Tampilkan postingan dengan label Kerajaan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kerajaan. Tampilkan semua postingan

Religi Sunda: Menggugat Stempel Hindu-Budha


H. Purwanta
religi sunda
Sejarawan/Arkheolog sangat suka mengkategorikan nusantara pada periode klasik sebagai dipengaruhi oleh Hindu/Budha. Salah satunya adalah ketika menjelaskan keberagamaan masyarakat Sunda. Saat menjelaskan kerajaan Sunda, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II antara lain dituliskan sebagai berikut:

Di Jawa Barat terdapat beberapa buah kerajaan kecil. Selain pusat kerajaan Galuh yang diperintah oleh raja Sena sebelum dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, masih ada kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan Kuningan diperintah oleh Sang Seuweukarma, dan yang rupanya cukup disegani oleh Sanjaya, yaitu kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda ini dikatakan letaknya di sebelah barat Citarum, dan masih dari Carita Parahyangan diketahui bahwa Sanjaya adalah menantu raja Sunda yang bergelar Tohaan (Yang Dipertuan) di Sunda, yaitu Tarusbawa.
Berdasarkan berita-berita yang diperoleh dapat diduga bahwa agama yang dianut pada zaman Sanjaya ialah agama Hindu dari mazhab Siwa. Hal ini antara lain dinyatakan oleh prasasti Canggal, yang memuja dewa Siwa lebih banyak dibandingkan dengan pemujaan kepada kedua dewa Trimurti lainnya. Tentang sifat keagamaan ini, juga tidak bertentangan dengn berita Carita Parahyangan, yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh raja Galuh adalah sewabakti ring balara upati. Upati tentulah rusakan dari kata Sanskerta Utpali atau Utpala, yaitu nama lain untuk Yama, dewa pencabut nyawa. Menurut dongeng-dongeng Bali, Yama ini mempunyai sifat-sifat yang sarna, baik dengan Siwa maupun dengan Kala, dan pemujaan terhadap para dewa itu pun tidak pula berbeda.” Di dalam tradisi sastra Jawa dan Sunda, Utipati ini kini kadang-kadang berubah Utipati, Otipati, atau Odipati. “
Rupanya, pada masa itu sudah tampak, ada tanda-tanda makin berkembangnya pengaruh agama Buddha, yang sebagaimana diketahui kemudian menjadi agama resmi raja-raja Mataram yang mendirikan Borobudur. Tentang ini pun, Carita Parahyangan sudah memberikan petunjuknya, melalui nasihat yang diberikan oleh Sanjaya kepada Rahyang Tamperan, anaknya: … haywa dek nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang reya…, janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak.”

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa sejarawan/arkheolog mengarahkan keberagamaan masyarakat Sunda sebagai “Hindu dari mazhab Siwa”. Pandangan mereka tentu tidak lah sembarangan dan pasti disertai bukti-bukti kuat. Sebagai landasan pandangan mereka paling tidak ada dua, yaitu prasasti Canggal dan Carita Parahiyangan. Agar lebih jelas, di bawah ini disampaikan isi prasasti Canggal:

Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung (Bait 1). Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu (Bait 2-6). Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa (Bait 7). Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung (Bait 8-9). Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha) (Bait 10-11). Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang (Bait 12)

Dari kutipan di atas, tidak ada satu pun kata Hindu atau pun Budha tercantum pada prasasti. Penempatan kerajaan Sunda sebagai beragama Hindu lebih didasarkan pada penyebutan Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu pada prasasti. Siwa, Brahma dan Wisnu memang panteon agama Hindu di India dan dipuja sebagai dewa tetinggi. Permasalahannya adalah apakah di nusantara, khususnya di Sunda, ketiga dewa itu juga dimaknai sama dengan yang ada di India? Dengan kata lain, apakah masyarakat nusantara sama dengan masyarakat India dalam memuja ketiga dewa itu? Jawabnya bisa ya, tapi kemungkinan besar tidak.
Dalam kajian Heidegger, pembaca atau uadience ketika memaknai teks, bukan hanya untuk memahami isi teks, tetapi lebih-lebih untuk menemukan peluang yang disediakan oleh teks demi pengembangan diri pembaca. Contoh kontemporer adalah rantai pada celana yang beberapa waktu lalu populer di kalangan anak muda Indonesia.
dompet-rantai
Tidak dipungkiri bahwa fenomena rantai itu diambil dari Amerika Latin. Akan tetapi, maknanya sama sekali berbeda, bahkan tidak dapat dikatakan apabila anak muda Indonesia mengadopsi Amerika Latin. Di Indonesia makna rantai adalah untuk keamanan dan fashion, sedang di Amerika Latin sebagai ungkapan solidaritas terhadap mereka yang dipenjara. Dari sudut pandang ini, dengan menganut pola yang sama, pengambilan Siwa, Brahma dan Wisnu dari tradisi India adalah untuk mengembangkan religi masyarakat nusantara dan bukan untuk menjadi beragama Hindu atau menjadi orang India dalam memuja ketiga dewa.
Bagaimana posisi dewa-dewi bernama India itu dalam religi masyarakat Sunda? Kedudukan mereka dijelaskan dalam Shangyang Siksakanda ng Karesian sebagai berikut:

Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti ka Batara! Basana: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara: Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan preityaksa.
Ini na parmanggihkeuneun dina sakala, tangtu batara di bwana pakeun pageuh jadi manik sakurungan, pakeuneun teja sabumi. Hulun bakti di tohaan, ewe bakti di laki, anak bakti di bapa, sisya bakti di guru, mantri bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata.

