Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sejarah. Tampilkan semua postingan

"SOAL JUDI, ADA ATURAN, ADA UNDANG-UNDANGNYA" Bang Ali Sadikin Menjawab

 Saat saya tanyakan tentang aturan dan hukum mengenai judi di Jakarta
"Ada" jawab pak Djumadjitin, Sekda saya itu
"Kekuasaan ada pada kepala daerah, sesuai dengan perundang-undangan" lanjutnya. Setelah mendengar penjelasan itu saya jadi mantap karena ada pegangan. "Saya akan menertibkan perjudian itu" kata saya didepan pak Djumadjitin. "Dari judi saya akan pungut pajak" lanjut saya.
"Boleh. Bisa" Pak Djumadjitin meyakinkan."Undang-undang no.11 tahun 1957 yang memungkinkan Pemerintah Daerah memungut pajak atas perjudian. Hanya gubernur-gubernur lain tidak berani melakukan" jelasnya.
"Untuk keperluan rakyat Jakarta saya berani" jawab saya.
Bekas gubernur Sumarno berencana mengesahkan judi, tapi ragu karena harus menenggang bung Karno. Demikian juga rencana walikota Sudiro mengadakan casino di pulau Edam, tapi ditolak oleh partai-partai agama. "Undang-undang menetapkan, bahwa Kepala daerah bisa memberikan izin kepada seorang bandar Cina, yang menganggap judi adalah budaya Cina. Dan yang boleh berjudi itu hanya orang Cina" tambah pak Djumadjitin.
 
Bagi saya tidak perlu menghubungi menteri sosial. Penjabat Presiden Soeharto pun hanya saya lapori, tidak meminta persetujuan. Pikir saya kalau nanti terjadi apa-apa dengan soal judi biar saya sebagai gubernur yang bertanggung jawab. DPRD yang secara politis dan moralpun tidak akan setuju, juga tidak saya minta persetujuannya.
 
Setelah saya mengizinkan judi, menerbitkan perjudian dan memungut pajak dari sana, orang yang tidak suka kepada kebijaksanaan saya itu menyebut saya "Gubernur Judi" atau bahkan "Gubernur Maksiat". Apa boleh buat saya harus berani bertanggungjawab dengan apa yang saya lakukan.
Tahun 73 Kopkamtib menyatakan pelarangan judi di Jawa tengah dan Jawa barat. Beberapa anak muda yang menyatakan sebagai "Generasi Muda" menyatakan dukungan itu dan mengucapkan terimakasih kepada Kopkamtib.
 
Para wartawan lalu menemui saya. "Soal itu tergantung pada Kopkamtib" jawab saya. Tapi saya didesak terus, sehingga saya meluap.
"Kalian seperti beo saja" kata saya jengkel "Pemerintah bicara judi, kalian ikut-ikutan bicara judi. Apa maunya?".
 
Masih jengkel saya "Judi dan perjudian di Jakarta ini resmi berdasarkan undang-undang. Legal. Lebih baik perjudian itu resmi daripada sembunyi-sembunyi. Kalau secara gelap-gelapan, siapa yang mengambil untungnya? Ayo jawab!. Siapa yang untung kalau gelap-gelapan?"
Saya katakan pula dengan keras dari hasil pajak judi itu pemerintah Daerah Jakarta bisa membangun gedung SD sekian, SLP sekian, SLA sekian, memperbaiki kampung, membuat jalan, dan lain-lain.
"Coba, apakah itu anak-anak muda yang menamakan dirinya generasi muda sanggup kentut yang bisa menghasilkan uang bermiliar rupiah? Ayo coba!" Saya marah. Memang saya merasa dipancing dan marah.
 
Saya jalan, hendak masuk ruang kerja. Tapi kemarahan saya masih belum reda. Saya membalikkan muka kepada para wartawan itu "Dua orang pernah bilang, daripada judi lebih baik pakai zakat fitrah saja guna mencari uang buat pembangunan. Tapi apa hasilnya? Cuma dapat berapa? Tidak lebih dari lima belas juta rupiah tahun lalu (1972). Setelah saya kerja keras, jumlahnya naik jadi 75 juta lebih. Cuma segitu"
 
Sumber:
1. Buku ALI SADIKIN. Membenahi Jakarta Menjadi Kota Yang Manusiawi

 
dari sumber wawancara :
Pers: Jajaran Muspida menyetujui langkah ini?
Bang Ali: Tidak ada alasan, baik dari pihak Kodam maupun Kepolisian untuk tidak setuju. Sebab uang tersebut langsung disetorkan bandar ke rekening pemerintah DKI yang nantinya masuk ke APBD. Jadi, kami tidak pernah melihat duitnya.
P: Apakah diperhitungkan pro dan kontra terhadap langkah itu?
BA: oh jelas, saya habis-habisan dicaci maki. Karena itu saya disebut gubernur judi, gubernur maksiat.
Banyak ulama yang memprotes saya, tapi lama-lama mereka melihat kenyataannya. Perbaikan kampung yang saya lakukan untuk 3 juta orang Jakarta sekarang menjadi proyek nasional di daerah.
P: Bagaimana kenyataan pemberantasannya?
BA: saya hanya mengizinkan orang-orang yang biasa judi di Macao atau tempat lain. Saya punya catatannya. Yang bukan ahli judi, tidak bisa masuk. Yang mau iseng tidak bisa. Saya tahu ini melanggar agama. Tapi mau apa, saya mengambil manfaatnya untuk masyarakat. Saya akan mempertanggungjawabkannya nanti di akhirat kepada Allah. Semoga Allah mengampuni sayt. Dia maha tahu.
P: Sampai sekarang, tidak menyesal karena itu?
BA: tidak. Tidak ada penyesalan. Itu nanti di akhiratlah. Nanti saya 'jelaskan' kepada Allah. Duit tidak ada, sedangkan tiga juta orang terlantar dalam segala hal kehidupan. Ada judi liar, saya resmikan. Caranya jujur dan terbuka
(Wawancara bang Ali dengan wartawan majalah "Sinar")
Dari buku "Pers bertanya, Bang Ali menjawab"
 
 
 

Sejarah Pramuka Indonesia

PRAMUKA adalah organisasi pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan di Indonesia. Anak – anak yang sudah memasuki usia sekolah tentunya tidak akan asing lagi dengan kegiatan kepramukaan yang biasanya menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Kegiatan yang mewajibkan anggotanya berpakaian coklat muda untuk pakaian atasan dan coklat tua untuk bawahannya tersebut sangat identik dengan kegiatan kaum muda. Pramuka sudah menjadi sebuah organisasi yang berkembang secara internasional, dan dapat diterima di seluruh dunia karena manfaatnya yang nyata.

Pramuka merupakan singkatan dari praja muda karana, yang memiliki arti rakyat muda yang suka berkarya.Tapi sebelum singkatan ini ditetapkan, kata Pramuka asalnya diambil oleh Sultan Hamengkubuwono IX dari kata "Poromuko" yang berarti pasukan terdepan dalam perang. Dalam dunia internasional, Pramuka disebut dengan istilah ‘Kepanduan’ (Boy Scout).

Sejarah pramuka di Indonesia tidak terlepas dari Gagasan Baden PowelI yang merupakan Bapak Pandu sedunia. Lord Robert Baden-Powell Of Gilwell menuliskan pengalaman dalam pembinaan remaja di negara lnggris, yang kemudian tumbuh berkembang menjadi gerakan kepanduan (kepramukaan).
Pramuka atau yang dikenal dengan nama Scouting di dunia internasional merupakan suatu gerakan yang membidik atau mendukung orang – orang muda dalam fisik, mental dan perkembangan spiritual, bahwa mereka sebagai orang muda mungkin memerankan peran konstruktif di masyarakat, dengan difokuskan terhadap kemampuan luar ruangan dan bertahan hidup. Saat ini ada lebih dari 40 juta pramuka dewasa dan muda, pria dan wanita, dalam lebih dari 200 negara dan wilayah.

Ide cemerlang Baden-Powell yang ditulis dalam buku Scouting for Boys menyebar ke berbagai negara, termasuk ke Belanda dengan nama "Padvinder". Oleh orang Belanda, gagasan itu dibawa ke Hindia Belanda (Indonesia) yang merupakan daerah jajahannya. Kemudian didirikanlah organisasi bernama NIPV (Nederland Indische Padvinders Vereeniging atau Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda).

