Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan

K. H. Subchi, ulama besar guru jenderal Soedirman (Kiai Bambu Runcing)

K. H. Subchi
Kisah hidup Kiai Subchi dari Parakan, Temanggung, seharusnya bisa jadi teladan. Ulama besar ini dikenal rendah hati dan sangat dekat dengan rakyat kecil.

K. H. Subchi (Nama lahir: Mohamad Benjing, Nama setelah berumah tangga R Somowardojo, Nama setelah Haji:Subchi/ Subki/ Subeki) lahir di Parakan, Temanggung, 31 Desember 1858 – meninggal di Parakan, Temanggung, 6 April 1959 pada umur 100 tahun

Dia membagikan hasil panennya untuk rakyat miskin. Kiai Subchi juga mengizinkan tanahnya digarap orang-orang yang tidak memiliki lahan.

"Inilah kebaikan hati Kiai Subchi, hingga disegani rakyat dan memiliki kharisma kuat," demikian ditulis Munawir Aziz dalam buku Pahlawan Santri, Tulang Punggung Pergerakan Nasional.

Jasa-jasa Kiai Subchi selama perang kemerdekaan sangat besar. Dialah yang menggelorakan semangat para santri dan pemuda di Temanggung dan sekitarnya untuk mengusir Belanda yang mau menguasai Indonesia kembali. Dialah ulama yang dipanggil dengan sebutan 'Kiai Bambu Runcing'.

Dia meminta para pemuda mengumpulkan bambu yang ujungnya diruncingkan. Kemudian diberi asma dan doa khusus. Bambu runcing inilah yang kemudian dikenal sebagai simbol perjuangan melawan penjajah.

Panglima TNI Jenderal Soedirman adalah salah satu dari beberapa tokoh besar yang menganggap Kiai Subchi sebagai guru. Soedirman meminta nasihat dan doa dari Sang Kiai sebelum bertempur di Palagan Ambarawa. Sosok Pak Dirman memang dikenal dekat dengan para ulama dan santri.

Semakin hari, semakin banyak pejuang yang datang untuk meminta nasihat dan doa dari Kiai Subchi. Ulama besar yang dikenal rendah hati ini menangis melihat itu semua. Dia merasa tak layak diperlakukan seperti itu. Melihat sikap tawadhu itu Panglima Hizbullah, Kiai Zainul Arifin sampai bergetar hatinya.

Kiai Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, meminta Kiai Subchi terus menyemangati para pemuda. Dia menguatkan hati Kiai Subchi apa yang dilakukannya sudah benar.

Kiai Subchi wafat tahun 1959 dalam usia 109 tahun. Semoga sikap nasionalisme dan rendah hati ulama besar ini selalu diteladani oleh generasi muda.

Hari-hari yang dirayakan di Indonesia

Kita sering merayakan atau memperingati hari-hari besar yang bersifat Nasional ataupun Internasional. Berikut daftar hari-hari besar yang sering turut serta di peringati di Indonesia

Bulan Januari

01 Januari : Hari Tahun Baru Masehi (Internasional)
03 Januari : Hari Departemen Agama
05 Januari : Hari Korps Wanita Angkatan Laut (KOWAL)
10 Januari : Hari Gerakan Satu Juta Pohon (Internasional)
10 Januari : Hari Tritura
15 Januari : Hari Darma Samudra
25 Januari : Hari Gizi Dan Makanan
25 Januari : Hari Kusta (Internasional)

Bulan Februari

02 Februari : Hari Lahan Basah Sedunia (Internasional)
04 Februari : Hari Kanker Dunia (Internasional)
05 Februari : Hari Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Provinciën)
09 Februari : Hari Pers Nasional (HPN)
09 Februari : Hari Kavaleri
14 Februari : Hari Peringatan Pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA)
14 Februari : Hari Kasih Sayang (Internasional)
22 Februari : Hari Istiqlal
28 Februari : Hari Gizi Nasional Indonesia

Bulan Maret

01 Maret : Hari Peringatan Peristiwa Serangan Umum di Yogyakarta
01 Maret : Hari Kehakiman Nasional
06 Maret : Hari KOSTRAD (Komando Strategis Angkatan Darat)
08 Maret : Hari Perempuan (Internasional)
09 Maret : Hari Musik Nasional
10 Maret : Hari Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI)
11 Maret : Hari Surat Perintah 11 Maret (Supersemar)
15 Maret : Hari Hak Konsumen Sedunia (Internasional)
17 Maret : Hari Perawat Nasional
18 Maret : Hari Arsitektur Indonesia
20 Maret : Hari Dongeng Sedunia (Internasional)
21 Maret : Hari Puisi Sedunia (Internasional)
21 Maret : Hari Down Syndrome (Internasional)
21 Maret : Hari Hutan Sedunia (Internasional)
22 Maret : Hari Air Sedunia (Internasional)
23 Maret : Hari Meteorologi Sedunia (Internasional)
24 Maret : Hari Peringatan Bandung Lautan Api
24 Maret : Hari Tuberkulosis Sedunia (Internasional)
30 Maret : Hari Film Indonesia

Bulan April

01 April : Hari Bank Dunia (Internasional)
02 April : Hari Peduli Autisme Sedunia (Internasional)
02 April : Hari Buku Anak Sedunia (Internasional)
06 April : Hari Nelayan Indonesia
07 April : Hari Kesehatan (Internasional)
09 April : Hari TNI Angkatan Udara (TNI AU)
16 April : Hari KOPASSUS (Komando Pasukan Khusus)
17 April : Hari Hemophilia Sedunia (Internasional)
18 April : Hari Peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA)
19 April : Hari Pertahanan Sipil (HANSIP)
20 April : Hari Konsumen Nasional
21 April : Hari Kartini
22 April : Hari Bumi (Internasional)
23 April : Hari Buku Sedunia (Internasional)
24 April : Hari Angkutan Nasional
24 April : Hari Solidaritas Asia-Afrika
25 April : Hari Malaria Sedunia (Internasional)
26 April : Hari Kekayaan Intelektual Sedunia (Internasional)
27 April : Hari Pemasyarakatan Indonesia
28 April : Hari Puisi Nasional
28 April : Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja (Internasional)
29 April : Hari Tari (Internasional)

Bulan Mei

01 Mei : Hari Buruh Sedunia (Internasional)
01 Mei : Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat
02 Mei : Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas)
05 Mei : Hari Lembaga Sosial Desa (LSD)
05 Mei : Hari Bidan (Internasional)
17 Mei : Hari Buku Nasional
20 Mei : Hari Kebangkitan Nasional
21 Mei : Hari Peringatan Reformasi
29 Mei : Hari Keluarga
31 Mei : Hari Tanpa Tembakau Sedunia (Internasional)

Bulan Juni

01 Juni : Hari Lahir Pancasila
01 Juni : Hari Anak-anak Sedunia (Internasional)
03 Juni : Hari Pasar Modal Indonesia
05 Juni : Hari Lingkungan Hidup Sedunia (Internasional)
08 Juni : Hari Laut Sedunia
21 Juni : Hari Krida Pertanian
24 Juni : Hari Bidan Nasional
26 Juni : Hari Anti Narkoba Sedunia (Internasional)
29 Juni : Hari Keluarga Berencana (KB)

Bulan Juli

01 Juli : Hari Bhayangkara
05 Juli : Hari Bank Indonesia
09 Juli : Hari Satelit Palapa
12 Juli : Hari Koperasi Indonesia
17 Juli : Hari Keadilan (Internasional)
22 Juli : Hari Kejaksaan
23 Juli : Hari Anak Nasional
29 Juli : Hari Bhakti TNI Angkatan Udara

Bulan Agustus

01 Agustus : Hari ASI Sedunia (Internasional)
05 Agustus : Hari Dharma Wanita Nasional
08 Agustus : Hari Ulang Tahun ASEAN
09 Agustus : Hari Masyarakat Adat (Internasional)
10 Agustus : Hari Veteran Nasional
10 Agustus : Hari Kebangkitan Teknologi Nasional
12 Agustus : Hari Remaja (Internasional)
14 Agustus : Hari Pramuka (Praja Muda Karana)
17 Agustus : Hari Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
18 Agustus : Hari Konstitusi Republik Indonesia
19 Agustus : Hari Departemen Luar Negeri Indonesia
21 Agustus : Hari Maritim Nasional

Bulan September

01 September : Hari Jantung Dunia (Internasional)
01 September : Hari Polisi Wanita (POLWAN)
03 September : Hari Palang Merah Indonesia (PMI)
04 September : Hari Pelanggan Nasional
08 September : Hari Aksara (Internasional)
08 September : Hari Pamong Praja
09 September : Hari Olah Raga Nasional
11 September : Hari Radio Republik Indonesia (RRI)
14 September : Hari Kunjung Perpustakaan
15 September : Hari Demokrasi (Internasional)
16 September : Hari Ozon (Internasional)
17 September : Hari Perhubungan Nasional
17 September : Hari Palang Merah Nasional
21 September : Hari Perdamaian Dunia (Internasional)
24 September : Hari Tani Nasional
26 September : Hari Statistik
27 September : Hari Pos Telekomunikasi Telegraf (PTT)
28 September : Hari Kereta Api
28 September : Hari Jantung Sedunia (Internasional)
29 September : Hari Sarjana Nasional
30 September : Hari Peringatan Pemberontakan G30S/PKI