Terjemahan ke bahasa Indonesia sebagai berikut:

Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwa baktilah kepada Batara! Ujarnya: Indra. Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala Semua menemukan “Yang Hak” dan “Yang Wujud”.
Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Batara di dunia agar teguh menjadi “Permata di dalam sangkar”, untuk cahaya seluruh dunia, Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata.

Penggalan Shangyang Siksskanda ng Karesian alinea ke dua di atas memberi gambaran bangun etika sosial yang terdapat pada masyarakat Sunda, yaitu: “Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru”, etika politik, yaitu “mantri tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata”.

Penjenjangan tidak hanya terjadi pada sosial politik, tetapi juga pada religi. Pada baris terakhir alinea pertama dijelaskan bahwa dewa-dewi yang namanya diambil dari pantheon masyarakat India, semua berbakti kepada Batara Seda Niskala. Dengan demikian, dalam religi masyarakat Sunda, para dewa berada di bawah Batara Seda Niskala atau pada teks lain juga disebut sebagai Batara Tunggal dan Batara Jagat. Hal ini jelas berbeda dengan religi masyarakat India yang menempatkan ketiga dewa (Brahma, Siwa dan Wisnu) sebagai yang tertinggi. Oleh karena itu menjadi aneh kalau masyarakat nusantara, khususnya Sunda, dinamakan sebagai beragama Hindu.

Kita akan melanjutkan untuk mencermati pandangan sejarawan tentang keberagamaan masyarakat Sunda. Dikatakan berdasarkan penggalan Carita Parahyangan yang menyatakan bahwa “nasihat yang diberikan oleh Sanjaya kepada Rahyang Tamperan, anaknya: … haywa dek nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang reya…, janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak”, sejarawan/arkheolog menengarai adanya fenomena makin berkembangnya pengaruh agama Buddha.
Teks yang dikutip pada Sejarah Nasional Indonesia itu penggalan kalimat terakhir dari Carita Parahiyangan bagian XIV. Agar memperoleh pemahaman komprehensif, kiranya akan baik kalau membaca secara lebih lengkap. Pada artikel ini dikutipkan bagian XIII dan XIV, untuk lengkapny silahkan buka

XIII

Sakitu ménakna, ini tangtu Rahiyang Sempakwaja. Ndéh nihan ta ujar Rahiyangtang Kuku, lunga ka Arile, ngababakan na Kuningan. Kareungeu ku Rahiyangtang Kuku, inya Sang Seuweukarma ngadeg di Kuningan, seuweu Rahiyang Sempakwaja; ramarénana pamarta ngawong rat kabéh. Dayeuh para dayeuh, désa paradésa, nusa paranusa. Ti KeIing bakti ka Rahiyangtang Kuku: Rahiyangtang Luda di Puntang. Rahiyangtang Wulukapeu di Kahuripan. Rahiyangtang Supremana di Wiru. Rahiyang Isora di Jawa. Sang ratu Bima di Bali. Di kulon di Tungtung Sunda nyabrang ka désa Malayu: Rahiyangtang Gana ratu di Kemir. Sang Sriwijaya di Malayu. Sang Wisnujaya di Barus. Sang Brahmasidi di Keling. Patihnira Sang Kandarma di Berawan. Sang Mawuluasu di Cimara-upatah. Sang Pancadana ratu Cina. Pahi kawisésa, kena inya ku Rahiyangtang Kuku. Pahingadegkeun haji sang manitih Saunggalah. Pahi ku Sang Seuweukarma kawisésa, kena mikukuh tapak Dangiyang Kuning. Sangucap ta Rahiyang Sanjaya di Galuh, “Kumaha sang apatih, piparéntaheun urang ?. Hanteu di urang dipikulakadang ku Rahiyangtang Kuku. Sang apatih, leumpang, dugaan ku kita ka Kuningan. Sugan urang dipajar koyo ilu dina kariya, ja urang hanteu dibéré nyahoan, daék lunga.” Sang patih teka maring Kuningan, marék ka kadaton, umun bakti ka Rahiyangtang Kuku. Ujar Rahiyangtang Kuku, “Deuh sang apatih, na naha na béja kita, mana kita datang ka dinih?” Ujar sang apatih, “Kami pun dititahan Rahiyangtang Sanjaya. Disuruh ngadugaan ka dinih. Saha nu diwastu dijieun ratu?” Carék Rahiyangtang Kuku, “U sang apatih, yogya aing diwastu dijieun ratu ku na urang réa. Ngan ti Rahiyang Sanjaya ma hanteu nitah ku dék kulakadang deung hamo ka kami, ja bogoh maéhan kulakadang baraya. Ja aing ogé disalahkeun ka Kuningan ku Rahiyang Sempakwaja. Aing beunang Rahiyang Sempakwaja nyalahkeun ka Kuningan ini. Mana aing mo dijaheutan ku Rahiyang Sanjaya.” Pulang deui sang apatih ka Galuh. Ditanya ku Rahiyang Sanjaya, “Aki, kumaha carék Rahiyangtang Kuku ka urang?” “Pun Rahiyang Sanjaya! Rahiyangtang Kuku teu meunang tapana. Mikukuh Sanghiyang Darma kalawan Sanghiyang Siksa. Nurut talatah Sang Rumuhun, gawayangkeun awak carita. Boh kéh ku urang turut tanpa tingtimanana. Biyaktakeun ku urang, ja urang sarwa kaputraan, urang deung Tohaan pahi anak déwata. Ndéh inalap pustaka ku Rahiyang Sanjaya. Sadatang inungkab ikang pustaka. Sabdana tangkarah, “Ong awignam astu krétayugi balem raja kretayem rawanem sang tata dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang aparanya ratuning déwata sang adata adininig ratu déwata sang sapta ratu na caturyuga.” “Dah umangen-angen ta Sang Resi Guru sidem magawéy Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati. Mangkana manak Rahiyangtang Kulikuli, Rahiyangtang Surawulan, Rahiyangtang Pelesawi. Rahiyangtang Rawunglangit, kamiadi Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun mangka manak Rahiyangtang Sempakwaja, Rahiyangtang Mandiminyak. Rahitangtang Mandiminyak mangka manak Sang Séna, Rahiyang Sang Séna mangka manak Rahiyang Sanjaya.”