Melihat gerakan kepanduan itu, tokoh-tokoh gerakan nasional berniat mendirikan Padvinders (Pandu) untuk anak bangsa dan kemudian muncullah Padvinders Indonesia seperti JPO (javaanse Padvinders Orgcmizatie), JJP (jong java Padvindery), NATIPIJ (Nationale Islamftsche Padvinderzj), SIAP (Sarekat Islam Afdeling Padvindery), dan Padvinders Muhammadiyah yang kemudian menjadi nama Hizbul Wathan atau HW.

Sejarah telah mencatat bahwa gerakan pramuka (kepanduaan) turut berperan aktif dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang mencetuskan sumpah pemuda sehingga kepanduan Indonesia semakin berkembang. KH Agus Salim mencetuskan ide untuk mengganti Padvenders dengan nama Pandu atau kepanduan setelah adanya larangan Pemerintah Hindia Belanda menggunakan istilah Padvindery.

Dengan meningkatnya kesadaran nasional setelah Sumpah Pemuda, maka pada tahun 1930 organisasi kepanduan seperti IPO, PK (Pandu Kesultanan), dan PPS (Pandu Pemuda Sumatra) bergabung menjadi KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Kemudian tahun 1931 terbentuklah PAPI (Persatuan Antar Pandu Indonesia) yang kemudian berubah menjadi BPPKI (Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia) pada tahun 1938.

Pada masa penjajahan Jepang, pergerakan Kepanduan sempat dilarang karena para pandu ikut terjun dan bahu-membahu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun, idealisme dan semangat tetap menjiwai para pandu.

Setelah kemerdekaan Indonesia, terbentuklah Pandu Rakyat Indonesia di Solo pada tanggal 28 Desember1945 yang merupakan satu-satunya organisasi kepanduan Indonesia dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Nomor 93/Bhg.A, tanggal 1 Februari 1947.
Pada awal tahun 1950, banyak bermunculan organisasi-organisasi kepanduan sehingga Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, mengganti keputusan Nomor 93/Bhg.A, Tanggal 1 Februari 1947 dengan Keputusan Nomor 23441/ Kab, Tanggal 6 September 1951.
Hal ini memungkinkan organisasi kepanduan lain selain Pandu Rakyat Indonesia. Pada tanggal 16 September 1951, terbentuklah IPINDO (Ikatan Pandu Indonesia) yang diterima menjadi anggota Internasional Conference (Organisasi Kepanduan Sedunia) mewakili Indonesia masuk dalam Far East Regional Scout Officer pada tahun 1953.

Pada tahun 1954, terbentuklah organisasi POPPINDO (Persaudaraan Organisasi Pandu Puteri Indonesia) dan PKPI (Kepanduan Putri Indonesia) yang melebur menjadi PERKINDO (Persatuan Kepanduan Indonesia).

Perkembangan Gerakan Pramuka Indonesia

Dalam kurun waktu 1950-1960 banyak organisasi kepanduan tumbuh di Indonesia. 100 organisasi kepanduan yang terhimpun dalam tiga federasi organisasi, yaitu IPINDO, POPPINDO dan PKPI. Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Soekarno memberikan amanat pemimpin pandu di Istana Merdeka.

Presiden Soekarno menyatakan pembubaran semua organisasi kepanduan di Indonesia dan kemudian meleburnya menjadi organisasi baru yang bernama Gerakan Pramuka dengan lambang tunas kelapa. Dengan bantuan Perdana Menteri Ir Juanda, maka perjuangan menghasilkan Keppres No 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka yang pada tanggal 20 Mei 1961 ditandatangani oleh Pjs Presiden RI Ir Juanda karena Presiden Soekarno sedang berkunjung ke Jepang.

Akhirnya Gerakan Pramuka diperkenalkan resmi kepada khalayak pada tanggal 14 Agustus 1961 bersamaan dengan Presiden RI menganugerahkan panji-panji sebagai penghargaan keikutsertaan para pandu dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Sejak itulah, pada tanggal 14 Agustus 1961 ditetapkan sebagai Hari Pramuka yang setiap tahun diperingati seluruh anggota Gerakan Pramuka se-Indonesia.

Tidak hanya di Jakarta, namun juga di berbagai daerah di Indonesia. Di Ibukota Jakarta, digelar apel besar diikuti 10.000 anggota Gerakan Pramuka yang dilanjutkan dengan pawai pembangunan dan defile di depan Presiden dan berkeliling Jakarta.

Berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka tahun 1988 di Dili, Timor-Timor nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX Raja Kesultanan Yogyakarta (Gubernur Yogyakarta) dan juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara 1973-1978 dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Gerakan Pramuka adalah Bapak Pramuka Indonesia.

Gerakan Kepramukaan Saat Ini

Saat ini gerakan pramuka sesuai rentang usia anak meliputi Pramuka Siaga (7-10 tahun), Pramuka Penggalang (11-15 tahun), Pramuka Penegak (16 -20 tahun) dan Pramuka Pandega (21-25 tahun). Kegiatan kepramukaan saat ini merupakan kegiatan di luar lingkungan sekolah dan keluarga yang dilakukan di alam terbuka dengan menggunakan prinsip dasar dan metode kepramukaan, yang memiliki sasaran akhir berupa watak, akhlak dan budi pekerti yang luhur serta disesuaikan dengan perkembangan dan kepentingan masyarakat Indonesia. Ketahui juga sejarah OSIS dan sejarah paskibraka sebagai wadah organisasi pelajar di sekolah.

Hiruk pikuk perebutan kekuasaan yang terjadi pada saat jatuhnya orde baru dan juga terjadinya krisis moneter menyebabkan gerakan pramuka menjadi kurang mendapatkan perhatian oleh banyak kalangan. Hal ini berlangsung cukup lama hingga pada tanggal 26 Oktober 2010, DPR mengesahkan UU no. 12 Tahun 2010 mengenai Gerakan Pramuka. UU tersebut menyatakan bahwa pramuka bukan lagi satu – satunya organisasi yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan pendidikan kepramukaan, sehingga memungkinkan berbagai organisasi profesi untuk menyelenggarakan kegiatan kepramukaan.

K. H. Subchi, ulama besar guru jenderal Soedirman (Kiai Bambu Runcing)

K. H. Subchi
Kisah hidup Kiai Subchi dari Parakan, Temanggung, seharusnya bisa jadi teladan. Ulama besar ini dikenal rendah hati dan sangat dekat dengan rakyat kecil.

K. H. Subchi (Nama lahir: Mohamad Benjing, Nama setelah berumah tangga R Somowardojo, Nama setelah Haji:Subchi/ Subki/ Subeki) lahir di Parakan, Temanggung, 31 Desember 1858 – meninggal di Parakan, Temanggung, 6 April 1959 pada umur 100 tahun

Dia membagikan hasil panennya untuk rakyat miskin. Kiai Subchi juga mengizinkan tanahnya digarap orang-orang yang tidak memiliki lahan.

"Inilah kebaikan hati Kiai Subchi, hingga disegani rakyat dan memiliki kharisma kuat," demikian ditulis Munawir Aziz dalam buku Pahlawan Santri, Tulang Punggung Pergerakan Nasional.

Jasa-jasa Kiai Subchi selama perang kemerdekaan sangat besar. Dialah yang menggelorakan semangat para santri dan pemuda di Temanggung dan sekitarnya untuk mengusir Belanda yang mau menguasai Indonesia kembali. Dialah ulama yang dipanggil dengan sebutan 'Kiai Bambu Runcing'.

Dia meminta para pemuda mengumpulkan bambu yang ujungnya diruncingkan. Kemudian diberi asma dan doa khusus. Bambu runcing inilah yang kemudian dikenal sebagai simbol perjuangan melawan penjajah.

Panglima TNI Jenderal Soedirman adalah salah satu dari beberapa tokoh besar yang menganggap Kiai Subchi sebagai guru. Soedirman meminta nasihat dan doa dari Sang Kiai sebelum bertempur di Palagan Ambarawa. Sosok Pak Dirman memang dikenal dekat dengan para ulama dan santri.