Bulan Oktober

01 Oktober : Hari Kesaktian Pancasila
01 Oktober : Hari Vegetarian Sedunia (Internasional)
01 Oktober : Hari Lanjut Usia (Internasional)
02 Oktober : Hari Batik Nasional dan Hari Batik Dunia
05 Oktober : Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI)
05 Oktober : Hari Guru Sedunia (Internasional)
10 Oktober : Hari Kesehatan Jiwa Sedunia (Internasional)
14 Oktober : Hari Penglihatan Dunia (Internasional)
15 Oktober : Hari Hak Asasi Binatang (Internasional)
16 Oktober : Hari Pangan Sedunia (Internasional)
16 Oktober : Hari Parlemen Indonesia
20 Oktober : Hari Osteoporosis Sedunia (Internasional)
24 Oktober : Hari Dokter Indonesia
24 Oktober : Hari Perserikatan Bangsa-bangsa (Internasional)
27 Oktober : Hari Penerbangan Nasional
27 Oktober : Hari Listrik Nasional
28 Oktober : Hari Sumpah Pemuda
30 Oktober : Hari Keuangan
31 Oktober : Hari Halloween (Internasional)

Bulan November

05 November : Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional
10 November : Hari Ganefo
10 November : Hari Pahlawan
11 November : Hari Bangunan Indonesia
12 November : Hari Kesehatan Nasional
12 November : Hari Ayah Nasional
14 November : Hari Brigade Mobil (BRIMOB)
14 November : Hari Diabetes Sedunia (Internasional)
20 November : Hari Anak (Internasional)
21 November : Hari Pohon (Internasional)
21 November : Hari Televisi Sedunia (Internasional)
22 November : Hari Perhubungan Darat Nasional
25 November : Hari Guru (PGRI)
28 November : Hari Menanam Pohon Indonesia
29 November : Hari KORPRI (Korps Pegawai RI)

Bulan Desember

01 Desember : Hari Artileri
01 Desember : Hari AIDS Sedunia (Internasional)
03 Desember : Hari Penyandang Cacat (Internasional)
07 Desember : Hari Penerbangan Sipil (Internasional)
09 Desember : Hari Armada Republik Indonesia
09 Desember : Hari Anti Korupsi Sedunia
10 Desember : Hari Hak Asasi Manusia
12 Desember : Hari Transmigrasi
13 Desember : Hari Nusantara
15 Desember : Hari Juang Kartika TNI-AD (Hari Infanteri)
19 Desember : Hari Bela Negara
20 Desember : Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional
22 Desember : Hari Ibu Nasional
22 Desember : Hari Sosial
25 Desember : Hari Natal

Religi Sunda: Menggugat Stempel Hindu-Budha


H. Purwanta
religi sunda
Sejarawan/Arkheolog sangat suka mengkategorikan nusantara pada periode klasik sebagai dipengaruhi oleh Hindu/Budha. Salah satunya adalah ketika menjelaskan keberagamaan masyarakat Sunda. Saat menjelaskan kerajaan Sunda, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II antara lain dituliskan sebagai berikut:

Di Jawa Barat terdapat beberapa buah kerajaan kecil. Selain pusat kerajaan Galuh yang diperintah oleh raja Sena sebelum dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, masih ada kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan Kuningan diperintah oleh Sang Seuweukarma, dan yang rupanya cukup disegani oleh Sanjaya, yaitu kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda ini dikatakan letaknya di sebelah barat Citarum, dan masih dari Carita Parahyangan diketahui bahwa Sanjaya adalah menantu raja Sunda yang bergelar Tohaan (Yang Dipertuan) di Sunda, yaitu Tarusbawa.
Berdasarkan berita-berita yang diperoleh dapat diduga bahwa agama yang dianut pada zaman Sanjaya ialah agama Hindu dari mazhab Siwa. Hal ini antara lain dinyatakan oleh prasasti Canggal, yang memuja dewa Siwa lebih banyak dibandingkan dengan pemujaan kepada kedua dewa Trimurti lainnya. Tentang sifat keagamaan ini, juga tidak bertentangan dengn berita Carita Parahyangan, yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh raja Galuh adalah sewabakti ring balara upati. Upati tentulah rusakan dari kata Sanskerta Utpali atau Utpala, yaitu nama lain untuk Yama, dewa pencabut nyawa. Menurut dongeng-dongeng Bali, Yama ini mempunyai sifat-sifat yang sarna, baik dengan Siwa maupun dengan Kala, dan pemujaan terhadap para dewa itu pun tidak pula berbeda.” Di dalam tradisi sastra Jawa dan Sunda, Utipati ini kini kadang-kadang berubah Utipati, Otipati, atau Odipati. “
Rupanya, pada masa itu sudah tampak, ada tanda-tanda makin berkembangnya pengaruh agama Buddha, yang sebagaimana diketahui kemudian menjadi agama resmi raja-raja Mataram yang mendirikan Borobudur. Tentang ini pun, Carita Parahyangan sudah memberikan petunjuknya, melalui nasihat yang diberikan oleh Sanjaya kepada Rahyang Tamperan, anaknya: … haywa dek nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang reya…, janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak.”

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa sejarawan/arkheolog mengarahkan keberagamaan masyarakat Sunda sebagai “Hindu dari mazhab Siwa”. Pandangan mereka tentu tidak lah sembarangan dan pasti disertai bukti-bukti kuat. Sebagai landasan pandangan mereka paling tidak ada dua, yaitu prasasti Canggal dan Carita Parahiyangan. Agar lebih jelas, di bawah ini disampaikan isi prasasti Canggal:

Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung (Bait 1). Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu (Bait 2-6). Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa (Bait 7). Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung (Bait 8-9). Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha) (Bait 10-11). Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang (Bait 12)

Dari kutipan di atas, tidak ada satu pun kata Hindu atau pun Budha tercantum pada prasasti. Penempatan kerajaan Sunda sebagai beragama Hindu lebih didasarkan pada penyebutan Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu pada prasasti. Siwa, Brahma dan Wisnu memang panteon agama Hindu di India dan dipuja sebagai dewa tetinggi. Permasalahannya adalah apakah di nusantara, khususnya di Sunda, ketiga dewa itu juga dimaknai sama dengan yang ada di India? Dengan kata lain, apakah masyarakat nusantara sama dengan masyarakat India dalam memuja ketiga dewa itu? Jawabnya bisa ya, tapi kemungkinan besar tidak.
Dalam kajian Heidegger, pembaca atau uadience ketika memaknai teks, bukan hanya untuk memahami isi teks, tetapi lebih-lebih untuk menemukan peluang yang disediakan oleh teks demi pengembangan diri pembaca. Contoh kontemporer adalah rantai pada celana yang beberapa waktu lalu populer di kalangan anak muda Indonesia.
dompet-rantai
Tidak dipungkiri bahwa fenomena rantai itu diambil dari Amerika Latin. Akan tetapi, maknanya sama sekali berbeda, bahkan tidak dapat dikatakan apabila anak muda Indonesia mengadopsi Amerika Latin. Di Indonesia makna rantai adalah untuk keamanan dan fashion, sedang di Amerika Latin sebagai ungkapan solidaritas terhadap mereka yang dipenjara. Dari sudut pandang ini, dengan menganut pola yang sama, pengambilan Siwa, Brahma dan Wisnu dari tradisi India adalah untuk mengembangkan religi masyarakat nusantara dan bukan untuk menjadi beragama Hindu atau menjadi orang India dalam memuja ketiga dewa.
Bagaimana posisi dewa-dewi bernama India itu dalam religi masyarakat Sunda? Kedudukan mereka dijelaskan dalam Shangyang Siksakanda ng Karesian sebagai berikut:

Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti ka Batara! Basana: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara: Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan preityaksa.
Ini na parmanggihkeuneun dina sakala, tangtu batara di bwana pakeun pageuh jadi manik sakurungan, pakeuneun teja sabumi. Hulun bakti di tohaan, ewe bakti di laki, anak bakti di bapa, sisya bakti di guru, mantri bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata.

Terjemahan ke bahasa Indonesia sebagai berikut:

Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwa baktilah kepada Batara! Ujarnya: Indra. Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala Semua menemukan “Yang Hak” dan “Yang Wujud”.
Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Batara di dunia agar teguh menjadi “Permata di dalam sangkar”, untuk cahaya seluruh dunia, Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata.

Penggalan Shangyang Siksskanda ng Karesian alinea ke dua di atas memberi gambaran bangun etika sosial yang terdapat pada masyarakat Sunda, yaitu: “Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru”, etika politik, yaitu “mantri tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata”.

Penjenjangan tidak hanya terjadi pada sosial politik, tetapi juga pada religi. Pada baris terakhir alinea pertama dijelaskan bahwa dewa-dewi yang namanya diambil dari pantheon masyarakat India, semua berbakti kepada Batara Seda Niskala. Dengan demikian, dalam religi masyarakat Sunda, para dewa berada di bawah Batara Seda Niskala atau pada teks lain juga disebut sebagai Batara Tunggal dan Batara Jagat. Hal ini jelas berbeda dengan religi masyarakat India yang menempatkan ketiga dewa (Brahma, Siwa dan Wisnu) sebagai yang tertinggi. Oleh karena itu menjadi aneh kalau masyarakat nusantara, khususnya Sunda, dinamakan sebagai beragama Hindu.

