa lampau dengan masa kini dalam proses sawang melahirkan dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang obyek dan pengetahuan tentang subyek. Pengetahuan tentang obyek berupa gambaran detail kondisi yang tampak kasat mata, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada kasus Kliwon dan rumahnya, pengetahuan obyek kuantitatif berupa jumlah kerusakan beserta letaknya, sedang pengetahuan kualitatif berupa tingkat kerusakan seperti parah, sedang dan ringan.
Selain pengetahuan tentang obyek, proses sawang juga melahirkan pemahaman tentang diri sendiri sebagai subyek. Pemahaman terutama berupa kesadaran baru dalam diri subyek tentang posisinya saat itu. Ketika melakukan proses sawang, subyek memperhitungkan ikatan atau relasinya dengan obyek. Apabila obyek merupakan bagian dari subyek, baik ikatan darah maupun kepemilikan, maka subyek akan memaknai kondisi obyek sebagai cerminan dari kondisi subyek. Oleh karena itu, hasil sawang tersebut tersimbolkan dalam bentuk kata-kata yang menggambarkan kondisi kehidupan subyek, seperti menderita, mujur, begja, prihatin, sengsara dan sebagainya.

Apabila obyek sawang bukan bagian dari subyek, tetapi memiliki ikatan yang erat, seperti kerabat atau tetangga, subyek akan berusaha memahami kondisi atau posisi obyek dengan melibatkan seluruh aspek kehidupannya. Keterlibatan subyek pada obyek termanifestasi pada penghayatan terhadap kondisi obyek, sehingga melahirkan ungkapan “nderek”. Dari sudut pandang ini, ungkapan seperti nderek mangayubagya, nderek bingah, nderek belasungkawa, menjadi bentuk usaha subyek mentransfer kondisi obyek sebagai kondisinya sendiri. Pada sistem sosial Jawa, berbagai nilai dan norma terbangun dengan kerangka seperti itu, antara lain kekerabatan, gotong royong, dan tulung tinulung.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sawang menjadi kunci bagi masyarakat Jawa untuk memahami obyek sekaligus melahirkan kesadaran baru tentang subyek. Dengan kata lain, masyarakat Jawa menempatkan sawang menjadi laku bagi lahirnya pengetahuan tentang dunia sebagai obyek dan kesadaran baru dalam diri manusia sebagai subyek yang mendunia.

Berbagai pengetahuan dihasilkan oleh manusia Jawa melalui proses memandang yang dilakukannya, baik berupa filsafat kehidupan maupun keterampilan praktis. Apabila dikelompokkan, jumlah karya pengetahuan Jawa lebih banyak pada bidang filsafat kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia Jawa cenderung menyarikan dinamika kehidupan untuk memperoleh hakekat, dari pada mengembangkan keterampilan praktis. Memahami hakekat dipandang lebih penting untuk menjalani kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hal ini berdampak pada pendokumentasian pergumulan pemikiran tentang nilai dan norma jauh lebih baik dari pada pendokumentasian pengetahuan praktis.

Selain sebagai subyek, manusia Jawa juga menyadari bahwa dirinya menjadi obyek pandangan bagi sesama. Bahkan kesadaran akan kedudukan sebagai obyek ini ditempatkan menjadi perhatian utama dalam kebudayaan Jawa. Kesadaran tersebut mendorong lahirnya nilai dan norma yang berinti pada pengendalian diri atau self control. Berbagai ungkapan, seperti empan papan (memposisikan diri sesuai situasi dan kondisi) dan unggah ungguh (sopan santun atau tata krama) mencerminkan bahwa kemampuan membawakan diri merupakan keterampilan hidup yang sangat penting.

Makna lain dari sawang sinawang adalah bahwa realitas berbeda hakekat dengan pengetahuan/kebenaran yang dihasilkan dari kegiatan memandang. Maksudnya ketika subyek memproduksi pengetahuan tentang suatu obyek, kebenarannya sangat kecil apabila dibandingkan dengan kebenaran yang dimiliki oleh obyek. Sebagai contoh, ketika A memandang B sekarang telah sukses dan hidup berkecukupan, makna sukses dan berkecukupan yang dipahami A akan jauh berbeda dengan sukses dan berkecukupan yang dirasakan oleh B. Kesadaran akan perbedaan tersebut menjadikan manusia Jawa memahami bahwa kebenaran bersifat subyektif dan relatif, yaitu tergantung pada siapa, dimana dan kapan.

Subyektivitas dan relativitas kebenaran, menjadikan manusia Jawa mengembangkan tata nilai dan norma yang berinti pada penghormatan terhadap pendapat atau kebenaran orang lain. Ungkapan desa mawa cara, negara mawa tata memanifestasikan pemahaman bahwa setiap desa memiliki tradisi yang berbeda dan setiap negara memiliki hukum yang berbeda. Perbedaan tersebut dipandang sebagai realitas yang menggembirakan dan patut dirayakan, karena pada hakekatnya dunia ini terbangun dari berbagai perbedaan yang saling melengkapi.

Apakah pemikiran nenek moyang tentang sawang sinawang yang telah berusia ribuan tahun ini mampu melampaui pemikiran kaum modernis bahkan postmodernis?

-Sastro Sukamiski-

Kain Tapis Asli Lampung

Kain Tapis
Kain Tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistim sulam (Lampung; "Cucuk"). Dengan demikian yang dimaksud dengan Tapis Lampung adalah hasil tenun benang kapas dengan motif, benang perak atau benang emas dan menjadi pakaian khas suku Lampung.
Jenis tenun ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah berbentuk sarung yang terbuat dari benang kapas dengan motif seperti motif alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak. Tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin.
Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Sejarah Kain Tapis Lampung

Kain Tapis
Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini.
Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal.
Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.

Bahan dan Peralatan Tenun Tapis Lampung

Tenun Tapis
Bahan Dasar Tapis Lampung : Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam. Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.

Bahan-bahan baku itu antara lain :
• Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang.
• Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera.
• Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang.
• Akar serai wangi untuk pengawet benang.
• Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur.
• Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah.
• Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam.
• Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat.
• Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru.
• Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.
Pada saat ini bahan-bahan tersebut diatas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan diatas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran.

Peralatan Tenun kain Tapis
1. Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun.
2. Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian Alat-alat :
• Terikan (alat menggulung benang)
• Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh)
• Belida (alat untuk merapatkan benang)
• Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang)
• Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan)
• Guyun (alat untuk mengatur benang)
• Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun)
• Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang)
• Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan)
• Amben (alat penahan punggung penenun)
• Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.