XIV

Bo geulisan Dobana bawa bahetra piting deupa, bukana bwatan sarwo sanjata. “Urang ka nusa Demba!” Data sira lunga balayar. Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek mwatkeun Pwah Sang kari Pucanghaji Tunjunghaji ditumpakkeun dina liman putih. Dék ngajangjang turut buruan; momogana teka Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma ka nusa Demba, tuluy ka kadatwan, calik tukangeun Sang Siwiragati. Rahiyangtang Kuku dihusir ku liman putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari. Hanteu aya pulang deui ka kadatwan liman putih ta, bakti ka Rahiyangtang Kuku. Pulang deui Rahiyangtang Kuku ka Arile, dibawa na liman putih deung Pwah Sangkari. Manguni : “Naha hanteu omas saguri, sapetong, sapaha sapata-payan?” Tuluy ka Galuh ka Rahiyang Sanjaya, hanteu sindang ka Arile. Dibawa na liman putih, dirungkup ku lungsir putih tujuh kayu diwatang ku premata mas mirah komara hinten. Datang siya ti désa Demba, tuluy ka kadatwan. Sateka Rahiyangtang Kuku ring kadaton, mojar ka Rahiyang Sanjaya. naha suka mireungeuh liman putih. Tanyana: “Mana?” “Tuluy dipitutunggangan, diaseukeun Pwah Sangkari ka Rahiyang Sanjaya. Sateka ring dalem hanteu pulang deui. Dah Rahiyang Sanjaya: “Naha tu karémpan? Aing ayeuna kreta, aing deung bapangku, Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma. Hanteu ngalancan aing ayeuna. Ajeuna nu tangkarah : “Alas Dangiyang Guru di tengah, alas Rahiyang Isora di wétan paralor Paraga deung Cilotiran, ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda.” Dah sedeng pulang Rahiyangtang Kuku ka Arile, sadatang ka Arile panteg hanca di bwana, ya ta sapalayaga dirgadisi lodah. Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang Tamperan: “Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya.” Lawasniya ratu salapan tahun, disiliban ku Rahiyang Tamperan.

Pada kutipan bagian XIII diceritakan tentang Rahiyangtang Kuku yang membangun kekuasaan di Arile, Kuningan dengan bergelar Seuweukarma. Dia memperoleh kesuksesan dan bahkan kekuasaannya menjulang sampai Keling dan Cina. Hal itu membuat Sanjaya yang bertahta di Galuh merasa iri terhadap kekuasaan Seuweukarma yang tidak lain adalah pamannya. Dia mengutus patih untuk ke kuningan. Sepulangnya ke Galuh, patih menceritakan bahwa kesuksesan Rahiyangtang Kuku adalah karena kuatnya tapa yang dilakukan, serta selalu menjalankan nasehat-nasehat leluhur yang terdapat pada Sanghiyang Darma dan Sanghiyang Siksa.
Pada bagian XIV diceritakan tentang usaha Rahiyangtang Kuku untuk membuat gembira hati Sanjaya. Dia pergi ke pulau Demba dan berhasil memperoleh gajah putih beserta puteri cantik bernama Pwah Sangkari. Dari pulau Demba, dia langsung ke istana Galuh untuk memberikan gajah putih, puteri Pwah Sangkari beserta emas berlian kepada Sanjaya sebagai hadiah. Hal itu membuat Sanjaya gembira dan menyatakan bahwa antara dia dengan pamannya tidak ada lagi permusuhan. Setelah selesai, Rahiyangtang Kuku pulang ke Arile di Kuningan. Sesampai di istananya, Rahiyangtang Kuku mangkat. Mendengar itu, Rahiyang Sanjaya menasehati anaknya, Rakeyan Panaraban, yaitu Rahiyang Tamperan: ‘Jangan ikuti cara saya, karena saya telah membuat orang-orang takut padaku. “
Dengan menyimak teks Carita Parahiyangan secara lebih lengkap tampak bahwa kata atau istilah “agama” pada teks, sama sekali tidak ada kaitannya dengan Hindu maupun Budha. Kata “agama” di situ lebih merupakan cara, perilaku dan sifat Rahiyang Sanjaya yang dipenuhi rasa iri dan permusuhan terhadap pamannya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sejarawan/arkheolog memaksakan stempel Hindu/Budha pada masyarakat Sunda?