Semakin hari, semakin banyak pejuang yang datang untuk meminta nasihat dan doa dari Kiai Subchi. Ulama besar yang dikenal rendah hati ini menangis melihat itu semua. Dia merasa tak layak diperlakukan seperti itu. Melihat sikap tawadhu itu Panglima Hizbullah, Kiai Zainul Arifin sampai bergetar hatinya.

Kiai Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, meminta Kiai Subchi terus menyemangati para pemuda. Dia menguatkan hati Kiai Subchi apa yang dilakukannya sudah benar.

Kiai Subchi wafat tahun 1959 dalam usia 109 tahun. Semoga sikap nasionalisme dan rendah hati ulama besar ini selalu diteladani oleh generasi muda.

Slamet Riyadi: Tentara dan rakyat ibarat ikan dan air

Slamet Riyadi
Banyak aparat TNI dan Polri berlaku arogan. Dari mulai berlagak bak koboi di Jl Palmerah, menodong tukang parkir hingga bentrok sesama TNI-Polri. Ada teladan yang mereka lupakan dari sosok Slamet Riyadi, seorang perwira dan pahlawan 60 tahun lalu.

Saat itu Agresi militer Belanda II, tanggal 19 Desember 1949. Slamet Riyadi berpangkat Letnan Kolonel, dia menjabat Komandan Wehrkeise I/Brigade V TNI. Usianya baru 22 tahun. Setelah Yogya dan Solo jatuh, maka sesuai perintah siasat Jenderal Soedirman, seluruh pasukan TNI mundur ke hutan dan pegunungan. Mereka pun menggelar perang gerilya semesta. Slamet Riyadi menekankan pentingnya TNI bersikap baik pada masyarakat. Tidak arogan, atau melakukan sesuatu yang menyakiti hati rakyat.

"Gerilyawan (tentara) harus selalu bergerak di tengah rakyat, seperti ikan dalam air. tidak bisa dipisahkan dari rakyat. Mereka tidak boleh dan tidak bisa dipisahkan dari rakyat," ujar Slamet Riyadi pada pasukannya.

Slamet Riyadi juga menindak tegas anggotanya yang ketahuan berlaku kasar pada rakyat. Atau pada pihak-pihak yang berusaha memecah kedekatan TNI dan rakyat.

Slamet Riyadi perwira brilian. Dia lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Juli 1927. Awalnya Slamet menjadi bintara AL Jepang (Kaigun). Dia berniat ikut memberontak bersama Supriyadi di Blitar, namun pemberontakan Supriyadi keburu dipadamkan Jepang. Setelah kemerdekaan, Supriyadi memimpin para pemuda merebut senjata milik Kempetai (polisi militer Jepang). Dia menjadi Komandan Batalyon TNI dan akhirnya menjadi Komandan Brigade V.

Slamet Riyadi pula yang memimpin serangan umum di Solo. Dia dan pasukannya mempecundangi pasukan Belanda yang sebelumnya sudah dipermalukan pasukan Soeharto di Yogyakarta tanggal 1 Maret 1950.Slamet Riyadi punya mimpi TNI memiliki pasukan khusus seperti pasukan khusus baret merah dan baret hijau Belanda. Korps Speciale Troepen. Sayang dia gugur saat memimpin pasukan TNI melawan pemberontak RMS di Maluku tanggal 4 November 1950. Usianya baru 23 tahun saat gugur.

Mimpinya membentuk pasukan khusus, kelak dilanjutkan Kolonel Alex Kawilarang. Pasukan inilah yang nantinya kita kenal sebagai Kopassus.

sumber : merdeka.com

The Grand Old Man (Haji Agus Salim)

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961

Beliau adalah putra bangsa yang cerdas pada 1903 berhasil lulus dengan predikat lulusan terbaik SMA atau HBS (Hogere Burger School) dimana saat itu masa belajar Sekolah Menengah adalah 5 tahun diusianya yang masih belia yaitu 19 tahun. Agus Salim menjadi lulusan terbaik di tiga kota yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.

Kiprah Haji Agus Salim

Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:

  • anggota Volksraad (1921-1924)
  • anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
  • Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
  • pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 beliau laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.

Ketika itu Haji Agus Salim adalah seorang Menteri Luar Negeri dan sedang berkunjung ke Jerman. Beliau tahu tentang hal ini. Beliau pun akhirnya menyusun naskah pidato dengan Bahasa Jerman bukan Bahasa Inggris. Jerman yang awalnya tak mau memandang Indonesia sama sekali sangat terpukau mendengar pidato dari Haji Agus Salim yang ternyata bisa berbahasa Jerman. Seketika itu Jerman langsung menyatakan dukungannya terhadap Indonesia.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.

Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).

Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.

7 Karakter Haji Agus Salim

1. Ulama Rasional Panutan Para Santri

Ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari cara Agus Salim melakukan dakwah. Diantara yang cukup menonjol adalah berpikir rasional dalam menyikapi pesan-pesan agama. Misalnya dalam hal puasa yang mengikuti waktu matahari terbit dan terbenam. Ketika tinggal di Amerika, Salim selalu sahur jam 4 subuh dan berbuka jam 7 malam. Padahal sesuai waktu setempat, berbuka seharusnya pada pukul 10 malam. Dalam perkara ini, Salim melakukan ijtihad dengan berpuasa mengikuti kebiasaan di Indonesia. Salim juga berpendapat bahwa wine boleh diminum asal tidak memabukkan. Hal ini diperoleh dari keterangan Emil Salim yang dikutip Majalah Tempo Edisi Kemerdekaan (Agustus 2013). Menurut Emil : “Om tahu batas. Ia tidak mabuk. Tubuhnya yang dihangatkan, bukan otak”, begitu penjelasan putra Bey Salim (adik Agus Salim) ketika diwawancarai wartawan Tempo. Satu lagi tindakan Salim yang dirujuk banyak ulama hingga sekarang adalah dibukanya tabir pembatas antara laki-laki dan perempuan, ketika berlangsung musyawarah Jong Islamieten Bond (JIB). Menurutnya tabir itu merupakan produk budaya Arab – bukan Islam, simbol penindasan terhadap kaum perempuan.

Meski sikap Salim cenderung nyeleneh dan bertentangan dengan banyak ulama ketika itu, namun ia tak dicap menganut aliran liberal. Malah pemikirannya itu kemudian, banyak dipuji oleh tokoh-tokoh Islam seperti Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif. Kita bisa memahami kedalaman ilmu Agus Salim, karena ia sempat berguru selama lima tahun di Hejaz, Arab Saudi. Salah satu ulama yang mempengaruhi cakrawala pemikirannya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang juga merupakan pamannya. Dari ulama tersebut ia memperoleh banyak ilmu baru, terutama mengenai fikih Islam.


2. Pemimpin yang Mau Hidup Miskin

Haji Agus Salim merupakan sedikit dari pemimpin bangsa yang mau hidup susah. Jika saja ia mau meneruskan pekerjaannya sebagai konsulat Belanda di Arab Saudi, mungkin Salim tak akan hidup melarat. Pada awal abad ke-20 Salim sudah beroleh gaji sangat besar, 200 gulden per bulan. Menurut budayawan Ridwan Saidi, gaji itu sangat besar untuk ukuran orang Melayu. Sebagai perbandingan, sebuah keluarga dengan satu istri dan tiga anak, saat itu dapat hidup layak hanya dengan 15 gulden per bulan. Namun Salim meninggalkan itu semua, dan memilih menjadi aktivis Sarekat Islam (SI).

Ketika menjadi aktivis SI, Salim juga menjabat sebagai pemimpin redaksi “Hindia Baroe”, koran yang dimiliki beberapa pengusaha Belanda. Melalui koran ini, ia sering mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang tidak pro-rakyat. Oleh para pemiliknya, Salim diminta untuk tidak terlalu keras mengkritik pemerintah. Namun permintaan itu malah dijawabnya dengan pengunduran diri. Karena ingin hidup bebas dan idealis, Salim tak mempunyai pendapatan tetap. Akibatnya ia kerap berpindah-pindah rumah, dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Mohammad Roem, aktivis JIB yang sering bertandang ke rumah Salim menceritakan, bahwa rumahnya di Tanah Tinggi – Jakarta Pusat, berada di kawasan becek. Ia juga pernah tinggal di Jatinegara, yang mana keluarga Salim hanya menempati satu ruangan. Di rumah itu, Roem melihat koper-koper bertumpuk di pinggir ruang dan beberapa kasur digulung. Meski sudah menjabat sebagai menteri luar negeri, Salim dan keluarganya masih tinggal di rumah kontrakan. Terakhir ia mondok di Jalan Gereja Theresia No. 20, Menteng, tempat dimana ia menghabiskan masa tuanya.


