sawang sinawang (Sastro Sukamiskin)

Setiap masyarakat menciptakan dan mengembangkan kebudayaan sebagai sinar yang memandu kehidupan, sesuai dengan lingkungan sosial dan fisik di wilayahnya. Dalam perjalanan waktu, generasi baru muncul dan dibentuk oleh kebudayaan itu agar mewarisi dan mengembangkan sinar kehidupan itu menjadi lebih terang. Meskipun demikian, tidak jarang generasi baru menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan tekanan, sehingga kurang berhasil mengembangkannya. Salah satu hambatan yang paling kuat adalah adanya kebudayaan lain yang tidak toleran dan bahkan melakukan penjajahan budaya. Akibatnya, generasi baru tidak hanya gagal mengembangkan, tetapi juga mengambil sinar kebudayaan lain untuk memandu kehidupannya. Disinilah titik awal munculnya kebudayaan hibrid atau campuran.
Pengambilan kebudayaan lain sebagai sinar, seiring dengan pergantian generasi tanpa disadari jumlahnya semakin banyak. Pada generasi tertentu, sebagian besar hidup masyarakat berada dalam terang sinar kebudayaan lain. Dengan kata lain, sebagian besar kebudayaan nenek moyangnya tidak lagi menjadi sinar penerang kehidupan dan hilang, sisanya menjadi fosil yang dipajang di museum.

Apa ruginya meninggalkan kebudayaan nenek moyang sendiri dan menggunakan kebudayaan asing? Tidak ada, selama masyarakat mampu menjadikan nenek moyang asing sebagai nenek moyangnya. Bahkan mungkin akan banyak keuntungannya, selama masyarakat mengambil jiwa kebudayaan asing sebagai jiwanya. Akan tetapi ketika jiwanya menggunakan kebudayaan asli dan kehidupan sehari-hari menggunakan kebudayaan asing, maka masyarakat akan menjadi bingung dan bahkan linglung. Banyak perilaku yang tidak sesuai dengan hati nurani terjadi di depan mata, tanpa dapat dicegah. Puncaknya adalah krisis sebagai bentuk berubahnya sinar

Dalam kondisi seperti itu, tak ada buah kehidupan yang manis dan bermakna dapat dinikmati. Tertib kehidupan menjadi hilang, karena tidak ada lagi etika yang dijunjung bersama. Tragedi dari pucuk pimpinan nasional sampai pangkal bawahan lokal menjadi menu harian yang suka tidak suka, mau tidak mau harus ditelan.

Solusi yang mungkin ditempuh adalah menemukan kembali warisan masa lampau yang masih sesuai dengan peri kehidupan sekarang. Tentu tidak akan semudah orang Eropa me-reaissance keeropaannya atau orang Jepang saat melakukan kokugaku. Meski sulit dan harus menempuh jarak yang sangat jauh, perjalanan pulang tampaknya harus dilakukan. Meski harus mandi keringat dan berkubang lumpur, penggalian sari kehidupan nenek moyang harus diselesaikan.

Salah satu warisan yang perlu dijernihkan adalah sawang sinawang. Pepatah jawa ini sengaja sebagai awalan, karena memiliki makna yang sangat dalam. Paling tidak ada tiga point penting yang terkandung dalam pepatah itu, yaitu sawang, sinawang dan sawang sinawang. Padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata kerja sawang adalah memandang, menyimak atau memperhatikan. Di sisi lain, sinawang terdiri dari kata dasar sawang dan imbuhan in. Pemberian imbuhan dalam konteks ini berfungsi untuk mempasifkan kata kerja, sehingga sinawang dapat diartikan sebagai dipandang, disimak atau diperhatikan.

Kedudukan sawang sebagai kata dasar kerja menunjukkan bahwa memandang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh subyek terhadap suatu obyek. Apabila dilekatkan pada subyek, kata dasar sawang akan mengalami peluluhan menjadi nyawang, seperti pada kalimat Kliwon lagi nyawang omahe sing miring amarga kena gempa. Aktivitas memandang bukan semata-mata dilakukan oleh panca indera mata. Memandang melibatkan seluruh kemampuan aspek kemanusiaan subyek, baik mata, akal maupun budi. Melalui proses memandang, subyek mengolah informasi yang diterima melalui mata dengan jalan membandingkan terhadap pengalamannya sebagai individu maupun pengetahuan yang dimilikinya dari berbagai pihak. Ketika memandang rumahnya yang miring, dalam benak Kliwon terdapat ingatan tentang gambaran rumah itu sebelum terjadi gempa. Dengan kata lain, dalam aktivitas memandang terdapat dialog antara masa lampau (pengalaman dan pengetahuan) dengan masa kini (obyek pandangan).