Sumber : http://citralekha.com/religi-sunda/

Penguasa Ketiga Majapahit (Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi)

Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi
Sebuah arca Parwati (pasangan Syiwa)
 dari candi Rimbi di Jawa Timur yang
merupakan perwujudan Ratu Tribhuwana.
Saat ini sang arca menghiasi
Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
 Sang ratu mewariskan begitu
banyak hal pada negara kita hari ini.
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga di Majapahit. Tidak terlihat tanda-tanda Majapahit—yang saat itu dipandang tak lebih pengekor dari Singhasari— akan menjadi kekuatan yang mengubah jalan sejarah nusantara, hingga tiba waktunya Tribhuwana bertahta.

Tribhuwana mendaki tahta tidak dengan mewarisi sebuah kerajaan yang damai dan tenang, sebaliknya, Majapahit senantiasa diambang perpecahan oleh perang saudara (yang sudah terjadi beberapa kali di masa pendahulunya). Di wilayah timur ada “orang-orang Majapahit timur” (mulai wilayah Lumajang hingga ujung timur Blambangan) yang tak pernah merelakan diri takluk pada “orang-orang Majapahit Barat”, di mana pada semenanjung timur Jawa masih banyak kerajaan-kerajaan berdaulat yang senantiasa mengancam Majapahit seperti Keta dan Sadeng. Bali merobek-robek perjanjian takluk pada Jawa yang dibuat pada zaman Singhasari. Demikian juga bahaya senantiasa mengancam dari wilayah barat oleh bangsa mongol.

Tribhuwana melewati masa mudanya dengan tidak mudah. Ayahnya, pendiri Majapahit, senantiasa menghadapi rongrongan pemberontakan, dengan demikian keselamatannya sendiri senantiasa dalam bahaya. Ketika saudara tirinya, Jayanagara Dyah Kalagemet bertahta, alih-alih menyekap dan mengontrol Tribhuwana sebagai penguasa kecil di Kahuripan, raja muda ini mengeluarkan perintah larangan bagi Tribhuwana untuk menikah. Dengan cara ini Jayanagara memberangus munculnya rival dalam kekuasaannya di kemudian hari.

Penderitaan Tribhuwana terhenti setelah Jayanagara tewas tahun 1328. Banyak spekulasi mengenai pembunuhan Jayanagara. Bagaimanapun, antara Jayanagara dan Tribhuwana, meski berasal dari garis ayah yang sama, mereka berasal dari keluarga ibu yang berbeda (menurut Pararaton Jayanagara berdarah malayu-jawa, dari ibu bernama Dara Petak (Indreswari), dimana nama Dara Petak tidak disebutkan dalam prasasti-prasasti zaman Majapahit). Tentu saja keluarga Tribhuwana (dari garis Kŗtanāgara) tidak akan membiarkan wangsanya dipunahkan Jayanagara, sehingga banyak sejarawan yang menghubungkan keterlibatan Tribhuwana pada konspirasi tiga serangkai Gayatri-Gajahmada-Tanca pada kasus kematian raja yang mengenaskan itu. Setelah Jayanagara tewas, yang berhak atas tahta seharusnya Gayatri, ibu Tribhuwana sebagai satu-satunya istri raja pertama yang masih hidup. Namun karena Gayatri telah tua dan menjadi biksuni, maka Tribhuwanalah—sebagaimana diperhitungkan dalam konspirasi—mendaki tahta Majapahit.


POTRET MASA LALU. Relief yang menggambarkan sebuah kapal di masa kuno. Sama seperti Sriwijaya, Jawa di zaman Majapahit adalah negara maritim dengan angkatan laut yang ditakuti, sebelum dibelokkan oleh Mataram Islam menjadi bangsa petani (foto: repro internet)
Begitu menggenggam kekuasaan, Tribhuwana mengawali babak baru dalam sejarah nusantara, dan Majapahit pada khususnya. Dia tidak ingin tanggung-tanggung tambal sulam menghadapi satu demi satu pemberontakan sebagaimana pendahulunya. Dia mewujudkan ambisi leluhurnya, Kŗtanāgara, untuk membangun sebuah imperium dan melakukan segala cara menjamin kestabilan imperiumnya itu.