3. Mendidik Anak Tanpa Sekolah Formal

Karakter ini boleh jadi tak dimiliki oleh pemimpin bangsa lainnya, yang hidup sezaman dengannya. Pada awal abad ke-20, hampir semua tokoh-tokoh bangsa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang paling tinggi. Malah banyak pula yang menyekolahkannya hingga ke mancanegara. Namun Salim berbeda dengan yang lain. Bukan karena ia tak mampu membiayai pendidikan putra-putrinya, namun ia beranggapan sekolah kolonial tak membuat anak mandiri. Prinsip Agus Salim sama seperti halnya Mohammad Syafei, pendiri INS Kayutanam. Bedanya Syafei membangun sekolah dengan kurikulum mandiri, sedangkan Salim mengajarkan anak-anaknya sendiri.

Menurut Siti Asiah, putri Agus Salim, ketujuh anaknya itu tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal, kecuali si bungsu Mansur Abdur Rachman Ciddiq. Salim bersama istrinya Zainatun Nahar-lah, yang mengajarkan anak-anaknya secara bergantian. Pendidikan ala keluarga Salim, biasanya berlangsung sambil bermain atau ketika sedang makan. Menurut Siti Asiah atau yang akrab disapa Bibsy, paatje dan maatje (panggilan untuk ayah-ibunya) sering menyanyikan lagu-lagu yang liriknya diambil dari karya sastrawan dunia. Selain itu ayahnya juga pandai berhumor, sehingga bisa memikat dan tak membosankan. Untuk melatih kemampuan berbahasa, sedari kecil mereka telah mengajak anak-anak berbicara Bahasa Belanda, sehingga bahasa itu ibarat bahasa ibu mereka.

Pendidikan home schooling ala Agus Salim tak semata-mata membuat anak pintar, namun juga memperhatikan pertumbuhan jiwa mereka. Ia bersama istrinya, tak menginginkan anak-anak terkekang oleh kehendak orang tua. Oleh karenanya, ia mengharamkan memberi kualifikasi seperti “kamu nakal” atau “kamu jahat” kepada anak-anaknya. Meski tak mengenyam pendidikan formal, namun anak-anak Salim bisa tumbuh dan “menjadi orang”. Ketika W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola, putri tertuanya Dolly – yang ketika itu berusia 15 tahun, mengiringinya dengan piano. Sedangkan putranya, Islam Besari Salim, terjun di dunia militer dan sempat menjadi atase militer Indonesia di China.


4. Humoris yang Intelek

Agus Salim merupakan seorang intelektual yang humoris dan seorang humoris yang intelek. Pada saat menjadi pimpinan Sarekat Islam, Salim sering berseberangan dengan anggota yang beraliran komunis. Ia kerap kali dicerca dan diejek oleh pengikut SI berhaluan kiri. Dalam salah satu kesempatan di podium, Muso pernah mengejek Cokroaminoto seperti kucing, dan Agus Salim yang mirip kambing. Muso berteriak kepada hadirin : “Saudara-saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa? “Kambing!” jawab hadirin. “Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa? “Kucing!” Begitu giliran Salim berpidato, ia tak mau kalah. “Saudara-saudara, pertanyaan yang tadi belum lengkap. Orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” Salim menjawab sendiri, “Anjing!”

Kisah yang lain. Dalam suatu pertemuan SI, setiap akhir kalimat yang disampaikan Agus Salim, selalu disambut oleh para peserta dengan sahutan “mbek, mbek, mbek”. Itu untuk mengejek janggutnya yang panjang seperti janggut kambing. Meski diejek oleh banyak orang, namun Salim tak kehilangan akal. Ia malah dengan entengnya menukas, “Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing-pun mendatangi ruangan ini untuk mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya sarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan disilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka.”

Satu lagi humor Agus Salim yang diingat orang ialah ketika ia diundang makan malam. Pada acara tersebut ia memilih menyantap hidangan dengan tangannya. Seorang Eropa terkesima dengan tindakan tersebut dan langsung menegur, “Mengapa Anda makan menggunakan tangan, padahal sudah tersedia sendok”. Salim lantas menjawab, ”Saya menyuap dengan tangan sendiri untuk masuk ke mulut saya. Sedangkan sendok yang Tuan-tuan pakai, pernah masuk ke mulut banyak orang.” Begitulah beberapa cuplikan humor intelek khas Agus Salim.


5. Menguasai Banyak Bahasa Asing

Agus Salim adalah sedikit dari orang Indonesia yang fasih berbicara dalam sembilan bahasa asing. Selain Bahasa Melayu dan Bahasa Minang yang menjadi bahasa ibunya, Salim juga menguasai Bahasa Belanda, Arab, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, Mandarin, Latin, Jepang dan Turki. Ia juga menguasai beberapa bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa dan Sunda. Karena penguasaannya yang komplet, Salim beberapa kali ditugaskan pemerintah mewakili Indonesia dalam berbagai perundingan. Pada tahun 1947, ia bersama Sutan Sjahrir menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Inter-Asia di New Delhi. Selanjutnya Salim memimpin delegasi Indonesia ke Timur Tengah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Hasilnya, Indonesia beroleh dukungan kemerdekaan dari Mesir (10 Juni 1947), Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947). Selanjutnya Agus Salim kembali mendampingi Sutan Sjahrir, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success Amerika Serikat. Dalam Perjanjian Renville, Agus Salim kembali diutus untuk berunding dengan Belanda. Kali ini ia pergi bersama Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamijoyo, Mohammad Roem, dan Ir. Djuanda.

Kefasihan Salim dalam menguasai bahasa asing, dikisahkan pula oleh seorang Indonesianis George McTurnan Kahin. Suatu hari Kahin mengundang Salim dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen Cornell University. Ketika itu ia diminta sebagai pembicara tamu di universitas tersebut, sedangkan Diem sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan. Belakangan, tokoh yang terkenal jago omong itu menjadi Perdana Menteri di negerinya. Melihat keduanya asik berdebat dalam Bahasa Prancis, Kahin begitu terperangah. Namun ia lebih terperangah lagi, ketika melihat Diem terpana mendengarkan kata-kata Agus Salim.


6. Pendebat yang Kritis

Dalam suatu pertemuan, penulis pernah mendengar kesan seseorang yang mengatakan bahwa orang Minang itu suko maota, pandai maota, dan lamak maota (suka bicara, pandai bicara, dan enak ketika berbicara). Dari sifat itulah kemudian tumbuh sifat inklusif dan egaliter pada kebanyakan pribadi Minangkabau. Seperti laki-laki Minang yang suka maota di lapau, Agus Salim juga tangkas dalam bersilat lidah. Kepiawaian ini berguna sekali ketika ia menjadi wartawan, diplomat, dan politisi. Dalam sidang Volksraad misalnya, Salim pernah berbantah-bantahan dengan Bergmeyer tentang kata ekonomi. Hal ini bermula ketika Salim tak diperkenankan berpidato dalam Bahasa Melayu. Saat itu Bergmeyer dengan maksud mengejek, menyela pidato Salim dan bertanya, “Apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Melayu” Bukannya menjawab, ia lantas membalas pertanyaan tersebut dengan pertanyaan yang sama, “Coba Tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Belanda, nanti saya akan sebutkan Bahasa Melayunya”. Karena memang tak ada padanannya dalam Bahasa Belanda, sontak tantangan tersebut membuat geger seisi ruang sidang.
Ketika menulis di berbagai media, sering pula ia menggunakan keahliannya itu untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Di harian Neratja terbitan 25 September 1917, ia pernah menulis : “dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang”. Tulisan ini untuk mengkritik kebijakan Belanda yang mendiskriminasi masyarakat inlander. Kemudian di harian Fadjar Asia, 29 November 1927, ia menulis tentang polisi dan rakyat : “sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut pengakuan di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa …” Demikian goresan pena Salim, yang dimuat di beberapa media terbitan Hindia-Belanda.