Kita akan melanjutkan untuk mencermati pandangan sejarawan tentang keberagamaan masyarakat Sunda. Dikatakan berdasarkan penggalan Carita Parahyangan yang menyatakan bahwa “nasihat yang diberikan oleh Sanjaya kepada Rahyang Tamperan, anaknya: … haywa dek nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang reya…, janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak”, sejarawan/arkheolog menengarai adanya fenomena makin berkembangnya pengaruh agama Buddha.
Teks yang dikutip pada Sejarah Nasional Indonesia itu penggalan kalimat terakhir dari Carita Parahiyangan bagian XIV. Agar memperoleh pemahaman komprehensif, kiranya akan baik kalau membaca secara lebih lengkap. Pada artikel ini dikutipkan bagian XIII dan XIV, untuk lengkapny silahkan buka

XIII

Sakitu ménakna, ini tangtu Rahiyang Sempakwaja. Ndéh nihan ta ujar Rahiyangtang Kuku, lunga ka Arile, ngababakan na Kuningan. Kareungeu ku Rahiyangtang Kuku, inya Sang Seuweukarma ngadeg di Kuningan, seuweu Rahiyang Sempakwaja; ramarénana pamarta ngawong rat kabéh. Dayeuh para dayeuh, désa paradésa, nusa paranusa. Ti KeIing bakti ka Rahiyangtang Kuku: Rahiyangtang Luda di Puntang. Rahiyangtang Wulukapeu di Kahuripan. Rahiyangtang Supremana di Wiru. Rahiyang Isora di Jawa. Sang ratu Bima di Bali. Di kulon di Tungtung Sunda nyabrang ka désa Malayu: Rahiyangtang Gana ratu di Kemir. Sang Sriwijaya di Malayu. Sang Wisnujaya di Barus. Sang Brahmasidi di Keling. Patihnira Sang Kandarma di Berawan. Sang Mawuluasu di Cimara-upatah. Sang Pancadana ratu Cina. Pahi kawisésa, kena inya ku Rahiyangtang Kuku. Pahingadegkeun haji sang manitih Saunggalah. Pahi ku Sang Seuweukarma kawisésa, kena mikukuh tapak Dangiyang Kuning. Sangucap ta Rahiyang Sanjaya di Galuh, “Kumaha sang apatih, piparéntaheun urang ?. Hanteu di urang dipikulakadang ku Rahiyangtang Kuku. Sang apatih, leumpang, dugaan ku kita ka Kuningan. Sugan urang dipajar koyo ilu dina kariya, ja urang hanteu dibéré nyahoan, daék lunga.” Sang patih teka maring Kuningan, marék ka kadaton, umun bakti ka Rahiyangtang Kuku. Ujar Rahiyangtang Kuku, “Deuh sang apatih, na naha na béja kita, mana kita datang ka dinih?” Ujar sang apatih, “Kami pun dititahan Rahiyangtang Sanjaya. Disuruh ngadugaan ka dinih. Saha nu diwastu dijieun ratu?” Carék Rahiyangtang Kuku, “U sang apatih, yogya aing diwastu dijieun ratu ku na urang réa. Ngan ti Rahiyang Sanjaya ma hanteu nitah ku dék kulakadang deung hamo ka kami, ja bogoh maéhan kulakadang baraya. Ja aing ogé disalahkeun ka Kuningan ku Rahiyang Sempakwaja. Aing beunang Rahiyang Sempakwaja nyalahkeun ka Kuningan ini. Mana aing mo dijaheutan ku Rahiyang Sanjaya.” Pulang deui sang apatih ka Galuh. Ditanya ku Rahiyang Sanjaya, “Aki, kumaha carék Rahiyangtang Kuku ka urang?” “Pun Rahiyang Sanjaya! Rahiyangtang Kuku teu meunang tapana. Mikukuh Sanghiyang Darma kalawan Sanghiyang Siksa. Nurut talatah Sang Rumuhun, gawayangkeun awak carita. Boh kéh ku urang turut tanpa tingtimanana. Biyaktakeun ku urang, ja urang sarwa kaputraan, urang deung Tohaan pahi anak déwata. Ndéh inalap pustaka ku Rahiyang Sanjaya. Sadatang inungkab ikang pustaka. Sabdana tangkarah, “Ong awignam astu krétayugi balem raja kretayem rawanem sang tata dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang aparanya ratuning déwata sang adata adininig ratu déwata sang sapta ratu na caturyuga.” “Dah umangen-angen ta Sang Resi Guru sidem magawéy Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati. Mangkana manak Rahiyangtang Kulikuli, Rahiyangtang Surawulan, Rahiyangtang Pelesawi. Rahiyangtang Rawunglangit, kamiadi Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun mangka manak Rahiyangtang Sempakwaja, Rahiyangtang Mandiminyak. Rahitangtang Mandiminyak mangka manak Sang Séna, Rahiyang Sang Séna mangka manak Rahiyang Sanjaya.”

XIV

Bo geulisan Dobana bawa bahetra piting deupa, bukana bwatan sarwo sanjata. “Urang ka nusa Demba!” Data sira lunga balayar. Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek mwatkeun Pwah Sang kari Pucanghaji Tunjunghaji ditumpakkeun dina liman putih. Dék ngajangjang turut buruan; momogana teka Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma ka nusa Demba, tuluy ka kadatwan, calik tukangeun Sang Siwiragati. Rahiyangtang Kuku dihusir ku liman putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari. Hanteu aya pulang deui ka kadatwan liman putih ta, bakti ka Rahiyangtang Kuku. Pulang deui Rahiyangtang Kuku ka Arile, dibawa na liman putih deung Pwah Sangkari. Manguni : “Naha hanteu omas saguri, sapetong, sapaha sapata-payan?” Tuluy ka Galuh ka Rahiyang Sanjaya, hanteu sindang ka Arile. Dibawa na liman putih, dirungkup ku lungsir putih tujuh kayu diwatang ku premata mas mirah komara hinten. Datang siya ti désa Demba, tuluy ka kadatwan. Sateka Rahiyangtang Kuku ring kadaton, mojar ka Rahiyang Sanjaya. naha suka mireungeuh liman putih. Tanyana: “Mana?” “Tuluy dipitutunggangan, diaseukeun Pwah Sangkari ka Rahiyang Sanjaya. Sateka ring dalem hanteu pulang deui. Dah Rahiyang Sanjaya: “Naha tu karémpan? Aing ayeuna kreta, aing deung bapangku, Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma. Hanteu ngalancan aing ayeuna. Ajeuna nu tangkarah : “Alas Dangiyang Guru di tengah, alas Rahiyang Isora di wétan paralor Paraga deung Cilotiran, ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda.” Dah sedeng pulang Rahiyangtang Kuku ka Arile, sadatang ka Arile panteg hanca di bwana, ya ta sapalayaga dirgadisi lodah. Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang Tamperan: “Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya.” Lawasniya ratu salapan tahun, disiliban ku Rahiyang Tamperan.

Pada kutipan bagian XIII diceritakan tentang Rahiyangtang Kuku yang membangun kekuasaan di Arile, Kuningan dengan bergelar Seuweukarma. Dia memperoleh kesuksesan dan bahkan kekuasaannya menjulang sampai Keling dan Cina. Hal itu membuat Sanjaya yang bertahta di Galuh merasa iri terhadap kekuasaan Seuweukarma yang tidak lain adalah pamannya. Dia mengutus patih untuk ke kuningan. Sepulangnya ke Galuh, patih menceritakan bahwa kesuksesan Rahiyangtang Kuku adalah karena kuatnya tapa yang dilakukan, serta selalu menjalankan nasehat-nasehat leluhur yang terdapat pada Sanghiyang Darma dan Sanghiyang Siksa.
Pada bagian XIV diceritakan tentang usaha Rahiyangtang Kuku untuk membuat gembira hati Sanjaya. Dia pergi ke pulau Demba dan berhasil memperoleh gajah putih beserta puteri cantik bernama Pwah Sangkari. Dari pulau Demba, dia langsung ke istana Galuh untuk memberikan gajah putih, puteri Pwah Sangkari beserta emas berlian kepada Sanjaya sebagai hadiah. Hal itu membuat Sanjaya gembira dan menyatakan bahwa antara dia dengan pamannya tidak ada lagi permusuhan. Setelah selesai, Rahiyangtang Kuku pulang ke Arile di Kuningan. Sesampai di istananya, Rahiyangtang Kuku mangkat. Mendengar itu, Rahiyang Sanjaya menasehati anaknya, Rakeyan Panaraban, yaitu Rahiyang Tamperan: ‘Jangan ikuti cara saya, karena saya telah membuat orang-orang takut padaku. “
Dengan menyimak teks Carita Parahiyangan secara lebih lengkap tampak bahwa kata atau istilah “agama” pada teks, sama sekali tidak ada kaitannya dengan Hindu maupun Budha. Kata “agama” di situ lebih merupakan cara, perilaku dan sifat Rahiyang Sanjaya yang dipenuhi rasa iri dan permusuhan terhadap pamannya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sejarawan/arkheolog memaksakan stempel Hindu/Budha pada masyarakat Sunda?