Sama seperti Elizabeth yang sebagian pencapaiannya didapat karena kepiawaiannya memilih pejabat yang cakap semisal Lord Burghely sebagai penasehat utama, Tribhuwana pun merombak kabinetnya dan mengangkat orang-orang cakap, semisal Gajahmada yang menjadi penasehat utamanya. Tribhuwana menunjukkan keseriusannya membangun imperium dengan turun langsung memimpin laskar Majapahit mengoyak kerajaan Sadeng dan menginjak-injak Keta beserta pelabuhannya. Tampaknya usaha ini berhasil hingga Gajahmada bahkan dengan senang hati bersumpah palapa mewujudkan mimpi besar Tribhuwana.

Terlepas apa pun yang telah terjadi, atau siapa pun penggagas politik nusantara yang tertuang dalam sumpah palapa, adalah fakta bahwa hanya di era pemerintahan Tribhuwana Majapahit memulai politik ekspansinya.

Sama seperti Elizabeth I, Tribhuwana juga membangun dan memperkuat armada laut. Segera setelahnya Majapahit mulai memberangkatkan angkatan lautnya melakukan penaklukkan. Tahun 1343 Bali dan Lombok ditekuk, sebagai inisiasi yang melambungkan nama Gajahmada. Setelah menuai dukungan penuh dari rakyat, armada diarahkan ke barat. Tahun 1350 Sumatra digulung dimana pasukan Majapahit menusuk jauh ke ibukota Jambi. 31 negara di Sumatra dicukur habis. Selanjutnya Semenanjung Malaysia (Hujung Medini) bersama 13 negara melayu dilibas. Tak lupa mampir sebentar untuk mempercundangi Singapura (Tumasik) dan Bintan. Pasukan Majapahit kemudian berbalik ke Kalimantan (Tanjung Pura) dan mencaploki 20 negara di Kalimantan.

Tribhuwana memiliki wawasan yang luas, pemerintahannya terkenal agresor dan tegas. Apa yang terjadi di masa raja-raja pendahulunya, dimana kerajaan-kerajaan yang tersebar di seantero nusantara (terutama orang-orang belahan timur sejak Lumajang yang tidak henti-hentinya bersikap kurang ajar pada penguasaan induk Majapahit) memandang sebelah mata pada kerajaannya yang muncul sebagai “pemain baru” di tanah Jawa, tidak pernah lagi terjadi sejak Tribhuwana menduduki tahta. Tribhuwana juga satu-satunya raja wanita yang berani keluar dari zona nyaman istana dan terjun langsung menginjak-injak Keta dan Sadeng. Sama seperti Elizabeth I, Tribhuwana mampu membawa pemerintahannya stabil di tengah faksi-faksi yang bertikai, yang diilustrasikan dengan pertentangan antara kabinet Gajahmada dengan poros Ra Kembar.

relief kapal majapahit
Relief yang menggambarkan sebuah kapal di masa kuno.
Sama seperti Sriwijaya, Jawa di zaman Majapahit adalah
negara maritim dengan angkatan laut yang ditakuti,
sebelum dibelokkan oleh Mataram Islam
menjadi bangsa petani 
Wawasan Tribhuwana yang luas dan keberaniannya mengambil tindakan politis akhirnya mewariskan pada Majapahit angkatan laut paling mematikan di belahan asia timur, dan sebuah wilayah kepulauan seluas nusantara pada kita sekarang. Malangnya, tidak seperti Inggris, Jaladhi—angkatan laut Majapahit yang sangat mematikan (200 tahun mendahului bangkitnya angkatan laut Inggris), harus berakhir ketika Mataram Islam berkuasa dan memberangus kekuatan maritim untuk beralih menjadikan nusantara bangsa agraris (petani). Sulit dibayangkan seandainya Tribhuwana tidak pernah bertahta dan Jayanagara berumur panjang, apakah politik nusantara (sumpah palapa) mendapat tempat di pemerintahan Jayanagara. Besar kemungkinan tidak.

Ada hal yang perlu dicatat dalam hidup Ratu Tribhuwana. Begitu Jayanagara tewas, dan dirinya terbebas dari aturan saudara tirinya yang membunuhnya pelan-pelan, Tribhuwana segera—sesegera mungkin—memilih sendiri pasangannya melalui sayembara, untuk memastikan dirinya punya keturunan dan dengan demikian menjaga tahta tetap dalam genggaman garis wangsa Kŗtanāgara leluhurnya. Laki-laki yang dipilihnya itu adalah Cakradara, yang derajadnya segera diangkat setingkat raja kecil bergelar Kertawardhana Bathara ring Tumapel agar sesuai sebagai pasangan Ratu Tribhuwana.

Kertawardhana , meski perannya tak lebih dari sekedar pendamping, tetap bersikap sebagaimana raja-raja Jawa pada umumnya, dengan menyimpan selir untuk pemuasnya, yang memberinya putra bernama Raden Sotor. Yang mengejutkan, selir itu tetap hidup nyaman dalam pemerintahan Tribhuwana.

Kerajaan Salakanagara

Salakanagara didalam naskah Wangsakerta disebut-sebut sebagai Kerajaan awal di Jawa. Naskah tersebut kemudian diuraikan dalam Sejarah Jawa Barat dan menghubungkan dengan sumber berita luar tentang Salakanagara.