7. Guru yang Tak Menggurui

Menurut pendapat banyak aktivis muslim pra-kemerdekaan, Agus Salim merupakan mentor yang menyenangkan. Selain ramah dan menggugah, Salim juga merupakan tipikal guru yang membimbing. Ketika berdiskusi ia selalu menyerahkan kesimpulannya kepada masing-masing lawan bicara. Mohammad Natsir salah satu murid binaannya pernah menuturkan : “ketika sulit memperoleh jalan keluar dari sebuah permasalahan, para pengurus JIB berpaling ke Agus Salim. Di depan orang tua itu mereka memaparkan permasalahan. Setelah menyimak dengan cermat, giliran Salim yang berbicara. Panjang lebar, dari semua aspek ia terangkan, namun tak menyinggung solusi. Kemudian salah seorang pengurus JIB menyela : tapi mana jawabnya? Agus Salim hanya merespons : “Jawab permasalahan itu ada pada Saudara-saudara, karena ini persoalan generasi Saudara, bukan persoalan saya. Lihat anak saya (sambil menunjuk anaknya yang masih kecil). Jikalau saya menggendongnya terus, kapan ia berjalan? Biarlah ia mencoba berjalan. Terjatuh tapi ia akan beroleh pengalaman dari situ” (Ridwan Saidi dalam buku 100 tahun Agus Salim).

Karena kurang setuju dengan sikap yang menggurui, Agus Salim pernah meminta Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari, untuk mendidik santri agar tidak mendewakan guru. Menurutnya kultus individu terhadap guru akan membuat umat menjadi jumud. Alih-alih ingin membebaskan orang sesuai pesan Islam, taklid buta malah membuat umat semakin bodoh dan jauh dari nilai-nilai agama.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.

Sumpah Pemuda (Nasionalisme Pemuda Indonesia)

Peristiwa sejarah Sumpah Pemuda merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah pergerakan kemerdekaan Indonesia. Ikrar ini menjadi satu tonggak utama bangkitnya semangat para pemuda Indonesia untuk menegaskan cita-cita berdirinya negara Indonesia.
Luasnya wilayah Indonesia dan masih dalam belenggu penjajah banyak sekali ormas , atau semacam organisasi maupun perkumpulan yang berdiri atas latar dan dasar seperti budaya , agama , suku dan asal usul yang seakan saat itu kesannya memiliki landasan tersendiri dalam memperjuangkan harkat dan martabat bangsa kita dari kaum penjajah.

Sumpah Pemuda adalah sebuah “produk” yang muncul dari pelaksanaan Kongres Pemuda Kedua yang dilangsungkan 27-28 Oktober 1928 di Batavia (Jakarta). Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll.
Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Turut hadir juga 2 perwakilan dari Papua yakni Aitai Karubaba dan Poreu Ohee.
Kongres tersebut dilaksanakan di dalam tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat.

  1. Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Saat itu Sugondo Djojopuspito berharap ada alat pemersatu kesatuan Indonesia karena adanya perbedaan sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan.
  2. 28 Oktober 1928 Gedung Oost-Java Bioscoop yang saat itu usai pertemuan yang mebahas masalah pendidikan oleh Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro untuk mengenalkan pendidikan demokratis.
  3. Dan akhirnya di rapat terakhir di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres.

Rumusan Kongres Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada secarik kertas yang disodorkan kepada Soegondo ketika Mr. Sunario tengah berpidato pada sesi terakhir kongres (sebagai utusan kepanduan) sambil berbisik kepada Soegondo: Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini), yang kemudian Soegondo membubuhi paraf setuju pada secarik kertas tersebut, kemudian diteruskan kepada yang lain untuk paraf setuju juga. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.

Pertama:
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kedoea:
Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.
Ketiga:
Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.

Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :
Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Sumber:
http://news.viva.co.id/nusantara/bandung/sejarah-singkat-sumpah-pemuda
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:MuseumSumpahPemuda.jpg
https://www.facebook.com/notes/tionghoa-indonesia/-catatan-kecil-seputar-sumpah-pemuda-/10151222193280238?comment_tracking={%22tn%22%3A%22O%22}

Dipertanyakan
 
“Berdasarkan data yang ada, tidak pernah ada satu baris pun ditulis kata Sumpah Pemuda dan para pemuda juga tidak sedang melakukan sumpah saat itu,” kata Kepala Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial (Pussis) Universitas Negeri Medan (Unimed) Dr Phil Ichwan Azhari, di Medan, Selasa (28/10/2009).
Sebagaimana diketahui, lanjutnya, bahwa pada tanggal 28 Oktober 1954, Presiden Soekarno dan Muhammad Yamin membuka Kongres Bahasa Indonesia yang kedua di Medan, dan Yamin dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kabinet Ali Sastroamijoyo memberikan pidato pembukaan.
Pada saat itu, Soekarno dan Yamin, sedang membangun simbol yang menjadi bagian dari susunan ideologi sebuah bangsa dan negara, dimana pilihannya jatuh pada tanggal 28 Oktober 1928 dan saat itu pula kata “Poetoesan Congres” dibelokkan menjadi “Sumpah Pemuda”.
Penyusupan kata sumpah dimaksudkan untuk menciptakan kesakralan dalam keputusan hasil Kongres Pemuda II tahun 1928. Sehingga, sambung Rizal, pemuda akan berpikir dua kali apabila ingin melanggar tiga poin dalam keputusan kongres tersebut.
Staf peneliti Pussis Unimed, Erond Damanik, mengatakan, pada intinya pembelokan kata Poetoesan Congres menjadi Sumpah Pemuda adalah sebagai upaya untuk membentuk kesadaran nasional atas kemerdekaan bangsa ini.
Sumber:
https://okthaphiajourney.wordpress.com/2010/10/25/sumpah-pemuda-benarkah-ada/
http://strategi-militer.blogspot.co.id/2012/10/naskah-sumpah-pemuda-dimanipulasi.html

Pendapat saya

Pelurusan sejarah memang perlu dilakukan. Namu pengubahan hari Sumpah Pemuda tidak bisa di hilangkan. Seperti yang dikatakan Erond Damanik bahwa Sumpah Pemuda salah satu cara untuk membentuk semangat Nasionalisme.  Mungkin banyak yang menyalahkan M Yamin, namun saya lebih setuju dengan beliau. Undang-undang saja bisa disempurnakan, Tanpa merubah makna dan penyempurnaan ituperlu di catat sebagai sejarah sebenarnya.

Religi Sunda: Menggugat Stempel Hindu-Budha


H. Purwanta
religi sunda
Sejarawan/Arkheolog sangat suka mengkategorikan nusantara pada periode klasik sebagai dipengaruhi oleh Hindu/Budha. Salah satunya adalah ketika menjelaskan keberagamaan masyarakat Sunda. Saat menjelaskan kerajaan Sunda, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II antara lain dituliskan sebagai berikut:

Di Jawa Barat terdapat beberapa buah kerajaan kecil. Selain pusat kerajaan Galuh yang diperintah oleh raja Sena sebelum dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, masih ada kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan Kuningan diperintah oleh Sang Seuweukarma, dan yang rupanya cukup disegani oleh Sanjaya, yaitu kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda ini dikatakan letaknya di sebelah barat Citarum, dan masih dari Carita Parahyangan diketahui bahwa Sanjaya adalah menantu raja Sunda yang bergelar Tohaan (Yang Dipertuan) di Sunda, yaitu Tarusbawa.
Berdasarkan berita-berita yang diperoleh dapat diduga bahwa agama yang dianut pada zaman Sanjaya ialah agama Hindu dari mazhab Siwa. Hal ini antara lain dinyatakan oleh prasasti Canggal, yang memuja dewa Siwa lebih banyak dibandingkan dengan pemujaan kepada kedua dewa Trimurti lainnya. Tentang sifat keagamaan ini, juga tidak bertentangan dengn berita Carita Parahyangan, yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh raja Galuh adalah sewabakti ring balara upati. Upati tentulah rusakan dari kata Sanskerta Utpali atau Utpala, yaitu nama lain untuk Yama, dewa pencabut nyawa. Menurut dongeng-dongeng Bali, Yama ini mempunyai sifat-sifat yang sarna, baik dengan Siwa maupun dengan Kala, dan pemujaan terhadap para dewa itu pun tidak pula berbeda.” Di dalam tradisi sastra Jawa dan Sunda, Utipati ini kini kadang-kadang berubah Utipati, Otipati, atau Odipati. “
Rupanya, pada masa itu sudah tampak, ada tanda-tanda makin berkembangnya pengaruh agama Buddha, yang sebagaimana diketahui kemudian menjadi agama resmi raja-raja Mataram yang mendirikan Borobudur. Tentang ini pun, Carita Parahyangan sudah memberikan petunjuknya, melalui nasihat yang diberikan oleh Sanjaya kepada Rahyang Tamperan, anaknya: … haywa dek nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang reya…, janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak.”