Sumber : http://citralekha.com/religi-sunda/

Pemilu Dalam Sejarah

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan" Demokrasi perwakilan adalah sebuah varietas demokrasi yang didirikan di atas dasar prinsip sedikit orang yang dipilih untuk mewakili sekelompok orang yang lebih banyak (sumber id.wikipedia.org)

Pemilihan Umum atau disingkat Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi di NKRI. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan (kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya (representative democracy) adalah melalui Pemilu. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

Pemilu 1955

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia setelah kemerdekaan tahun 1945. Inilah tonggak pertama masyarakat Indonesia belajar tentang demokrasi. Indonesia baru yang sangat muda terseok- seok dalam mempersiapkan pemilu. Situasi keamanan yang belum kondusif, kabinet yang penuh friksi, dan gagalnya pemerintahan baru menyiapkan perangkat Undang-Undang pemilu membuat pemungutan suara baru bisa dilaksanakan 10 tahun setelah kemerdekaan.
Dalam pemilu pertama ini masyarakat memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Konstituante adalah lembaga negara yang ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar baru menggantikan UUD sementara 1950. Anggota angkatan bersenjata dan polisi ikut berpartisipasi dalam pemungutan suara.
Pemilu tahun 1955 diadakan dalam dua periode. Pada periode pertama tanggal 29 September 1955 masyarakat memilih anggota DPR. Lalu, pada periode kedua pada 15 Desember 1955 masyarakat memilih anggota Konstituante. Tak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri.
Pada Maret 1956 parlemen terbentuk dengan jumlah angggota sebanyak 272 orang. Ada 17 fraksi yang mewakili 28 partai peserta pemilu, organisasi, dan perkumpulan pemilih. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang. Mereka dilantik pada 10 November 1956.
Selanjutnya, kondisi politik Indonesia pasca pemilu 1955 sarat dengan berbagai konflik. Akibatnya, pemilu berikutnya yang dijadwalkan pada tahun 1960 tidak dapat terselenggara. Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959 yang membubarkan DPR dan Konstituante hasil pemilu 1955 serta menyatakan kembali ke UUD 1945. Soekarno secara sepihak membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat oleh presiden.

Pemilu 1971

Gonjang-gonjang politik pasca pemilu 1955 berujung pada huru-hara gerakan 30 september Partai Komunis Indonesia pada tahun 1966. Presiden Soekarno yang memimpin Indonesia sejak tahun 1945 akhirnya lengser satu tahun kemudian. Pada tahun 1968 Soeharto ditetapkan oleh MPR Sementara sebagai Presiden Indonesia. Era kepemimpinan Soeharto selanjutnya disebut sebagai zaman orde baru, untuk membedakan dengan zaman Soekarno yang disebut sebagai orde lama.
Tiga tahun memerintah Indonesia, Soeharto akhirnya menggelar pemilu kedua yang tertunda-tunda di negeri ini pada 5 Juli 1951. Ini adalah pemilu pertama setelah orde lama atau pemilu pertama di zaman orde baru. Pemilu diikuti oleh 10 partai politik dari beragam aliran politik. Hal baru yang menarik pada pemilu tahun ini adalah ketentuan yang mengharuskan semua pejabat negara bersikap netral. Ini berbeda dengan pemilu tahun 1955 di mana para pejabat negara yang berasal dari partai ikut menjadi calon partai secara formal. Namun, dalam prakteknya, para pejabat negara berpihak ke salah satu peserta pemilu yaitu Golongan Karya. "Rekayasa politik" orde baru yang berlangsung hingga 1998 di mulai pada tahun ini. Sejumlah kebijakan ditelurkan demi menguntungkan Golongan Karya.

Pemilu Orde Baru (1977-1997)
Pasca pemilu 1971 ada lima pemilu yang diselenggarakan di bawah rezim orde baru, yaitu pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Lima pemilu itu berlangsung "seragam" dan diikuti oleh dua partai yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Pemilu selalu dimenangkan oleh Golongan Karya dan MPR selalu menunjuk Soeharto sebagai Presiden.
Setelah pemilu 1971 yang diikuti 10 konstestan, terbitlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Undang-Undang baru ini mengatur soal penggabungan partai politik. Sembilan partai politik yang ada diciutkan menjadi hanya dua. Partai-partai beraliran islam bergabung dalam satu wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara, partai-partai di luar islam bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kedua partai itu bertarung dengan Golongan Karya dalam setiap pemilu di masa orde baru.
Selama periode orde baru masyarakat Indonesia memilih partai dalam setiap pemilu. Lalu partai menentukan siapa yang menjadi wakil rakyat di Dewan Permusyarawatan Rakyat (DPR). Semua anggota DPR adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selain anggota DPR, anggota MPR berisikan utusan golongan. MPR bermusyawarah untuk menunjuk presiden.
Pemilu 1977 : 2 Mei
Pemilu 1982 : 4 Mei
Pemilu 1987 : 23 April
Pemilu 1992 : 9 Juni
Pemilu 1997 : 29 Mei

Pemilu 1999

Pemilu 1999 merupakan tonggak baru demokrasi Indonesia. Penguasa Orde Baru Soeharto mundur dari kekuasaan pada 20 Mei 1998 karena desakan masyarakat. BJ Habibie yang semula adalah wakil presiden naik menjadi Presiden menggantikan Soeharto. Roh demokrasi yang semasa rezim orde baru dipasung hidup kembali. Ratusan partai politik terbentuk dan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu. Komisi Pemilihan Umum melakukan seleksi dan meloloskan 48 partai politik. Golkar yang semula bukan partai di tahun ini berubah menjadi partai politik. Lima besar partai pemenang pemilu adalah:

No Partai Suara Persen Kursi DPR
1 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 35.689.073 33,74 153
2 Partai Golkar  23.741.749 22,44 120
3 Partai Persatuan Pembangunan 11.329.905 10,71 58
4 Partai Kebangkitan Bangsa 13.336.982 12,61 51
5 Partai Amanat Nasional 7.528.956 7,12 34

Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi partai pemenang, namun ketua umum partainya, Megawati Soekarnoputri, gagal menjadi presiden. Di zaman ini presiden masih dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Musyawarah di MPR memutuskan mengangkat Abdurrahman Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa sebagai presiden dengan Megawati sebagai wakil presiden.

Pemilu 2004

Pemilu 2004 menjadi catatan sangat penting dalam sejarah pemilu di Indonesia. Pada tahun ini untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih langsung wakilnya di parlemen dan pasangan presiden dan wakil presiden. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu pelaksanaan pemilu dibagi menjadi dua yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Pemilu legislatif
Pemilu legislatif digelar sebagai rangkaian pertama pada 5 April 2004 dan diikuti 24 partai politik. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju pada pemilihan Presiden.
Hasil lima besar pemilu legislatif 2004

No Partai Suara Persen Kursi DPR
1 Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58 128
2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,53 109
3 Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57 52
4 Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15 58
5 Partai Demokrat 8.455.225 7,45 57

Pemilu Presiden
Pemilu presiden tahun 2004 diikuti lima pasang calon yaitu,
  1. Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla
  2. Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi
  3. Wiranto - Solahuddin Wahid
  4. Amien Rais – Siswono YudoHusodo
  5. Hamzah Haz – Agum Gumelar
Hasil pemilu presiden putaran pertama 5 April 2004
Ranking Pasangan Capres Suara Persen
1 Susilo B.Y. - J. Kalla 36.070.622 33.58 %
2 Megawati - Hasyim M. 28.186.780 26.24 %
3 Wiranto-Sallahudin W. 23.827.512 22.19 %
4 AmienRais - Siswono Y.H. 16.042.105 14.94 %
5 Hamzah H. - Agum G. 3.276.001 3.05 %
Jumlah Suara 107.403.020 100%
Sumber data : KPU

Karena tidak ada yang memperoleh suara 50 persen plus satu, maka diselenggarakan putaran kedua yang diikuti oleh dua besar yaitu pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla dan Megawati Soekarno putri - Hasyim Muzadi.
Hasil pemilu presiden putaran kedua 5 Juli 2004

PEMILU 2009

Pemilu Legislatif 2009 digelar pada 9 April 2009 dan diikuti 38 partai politik. Ribuan calon anggota legislatif memperebutkan 560 kursi DPR, 132 kursi DPD, dan banyak kursi di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Untuk pertama kalinya, sistem sistem proporsional terbuka diterapkan pada Pileg 2009. Melalui sistem ini, pemilih tak lagi memilih partai politik, melainkan caleg. Penetapan calon terpilih pada suatu daerah pemilihan dilakukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan nomor urut.

Sebanyak 121.588.366 pemilih yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia berpartisipasi dalam pileg 2009. Partai Demokrat yang dipimpin oleh Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangi pileg 2009 dengan meraup 21.703.137 suara atau sebanyak 20,85 persen. Selain itu, ada 8 partai lainnya yang lolos parliamentary threshold, yakni, Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, dan Partai Gerindra.