Sebelum membahas kerajaan ini, marilah kita mengupas perihal naskah Wangsakerta ini. Naskah yang dibuat secara lokakarya atau seminar (gotrasawala) ini masih diperdebatkan keabsahannya sebagai sumber sejarah. Para sarjana sejarah, filologi, dan arkeologi masih berdebat tentang data yang tercantum dalam naskah yang disusun oleh para ahli (mahakawi) “sejarah” dari berbagai pelosok Nusantara. Kitab ini terbagi dalam lima parwa (jilid), dan setiap parwa tersusun atas lima sarga (bab). Selain Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara, terdapat naskah-naskah lainnya yang disusun panitia Wangsakerta, seperti Carita Parahyangan, Nagarakretabhumi, Pustaka Dwipantara, Pustaka Pararawtan I Bhumi Jawadwipa.

Jauh-jauh hari sebelum berbentuk kerajaan, Salakanagara dikenal sebagai kota perdagangan dan persinggahan para Saudagar asia, seperti Arab, India dan China. Sehingga wajar jika keberadaan Salakanagara diberitakan oleh mereka.

Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan Dewi Pwahaci Larasati puteri Aki Tirem penghulu setempat.

Rajatapura (sekarang: Teluk Lada Pandeglang) adalah ibukota Salakanagara yang hingga tahun 362 menjadi pusat pemerintahan Raja-Raja Dewawarman (dari Dewawarman I - VIII). Salakanagara berdiri hanya selama 232 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 362 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.

Wilayah Salakanagara meliputi daerah Jawa Barat bagian barat, termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa, dan laut yang membentang antara Jawa dan Sumatra. Karena letaknya strategis, Salakanagara merupakan tempat perahu dagang berlalu-lalang dari arah barat ke timur dan sebaliknya. Maka dari itu, perahu-perahu tersebut mau tak mau harus singgah di sana dan menghadiahkan persembahan/upeti kepada raja (semacam pajak). Sebagai imbalannya, perahu tersebut mendapat perlindungan dari raja. Sebaliknya, para perompak dan pengacau keamanan akan ditindak keras: perahu mereka dirampas, perompaknya dihukum gantung.

Jayasinghawarmanseorang Maharesi dari Calankayana di India yang mengungsi ke Nusantara karena daerahnya diserang dan ditaklukkan Maharaja Samudragupta dari Kerajaan Maurya. Lalu menjadi menantu Dewawarman VIII yang memindahkan pusat pemerintahan dari Rajatapura ke Tarumanagara.


Kandis Kerajaan Tertua di Indonesia

Kerajaan Kandis tidak diketahui secara pasti kapan berdirinya . Yang pasti, kerajaan ini memang ada dan merupakan kerajaan tua yang keberadaannya mendahului Kuantan. Dalam kitab Negara Kertagama, terdapat nama-nama daerah di Sumatra yang termasuk dalam Kerajaan Majapahit. Kandis merupakan salah satu daerah yang disebut. Daerah-daerah lainnya yang disebut dan sekarang masuk wilayah Riau adalah Keritang (Indragiri Hilir), Siak, Kampar dan Rokan. Dari segi lokasi, ternyata kerajaan-kerajaan ini berada di sepanjang aliran sungai-sungai besar yang mengalir di Riau. Selain dari catatan sejarah dalam Negara Kertagama, bukti keberadaan Kerajaan Kandis ini dapat diketahui dari cerita-cerita rakyat.

Ibukota kerajaan Kandis diperkirakan berada di desa yang sekarang dinamakan Padang Candi, suatu tempat di pinggir Batang Kuantan (nama Sungai Indragiri di bagian hulu), di seberang Lubuk Jambi. Desa tersebut dinamakan Padang Candi, karena berkaitan dengan keberadaan Kerajaan Kandis pada masa dulu. Di desa tersebut, masih bisa ditemukan reruntuhan bangunan dan batu bata kuno. Diduga, batu bata tersebut merupakan reruntuhan candi pemujaan. Oleh karena itu, desa tersebut kemudian dinamakan Padang Candi.

Kandis merupakan sebuah kerajaan yang berdiri sendiri, karena daerahnya memang subur dan menghasilkan rempah-rempah, seperti lada. Tidak banyak yang dapat diketahui mengenai Kerajaan Kandis ini, apalagi setelah dikalahkan Jambi. Berkaitan dengan nama desa Lubuk Jambi, konon nama ini punya kaitan dengan peristiwa serangan Jambi ke Kandis. Ketika itu, pasukan Jambi melabuhkan perahu-perahunya di suatu lubuk (bagian sungai yang dalam), dan menjadikan lubuk tersebut pangkalan untuk menyerang Kandis. Selanjutnya, lubuk tersebut dinamakan masyarakat sebagai Lubuk Jambi. Tidak diketahui secara pasti, kapan serangan itu terjadi.