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa sejarawan/arkheolog mengarahkan keberagamaan masyarakat Sunda sebagai “Hindu dari mazhab Siwa”. Pandangan mereka tentu tidak lah sembarangan dan pasti disertai bukti-bukti kuat. Sebagai landasan pandangan mereka paling tidak ada dua, yaitu prasasti Canggal dan Carita Parahiyangan. Agar lebih jelas, di bawah ini disampaikan isi prasasti Canggal:

Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung (Bait 1). Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu (Bait 2-6). Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa (Bait 7). Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung (Bait 8-9). Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha) (Bait 10-11). Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang (Bait 12)

Dari kutipan di atas, tidak ada satu pun kata Hindu atau pun Budha tercantum pada prasasti. Penempatan kerajaan Sunda sebagai beragama Hindu lebih didasarkan pada penyebutan Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu pada prasasti. Siwa, Brahma dan Wisnu memang panteon agama Hindu di India dan dipuja sebagai dewa tetinggi. Permasalahannya adalah apakah di nusantara, khususnya di Sunda, ketiga dewa itu juga dimaknai sama dengan yang ada di India? Dengan kata lain, apakah masyarakat nusantara sama dengan masyarakat India dalam memuja ketiga dewa itu? Jawabnya bisa ya, tapi kemungkinan besar tidak.
Dalam kajian Heidegger, pembaca atau uadience ketika memaknai teks, bukan hanya untuk memahami isi teks, tetapi lebih-lebih untuk menemukan peluang yang disediakan oleh teks demi pengembangan diri pembaca. Contoh kontemporer adalah rantai pada celana yang beberapa waktu lalu populer di kalangan anak muda Indonesia.
dompet-rantai
Tidak dipungkiri bahwa fenomena rantai itu diambil dari Amerika Latin. Akan tetapi, maknanya sama sekali berbeda, bahkan tidak dapat dikatakan apabila anak muda Indonesia mengadopsi Amerika Latin. Di Indonesia makna rantai adalah untuk keamanan dan fashion, sedang di Amerika Latin sebagai ungkapan solidaritas terhadap mereka yang dipenjara. Dari sudut pandang ini, dengan menganut pola yang sama, pengambilan Siwa, Brahma dan Wisnu dari tradisi India adalah untuk mengembangkan religi masyarakat nusantara dan bukan untuk menjadi beragama Hindu atau menjadi orang India dalam memuja ketiga dewa.
Bagaimana posisi dewa-dewi bernama India itu dalam religi masyarakat Sunda? Kedudukan mereka dijelaskan dalam Shangyang Siksakanda ng Karesian sebagai berikut:

Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti ka Batara! Basana: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara: Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan preityaksa.
Ini na parmanggihkeuneun dina sakala, tangtu batara di bwana pakeun pageuh jadi manik sakurungan, pakeuneun teja sabumi. Hulun bakti di tohaan, ewe bakti di laki, anak bakti di bapa, sisya bakti di guru, mantri bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata.

Terjemahan ke bahasa Indonesia sebagai berikut:

Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwa baktilah kepada Batara! Ujarnya: Indra. Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala Semua menemukan “Yang Hak” dan “Yang Wujud”.
Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Batara di dunia agar teguh menjadi “Permata di dalam sangkar”, untuk cahaya seluruh dunia, Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata.

Penggalan Shangyang Siksskanda ng Karesian alinea ke dua di atas memberi gambaran bangun etika sosial yang terdapat pada masyarakat Sunda, yaitu: “Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru”, etika politik, yaitu “mantri tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata”.

Penjenjangan tidak hanya terjadi pada sosial politik, tetapi juga pada religi. Pada baris terakhir alinea pertama dijelaskan bahwa dewa-dewi yang namanya diambil dari pantheon masyarakat India, semua berbakti kepada Batara Seda Niskala. Dengan demikian, dalam religi masyarakat Sunda, para dewa berada di bawah Batara Seda Niskala atau pada teks lain juga disebut sebagai Batara Tunggal dan Batara Jagat. Hal ini jelas berbeda dengan religi masyarakat India yang menempatkan ketiga dewa (Brahma, Siwa dan Wisnu) sebagai yang tertinggi. Oleh karena itu menjadi aneh kalau masyarakat nusantara, khususnya Sunda, dinamakan sebagai beragama Hindu.

Kita akan melanjutkan untuk mencermati pandangan sejarawan tentang keberagamaan masyarakat Sunda. Dikatakan berdasarkan penggalan Carita Parahyangan yang menyatakan bahwa “nasihat yang diberikan oleh Sanjaya kepada Rahyang Tamperan, anaknya: … haywa dek nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang reya…, janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak”, sejarawan/arkheolog menengarai adanya fenomena makin berkembangnya pengaruh agama Buddha.
Teks yang dikutip pada Sejarah Nasional Indonesia itu penggalan kalimat terakhir dari Carita Parahiyangan bagian XIV. Agar memperoleh pemahaman komprehensif, kiranya akan baik kalau membaca secara lebih lengkap. Pada artikel ini dikutipkan bagian XIII dan XIV, untuk lengkapny silahkan buka

XIII

Sakitu ménakna, ini tangtu Rahiyang Sempakwaja. Ndéh nihan ta ujar Rahiyangtang Kuku, lunga ka Arile, ngababakan na Kuningan. Kareungeu ku Rahiyangtang Kuku, inya Sang Seuweukarma ngadeg di Kuningan, seuweu Rahiyang Sempakwaja; ramarénana pamarta ngawong rat kabéh. Dayeuh para dayeuh, désa paradésa, nusa paranusa. Ti KeIing bakti ka Rahiyangtang Kuku: Rahiyangtang Luda di Puntang. Rahiyangtang Wulukapeu di Kahuripan. Rahiyangtang Supremana di Wiru. Rahiyang Isora di Jawa. Sang ratu Bima di Bali. Di kulon di Tungtung Sunda nyabrang ka désa Malayu: Rahiyangtang Gana ratu di Kemir. Sang Sriwijaya di Malayu. Sang Wisnujaya di Barus. Sang Brahmasidi di Keling. Patihnira Sang Kandarma di Berawan. Sang Mawuluasu di Cimara-upatah. Sang Pancadana ratu Cina. Pahi kawisésa, kena inya ku Rahiyangtang Kuku. Pahingadegkeun haji sang manitih Saunggalah. Pahi ku Sang Seuweukarma kawisésa, kena mikukuh tapak Dangiyang Kuning. Sangucap ta Rahiyang Sanjaya di Galuh, “Kumaha sang apatih, piparéntaheun urang ?. Hanteu di urang dipikulakadang ku Rahiyangtang Kuku. Sang apatih, leumpang, dugaan ku kita ka Kuningan. Sugan urang dipajar koyo ilu dina kariya, ja urang hanteu dibéré nyahoan, daék lunga.” Sang patih teka maring Kuningan, marék ka kadaton, umun bakti ka Rahiyangtang Kuku. Ujar Rahiyangtang Kuku, “Deuh sang apatih, na naha na béja kita, mana kita datang ka dinih?” Ujar sang apatih, “Kami pun dititahan Rahiyangtang Sanjaya. Disuruh ngadugaan ka dinih. Saha nu diwastu dijieun ratu?” Carék Rahiyangtang Kuku, “U sang apatih, yogya aing diwastu dijieun ratu ku na urang réa. Ngan ti Rahiyang Sanjaya ma hanteu nitah ku dék kulakadang deung hamo ka kami, ja bogoh maéhan kulakadang baraya. Ja aing ogé disalahkeun ka Kuningan ku Rahiyang Sempakwaja. Aing beunang Rahiyang Sempakwaja nyalahkeun ka Kuningan ini. Mana aing mo dijaheutan ku Rahiyang Sanjaya.” Pulang deui sang apatih ka Galuh. Ditanya ku Rahiyang Sanjaya, “Aki, kumaha carék Rahiyangtang Kuku ka urang?” “Pun Rahiyang Sanjaya! Rahiyangtang Kuku teu meunang tapana. Mikukuh Sanghiyang Darma kalawan Sanghiyang Siksa. Nurut talatah Sang Rumuhun, gawayangkeun awak carita. Boh kéh ku urang turut tanpa tingtimanana. Biyaktakeun ku urang, ja urang sarwa kaputraan, urang deung Tohaan pahi anak déwata. Ndéh inalap pustaka ku Rahiyang Sanjaya. Sadatang inungkab ikang pustaka. Sabdana tangkarah, “Ong awignam astu krétayugi balem raja kretayem rawanem sang tata dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang aparanya ratuning déwata sang adata adininig ratu déwata sang sapta ratu na caturyuga.” “Dah umangen-angen ta Sang Resi Guru sidem magawéy Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati. Mangkana manak Rahiyangtang Kulikuli, Rahiyangtang Surawulan, Rahiyangtang Pelesawi. Rahiyangtang Rawunglangit, kamiadi Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun mangka manak Rahiyangtang Sempakwaja, Rahiyangtang Mandiminyak. Rahitangtang Mandiminyak mangka manak Sang Séna, Rahiyang Sang Séna mangka manak Rahiyang Sanjaya.”