Jenis Tapis Lampung Menurut Asal pemakainya

Beberapa jenis kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :

Tapis Lampung dari Pesisir :
* Tapis Inuh
* Tapis Cucuk Andak
* Tapis Semaka
* Tapis Kuning
* Tapis Cukkil
* Tapis Jinggu

Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :
* Tapis Jung Sarat
* Tapis Balak
* Tapis Laut Linau
* Tapis Raja Medal
* Tapis Pucuk Rebung
* Tapis Cucuk Handak
* Tapis Tuho
* Tapis Sasap
* Tapis Lawok Silung
* Tapis Lawok Handak

Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :
* Tapis Jung Sarat
* Tapis Balak
* Tapis Pucuk Rebung
* Tapis Halom/Gabo
* Tapis Kaca
* Tapis Kuning
* Tapis Lawok Halom
* Tapis Tuha
* Tapis Raja Medal
* Tapis Lawok Silung

Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:
* Tapis Dewosano
* Tapis Limar Sekebar
* Tapis Ratu Tulang Bawang
* Tapis Bintang Perak
* Tapis Limar Tunggal
* Tapis Sasab
* Tapis Kilap Turki
* Tapis Jung Sarat
* Tapis Kaco Mato di Lem
* Tapis Kibang
* Tapis Cukkil
* Tapis Cucuk Sutero

Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :
* Tapis Rajo Tunggal
* Tapis Lawet Andak
* Tapis Lawet Silung
* Tapis Lawet Linau
* Tapis Jung Sarat
* Tapis Raja Medal
* Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung
* Tapis Cucuk Andak
* Tapis Balak
* Tapis Pucuk Rebung
* Tapis Cucuk Semako
* Tapis Tuho
* Tapis Cucuk Agheng
* Tapis Gajah Mekhem
* Tapis Sasap
* Tapis Kuning
* Tapis Kaco
* Tapis Serdadu Baris

Ki Samin Surosentiko dan Ajarannya(Blora, Jawa tengah)

Ki Samin Surosentiko
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengmbangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya.

Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914.

Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.

Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.

Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.

Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.

Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi

Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.

Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh

Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan, disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto

Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang waktu kecilnya bernama Raden Kohar , adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara lain.


Ajaran Kebatinan


Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya.

Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku. Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi.

Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal “ manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi “. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai “ rangka umanjing curiga “( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ). Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut :

“Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.”

Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut :

“ Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.”

Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah “ Saderek gangsal kalima pancer” adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut:

“ Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya. Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.

Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja. Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh Samin Surosentiko dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa.

Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang berbunyi :

“ ..Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah kendahan jagad raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya. Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing….”

Samin Surosentiko juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya sebagai berikut:

“ …Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa gerutuan, apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan…,”

Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai “ angger-angger pratikel” (hukum tindak tanduk), “ angger-angger pengucap “ (hukum berbicara), serta “ angger-angger lakonana” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).

Hukum yang pertama berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong.” Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi “ Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu.” Maksud hukum ini , orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan orang lain dapat mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna.

Adapun hukum yang ke tiga berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni.” Maksudnya, warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam hidup “

Menurut Samin Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi yang berbunyi sebagai berikut : “…Adapun batinnya agar dapat mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan cara samadi, berlatih “mati” senyampang masih hidup (mencicipi mati) sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.”

Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang( bagi manusia yang banyak dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini diterangkan Samin Surosentiko dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang apabila yang bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Demikian kata Samin Surosentiko :

“ …Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan dari betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila manusia meninggal dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran Pendeta Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia). Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia dia berusaha tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim wanita lagi. (jangan sampai menitis kembali pada bayi, lahir kembali ke dunia).”

Dari keterangan diatas dapatlah diketahiu bahwa Samin Surosentiko tidak menganut faham ‘Penitisan’ tapi menganut faham ‘ manunggaling kawulo Gusti’ atau ‘sangkan paraning dumadi’.

Dari ajaran-ajaran tertulis di atas jelas kiranya bahwa Samin Surosentiko adalah seorang “theis”. Keparcayaan pada Tuhan, yang disebutnya dengan istilah-istilah Gusti, Pangeran, Allah, Gusti Allah, sangatlah kuat, hal ini bisa dilihat pada ajarannya :

“ Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada….”

Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko yang berasal dari Serat Uri-uri Pambudi. Selanjutnya akan dijelaskan ajaran Samin Surosentiko yang terdapat dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten. Buku ini maknanya pengukuhan kehidupan yang sejati.

Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa. Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang Pangkur yang mengandung ajaran perihal Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang dimaksud seperti dibawah ini :

Saha malih dadya garan, 
anggegulang gelunganing pembudi,
palakrama nguwoh mangun,
memangun traping widya,
kasampar kasandhung dugi prayogantuk,
ambudya atmaja tama,
mugi-mugu dadi kanthi.”

Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja Tama” (anak yang mulia). Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang temanten laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”

Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.

Ajaran Politik


Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :

1.Penolakan membayar pajak
2.penolakan memperbaiki jalan
3.penolakan jaga malam (ronda)
4.penolakan kerja paksa/rodi

Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.

Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan tanah lapang Desa Bapangan Blora, pada malam Kamis legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan Pandawa adalah keluarga Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat Punjer Kawitan. Atas dasar Serat Punjer Kawitan itulah, Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintah Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah milik “ wong Jawa “. Oleh karena itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan. Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab pohon jati dianggap warisan dari leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan Pemerintahan Belanda, sehingga Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin ajaran Samin.

Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentiko sebenarnya bukan saja desebabkanoleh faktor ekonomis saja, akantetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain. Yang jelas pemberontakan melawan Pemerintahan Kolonial Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius.. Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan keberanian.

Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai tahun 1914 ternyata telah memberi warna sejarah perjuangan bangsa, walaupun orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan warga Samin mencemoohkannya, tapi sejarah telah mencatatnya, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar biasa besarnya. Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa daerah lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.

Hari Ibu Bangsa Indonesia


Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera.

Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kongres berikutnya diadakan di Jakarta dan Bandung. Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.

Peristiwa itu merupakan salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara, perlibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, masalah perdagangan anak-anak dan kaum perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan lain-lain.

Adapun penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Dan Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini. Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama.

Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung. Satu momen penting bagi para wanita adalah untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1950. Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa.

Pada kongres di Bandung tahun 1952 diusulkan untuk dibuatnya sebuah monumen, setahun berikutnya diletakkan batu pertama oleh Ibu Sukanto (ketua kongres pertama) untuk pembangunan Balai Srikandi dan diresmikan oleh menteri Maria Ulfah tahun 1956. Akhirnya pada tahun 1983 Presiden Soeharto meresmikan keseluruhan kompleks monumen menjadi Mandala Bhakti Wanitatama di Jl. Laksda Adisucipto, Yogyakarta.

berbagai sumber

Sejarah Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.

Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.

Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).

Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.

Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.


Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.

Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.

Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).

Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

sumber diambil dari http://blog.wisma-bahasa.com/?p=17, silahkan dikroscek, http://titi-share.blogspot.com/2012/04/asal-usul-dan-sejarah-bahasa-indonesia.html, http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia, dll

Sejarah Kalender jawa (1 Suro)

Masyarakat Jawa pada masa sebelum pemerintahan Sultan Agung Hanyokrokusumo itu menggunakan kalender Saka Hindu Jawa yang tidak mengenal istilah tahun baru 1 Suro.

Sultan Agung memerintahkan untuk merubah penggunaan sistem kalender dari semula sistem kalender Saka menjadi sistem baru yang mengacu dan mengadopsi sistem kalender Hijriyah dengan beberapa penyesuaian dan modifikasi tertentu.

Penyesuaian dan modifikasi tersebut antara lain adalah di pemberian nama bulan. Pada sistem kalender Saka Hindu Jawa nama bulan yang menggunakan nama dari bahasa Sansekerta dirubah dengan nama yang mirip dengan nama bulan di sistem kalender Hijriyah atau mengambil sesuatu peristiwa yang menonjol terjadi pada saat bulan tersebut.

Nama bulan pada sistem kalender baru itu, yaitu : Suro, Sapar, Mulud, Bakda Mulud, Jumadilawal, Jumadilakir, Rejeb, Ruwah, Poso, Sawal, Selo atau Dulkangidah, Besar atau Dulkijah.

Nama-nama bulan tersebut mirip dengan nama bulan di kalender Hijriyah, yaitu : Muharram, Safar, Rabiul Awal, Rabiul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, Rajab, Syaban, Ramadhan, Syawal, Dzulkaidah, Dzulhijjah.

Lalu jika tahun baru yang pada kalender Saka Hindu Jawa bersamaan dengan saat hari raya Nyepi yang sekitar bulan Maret pada kalender Masehi, maka di sistem kalender baru tersebut yaitu tanggal 1 Suro, ditepatkan dengan tahun baru di sistem kalender Hijriyah yaitu tanggal 1 Muharram.

Perubahan sistem kalender itu dilakukan oleh Sultan Agung pada hari Jumat Legi yang pada saat pergantian tahun baru Saka 1555 ketika itu bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriyah atau tanggal 8 Juli 1633 Masehi.

Namun, pada pergantian sistem kalender itu tidak mengganti penamaan tahunnya mengikuti tahun Hijriyah, namun tetap meneruskan penamaan tahun Saka Hindu Jawa. Sehingga tahun pertama di sistem kalender baru tersebut memakai nama tahun 1555 Jawa.
Tradisi Peringatan 1 Suro

Bagi masyarakat Jawa, bulan Suro sebagai awal tahun Jawa juga dianggap sebagai bulan yang sakral atau suci, bulan yang tepat untuk melakukan renungan, tafakur, dan introspeksi untuk mendekatkan dengan Yang Maha Kuasa. Cara yang biasa digunakan masyarakat Jawa untuk berinstrospeksi adalah dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu.

Lelaku malam 1 Suro, tepat pada pukul 24.00 saat pergantian tahun Jawa, diadakan secara serempak di Kraton Ngayogyakarta dan Surakarta Hadiningrat sebagai pusat kebudayaan Jawa. Di Kraton Surakarta Hadiningrat kirab malam 1 Suro dipimpin oleh Kebo Bule Kyai Slamet sebagai Cucuking Lampah. Kebo Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat. Di belakang Kebo Bule barisan berikutnya adalah para putra Sentana Dalem (kerabat keraton) yang membawa pusaka, kemudian diikuti masyarakat Solo dan sekitarnya seperti Karanganyar, Boyolali, Sragen dan Wonogiri.

Sementara itu di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memperingati Malam 1 Suro dengan cara mengarak benda pusaka mengelilingi benteng kraton yang diikuti oleh ribuan warga Yogyakarta dan sekitarnya. Selama melakukan ritual mubeng beteng tidak diperkenankan untuk berbicara seperti halnya orang sedang bertapa. Inilah yang dikenal dengan istilah tapa mbisu mubeng beteng.

Selain di Kraton, ritual 1 Suro juga diadakan oleh kelompok-kelompok penganut aliran kepercayaan Kejawen yang masih banyak dijumpai di pedesaan. Mereka menyambut datangnya tahun baru Jawa dengan tirakatan atau selamatan.

Sepanjang bulan Suro masyarakat Jawa meyakini untuk terus bersikap eling (ingat) dan waspada. Eling artinya manusia harus tetap ingat siapa dirinya dan dimana kedudukannya sebagai ciptaan Tuhan. Sedangkan waspada berarti manusia juga harus terjaga dan waspada dari godaan yang menyesatkan. Karenanya dapat dipahami jika kemudian masyarakat Jawa pantang melakukan hajatan pernikahan selama bulan Suro. Pesta pernikahan yang biasanya berlangsung dengan penuh gemerlap dianggap tidak selaras dengan lelaku yang harus dijalani selama bulan Suro.

Terlepas dari mitos yang beredar dalam masyarakat Jawa berkaitan dengan bulan Suro, namun harus diakui bersama bahwa introspeksi menjelang pergantian tahun memang diperlukan agar lebih mawas diri. Dan bukankah introspeksi tak cukup dilakukan semalam saat pergantian tahun saja? Makin panjang waktu yang digunakan untuk introspeksi, niscaya makin bijak kita menyikapi hidup ini. Inilah esensi lelaku yang diyakini masyakarat Jawa sepanjang bulan Suro.

sumber : http://sosbud.kompasiana.com/2010/12/08/malam-satu-suro/ dan mendapatkan tambahan dari sumber lain

Alat Musik dari Nusa Tenggara Timur Yang Unik dan Terlupakan

Sasando
Ambil uang Rp 5000,- dan terawanglah tanda airnya. Apa yang terlihat? Benda yang terlihat adalah alat musik Sasando. Sebuah alat musik petik asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara umum, bentuk sasando serupa dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas ke bawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando.

Sasando memang punya banyak senar. Sasando dengan 28 senar ini diistilahkan dengan Sasando Engkel. Jenis lain; Sasando Dobel namanya, punya 56 senar. Bahkan ada yang 84 senar. Cara memainkan sasando dengan dipetik. Mirip dengan gitar. Hanya saja sasando tanpa chord (kunci) dan senarnya harus dipetik dengan dua tangan, sehingga lebih mirip Harpa.