Serangan Jambi tersebut telah meruntuhkan Kandis. Namun, Kandis tidak lenyap begitu saja, karena kemudian muncul Kerajaan Kuantan menggantikannya. Cerita mengenai ini tergambar dalam pantun yang masih dikenal di kalangan masyarakat Kuantan sampai sekarang, yaitu pantun Kandis-Kuantan. Dalam pantun tersebut tergambar bahwa, setelah Kerajaan Kandis runtuh, Kerajaan Kuantan berdiri menggantikannya.

Meskipun telah ditemukan beberapa bukti kuat untuk membuktikan eksistensi kerajaan ini, pemerintah belum berani untuk memasukkan materi Kerajaan Kandis ke kurikulum pembahasan mata pelajaran sejarah baik dari SD sampai SMA.



10 Kerajaan Tertua Di Indonesia





Ketika mengenyam pendidikan kita lebih mengenal Kerajaan Kutai sebagai kerajaan tertua, namun semakin berkembangnya temuan-temuan baru di temukan kerajaan yang lebih tua. Informasi ini mungkin akan terus berkembang sesuai dengan temuan-temuan baru.







1. Kerajaan Kandis (sebelum Masehi)
Kerajaan ini diperkirakan berdiri pada 1 Sebelum Masehi, mendahului berdirinya kerajaan Moloyou atau Dharmasraya di Sumatera Tengah. Maharaja Diraja, pendiri kerajaan ini, sesampainya di Bukit Bakau membangun sebuah istana yang megah yang dinamakan dengan Istana Dhamna. Nenek moyang Lubuk Jambi diyakini berasal dari keturunan waliyullah Raja Iskandar Zulkarnain. Tiga orang putra Iskandar Zulkarnain yang bernama Maharaja Alif, Maharaja Depang dan Maharaja Diraja berpencar mencari daerah baru. Maharaja Alif ke Banda Ruhum, Maharaja Depang ke Bandar Cina dan Maharaja Diraja ke Pulau Emas (Sumatra). Ketika berlabuh di Pulau Emas, Maharaja Diraja dan rombongannya mendirikan sebuah kerajaan yang dinamakan dengan Kerajaan Kandis yang berlokasi di Bukit Bakar/Bukit Bakau. Daerah ini merupakan daerah yang hijau dan subur yang dikelilingi oleh sungai yang jernih. Lebih Lengkap

2. Kerajaan Salakanagara (130-362 M)
Kerajaan ini adalah kerajaan yang pertama di daerah Jawa Barat yang pernah tercatat oleh sejarah. Salakanagara, berdasarkan Naskah Wangsakerta Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara (yang disusun sebuah panitia dengan ketuanya Pangeran Wangsakerta) diperkirakan merupakan kerajaan paling awal yang ada di Nusantara). Nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, antara lain adalah Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi, Wishnu Handoko dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat. Selengkapnya...

3. Kerajaan Melayu Tua Jambi (Abad ke-2 M)
Dharmasraya merupakan nama ibukota dari sebuah Kerajaan Melayu di Sumatera, nama ini muncul seiring dengan melemahnya kerajaan Sriwijaya setelah serangan Rajendra Coladewa raja Chola dari Koromandel pada tahun 1025. Dalam naskah berjudul Chu-fan-chi karya Chau Ju-kua tahun 1225 disebutkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

4. Kerajaan Sekala Brak (Abad ke-3 M)
Kerajaan Skala Brak (Baca: Sekala Bekhak) berdiri di Lampung pada sekitar abad ke-3 Masehi dengan pemimpinnya bernama Raja Buay Tumi (William Marsden, 2008). Nama Raja Buay Tumi diyakini sebagai pemimpin Suku Tumi, yakni salah satu bangsa pertama yang menempati tanah Lampung dan kemudian membangun peradaban di Skala Brak.
Sekala Brak adalah sebuah kerajaan yang bercirikan Hindu dan dikenal dengan Kerajaan Sekala Brak Hindu yang setelah kedatangan Empat Umpu dari Pagaruyung yang menyebarkan agama Islam kemudian berubah menjadi Kepaksian Sekala Brak.
Keberadaan Kerajaan Skala Brak dianggap sebagai simbol peradaban, kebudayaan, dan eksistensi orang Lampung. Penyebutan Lampung sendiri berasal dari kata “Anjak Lambung” yang artinya menunjukkan tempat yang tinggi, yakni lereng Gunung Pesagi, gunung tertinggi di Lampung (Diandra Natakembahang, 2005). Keterangan ini merujuk bahwa sejarah orang Lampung sangat berkaitan dengan Skala Brak yang terletak di lereng Gunung Pesagi.