XIV

Bo geulisan Dobana bawa bahetra piting deupa, bukana bwatan sarwo sanjata. “Urang ka nusa Demba!” Data sira lunga balayar. Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek mwatkeun Pwah Sang kari Pucanghaji Tunjunghaji ditumpakkeun dina liman putih. Dék ngajangjang turut buruan; momogana teka Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma ka nusa Demba, tuluy ka kadatwan, calik tukangeun Sang Siwiragati. Rahiyangtang Kuku dihusir ku liman putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari. Hanteu aya pulang deui ka kadatwan liman putih ta, bakti ka Rahiyangtang Kuku. Pulang deui Rahiyangtang Kuku ka Arile, dibawa na liman putih deung Pwah Sangkari. Manguni : “Naha hanteu omas saguri, sapetong, sapaha sapata-payan?” Tuluy ka Galuh ka Rahiyang Sanjaya, hanteu sindang ka Arile. Dibawa na liman putih, dirungkup ku lungsir putih tujuh kayu diwatang ku premata mas mirah komara hinten. Datang siya ti désa Demba, tuluy ka kadatwan. Sateka Rahiyangtang Kuku ring kadaton, mojar ka Rahiyang Sanjaya. naha suka mireungeuh liman putih. Tanyana: “Mana?” “Tuluy dipitutunggangan, diaseukeun Pwah Sangkari ka Rahiyang Sanjaya. Sateka ring dalem hanteu pulang deui. Dah Rahiyang Sanjaya: “Naha tu karémpan? Aing ayeuna kreta, aing deung bapangku, Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma. Hanteu ngalancan aing ayeuna. Ajeuna nu tangkarah : “Alas Dangiyang Guru di tengah, alas Rahiyang Isora di wétan paralor Paraga deung Cilotiran, ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda.” Dah sedeng pulang Rahiyangtang Kuku ka Arile, sadatang ka Arile panteg hanca di bwana, ya ta sapalayaga dirgadisi lodah. Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang Tamperan: “Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya.” Lawasniya ratu salapan tahun, disiliban ku Rahiyang Tamperan.

Pada kutipan bagian XIII diceritakan tentang Rahiyangtang Kuku yang membangun kekuasaan di Arile, Kuningan dengan bergelar Seuweukarma. Dia memperoleh kesuksesan dan bahkan kekuasaannya menjulang sampai Keling dan Cina. Hal itu membuat Sanjaya yang bertahta di Galuh merasa iri terhadap kekuasaan Seuweukarma yang tidak lain adalah pamannya. Dia mengutus patih untuk ke kuningan. Sepulangnya ke Galuh, patih menceritakan bahwa kesuksesan Rahiyangtang Kuku adalah karena kuatnya tapa yang dilakukan, serta selalu menjalankan nasehat-nasehat leluhur yang terdapat pada Sanghiyang Darma dan Sanghiyang Siksa.
Pada bagian XIV diceritakan tentang usaha Rahiyangtang Kuku untuk membuat gembira hati Sanjaya. Dia pergi ke pulau Demba dan berhasil memperoleh gajah putih beserta puteri cantik bernama Pwah Sangkari. Dari pulau Demba, dia langsung ke istana Galuh untuk memberikan gajah putih, puteri Pwah Sangkari beserta emas berlian kepada Sanjaya sebagai hadiah. Hal itu membuat Sanjaya gembira dan menyatakan bahwa antara dia dengan pamannya tidak ada lagi permusuhan. Setelah selesai, Rahiyangtang Kuku pulang ke Arile di Kuningan. Sesampai di istananya, Rahiyangtang Kuku mangkat. Mendengar itu, Rahiyang Sanjaya menasehati anaknya, Rakeyan Panaraban, yaitu Rahiyang Tamperan: ‘Jangan ikuti cara saya, karena saya telah membuat orang-orang takut padaku. “
Dengan menyimak teks Carita Parahiyangan secara lebih lengkap tampak bahwa kata atau istilah “agama” pada teks, sama sekali tidak ada kaitannya dengan Hindu maupun Budha. Kata “agama” di situ lebih merupakan cara, perilaku dan sifat Rahiyang Sanjaya yang dipenuhi rasa iri dan permusuhan terhadap pamannya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sejarawan/arkheolog memaksakan stempel Hindu/Budha pada masyarakat Sunda?

Sumber : http://citralekha.com/religi-sunda/

Pemilu Dalam Sejarah

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan" Demokrasi perwakilan adalah sebuah varietas demokrasi yang didirikan di atas dasar prinsip sedikit orang yang dipilih untuk mewakili sekelompok orang yang lebih banyak (sumber id.wikipedia.org)

Pemilihan Umum atau disingkat Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi di NKRI. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan (kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya (representative democracy) adalah melalui Pemilu. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

Pemilu 1955

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia setelah kemerdekaan tahun 1945. Inilah tonggak pertama masyarakat Indonesia belajar tentang demokrasi. Indonesia baru yang sangat muda terseok- seok dalam mempersiapkan pemilu. Situasi keamanan yang belum kondusif, kabinet yang penuh friksi, dan gagalnya pemerintahan baru menyiapkan perangkat Undang-Undang pemilu membuat pemungutan suara baru bisa dilaksanakan 10 tahun setelah kemerdekaan.
Dalam pemilu pertama ini masyarakat memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Konstituante adalah lembaga negara yang ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar baru menggantikan UUD sementara 1950. Anggota angkatan bersenjata dan polisi ikut berpartisipasi dalam pemungutan suara.
Pemilu tahun 1955 diadakan dalam dua periode. Pada periode pertama tanggal 29 September 1955 masyarakat memilih anggota DPR. Lalu, pada periode kedua pada 15 Desember 1955 masyarakat memilih anggota Konstituante. Tak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri.
Pada Maret 1956 parlemen terbentuk dengan jumlah angggota sebanyak 272 orang. Ada 17 fraksi yang mewakili 28 partai peserta pemilu, organisasi, dan perkumpulan pemilih. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang. Mereka dilantik pada 10 November 1956.
Selanjutnya, kondisi politik Indonesia pasca pemilu 1955 sarat dengan berbagai konflik. Akibatnya, pemilu berikutnya yang dijadwalkan pada tahun 1960 tidak dapat terselenggara. Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959 yang membubarkan DPR dan Konstituante hasil pemilu 1955 serta menyatakan kembali ke UUD 1945. Soekarno secara sepihak membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat oleh presiden.