Hanya Cinta

Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang ke rumah,dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua. Wanita itu berkata: “Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk menganjal perut.”

Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, “Apakah suamimu sudah pulang?”

Wanita itu menjawab, “Belum, dia sedang keluar.”

“Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suami mu kembali,” kata pria itu.

Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, “Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini.”

Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka untuk masuk ke dalam. “Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama,” kata pria itu hampir bersamaan. “Lho, kenapa? tanya wanita itu karena merasa heran.

Salah seorang pria itu berkata, “Nama dia Kekayaan,” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, dan “sedangkan yang ini bernama Kesuksesan”, sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. “Sedangkan aku sendiri bernama Cinta. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa di antara kami yang boleh masuk ke rumahmu.”

Wanita itu kembali masuk kedalam, dan memberitahu pesan pria di luar. Suaminya pun merasa heran. “Ohho… menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”

Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “Sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen gandum kita.”

Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah. “Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Cinta yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan Cinta.”

Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. “Baiklah, ajak masuk si Cinta ini ke dalam. Dan malam ini, Si Cinta menjadi teman santap malam kita.”

Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. “Siapa di antara Anda yang bernama Cinta? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kita malam ini.”

Si Cinta bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta.

Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si Kekayaan dan si kesuksesan. “Aku hanya mengundang si Cinta yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga?”

Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan. “Kalau Anda mengundang si kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena Anda mengundang si Cinta, maka, kemana pun Cinta pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Di mana ada Cinta, maka Kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami buta. Dan hanya si Cinta yang bisa melihat. Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya dengan cinta saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini tanpa cinta kami sudah mati.

Menuai Kasih

Sebuah cerita dari Tiongkok Di sebuah daerah tinggal seorang saudagar kaya raya. Dia mempunyai seorang hamba yang sangat lugu - begitu lugu, hingga orang-orang menyebutnya si bodoh.
Suatu kali sang tuan menyuruh si bodoh pergi ke sebuah perkampungan miskin untuk menagih hutang para penduduk di sana. "Hutang mereka sudah jatuh tempo," kata sang tuan.
"Baik, Tuan," sahut si bodoh. "Tetapi nanti uangnya mau diapakan?"

"Belikan sesuatu yang aku belum punyai," jawab sang tuan.
Maka pergilah si bodoh ke perkampungan yang dimaksud. Cukup kerepotan juga si bodoh menjalankan tugasnya; mengumpulkan receh demi receh uang hutang dari para penduduk kampung. Para penduduk itu memang sangat miskin, dan pula ketika itu tengah terjadi kemarau panjang.
Akhirnya si bodoh berhasil jua menyelesaikan tugasnya. Dalam perjalanan pulang ia teringat pesan tuannya, "Belikan sesuatu yang belum aku miliki."

"Apa, ya?" tanya si bodoh dalam hati.
"Tuanku sangat kaya, apa lagi yang belum dia punyai?"
Setelah berpikir agak lama, si bodoh pun menemukan jawabannya. Dia kembali ke perkampungan miskin tadi. Lalu dia bagikan lagi uang yang sudah dikumpulkannya tadi kepada para penduduk. "Tuanku, memberikan uang ini kepada kalian," katanya.
Para penduduk sangat gembira. Mereka memuji kemurahan hati sang tuan.

Ketika si bodoh pulang dan melaporkan apa yang telah dilakukannya, sang tuan geleng-geleng kepala.
"Benar-benar bodoh," omelnya. Waktu berlalu. Terjadilah hal yang tidak disangka-sangka; pergantian pemimpin karena pemberontakan membuat usaha sang tuan tidak semulus dulu.
Belum lagi bencana banjir yang menghabiskan semua harta bendanya.

Pendek kata sang tuan jatuh bangkrut dan melarat. Dia terlunta meninggalkan rumahnya. Hanya si bodoh yang ikut serta. Ketika tiba di sebuah kampung, entah mengapa para penduduknya menyambut mereka dengan riang dan hangat, mereka menyediakan tumpangan dan makanan buat sang tuan.

"Siapakah para penduduk kampung itu, dan mengapa mereka sampai mau berbaik hati menolongku?" tanya sang tuan.
"Dulu tuan pernah menyuruh saya menagih hutang kepada para penduduk miskin kampung ini," jawab si bodoh.
"Tuan berpesan agar uang yang terkumpul saya belikan sesuatu yang belum tuan punyai. Ketika itu saya berpikir, tuan sudah memiliki segala sesuatu.Satu-satunya hal yang belum tuanku punyai adalah cinta di hati mereka.Maka saya membagikan uang itu kepada mereka atas nama tuan. Sekarang tuan menuai cinta mereka."

Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia

Sejarah singkat hari buruh

Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei.

Pada tanggal 4 Mei 1886. Para Demonstran melakukan pawai besar-besaran, Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran tersebut sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati, para buruh yang meninggal dikenal sebagai martir. Sebelum peristiwa 1 Mei itu, di berbagai negara, juga terjadi pemogokan-pemogokan buruh untuk menuntut perlakukan yang lebih adil dari para pemilik modal.

Pergerakan buruh Indonesia

Pergerakan buruh di Indonesia penuh dengan liku-liku sejarah yang panjang dan melelahkan. Beberapa tonggak sejarah besar dan berpengaruh telah ditancapkan oleh buruh Indonesia. Namun, masa panjang perjuangan pergerakan buruh Indonesia tidak akan berakhir.

1878
Muncul serikat buruh guru Bahasa Belanda yang dipengaruhi oleh pergerakan sosial demokrat di Belanda. Pada masa itu serikatburuh tampil sebagai organisasi golongan yang hanya menampung kulit putih.

1879
Lahir Nederland Indische Onderwys Genootschap (NIOG),Serikat Pekerja Guru Belanda.

1905
Lahir Serikat Pekerja Pos (Pos Bond).

1906
Lahir Serikat Pekerja Perkebunan (Cultuur Bond) dan SerikatPekerja Gula (Zuiker Bond).

1907
Lahir Serikat Pegawai Pemerintah.

1908
Lahir Vereniging Spoor-Traam Personeel (VSTP) dipimpin oleh Semaoen.

1909
Pada 26 September di kalangan Tionghoa di Jakarta dibentuk Tiong Hoa Sim Gie dipimpin oleh Lie Yan Hoei. Empat bulan kemudian kelompok ini merubah nama menjadi Tiong Hoa Keng Kie Hwee yang kemudian menjadi inti dari Federasi Kaoem Boeroeh Tionghoa.

1911
Lahir Perkumpulan Bumi Putra Pabean (PBPP).

1912
Lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bergerak di bidang perekonomian dan perdagangan, Serikat Islam sebagai serikatburuh kaum pribumi dan Persatuan Guru Bantu (PGB).

1913
Lahir Serikat Pekerja Kereta Api (Spoor Bond).

1914
Lahir Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB).

1915
Lahir Serikat Pekerja Perusahaan Swasta (Partikulir) / (SPPP).

1916
Lahir Serikat Pekerja Opium Regie Bond (ORB).

1917
Lahir Serikat Pekerja Pabrik Gula.

1918
Pada bulan Agustus lahir PFB (Personeel Fabriek Bond) yang beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan Tani dan koperasi yang kemudian lazim disebut sebagai Sarekat Tani dengan anggota kuli kenceng atau pemilik tanah yang disewa pabrik, serta Perserikatan Kaum Buruh Umum (PKBO) yang beranggotakan buruh musiman. Ketiga perhimpunan itu diketuai Suryopranoto yang juga menyebut dirinya sebagai komandan Tentara Buruh Adidarmo.

1919
Lahir Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dipimpin oleh Semaoen.

1920
Pemogokan buruh terjadi pada 72 pabrik gula di seluruh Jawa. Dari jumlah itu 28 pemogokan terjadi pada masa sebelum dan sesudah giling yang meliputi 4.700 pekerja; sedangkan pemogokan yang lain terjadi dalam masa giling (dari bulan Mei sampai Oktober) dengan pemogokan terdiri dari 20.716 orang. Pemogokan yang terjadi di luar musim giling biasanya terpaksa dilakukan sebagai reaksi tindakan pengusaha yang dianggap tidak adil dan sewenang-wenang. Dari jumlah 4.700 pemogok sebagian besar terdiri dari tukang yang berperan penting dalam menjalankan proses produksi di pabrik gula. Pemogokan dalam musim giling biasanya dilakukan atas inisiatif buruh karena motif-motif ekonomis. Gerakan telah dipersiapkan sehingga meskipun pemogok yang terdiri dari buruh tetap hanya mencapai 1.997 orang tetapi mereka mampu memimpin sejumlah besar buruh musiman (7.584 orang) dan buruh tidak tetap sekitar pabrik (11.135 orang).

1920
Para pekerja anggota Personeel Fabrik Bond (PFB) mogok kerja, menuntut majikan supaya mau mengakui keberadaanSerikat Pekerja mereka.