Bagian utama dari sasando berbentuk seperti harpa, dengan media pemantul suara terbuat dari daun Pohon Gebang (sejenis Pohon Lontar yang banyak tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Rote) yang dilekuk menjadi setengah melingkar. Tempat senar-senar diikat terbuat dari bambu yang keras, penahan senar yang sekaligus sebagai pengatur nada senar juga terbuat dari bambu. Batang bambu itu lalu diikat menyatu dengan daun Gebang yang dibuat melingkar tadi.

Pemain Sasando dalam upacara-upacara adat biasanya mengenakan pakaian adat khusus, lengkap dengan topi TiiLangga, yaitu topi tradisional yang bentuknya menyerupai topi koboi. Sasando umumnya dimainkan bersamaan dengan gong dan gendang yang terbuat dari kulit kambing, untuk mengiringi tarian kebalai. Pada perkembangannya Sasando juga digunakan sebagai pengiring tari tradisional lain.

Saat ini sasando sudah mulai di modifikasi. Pemantul bunyi dari daun gebang sudah diganti dengan spul gitar listrik yang ditempelkan pada batang bambu ditengah sasando. Tentu sasando model ini hanya bisa mengeluarkan bunyi keras dengan bantuan sound system.


HEO
Alat Musik Tradisional NTT [ Nusa Tenggara Timur ] Yang Bernama HEO Ini, Adalah Sebuah Alat Musik Gesek Tradisional NTT [ Nusa Tenggara Timur ]. Alat Musik Tradisional HEO Ini Adalah Alat Musik Gesek Tradisional Khas NTT Yang Berasal Dari Daratan Pulau Timor, Tepatnya Adalah Alat Musik Tradisional Khas Suku Dawan Timor.

Alat Musik Gesek Tradisional HEO Ini, Terbuat Dari Kayu, Sedangkan Bagian Yang Digunakan Sebagai Penggeseknya Terbuat Dari Ekor Kuda Yang Telah Dirangkai Menjadi Sebuah Ikatan Pada Kayu Penggesek Yang Berbentuk Seperti Busur

Dawai Dari Alat Musik Gesek Tradisional HEO Ini Terbuat Dari Usus Kuskus Yang Telah Dikeringkan. Alat Musik Gesek Tradisional HEO Ini Mempunyai 4 Dawai, Dan Masing-Masing Diberi Nama :
- Dawai 1 [ Paling Bawah ] Tain Mone, Artinya Tali Laki-Laki
- Dawai 2 Tain Ana, Artinya Tali Anak [ Kecil ]
- Dawai 3 Tain Feto, Artinya Tali Perempuan
- Dawai 4 Tain Ena, Artinya Tali Induk
Dawai Pertama Bernada Sol, Dawai Kedua Bernada Re, Dawai Ketiga Bernada La Dan Dawai Keempat Bernada Do.


Foy Doa
Alat musik tradisional FOY DOA, adalah nama sebuah alat musik tradisional NTT [ Nusa Tenggara Timur ], yang berasal dari pulau Flores, lebih tepatnya lagi berasal dari Kabupaten Ngada.

Seberapa lama usia musik Foy Doa tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan- peninggalan yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih.Mungkin musik ini biasanya digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan membentuk lingkaran. FOY DOA terdiri dari 2 atau bisa saja lebih suling yang digandeng dan dalam memainkannya digunakan secara bersama-sama.

Sistem penadaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa. Bentuk syair, umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan , sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan. Cara Memainkan, Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara.

Perkembangan Musik Foy Doa, Awal mulanya musik Foy Doa dimainkan seara sendiri, dan baru sekitar 1958 musisi di daerah setempat mulai memadukan dengan alat-alat musik lainya seperti : Sowito, Thobo, Foy Pai, Laba Dera, dan Laba Toka. Fungsi dari alat-alat musik tersebut di atas adalah sebagai pengiring musik Foy Doa.


Foy Pay
Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa. Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi, fa, sol.


Knobe Khabetas
Bentuk alat musik ini sama dengan busur panah. Cara memainkannya ialah, salah satu bagian ujung busur ditempelkan di antara bibir atas dan bibir bawah, dan kemudian udara dikeluarkan dari kerongkongan, sementara tali busur dipetik dengan jari. Merupakan kebiasaaan masyarakat dawan di pedesaan apabila pergi berook tanam atau mengembala hewan mereka selalu membawa alat-alat musik seperti Leku, Heo, Knobe Kbetas, Knobe Oh, dan Feku. Sambil mengawasi kebun atau mengawasi hewan-hewan, maka musik digunakan untuk melepas kesepian. Selain digunakan untuk hiburan pribadi, alat musik ini digunakan juga untuk upacara adat seperti, Napoitan Li'ana (anak umur 40), yaitu bayi yang baru dilahirkan tidak diperkenankan untuk keluar rumah sebelum 40 hari. Untuk menyonsong bayi tersebut keluar rumah setelah berumur 40 hari, maka diadakan pesta adat (Napoitan Li'ana)


Knobe Oh
Nama alat musik yang terbuat dari kulit bambu dengan ukuran panjang lebih kurang 12,5 cm. ditengah-tengahnya sebagian dikerat menjadi belahan bambu yang memanjang (semacam lidah) sedemikian halusnya, sehingga dapat berfungsi sebagai vibrator (penggetar). Apabila pangkal ujungnya ditarik dengan untaian tali yang terkait erat pada pangkal ujung tersebut maka timbul bunyi melalui proses rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.


Prere
Alat bunyi-bunyian ini terbuat dari seruas bambu kecil sekecil pensil yang panjangnya kira-kira 15 cm. Buku ruas bagian bawah dibiarkan tertutup, tetapi bagian atasnya dipotong untuk tempat meniup. Buku ruas bagian bawah dibelah untuk menyaluirkan udara tiupan mulut dari tabung bambu bagian atas, sekaligus bagian belahan bambu itu untuk melilit daun pandan sehingga menyerupai orong terompet yang berfungsi memperbesar suaranya.
Selain digunakan untuk hiburan pribadi, juga digunakan untuk mengiringi musik gong gendang pada permainan penak silat rakyat setempat. Nada-nada yang dihasilkan adalah do dan re, sehingga nama alat ini disebut.