Dialog masa lampau dengan masa kini dalam proses sawang melahirkan dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang obyek dan pengetahuan tentang subyek. Pengetahuan tentang obyek berupa gambaran detail kondisi yang tampak kasat mata, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada kasus Kliwon dan rumahnya, pengetahuan obyek kuantitatif berupa jumlah kerusakan beserta letaknya, sedang pengetahuan kualitatif berupa tingkat kerusakan seperti parah, sedang dan ringan.
Selain pengetahuan tentang obyek, proses sawang juga melahirkan pemahaman tentang diri sendiri sebagai subyek. Pemahaman terutama berupa kesadaran baru dalam diri subyek tentang posisinya saat itu. Ketika melakukan proses sawang, subyek memperhitungkan ikatan atau relasinya dengan obyek. Apabila obyek merupakan bagian dari subyek, baik ikatan darah maupun kepemilikan, maka subyek akan memaknai kondisi obyek sebagai cerminan dari kondisi subyek. Oleh karena itu, hasil sawang tersebut tersimbolkan dalam bentuk kata-kata yang menggambarkan kondisi kehidupan subyek, seperti menderita, mujur, begja, prihatin, sengsara dan sebagainya.

Apabila obyek sawang bukan bagian dari subyek, tetapi memiliki ikatan yang erat, seperti kerabat atau tetangga, subyek akan berusaha memahami kondisi atau posisi obyek dengan melibatkan seluruh aspek kehidupannya. Keterlibatan subyek pada obyek termanifestasi pada penghayatan terhadap kondisi obyek, sehingga melahirkan ungkapan “nderek”. Dari sudut pandang ini, ungkapan seperti nderek mangayubagya, nderek bingah, nderek belasungkawa, menjadi bentuk usaha subyek mentransfer kondisi obyek sebagai kondisinya sendiri. Pada sistem sosial Jawa, berbagai nilai dan norma terbangun dengan kerangka seperti itu, antara lain kekerabatan, gotong royong, dan tulung tinulung.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sawang menjadi kunci bagi masyarakat Jawa untuk memahami obyek sekaligus melahirkan kesadaran baru tentang subyek. Dengan kata lain, masyarakat Jawa menempatkan sawang menjadi laku bagi lahirnya pengetahuan tentang dunia sebagai obyek dan kesadaran baru dalam diri manusia sebagai subyek yang mendunia.

Berbagai pengetahuan dihasilkan oleh manusia Jawa melalui proses memandang yang dilakukannya, baik berupa filsafat kehidupan maupun keterampilan praktis. Apabila dikelompokkan, jumlah karya pengetahuan Jawa lebih banyak pada bidang filsafat kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia Jawa cenderung menyarikan dinamika kehidupan untuk memperoleh hakekat, dari pada mengembangkan keterampilan praktis. Memahami hakekat dipandang lebih penting untuk menjalani kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hal ini berdampak pada pendokumentasian pergumulan pemikiran tentang nilai dan norma jauh lebih baik dari pada pendokumentasian pengetahuan praktis.

Selain sebagai subyek, manusia Jawa juga menyadari bahwa dirinya menjadi obyek pandangan bagi sesama. Bahkan kesadaran akan kedudukan sebagai obyek ini ditempatkan menjadi perhatian utama dalam kebudayaan Jawa. Kesadaran tersebut mendorong lahirnya nilai dan norma yang berinti pada pengendalian diri atau self control. Berbagai ungkapan, seperti empan papan (memposisikan diri sesuai situasi dan kondisi) dan unggah ungguh (sopan santun atau tata krama) mencerminkan bahwa kemampuan membawakan diri merupakan keterampilan hidup yang sangat penting.

Makna lain dari sawang sinawang adalah bahwa realitas berbeda hakekat dengan pengetahuan/kebenaran yang dihasilkan dari kegiatan memandang. Maksudnya ketika subyek memproduksi pengetahuan tentang suatu obyek, kebenarannya sangat kecil apabila dibandingkan dengan kebenaran yang dimiliki oleh obyek. Sebagai contoh, ketika A memandang B sekarang telah sukses dan hidup berkecukupan, makna sukses dan berkecukupan yang dipahami A akan jauh berbeda dengan sukses dan berkecukupan yang dirasakan oleh B. Kesadaran akan perbedaan tersebut menjadikan manusia Jawa memahami bahwa kebenaran bersifat subyektif dan relatif, yaitu tergantung pada siapa, dimana dan kapan.

Subyektivitas dan relativitas kebenaran, menjadikan manusia Jawa mengembangkan tata nilai dan norma yang berinti pada penghormatan terhadap pendapat atau kebenaran orang lain. Ungkapan desa mawa cara, negara mawa tata memanifestasikan pemahaman bahwa setiap desa memiliki tradisi yang berbeda dan setiap negara memiliki hukum yang berbeda. Perbedaan tersebut dipandang sebagai realitas yang menggembirakan dan patut dirayakan, karena pada hakekatnya dunia ini terbangun dari berbagai perbedaan yang saling melengkapi.

Apakah pemikiran nenek moyang tentang sawang sinawang yang telah berusia ribuan tahun ini mampu melampaui pemikiran kaum modernis bahkan postmodernis?

-Sastro Sukamiski-

0 komentar:

Posting Komentar