5. Kerajaan Kutai Martadipura (350-400 M)
Kutai Martadipura adalah kerajaan bercorak Hindu di Nusantara yang memiliki bukti sejarah tertua. Kerajaan ini terletak di Muara Kaman, Kalimantan Timur, tepatnya di hulu sungai Mahakam. Nama Kutai diberikan oleh para ahli mengambil dari nama tempat ditemukannya prasasti yang menunjukkan eksistensi kerajaan tersebut. Tidak ada prasasti yang secara jelas menyebutkan nama kerajaan ini dan memang sangat sedikit informasi yang dapat diperoleh. Pada awal abad ke-13, berdirilah sebuah kerajaan baru di Tepian Batu atau Kutai Lama yang bernama Kerajaan Kutai Kartanegara dengan rajanya yang pertama, Aji Batara Agung Dewa Sakti (1300-1325). Dengan adanya dua kerajaan di kawasan Sungai Mahakam ini tentunya menimbulkan friksi diantara keduanya. Pada abad ke-16 terjadilah peperangan diantara kedua kerajaan Kutai ini. Kerajaan Kutai Kartanegara dibawah rajanya Aji Pangeran Sinum Panji Mendapa akhirnya berhasil menaklukkan Kerajaan Kutai Martadipura. Raja kemudian menamakan kerajaannya menjadi Kerajaan Kutai Kartanegara Ing Martadipura. Lengkapnya..

6. Kerajaan Tarumanegara (358-669 M)
Tarumanagara atau Kerajaan Taruma adalah sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salah satu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah. Dalam catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan, terlihat bahwa pada saat itu Kerajaan Taruma adalah kerajaan Hindu beraliran Wisnu. Bila menilik dari catatan sejarah ataupun prasasti yang ada, tidak ada penjelasan atau catatan yang pasti mengenai siapakah yang pertama kalinya mendirikan kerajaan Tarumanegara. Raja yang pernah berkuasa dan sangat terkenal dalam catatan sejarah adalah Purnawarman. Pada tahun 417 ia memerintahkan penggalian Sungai Gomati dan Candrabaga (Kali Bekasi) sepanjang 6112 tombak (sekitar 11 km). Selesai penggalian, sang prabu mengadakan selamatan dengan menyedekahkan 1.000 ekor sapi kepada kaum brahmana. Bukti keberadaan Kerajaan Taruma diketahui dengan tujuh buah prasasti batu yang ditemukan. Empat di Bogor, satu di Jakarta dan satu di Lebak Banten. Dari prasasti-prasasti ini diketahui bahwa kerajaan dipimpin oleh Rajadirajaguru Jayasingawarman pada tahun 358 M dan beliau memerintah sampai tahun 382 M. Makam Rajadirajaguru Jayasingawarman ada di sekitar sungai Gomati (wilayah Bekasi). Kerajaan Tarumanegara ialah kelanjutan dari Kerajaan Salakanagara.


7. Kerajaan Barus (Abad ke-6 M)
Kesultanan Barus merupakan kelanjutan kerajaan di Barus paska masuknya Islam ke Barus. Islam masuk ke Barus pada awal-awal munculnya agama Islam di semenanjung Arab. Dalam sebuah penggalian arkeologi, ditemukan Makam Mahligai sebuah perkuburan bersejarah Syeh Rukunuddin dan Syeh Usuluddin yang menandakan masuknya agama Islam pertama ke Indonesia pada Abad ke VII Masehi di Kecamatan Barus. Kuburan ini panjangnya kira-kira 7 meter dihiasi oleh beberapa batu nisan yang khas dan unik dengan bertulisan bahasa Arab, Tarikh 48 H dan Makam Mahligai merupakan Objek Wisata Religius bagi umat Islam se-Dunia yang Letaknya 75 Km dari Sibolga dan 359 Km dari Kota Medan. Raja pertama yang menjadi muslim adalah Raja Kadir yang kemudian diteruskan kepada anak-anaknya yang kemudian bergelar Sultan. Raja Kadir merupakan penerus kerajaan yang telah turun-temurun memerintah Barus dan merupakan keturunan Raja Alang Pardosi, pertama sekali mendirikan pusat Kerajaaannya di Toddang (tundang), Tukka, Pakkat - juga dikenal sebagai negeri Rambe, yang bermigrasi dari Balige dari marga Pohan. Pada abad ke-6, telah berdiri sebuah otoritas baru di Barus yang didirikan oleh Sultan Ibrahimsyah yang datang dari Tarusan, Minang, keturunan Batak dari kumpulan marga Pasaribu, yang akhirnya membentuk Dulisme kepemimpinan di Barus.

8. Kerajaan Kalingga (Abad ke-6 M)
Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Tengah, yang pusatnya berada di daerah Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya. Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari Kerajaan Galuh. Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M). Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno. Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban. Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai Panangkaran.

9. Kerajaan Kanjuruhan (Abad ke-6 M)
Kanjuruhan adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di dekat Kota Malang sekarang di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, di dataran yang sekarang bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede Kecamatan Lowokwaru. Kanjuruhan diduga telah berdiri pada abad ke-6 Masehi (masih sezaman dengan Kerajaan Taruma di sekitar Bekasi dan Bogor sekarang). Bukti tertulis mengenai kerajaan ini adalah Prasasti Dinoyo. Rajanya yang terkenal adalah Gajayana. Peninggalan lainnya adalah Candi Badut dan Candi Wurung.

10. Kerajaan Sunda (669-1579 M)
Kerajaan Sunda menurut naskah Wangsakerta merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 591 Caka Sunda (669 M). Menurut sumber sejarah primer yang berasal dari abad ke-16, kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat , dan bagian barat Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16), yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali ("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah.

Sumber:
Wikipedia.org
melayuonline.com
dan berbagai sumber lain