Leko Boko / Bijol
Alat musik petik ini terbuat dari labu hutan (wadah resonansi), kayu (bagian untuk merentangkn dawai), dan usus kuskus sebagai dawainya. Jumlah dawai sama dengan Heo yaitu 4, serta nama dawainya pun seperti yang ada pada Heo. Fungsi Leko dalam masyarakat Dawan untuk hiburan pribadi dan juga untuk pesta adat. Alat musik ini selalu berpasangan dengan heo dalam suatu pertunjukan, sehingga dimana ada heo, disitu ada Leko. Dalam penggabungan ini Lelo berperan sebagai pembei harmoni, sedangkan Heo berperan sebagi pembawa melodi atau kadang-kadang sebagai pengisi (Filter) Nyanyian-nyayian pada masyarakat Dawan umumnya berupa improvisasi dengan menuturkan tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi pda masa lampau maupun kejadian yang sedang terjadi (aktual).Dalam nyanyian ini sering disisipi dengan Koa (semacam musik rap). Koa ada dua macam yaitu, Koa bersyair dan Koa tak bersyair.

Sowito
Merupakan seruas bambu yang dicungkil kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat beberapa buah sesuai kebutuhan.


Mendut
Alat musik petik/pukul dari bambu ini berasal dari Manggarai. Seruas bambu betung yang 1,5 tahun yang panjangnya kira-kira 40 m. Kedua ujung bambu dibiarkan, namun salah satunya dilubangi

Cara pembuatannya, di tengah bambu dilubangi persegi empat dengan ukuran 5 x 4 m. Disamping kiri kanan lubang masing-masing dicungkil satu kulit bambu yang kemudian diganjal dengan batangan kayu hingga berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan dipetik atau dipukul-pukul dengan kayu kecil.


Ketadu Mara

Alat musik petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.

1000 Hari Gus Dur

Kiai Haji Abdurrahman Wahid, akrab dipanggil Gus Dur (lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940 – meninggal di Jakarta, 30 Desember 2009 pada umur 69 tahun)dari pasangan Wahid Hasyim dan Solichah adalah tokoh Muslim Indonesia dan pemimpin politik yang menjadi Presiden Indonesia yang keempat dari tahun 1999 hingga 2001.

Mantan Presiden satu ini memiliki keunikan tersendiri baik fisiknya yang terbatas ataupun kebijakan yang kointrovesi namun pas. Sembilan pokok pikiran ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, kesatriaan, persaudaraan, dan kearifan lokal.

Gus Dur tidak pernah menanggalkan prinsip-prinsip itu. Oleh karena itulah, Gus Dur memiliki keberpihakan yang tinggi terhadap kelompok minoritas maupun mereka yang tertindas.Bagaimana kontrovesi Gus Dur melegalkan konghucu yang jaman sebelumnya menjadi kaum hujatan. Bagi kaum konghucu Gus Dur adalah pahlawan yang menyetarakan mereka atas segala perbedaan. Gus Dur meredam atmosfer anti-Tionghoa ketika ada peristiwa Kapasan akibat penganiayaan terhadap pembantu rumah tangga sekitar tahun 1970. Ketika itu, Gus Dur tampil dan menyatakan diri sebagai keturunan Tionghoa, sementara para keturunan Tionghoa yang duduk di birokrat malah diam.

Menjadikan Islam inspirasi semua golongan
Keputusannya yang kontroversi terhadap pandangan Islam menjadi akas kebencian terhadap Gus Dur. Keputusan yang plural sering dianggap lepas dari syariat Islam. Gus Dur dalam berbagai tulisannya, sangat kentara mencoba terus memperjuangkan mewujudkan wajah islam yang moderat dan inklusif ke tengah-tengah masyarakat dan dunia. Gus Dur mamandang bahwa perjuangan kaum muslimin yang utama adalah bukan memperjuangkan islam agar dijadikan sebagai ideology Negara, atau merubah Indonesia menjadi negara islam. Bagi Gus Dur permasalahan ideology Negara sudah selesai sejak didirikannya Negara ini yang Pancasila.
Oleh karenanya dalam presfektif Gus Dur jihad bagi kaum muslimin Indonesia bukanlah memperjuangkan islam sebagai ideology Negara, namun bagaimana memperjuangkan islam sebagai sumber inspirasi bagi terciptanya keadilan, serta kesejahteraan rakyat, dan berperan sebagai alat pemersatu, pendorong kemajuan, dan pengangkat martabat bangsa melalui gerakan kultural yang damai.



Nahdlatul Ulama to be better
Islam janganlah dihayati sebagai ideologi alternatif. Ia harus dilihat sebagai hanya salah satu elemen ideologis yang melengkapi bangunan keindonesiaan yang telah terbentuk.
Gus Dur sudah menyemai ulang bibit pluralisme karena NU sejak berdiri berpaham moderat. Sekarang, NU dikenal sebagai Islam yang moderat di dunia.elama kepemimpinannya, Gus Dur mengubah citra dan perjalanan NU dari sebuah organisasi Islam yang “kolot” dan “terbelakang” menjadi sebuah organisasi Islam yang sangat dinamis. Gus Dur lah yang memperkenalkan NU ke dunia internasional, mendorong para sarjana dan peneliti asing menulis tentang organisasi yang kerap disalahpahami orang ini. Selama rentang kepemimpinannya, sudah ratusan artikel dan lusinan buku ditulis para sarjana Barat tentang NU. Imbasnya, NU menjadi organisasi yang dikenal di dunia internasional.
Oktober 1983, Gus Dur menyimpulkan bahwa NU harus menerima Pancasila sebagai Ideologi Negara untuk lebih menghidupkan kembali NU.
Gus Dur fokus dalam mereformasi sistem pendidikan pesantren dan berhasil meningkatkan kualitas sistem pendidikan pesantren sehingga dapat menandingi sekolah sekular. Dalam salah satu tulisannya di majalah Prisma, Gus Dur mengatakan bahwa pesantren adalah subkultur dari Islam Indonesia. Gus Dur memperkenalkan pesantren dan dunia tradisional ke masyarakat kota dengan gaya ilmiah dan meyakinkan.

Gus Dur bukanlah budayawan, bukan seorang pembela HAM, bukan pembela minoritas, bukan politikus, bukan pemikir Islam dan bukan ulama, tetapi Gus Dur adalah menjadi semuanya itu. Gus Dur selama ini banyak bergerak di berbagai bidang, dan memiliki effek bagi orang banyak. Apakah yang melandasi semua gerakan itu. Yang menggerakkannya adalah spiritualitas Gus Dur, yang memiliki rujukan pada spritualitas Islam (tasawuf). Kiai Husein Muhammad

sumber
www.nu.or.id
dhammacitta.org
wikipedia.org
www.assyaukanie.com
dll

Kejawen Diatara Agama dan Modernisasi

Hujatan terus dilontarkan terhadap makna kejawen dalam kehidupan kita. Kejawen dianggap ilmu kejiwaan yang musyrik karena menyembah benda gaib beserta mahkluknya. Kesalahan tafsir sering digunakan untuk menghilangkan jati diri dan memasukan doktrin baru yang justru berdampak negativ.