1921
Harga gula, komoditas andalan Belanda di tanah jajahannya jatuh di pasaran dunia. Pemodal Belanda yang mengalami kerugian cukup besar terpaksa harus menekan ongkos produksi secara besar-besaran, diantaranya adalah dengan memangkas upah buruh. Buruknya kondisi kerja waktu itu memicu pergolakan aksi buruh. Pemerintah mengaktifkan kantor Pengawasan Perburuhan yang berada dibawah Departemen Kehakiman. Ia punya bagian yang secara terpusat mengawasi pergerakan serikat buruh dan mengamati kebutuhan dikeluarkannya peraturan hukum baru menyangkut perburuhan.

1922
Para pekerja pelabuhan Surabaya melancarkan aksi mogok kerja, menuntut perbaikan nasib. PPKB dan Revolutionaire Vakcentrale berhasil membangun aliansi yang bernama PVH (Persatuan Vakbond Hindia).

1923
Pegawai Kereta Api mogok kerja. Tuntutan mereka kala itu kurang berhasil. Pemerintah kolonial melarang adanya aksi mogok kerja, yang dilakukan kaum pekerja dan segera dikeluarkan Undang-Undang tentang larangan mogok kerja (artikel 161 bis Buku Hukum Pidana) tanggal 10 Mei 1923. Serikat Pekerja Kereta Api dan Trem-Vereniging van Spoor en Trem Personeel (VSTP) menjadi anggota Gabungan SerikatPekerja International yaitu International Federation of Trade Union (IFTU) yang bermarkas besar di Moskow Rusia.
Revolutionaire Vakcentrale membangun hubungan dengan Profintern (Red International Labour Union) dan menjadi anggotanya.

1924
Pada bulan Juni Serikat Pekerja Indonesia bersama-samaSerikat Pekerja Filipina, India, Jepang dan Tiongkok di undang untuk menghadiri Konferensi Serikat Pekerja Angkutan Laut di Kanton. Dengan demikian keberadaan dan kehidupanSerikat Pekerja di samping Iebih erat menjalin hubungan kerja sama dengan Serikat-Serikat Pekerja Internasional, juga lebih memperkuat posisi.

1926
PVH (Persatuan Vakbond Hindia) berakhir akibat dari kegagalan aksi politik PKI yang disusul penangkapan besar-besaran terhadap aktivis RV.
1930
Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) dibubarkan oleh pemerintah kolonial, dicurigai turut aktif dalam kegiatan perjuangan kebangsaan.

1932
Lahir dua organisasi Serikat Pekerja, yaitu Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) dan Persatuan SerikatPekerja Indonesia (PSPI), yang didirikan oleh dr. Soetomo.

1937
Direktur Intemasional Labour Organization (ILO), Harold B. Butle berkunjung ke Indonesia pada bulan Oktober untuk memperoleh informasi tentang perkembangan kehidupan perburuhan di Indonesia yang akan dijadikan bahan laporan dalam Konfrensi ILO.

1938
Lahir gerakan politik yang bekerja sama dengan gerakanserikat pekerja untuk bersama-sama melindungi dan membebaskan hak-hak dan kepentingan pekerja, memberantas pengangguran, mengantisipasi tantangan industrialisasi yang menggusur lapangan usaha kerajinan rakyat.

1940
Pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Regeling Arberdsverhouding (ORA), suatu peraturan yang mengatur tentang jaminan dan perlindungan kaum pekerja di perusahaan-perusahan swasta (partikelir).

1945
Pada 15 September lahir sebuah organisasi massa buruh yang bernama BBI (Barisan Buruh Indonesia). BBI mengutamakan barisan buruh untuk memudahkan mobilisasi oleh serikatsekerja dan Partai Buruh. Dalam kongresnya pada bulan September 1945 yang dihadiri oleh kaum buruh dan tani, tercetuslah Partai Buruh Indonesia. BBI juga sepakat untuk menuntaskan revolusi nasional. Untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh, BBI membentuk Laskar Buruh bersenjata di pabrik-pabrik. Untuk kaum perempuan dibentuk Barisan Buruh Wanita (BBW).

1946
BBI dilebur menjadi GASBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia). Serikat buruh yang tidak sepakat dengan struktur GASBI keluar dan membentuk GASBV (Gabungan SerikatBuruh Vertikal). Tetapi pada bulan November, tahun yang sama, atas usaha Alimin dan Harjono, GASBI dan GASBV berhasil dilebur menjadi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

1948
SOBSI sempat mengalami perpecahan akibat perbedaan sikap dalam menanggapi perjanjian Renville. Tetapi tidak lama kemudian SOBSI berhasil kembali mengkonsolidasikan pecahan-pecahannya. Bahkan dalam pernyataan politiknya tahun 1948, SOBSI kemudian menegaskan menolak perjanjian Renville. SOBSI kemudian menyatakan keluar dari HISSBI (HimpunanSerikat-serikat buruh Indonesia) karena perbedaan garis politik.

1957
Soekarno mengeluarkan dua konsepsi mengenai kabinet karya dan dewan nasional. Kabinet karya ini adalah kabinet eksekutif yang menampung orang-orang di parlemen dan partai politik. Buruh sebagai golongan fungsional mendapatkan tempat di Dewan Perancang Nasional. Anggota Dewan ini 77 orang, dan dari 77 itu ada lima wakil angkatan buruh/pegawai yaitu dari SOBSI, SOBRI,RKS dan dua orang dari KBKI. Sementara di Dewan Pertimbangan Agung, duduk dua orang wakil dari buruh yaitu dari SOBSI dan KBKI.

1965
Perubahan rezim dari orde lama ke orde baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto banyak sekali perubahan-perubahan atau kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat seperti : ada beberapa organisasi buruh yang dilarang yaitu SOBSI, BTI, dan LEKRA dengan alasan bergabung dengan PKI. Pemerintah orde baru menindak tegas ketika ada gerakan-gerakan buruh atau rakyat yang dianggap bertentangan dengan kebijakan mereka. Dalam waktu singkat dari tahun 1965-1969 negara berhasil mengontrol gerakan buruh dan rakyat secara ketat membatasi ruang gerak aktifitasnya.

1973
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) didirikan sebagai satu-satunya serikat buruh yang diakui pemerintah.

1990
Pada bulan November serikat buruh independen pertama dibentuk dengan nama Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBM-SK) di bawah kepemimpinan HJC. Princen. Karena adanya konflik internal dan tekanan pemerintah, serikat ini berhenti beraktivitas.

1992
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) didirikan pada 25 April oleh sekelompok aktivis pro-demokrasi yang mengadakan “pertemuan buruh nasional” di Cipayung, Jawa Barat. Hadir sekitar 100 buruh dari 18 propinsi. SBSI mendapat dukungan dari Abdurrahman Wahid (NU), Sabam Sirait (PDI) dan Asmara Nababan. Mochtar Pakpahan, seorang lawyer buruh dari Medan menjadi Sekjen SBSI.

1993
Pada 14 Juni, 7 buruh pabrik udang, PT. Tambaksari Jalmorejo di Medan di-PHK karena menjadi anggota SBSI. Kongres SBSI yang sedianya diselenggarakan pada 29 Juli tidak mendapat ijin pemerintah.

1994
Konfederasi Serikat Pekerja Bebas Internasional mengajukan pengaduan resmi terhadap Indonesia ke Organisasi Buruh Internasional, ILO. Mereka menuduh pemerintah menolak hakpekerja untuk membentuk serikat pekerja atas pilihan mereka sendiri, mengganggu organisasi pekerja independen, dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan standar ILO mengenai kebebasan berserikat dan hak untuk tawar-menawar kolektif.
Serikat buruh independen ketiga, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), lahir pada bulan Oktober.
Permohonan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) untuk didaftar sebagai serikat pekerja kembali ditolak pada bulan November. Departemen Tenaga Kerja juga menghalangi niat SBSI untuk mendaftar pada Departemen Dalam Negeri sebagai organisasi sosial di bawah Undang-undang Keormasan. Pemerintah menganggap SBSI tidak sah.

1995
Struktur Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dengan 13 federasi serikat pekerja sektoralnya berubah dari kesatuan (sentralisasi) menjadi federasi (desentralisasi) dengan nama Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI). Ke-13 sektor industrinya didaftar sebagai serikat pekerja nasional yang terpisah; SPSI merupakan satu-satunya federasi serikatpekerja yang diakui oleh Departemen Tenaga Kerja. Menteri Tenaga Kerja menyatakan bahwa serikat pekerja yang dibentuk harus berafiliasi dengan SPSI, dan bahwa pemerintah tidak akan mengakui setiap serikat pekerja di luar federasi.

1996
PPBI membantu mengorganisasi demo buruh pada bulan Juli di Surabaya. Dengan partisipasi sekira 15.000 buruh dari 10 pabrik, demo ini barangkali merupakan demonstrasi terbesar di masa Orde Baru.

1998
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) diakui oleh pemerintah. Ketuanya, Mochtar Pakpahan, dibebaskan pada bulan Mei setelah beberapa tahun mendekam di penjara.

2000
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang SerikatPekerja/Serikat Buruh disahkan di Jakarta pada 4 Agustus oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

2003
Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang merupakan gabungan dari 12 organisasi serikat pekerja melaksanakan kongres pendirian pada bulan Januari di Jakarta.