Apa kejawen itu?
Kejawen adalah kata bentukan yang berasal dari kata ke+jawi+an, dan diucapkan Kejawen. Dalam kamus bahasa Jawa Kuna, entri Kejawen berarti menjadi orang Jawa atau ke Jawa-jawa an (menyerupai orang Jawa). Sedangkan kata Jawi itu sendiri dalam kamus bahasa Jawa berarti kata halus (krama).
Orang jawa mengajarkan pengetahuan tentang olah batin yang bersumber dari ajaran-ajaran para leluhur orang Jawa.

Apakah kejawen itu agama?
Saya tidak tahu persis bisa di sebut agama atau tidak. Kejawen merupakan perkawinan tradisi Islam, Hindu, Buddha dan kemasyarakatan jawa itu sendiri. Ajaran Kejawen itu sendiri tidaklah statis, tetapi terus menerus reseptif terhadap ajaran agama apapun yang masuk ke lingkungan keraton-keraton Jawa dan Sunda sejak abad XVI.
Kejawen menggambarkan keharmonisan hubungan kebatinan dan kemasyarakatan (tata tentrem kerta rahardja, gemah ripah loh jinawi). Silahkan putuskan sendiri

Kejawen musyrik?
Seperti yang saya tuliskan sebelumnya ajaran dilakukan turun temurun. Begitu juga benda-benda yang dianggap sarana musyrik. Orang jawa sangat menghargai apa yang di turunkan oleh nenek moyangnya, merawat dengan sepenuh hati untuk bukti rasa cinta pada leluhur. Saking begitu mencintai mereka hafal bagan turunan moyangnya atau dengan berkunjung ke makam moyangnya dalam jangka waktu tertentu.

Kejawen di jaman modern masih ada?
Kejawen bersifat reseptif, ajaran kejawen berkembang untuk menciptakan keharmonisan hidup. Mungkin banyak orang telah meninggalkan karena dianggap bertentangan dengan agama mereka. Tetapi tidak sedikit pula yang masih menjalankannya. Seperti halnya menabur bunga di makam, banyak yang menentang karena tetapi masih juga dilaksanakan sampai sekarang.
Kita bisa mengutip sepenggal pidato Sultan Hamengku Buwono IX: ”Sepenuhnya saya menyadari bahwa tugas yang ada di pundak saya adalah sulit dan berat, terlebih-lebih karena ini menyangkut soal mempertemukan jiwa Barat dan Timur agar dapat bekerja sama dalam suasana harmonis, tanpa yang Timur harus kehilangan kepribadiannya.”

Gerakan pemurnian agama yang bangkit kembali dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia harus disikapi secara bijak. Kejawen bukan penghancuran nilai kebatinan, lebih karena pengayaan kebatinan yang disesuaikan dengan lingkungan. Seperti halnya Walisongo mengawinkan Islam dengan budaya jawa. Atau Franciscus Georgius Josephus van Lith yang belajar kejawen untuk melahirkan gereja jawa. Hal ini penting agar, kebudayaan masyarakat Jawa tidak kehilangan esensi dan pondasinya. Tanpa kebudayaan, masyarakat Jawa akan hidup tanpa identitas.

"Al heb ik een uitgesproken Westerse opvoeding gehad, toch ben en blijf ik en de allereerste plaats Javaan. Zo zal de adat, zo dese niet remmend werkt op de onwikkeling, een voorname plaatz blijven innemen in de traditierijke Keraton," demikian dikatakan Sultan Hamengku Buwono IX dalam pidato penobatannya, pada tanggal 1 Maret 1940 ("Meski saya telah mengikuti pendidikan Barat, tetapi saya tetap orang Jawa. Sepanjang tidak menghambat kemajuan, maka adat akan selalu menduduki tempat utama dalam Keraton yang mewarisi tradisi tersebut.")

Indonesia Hasil Percontekan Gagal

Isu panas wisata anggota DPR ke Luar Negri tak akan pernah lekang oleh waktu. Dari masa ke masa akan terus menjadi perdebatan hangat. Dengan alasan study banding atau apapun menghabiskan dana yang memang sudah dianggarkan. Sayangnya sebagian besar perjalanan itu bebuah kegagalan atau lebih tepat berbuah kesenangan individu semata.

Bertahun-tahun setelah masa revolusi atau sering disebut masa demokrasi bangsa ini tidak menunjukan suatu jati diri. Bahkan seperti orang amnesia yang tidak tahu siapa dirinya. Masih adakah jiwa Sriwijaya atau Majapahit yang mampu menguasai setengah bumi?

Percontekan itu tidak hanya menggrogoti ranah politik, tetapi juga dunia muda. Kita lihat saja tarian kaki bumi papua yang kalah tenar disbanding suffel. Atau lagu daerah yang tidak terdengar justri k-pop yang tiap detik berkumandang. Saya rasa percotekan ini adalah kesalahan. Jika anda menghadapi ujian nasional bangsa ini hanya mencontek ABC nya saja. “di Eropa sedikit tumbuhan lalu kita gunduli hutan”.

Saya hidup di Eropa hampir 3 tahun, tak ada yang lebih istimewa dari Indonesia. Tetapi ketika pulang bangsa Indonesia berubah menjadi lebih buruk dari mereka. Kita sudah kehilangan banyak hal.

Saya melihat bagaimana bangsa eropa mempertahankan arsitek bangunannya, budaya kemasyarakatannya. Tapi kita menghilangkan gaya arsitek Indonesia, melupakan budaya kita. Yang parah tahu-tahu marah ketika Malaysia meng klaim padahal kita melupakan. Anehnya kita tidak belajar dari pengalaman itu, kita tetap tidak mau mempertahankan atau belajar tadisi nenek moyang kita.

Kesalah juga terjadi di system pendidikan formal Indonesia. Lihat saja pelajaran sejarah membesar-besarkan bagaimana Belanda menjajah kita atau jepang memberlakukan keja rodi. Selain itu juga kesalahan pada system pengajaran yang nanggung mencontek system teoritis ala amerika tidak kesampean dan praktek ala eropa tidak berjalan.

Di dunia hukum pun begitu, hukum tertulis gaya peninggalan belanda tidak panyak diketahui oleh masyarakat. Yang di kehui aja cenderung dilanggar apalagi yang tidak di ketahui, orang hukum pun juga banyak melanggar. Mungkin mitos lebih ampuh mensiasati ketertiban masyarakat. Sayangnya sudah lama hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.

Kita memang harus belajar dari bangsa lain tapi bukan berati kita harus seperti bangsa tersebut. Budaya mencontek yang turun temurun menghancurkan bangsa ini. Tidak heran jika kita di jadikan budak di negri sendri dengan iming-iming gaya hidup bangsa lain.
Bung Karno sudah mengingatkan kita, mungkin hanya jadi sejarah yang terlupakan.

Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan
mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan
itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu ! Lebih baik makan
gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak.
[Pidato HUT Proklamasi, 1963]

Menurut keyakinan kami, hilangnya pemerintah asing dari Indonesia,
belum tentu juga dibarengi oleh hilangnya imperialisme asing sama
sekali.
[Indonesia menggugat, hlm. 81]

Demokrasi kita harus kita jalankan adalah Demokrasi Indonesia,
membawa kepribadian Indonesia.
[Pancasila sebagai dasar negara hlm. 105

Kegalauan Papua (dua nasionalisme)

Berdasarkan perjanjian international 1896 yang diperjuangkan oleh Prof. Van Vollen Houven (pakar hukum adat Indonesia) di sepakati bahwa ”Indonesia” adalah bekas Hindia Belanda. Sedangkan Irian Barat walaupun dikatakan oleh Belanda secara kesukuan berbeda dengan bangsa Indonesia, tetapi secara sah merupakan wilayah Hindia Belanda.

Bernada Meteray mengupas sejarah Papua sejak pertama kali Kerajaan Sriwijaya (abad VIII) menginjakkan kakinya di sini, disusul Majapahit (abad XIV), lalu Ternate dan Tidore (abad XVI). Suatu keterangan yang dapat menunjukkan bahwa Papua pernah merupakan daerah kekuasaan Sultan Tidore dan Bacan sebagaimana yang dikatakan oleh Koentjaraningrat dan Prof.Dr.Harsya W.Bachtiar dalam penelitiannya yang diungkapkan didalam buku yang berjudul : “ Penduduk Irian Barat “ bahwa pertemuan pertama antara orang – orang pribumi Irian Barat dengan orang – orang dari luar daerah terjadi ketika Sultan Tidore berusaha memperluas wilayah. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore. , kemudian datanglah Belanda (VOC), Jepang, hingga pemerintah Indonesia.

Namun Ternyata kebanyakan orang papua tidak sependapat dengan Prof. Van Vollen Houven.
“Tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga Papua masih menginginkan jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau dibunuh,” tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrates Sofyan Yoman kepada itoday (18/6).

Bernada Meteray, mengurai benang pangkal dinamika pergolakan rakyat Papua dari beberapa aspek yaitu historis, ideologis dan politis yang bermuara pada satu titik yaitu nasionalisme. Nasionalisme Papua dan Nasionalisme Indonesia, masalah ke-papua-an dan ke-indonesia-an menjadi pangkal dinamika yang melahirkan pergolakan rakyat Papua sampai hari ini. Perbedaan nasionalisme itu dimunculkan karena perbedaan ras dan sejarah dari daerah NKRI yang lain.

5 Agustus 1962 lahirlah Persetujuan New York yang mengatur tentang pemerintahan sementara di Papua dan mempersiapkan pelaksanaan hak menentukan nasib bagi Rakyat Papua. Kemudian pada bulan Juli-Agustus 1969 dilaksanakan tindakan pilih bebas bagi Rakyat Papua, yang oleh Indonesia dinamakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Pelaksanaan PEPERA diterjemahkan oleh Indonesia dengan sistem perwakilan dan tidak sesuai dengan Persetujuan New York yang mengatur satu orang satu suara (one man, one vote). Karena faktanya dari 800ribu penduduk Papua yang memiliki hak pilih, cuma 1.025 orang yang dilibatkan. Selain itu, berbagai tindakan represif, intimidasi dan teror dilakukan untuk menekan perwakilan dari Rakyat Papua tadi. Sehingga PEPERA berhasil dimenangkan oleh Indonesia dengan suara mayoritas walaupun pelaksanaannya tidak demokratis dan tidak menghargai hak asasi manusia Rakyat Papua. (aliansi mahasiswa papua)
Nasionalisme Indonesia ditumbuhkan oleh tokoh-tokoh nasionalis mulai akhir 1945 ketika residen Van Eechoud merekrut beberapa orang Indonesia sebagai pegawai pemerintah, di antaranya Soegoro Atmoprasodjo yang ditunjuk sebagai pengajar dan direktur asrama pada Kursus Singkat Pamong Praja di Kota Nica. Soegoro meyakinkan para siswanya untuk berpikir bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdulah Arfan.

Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik” “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat.

Sampai sekarang kebanyakan rakyat papua ingin menentukan dirinya sebagai bangsa sendiri, Artinya Indonesia gagal menanamkan nasionalismenya. Dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) perlu dipertanyakan kembali. Mungkin orang papua menganggap Indonesia adalah penjajah bukannya Belanda.
Masalah Papua adalah masalah dua nasionalisme bukan sekedar pendidikan, persoalan kesejahteraan, kesenjangan sosial atau persoalan ketidaksetaraan ekonomi. Semoga menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia, bagaimana pentingnya nasionalisme.

Sumber: wikipedia.ord
             serbasejarah.wordpress.com
             ampjogja.blogspot.com
             wpan.wordpress.com
             Nasionalisme Ganda Orang Papua, Bernarda Meteray

Nasionalisme Indonesia


Kata nasionalisme sering kita dengar, namun sangat sulit ditemukan pengertian tepatnya. Hans Kohn mendefinisikan nasionalisme sebagai paham yang mengajarkan kesetiaan tertinggi individu kepada negara kebangsaan. Nasionalisme dalam definisi itu dapat di pertanyaan “apakah orang-orang kerajaan jaman dulu dapat di sebut nasionalisme?” (kecenderungan rakyat jaman kerajaan setia atau takut akan rajanya)

Nasionalisme adalah satu paham yang menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris "nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia. (wikipedia). Jika menggunakan definisi itu maka perlu di pertanyakan Nasionalismenya Indonesia, kenapa begitu? Sukarno yang di pertanyakan keislamannya (kafir) karena memperbolehkan PKI berdiri, lalu yang mana yang sesuai definisi nasionalisme, sukarno atau yang mempertanyakan?

Kita sering membaca mendengar berbagai sumber tentang makna nasionalisme “apakah ada nasionalisme Indonesia?”.
Sartono Kartodirdjo mengatakan nasionalisme Indonesia ditandai dengan pembentukan organisasi Boedi Oetomo (BO). Penandaan ini bukan karena formatnya atau kegiatannya, tetapi karena kebutuhan akan identitas, solidaritas, kemandirian, dan kesadaran kolektifnya. (Yogyakarta: Aditya Media, 1993)
Jika benar Boedi Oetomo mengawali nasionalisme Indonesia maka DI/TII atau NII adalah akhir dari nasionalisme Indonesia. Mulai dari NII, PKI, Papua Merdeka, hingga GAM terus memusnahkan nasionalisme Indonesia.