2004
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang bertujuan untuk memperjuangkan aspirasi Buruh Migran Indonesia di tingkat nasioanal maupun internasional dideklarasikan di Semarang pada tanggal 10 Juli. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Sumatera Utara mendapat kehormatan menjadi tuan rumah kongres World Federation of Clerical Workers (WFCW) pada 1-4 November. WFCW beranggotakan 70 negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika, merupakan federasi dari World Confederation of Labour (WCL), organisasi buruh dunia yang terkuat.

diambil dari berbagai sumber
http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com/2011/06/02/soekarno-dan-pergerakan-buruh/
http://fkispsibekasi.wordpress.com/2011/06/27/sejarah-serikat-buruh-di-indonesia/
http://fkui-sbsipasuruan.blogspot.com/2011/04/sejarah-gerakan-buruh-di-indonesia.html
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=576865279033058&set=a.185914311461492.58951.185906164795640&type=1&relevant_count=1

Londo Ireng (Langkah Darurat Belanda)

Latar Belakang

Belanda kehilangan ribuan tentara Eropa dan jumlah yang jauh lebih besar tentara "pribumi" dalam Perang Jawa melawan Pangeran Diponegoro. Belanda tahun 1827 ditengah-tengah berkecamuknya Perang Diponegoro, mengirim bantuan pasukan satu resimen terdiri dari 3000 orang tentara bayaran kulit putih. Dua tahun kemudian resimen tersebut tinggal 1000 orang.
Ditambah lagi setelah kemerdekaan Belgia pada tahun 1830, populasi Belanda itu jauh berkurang. Otomatis belanda kehilangan rekrutan untuk jadi tentara

Pengrekrutan

Antara 1831 dan 1872 lebih dari tiga ribu orang Afrika direkrut sebagai tentara melalui Belanda Gold Coast. Rekrutmen ini sebenarnya merupakan tindakan darurat. Para tentara Afrika pertama Direkrut di Elmina. Mereka dikerahkan tahun 1832 di Sumatera Selatan. Belanda berhasil merekrut tentara bayaran Afrika. Pengiriman terjadi dalam beberapa gelombang: antara tahun 1831-1836, sebanyak 112 orang, tahun 1837-1841, sebanyak 2100 orang dan antara tahun 1860-1872, 800 orang. Jumlah seluruhnya lebih dari 3000 orang, seluruhnya berstatus bujangan. Serdadu bayaran dari Afrika tersebut bekerja berdasar kontrak untuk 12 tahun dan dapat diperpanjang, dengan gaji 20 gulden/bulan.

Mereka disebar keberbagai lokasi, Semarang, Salatiga, Solo, Surabaya dan Yogyakarta, namun sebagian besar ditempatkan di Garnisun Purworejo pada Tangsi Militer Kedungkebo yang baru selesai dibangun permulaan tahun 1830-an.

Peranan Londo Ireng

Karena perekrutan prajurit ini merupakan sebuah eksperimen, maka banyak laporan lengkap mengenai mereka. Dikatakan prajurit-prajurit Afrika ini pemberani, tapi begitu pecah perang, mereka jalan sendiri-sendiri. Susah diatur! Mereka sebagai prajurit Belanda merasa lebih tinggi daripada orang-orang pribumi. Tapi sikap angkuh ini juga dipupuk oleh Belanda karena jarak sosial dengan penduduk setempat menguntungkan pihak Belanda. P
Uji coba serdadu Afrika tersebut dimulai di Lampung, Sumatra Selatan yang nampak kurang memuaskan, kemudian dalam Perang Paderi di Sumatra Barat dimana sudah nampak kelebihan orang Afrika ini, namun yang dianggap sukses oleh Belanda adalah ikut sertanya 536 serdadu Afrika dalam pasukan yang berkekuatan 7500 orang dalam ekspedisi ketiga penaklukan Bali tahun 1849, (Perang Buleleng) yang berakhir dengan ditundukkannya raja Bali setelah jatuhnya benteng Jagaraga (Singaraja). Setelah ekspedisi berakhir sebanyak 41 orang serdadu Afrika mendapat tanda penghargaan dan citra mereka naik tinggi dimata orang Belanda.
Setelah itu serdadu Afrika ikut aktif dalam ekspedisi ke Timor, Sulawesi, Kalimantan dan tentu saja dalam perang Aceh. Disini seorang perwira dalam laporannya mengatakan bahwa “orang Afrika adalah serdadu-serdadu terbaik dalam KNIL (Serdadu Hindia Belanda)” dan “memperhatikan bahwa orang Aceh sangat segan terhadap orang Afrika”.

Munculnya Kampung African

Belanda tidak menutup mata terhadap prestasi dan jasa orang Afrika ini. Mengingat kedatangan mereka berstatus “bujangan”, mereka menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan perempuan setempat, ada yang sekedar kumpul kebo, namun banyak yang berujung dengan pernikahan. Mereka membangun kehidupan rumah tangga dan sewaktu kontrak mereka habis, mereka yang tidak ingin kembali ke Afrika, memutuskan untuk menetap ditempat dimana mereka terakhir ditugaskan. Inilah kiranya cikal-bakal masyarakat Afrika , khususnya di Purworejo. Mereka hidup di luar tangsi dan membaur dengan masyarakat setempat bersama isteri penduduk pribumi dan anak-anak turunan mereka, yang mendapat julukan Indo Afrika. Ketika Indonesia merdeka dan KNIL dibubarkan, kebanyakan memilih pindah ke Belanda. Menurut Ineke van Kessel hanya tinggal satu keluarga dari prajurit Afrika yang ada di Purworejo.

Nasionalisme Si Kulit Putih (Ernest Douwes Dekker)

Douwes Dekker
Banyak yang tidak mengenal sosok Douwes Dekker. Pria yang di tubuhnya mengalir darah Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa ini justru memiliki semangat kebangsaan yang lebih membara ketimbang penduduk bumiputera. Dalam pendidikan dasar tentang sejarah Indonesia, Douwes Dekker hanya disebut sepintas dan tidak mendetail seperti Soekarno dan Hatta, padahal perannya sebagai penggerak revolusi tidak terbantah.

Dalam buku pelajaran sejarah di pendidikan Indonesia, Douwes Dekker sering rancu dalam penyebutannya. Ia sering disamakan dengan saudara kakeknya, Eduard Douwes Dekker. Meski sama-sama berasal dari klan Douwes dan Dekker, keduanya berbeda. Eduard Douwes Dekker adalah penulis buku yang menceritakan penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan, berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker dikenal dengan nama pena Multatuli. Sedangkan yang anda baca adalah Ernest Douwes Dekker, peletak dasar nasionalisme Indonesia. Bung Karno pernah menyebutkan bahwa dirinya berguru kepada Douwes Dekker mengenai gagasan revolusi Indonesia, sedangkan Douwes Dekker menyebut Bung Karno sebagai juru selamat Indonesia.

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi lahir di Pasuruan, Hindia-Belanda, 8 Oktober 1879, meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun.

Wartawan Kritis Anti kolonial Belanda

Awalnya Douwes Dekker berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris. Ia tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon. Di sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya. Pada tahun 1902 Douwes Dekker dipulangkan ke Hindia Belanda.
Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda") kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa. Tahun 1910 di Bandung ia menerbitkan majalah "Het Tajdeschrift" yang menjelaskan cita-cita politiknya yang mendapat sambutan cukup luas. Tanggal 1 Maret 1912 ia menerbitkan "De Express" yang terkenal bernada tajam dan tidak jemu-jemu menyerang dan menentang politik penjajahan Belanda.
Harian itu menjadi sarana bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk mengemukakan buah pikiran mereka mengenai perjuangan membebaskan bangsa dan penjajahan.

Lahirnya Indische Partij

Indische Partij
Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, dan Setiabudi Danudirdja
Douwes Dekker sebenarnya turut serta dalam Lahirnya Budi Utomo karena kedekatanya dengan tokoh kebangkitan nasional seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta. Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), Douwes Dekker tidak banyak terlibat di dalamnya. Douwes Dekker menggagas tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.
pada tahun 1912 Douwes Dekker bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia"). Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena Douwes Dekker dan Cipto mendukung Suwardi.

Ksatrian Instituut Dan Penamaan Setiabudi Danudirdja

Setelah pulang dari pengasingan di Belanda tahun 1922 kemudian berusaha untuk melamar sebagai guru pada sekolah rendah partikelir pimpinan Ny. H.E. Mayer-Elenbaas di Jln. Kebon Kelapa No. 17, Bandung. Tahun 1923, nama sekolah berubah menjadi Preanger Instituut van de Vereeniging Volksonderwijs (Institut Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat), dan Douwes Dekker menjabat sebagai kepala untuk MULO (setingkat SMP).
Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Douwes Dekker sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. Douwes Dekker kemudian juga dilarang mengajar.
Salah seorang yang pernah menjadi guru di Ksatrian Instituut adalah Bung Karno yang tak lain adalah juga sahabat sekaligus teman seperjuangan Douwes Dekker. Kedekatan ini antara lain bisa dilihat dari pengaruh Bung Karno dalam menyarankan nama-nama Indonesia untuk Douwes Dekker, istri, hingga anaknya: Bung Karno memberi nama Setiabudi Danudirdja untuk Douwes Dekker. Istri ketiga Douwes Dekker yang indo, blasteran Belanda dan Batak, saat masuk ke Hindia Belanda juga menggunakan nama pilihan Bung Karno yakni Haroemi Wanasita—semula bernama Nelly Alberta Geertzema Kruymel. Lalu anak dari Douwes Dekker dan Haroemi yang semula bernama Kees, diberi nama Kesworo oleh Bung Karno. Tak heran jika Douwes Dekker menerima saja semua nama pemberian BK, karena dia menganggap Bung Karno adalah “juru selamat Indonesia”.