Ketika banyak pembahasan tentang nasionalisme semakin jelas bahwa bangsa Indonesia kehilang jiwa itu. Kenapa bisa demikian? Jawabannya karena:
  • Bangsa Indonesia tidak punya tujuan yang jelas. Sebenarnya sudah ada dalam pembukaan UUD45, namun tidak di gambarkan dengan jelas oleh para pemimpin saat ini. Budi Utomo muncul karena satu tujuan yaitu memerdekakan bangsa Indonesia. Hal itu muncul dalam benak setiap ratyat Indonesia apapun sukunya, apapun agamanya.
  • Rasa menghargai yang lemah. Mulai dari menghargai budaya hingga menghargai orang lain. Sehingga yang lebih dimunculkan individualisme atau golonganisme.
  • Hilangnya jiwa patriot, jiwa patriot adalah jiwa yang rela berkorban terutama untuk bangsa dan Negara. Hal ini terlihat jelas pada tingginya korupsi di Indonesia.
Dari sedikit tulisan diatas saya garis bawahi Nasionalisme adalah keinginan bersatu dari masyarakat untuk mecapai tujuan bersama dan keinginan mempertahankan kesatuan itu. Yang perlu di perhatikan "tujuan" yang dimaksud akan terus berkembang dan berpijak seiring Jaman.
Lalu bagaimana kita menumbuhkan rasa nasionalisme dalam jiwa rakyat Indonesia? Sebaiknya rasa nasionalisme di tanamkan sejak kecil, baik dengan lagu, tarian, hormat kepada bendera dan masih banyak lainnya. Mungkin kutipan dibawah ini bisa membantu kita.

“Bangsa yang tidak percaya kepada kekuatan dirinya sebagai suatu bangsa, tidak dapat berdiri sebagai suatu bangsa yang merdeka.” 
(Pidato HUT Proklamasi 1963 Bung Karno)

"Perjuanganku melawan penjajah lebih mudah, tidak seperti kalian nanti. Perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan bangsa sendiri". 
(Moh. Hatta)

5 Kota Tertua di Indonesia

5. Medan
Medan adalah kota terbesar di sumatera dan juga pintu gerbang wilayah indonesia barat dan juga sebagai pintu gerbang bagi para wisatawan untuk menuju objek wisata Brastagi di daerah dataran tinggi Karo, objek wisata Orangutan di Bukit Lawang, Danau Toba. Kota ini di dirikan oleh Guru Patimpus Sembiring Pelawi pada tahun 1590. John Anderson, orang Eropa pertama yang mengunjungi Deli pada tahun 1833 menemukan sebuah kampung yang bernama Medan. Kota ini adalah alternatif bagi perdagangan dari India Menuju China hingga seringnya berlabuh kapal-kapal asing di pelabuhan Medan.


4. Semarang
Sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke-8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Pragota (sekarang menjadi Bergota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan dan di depannya terdapat gugusan pulau-pulau kecil. Akibat pengendapan, yang hingga sekarang masih terus berlangsung, gugusan tersebut sekarang menyatu membentuk daratan. Bagian kota Semarang Bawah yang dikenal sekarang ini dengan demikian dahulu merupakan laut.
Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di daerah Pasar Bulu sekarang dan memanjang masuk ke Pelabuhan Simongan, tempat armada Laksamana Cheng Ho bersandar pada tahun 1405 M. Di tempat pendaratannya, Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan mesjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Sam Po Kong (Gedung Batu).


3. Jakarta
Jakarta adalah Ibukota negara Indonesia dengan kepadatan penduduknya berdiri pada tanggal 22 Juni 1527. Dahulu Jakarta pernah dikenal dengan nama Sunda Kelapa (sebelum 1527), Jayakarta (1527-1619), Batavia/Batauia, atau Jaccatra (1619-1942), dan Djakarta (1942-1972).
Dulu Jakarta di kenal dengan pelabuhan Sunda Kelapa dengan Ibukotanya Padjajaran (sekarang Bogor) yang bisa di tempuh selama 2 hari dari pelabuhan hingga sampai kotanya. Dan beberapa abad kemudian Kerajaan Tarumanegara adalah kelanjutan Kerajaan Sunda.

Kota ini menurut Bangsa Portugis kota yang super sibuk dari zaman kerajaan Sunda dengan berbagai perdagangan hingga pembuatan gedung-gedung dan stasiun untuk menghubungkan beberapa kota.


2. Magelang
Berdasarkan peraturan daerah kota Magelang tahun 1889 di tetapkan tanggal lahir kota ini 11 April 907, Untuk menelusuri kembali sejarah Kota Magelang, sumber prasasti yang digunakan adalah Prasasti POH, Prasasti GILIKAN dan Prasasti MANTYASIH. Ketiganya merupakan parsasti yang ditulis di atas lempengan tembaga ditulis zaman Mataram Hindu saat pemerintahan Raja Rake Watukura Dyah Balitung (898-910 M). Dalam
prasasti ini disebut-sebut adanya Desa Mantyasih dan nama Desa Glangglang, Mantyasih inilah yang kemudian berubah menjadi Meteseh, sedangkan Glangglang berubah menjadi Magelang.
Kota yang terbukti tua ini adalah jalur penghubung 2 kota lainnya yaitu Semarang dan Yogyakarta, sebagai kota alternatif Magelang dijadikan sebagai lalu lintas ekonomi oleh bangsa Inggris dan menjadi kota militer karena letaknya strategis.


1. Palembang (Sriwijaya)
Kota Palembang adalah ibu kota provinsi Sumatera Selatan. Palembang merupakan kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan.

Sejarah Palembang yang pernah menjadi ibukota kerajaan bahari Buddha terbesar di Asia Tenggara pada saat itu, Kerajaan Sriwijaya, yang mendominasi Nusantara dan Semenanjung Malaya pada abad ke-9 juga membuat kota ini dikenal dengan julukan "Bumi Sriwijaya". Berdasarkan prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di Bukit Siguntang sebelah barat Kota Palembang, yang menyatakan pembentukan sebuah wanua yang ditafsirkan sebagai kota pada tanggal 16 Juni 682 Masehi, menjadikan kota Palembang sebagai kota tertua di Indonesia. Di dunia Barat, kota Palembang juga dijuluki Venice of the East("Venesia dari Timur").