Kembali, Masa Revolusi dan Akhir Hayat

Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk Douwes Dekker. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena Douwes Dekker harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.
Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.
Pada periode ini Douwes Dekker tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian Douwes Dekker dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.
Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

Sejarah Taxi di Batavia (transportasi kelas atas)

Taksi merupakan salah satu alternatif kendaraan umum bagi Anda yang menginginkan kenyamanan dan kemudahan. Praktis, dan Anda tidak perlu berdesak-desakan dengan penumpang lain.

Di Jakarta sendiri, ada berbagai macam perusahaan taksi. Standar pelayanan taksi yang berbeda satu sama lain, membuat warga Jakarta memiliki kecenderungan untuk memilih merek taksi tertentu, meskipun harus membayar lebih mahal dan kadang harus mengantri lama.

Tahukah Anda kalau taksi sudah masuk di Kota Batavia (Jakarta) sejak tahun 1930-an. Namun jumlahnya masih sangat terbatas. Taksi merupakan kendaraan umum yang ekslusif. Hanya orang-orang kaya pada zaman dahulu yang bisa menggunakan taksi sebagai alat kendaraan umum.

Menurut Onih Masruha (89), jumlahnya pun tak banyak,hanya puluhan. Justru dengan jumlah terbatas itu, taksi di zaman Hindia Belanda menjadi ukuran status sosial,”Orang kite mana ada yang pakai taksi,kebanyakan yang naik kalau bukan meneer-mener ya sinyo-sinyo atawa noni-noni,”ujar lelaki Betawi yang kini tinggal di kawasan Kwitang tersebut.

Kendati bersifat eksklusif, namun taksi zaman Hindia Belanda tidak seenaknya mengambil penumpang dan mangkal di sembarang tempat. Itu berbeda dengan taksi zaman sekarang, yang sesuka hatinya mengangkut “sewa” Akibatnya, tak jarang mereka –bersama mikrolet dan metromini--menjadi biang keladi kemacetan yang terjadi di jalan-jalan utama ibukota.

Di zaman Hindia Belanda, para pengemudi kendaraan bermahkota itu tidak diizinkan mengambil penumpang di tengah jalan. Mereka hanya menurunkan penumpang di tempat-tempat yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Makanya bukan sesuatu yang aneh jika di zaman itu ada yang disebut pangkalan taksi. Fungsinya mirip terminal bus kota saat ini: calon penumpang yang ingin naik taksi harus mendatangi terminal atau pangkalan taksi tersebut.Uniknya, di pangkalan itu berlaku pula sistem antri.

Ada beberapa pangkalan taksi yang ada saat itu di Jakarta. Diantaranya ada di Lapangan Gedung Balai Kota (Stadhuis), Kali Besar Barat dan Lapangan Glodok (Glodok Plein). Sedangkan di Weltevreden dipusatkan tidak jauh dari gedung pertemuan di Harmonie, Pintu Air, Gedung Kesenian (Stadsschouwburg), pojok selatan Lapangan Banteng (Waterlooplein), Stasiun Gambir, Deca Park, pojok Menteng atau Gondangdia Lama, Entrée Saleh (kini Jalan Raden Saleh), Kebon Binatang di Cikini, Krekot, Pasar Baru dan Senen.

Soal kapasitas, taksi tempo doeloe itu dibatasi hanya memuat 5 penumpang. Ongkosnya dihitung berdasarkan kilometer yang ditempuh. Misalnya untuk satu kilometer dikenakan sebesar 30 sen atau 10 sen untuk tiap satu menitnya. Itu merupakan ongkos sewaan di siang hari yang dimulai pukul 06.00 pagi hingga pukul 23.00 malam. Sedangkan untuk di malam hari ongkosnya 50% persen lebih tinggi dari ongkos di siang hari. Waktu malam hari dihitung mulai dari pukul 23.00 malam hingga 06.00 pagi besoknya.

Harga ongkos semakin melonjak kalau sang penumpang minta diantar ke Pelabuhan Tanjung Priok. Jika diminta menunggu maka sang penumpang harus membayar 5 sen permenit dari pertama kali waktu harus menunggu. Hitungan ini di luar ongkos yang telah dipatok sebelumnya. Dengan situasi seperti tersebut, ajaibnya tidak ada terdengar kejadian sopir taksi dirampok saat itu.

Keistimewaan lainnya dari taksi zaman dulu itu adalah para supirnya yang sangat patuh kepada peraturan yang ditetapkan pihak Kotapraja kala itu. Memang ada peraturan, selain wajib mengangkut penumpang di pangkalan taksi, mereka pun tidak dibenarkan merokok saat membawa penumpang. Bagaimana jika ada sopir taksi yang tetap membandel? Pihak Kotapraja tak segan-segan mencabut surat izin mengemudi (rijbewijs). Tentunya tanpa rijbewijs, mereka tak bisa mencari nafkah.

Teranglah Wanita Berbangsa (RA Kartini)

RA Kartini
Habis gelap terbitlah terang melekat pada sosok Kartini. Sebuah terang pada wanita Indonesia yang terbelenggu pada aturan adat dan agama. Menunjukan bahwa perasaan wanita lebih kuat dari fisik laki-laki. Disadari oleh Kartini bahwa kedunya harus saling melengkapi. Ia tidak bisa mendirikan sekolah sendiri tanpa ada sosok suami yang mendukung. Dari pernikahaanya ia bisa mendirikan sekolah wanita pertama di rembang.

Riwayat Singkat

RA Kartini lahir disebuah desa di Mayong yang terletak 22 km sebelum masuk jantung kota Jepara. Disanalah beliau dilahirkan oleh seorang ibu bernama M.A. Ngasirah dari kalangan rakyat biasa yang dijadikan garwo ampil (selir) oleh wedono Mayong RMAA Sosroningrat. Anak yang lahir itu adalah seorang bocah kecil dengan mata bulat berbinar-binar memancarkan cahaya cemerlang seolah menatap masa depan yang penuh tantangan.
Kartini hanya dapat merasakan bangku sekolah sampai umur 12 tahun di ELS (Europese Lagere School, karena pada saat itu wanita tidak boleh berpendidikan lebih tinggi dari pria. Beliau pernah juga mengajukan lamaran untuk sekolah dengan beasiswa ke negeri Belanda dan ternyata dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hanya saja dengan berbagai pertimbangan terutama adat maka besiswa tersebut diserahkan kepada putera lainnya yang namanya kemudian cukup terkenal yaitu H. Agus Salim.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903 dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Buah Pikiran

Sekolah Kartini
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.


Buku-buku rangkuman surat Kartini

  • Habis Gelap Terbitlah Terang
  • Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
  • Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
  • Panggil Aku Kartini Saja
  • Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya

Kutipan mutiara dari tulisan Kartini

Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam. – R. A. Kartini

Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya. – R. A. Kartini

Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata “Aku tiada dapat!” melenyapkan rasa berani. Kalimat “Aku mau!” membuat kita mudah mendaki puncak gunung. – R. A. Kartini

Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri. – R. A. Kartini

Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam. – R. A. Kartini

Salah satu daripada cita-cita yang hendak kusebarkan ialah: Hormatilah segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya, baik tidak terpaksa baikpun karena terpaksa, haruslah juga segan menyakiti mahkluk lain, sedikitpun jangan sampai menyakitinya. Segenap cita-citanya kita hendaklah menjaga sedapat-dapat yang kita usahakan, supaya semasa mahkluk itu terhindar dari penderitaan, dan dengan jalan demikian menolong memperbagus hidupnya: dan lagi ada pula suatu kewajiban yang tinggi murni, yaitu “terima kasih” namanya. - R. A. Kartini

Adakah yang lebih hina, daripada bergantung kepada orang lain? – R. A. Kartini

Lebih banyak kita maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita, semakin adil pertimbangan kita dan semakin kokoh dasar rasa kasih sayang. Tiada mendendam, itulah bahagia. – R. A. Kartini

Ikhtiar! Berjuanglah membebaskan diri.. Jika engkau sudah bebas karena ikhtiarmu itu, barulah dapat engkau tolong orang lain. – R. A. Kartini

Tetapi sekarang ini, kami tiada mencari penglipur hati pada manusia, kami berpegangan teguh-teguh pada tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi. – R. A. Kartini

Karena ada bunga mati, maka banyaklah buah yang tumbuh, demikianlah pula dalam hidup manusia bukan? Karena ada angan-angan muda mati, kadang-kadang timbullah angan-angan lain, yang lebih sempurna, yang boleh menjadikan buah. – R. A. Kartini