Pemilu 1971

Gonjang-gonjang politik pasca pemilu 1955 berujung pada huru-hara gerakan 30 september Partai Komunis Indonesia pada tahun 1966. Presiden Soekarno yang memimpin Indonesia sejak tahun 1945 akhirnya lengser satu tahun kemudian. Pada tahun 1968 Soeharto ditetapkan oleh MPR Sementara sebagai Presiden Indonesia. Era kepemimpinan Soeharto selanjutnya disebut sebagai zaman orde baru, untuk membedakan dengan zaman Soekarno yang disebut sebagai orde lama.
Tiga tahun memerintah Indonesia, Soeharto akhirnya menggelar pemilu kedua yang tertunda-tunda di negeri ini pada 5 Juli 1951. Ini adalah pemilu pertama setelah orde lama atau pemilu pertama di zaman orde baru. Pemilu diikuti oleh 10 partai politik dari beragam aliran politik. Hal baru yang menarik pada pemilu tahun ini adalah ketentuan yang mengharuskan semua pejabat negara bersikap netral. Ini berbeda dengan pemilu tahun 1955 di mana para pejabat negara yang berasal dari partai ikut menjadi calon partai secara formal. Namun, dalam prakteknya, para pejabat negara berpihak ke salah satu peserta pemilu yaitu Golongan Karya. "Rekayasa politik" orde baru yang berlangsung hingga 1998 di mulai pada tahun ini. Sejumlah kebijakan ditelurkan demi menguntungkan Golongan Karya.

Pemilu Orde Baru (1977-1997)
Pasca pemilu 1971 ada lima pemilu yang diselenggarakan di bawah rezim orde baru, yaitu pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Lima pemilu itu berlangsung "seragam" dan diikuti oleh dua partai yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Pemilu selalu dimenangkan oleh Golongan Karya dan MPR selalu menunjuk Soeharto sebagai Presiden.
Setelah pemilu 1971 yang diikuti 10 konstestan, terbitlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Undang-Undang baru ini mengatur soal penggabungan partai politik. Sembilan partai politik yang ada diciutkan menjadi hanya dua. Partai-partai beraliran islam bergabung dalam satu wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara, partai-partai di luar islam bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kedua partai itu bertarung dengan Golongan Karya dalam setiap pemilu di masa orde baru.
Selama periode orde baru masyarakat Indonesia memilih partai dalam setiap pemilu. Lalu partai menentukan siapa yang menjadi wakil rakyat di Dewan Permusyarawatan Rakyat (DPR). Semua anggota DPR adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selain anggota DPR, anggota MPR berisikan utusan golongan. MPR bermusyawarah untuk menunjuk presiden.
Pemilu 1977 : 2 Mei
Pemilu 1982 : 4 Mei
Pemilu 1987 : 23 April
Pemilu 1992 : 9 Juni
Pemilu 1997 : 29 Mei

Pemilu 1999

Pemilu 1999 merupakan tonggak baru demokrasi Indonesia. Penguasa Orde Baru Soeharto mundur dari kekuasaan pada 20 Mei 1998 karena desakan masyarakat. BJ Habibie yang semula adalah wakil presiden naik menjadi Presiden menggantikan Soeharto. Roh demokrasi yang semasa rezim orde baru dipasung hidup kembali. Ratusan partai politik terbentuk dan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu. Komisi Pemilihan Umum melakukan seleksi dan meloloskan 48 partai politik. Golkar yang semula bukan partai di tahun ini berubah menjadi partai politik. Lima besar partai pemenang pemilu adalah:

No Partai Suara Persen Kursi DPR
1 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 35.689.073 33,74 153
2 Partai Golkar  23.741.749 22,44 120
3 Partai Persatuan Pembangunan 11.329.905 10,71 58
4 Partai Kebangkitan Bangsa 13.336.982 12,61 51
5 Partai Amanat Nasional 7.528.956 7,12 34

Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi partai pemenang, namun ketua umum partainya, Megawati Soekarnoputri, gagal menjadi presiden. Di zaman ini presiden masih dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Musyawarah di MPR memutuskan mengangkat Abdurrahman Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa sebagai presiden dengan Megawati sebagai wakil presiden.

Pemilu 2004

Pemilu 2004 menjadi catatan sangat penting dalam sejarah pemilu di Indonesia. Pada tahun ini untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih langsung wakilnya di parlemen dan pasangan presiden dan wakil presiden. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu pelaksanaan pemilu dibagi menjadi dua yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Pemilu legislatif
Pemilu legislatif digelar sebagai rangkaian pertama pada 5 April 2004 dan diikuti 24 partai politik. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju pada pemilihan Presiden.
Hasil lima besar pemilu legislatif 2004

No Partai Suara Persen Kursi DPR
1 Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58 128
2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,53 109
3 Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57 52
4 Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15 58
5 Partai Demokrat 8.455.225 7,45 57

Pemilu Presiden
Pemilu presiden tahun 2004 diikuti lima pasang calon yaitu,
  1. Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla
  2. Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi
  3. Wiranto - Solahuddin Wahid
  4. Amien Rais – Siswono YudoHusodo
  5. Hamzah Haz – Agum Gumelar
Hasil pemilu presiden putaran pertama 5 April 2004
Ranking Pasangan Capres Suara Persen
1 Susilo B.Y. - J. Kalla 36.070.622 33.58 %
2 Megawati - Hasyim M. 28.186.780 26.24 %
3 Wiranto-Sallahudin W. 23.827.512 22.19 %
4 AmienRais - Siswono Y.H. 16.042.105 14.94 %
5 Hamzah H. - Agum G. 3.276.001 3.05 %
Jumlah Suara 107.403.020 100%
Sumber data : KPU

Karena tidak ada yang memperoleh suara 50 persen plus satu, maka diselenggarakan putaran kedua yang diikuti oleh dua besar yaitu pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla dan Megawati Soekarno putri - Hasyim Muzadi.
Hasil pemilu presiden putaran kedua 5 Juli 2004

PEMILU 2009

Pemilu Legislatif 2009 digelar pada 9 April 2009 dan diikuti 38 partai politik. Ribuan calon anggota legislatif memperebutkan 560 kursi DPR, 132 kursi DPD, dan banyak kursi di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Untuk pertama kalinya, sistem sistem proporsional terbuka diterapkan pada Pileg 2009. Melalui sistem ini, pemilih tak lagi memilih partai politik, melainkan caleg. Penetapan calon terpilih pada suatu daerah pemilihan dilakukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan nomor urut.

Sebanyak 121.588.366 pemilih yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia berpartisipasi dalam pileg 2009. Partai Demokrat yang dipimpin oleh Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangi pileg 2009 dengan meraup 21.703.137 suara atau sebanyak 20,85 persen. Selain itu, ada 8 partai lainnya yang lolos parliamentary threshold, yakni, Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, dan Partai Gerindra.

Sejarah Pergerakan Buruh Indonesia

Sejarah singkat hari buruh

Pada tanggal 1 Mei tahun 1886, sekitar 400.000 buruh di Amerika Serikat mengadakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pengurangan jam kerja mereka menjadi 8 jam sehari. Aksi ini berlangsung selama 4 hari sejak tanggal 1 Mei.

Pada tanggal 4 Mei 1886. Para Demonstran melakukan pawai besar-besaran, Polisi Amerika kemudian menembaki para demonstran tersebut sehingga ratusan orang tewas dan para pemimpinnya ditangkap kemudian dihukum mati, para buruh yang meninggal dikenal sebagai martir. Sebelum peristiwa 1 Mei itu, di berbagai negara, juga terjadi pemogokan-pemogokan buruh untuk menuntut perlakukan yang lebih adil dari para pemilik modal.

Pergerakan buruh Indonesia

Pergerakan buruh di Indonesia penuh dengan liku-liku sejarah yang panjang dan melelahkan. Beberapa tonggak sejarah besar dan berpengaruh telah ditancapkan oleh buruh Indonesia. Namun, masa panjang perjuangan pergerakan buruh Indonesia tidak akan berakhir.

1878
Muncul serikat buruh guru Bahasa Belanda yang dipengaruhi oleh pergerakan sosial demokrat di Belanda. Pada masa itu serikatburuh tampil sebagai organisasi golongan yang hanya menampung kulit putih.

1879
Lahir Nederland Indische Onderwys Genootschap (NIOG),Serikat Pekerja Guru Belanda.

1905
Lahir Serikat Pekerja Pos (Pos Bond).

1906
Lahir Serikat Pekerja Perkebunan (Cultuur Bond) dan SerikatPekerja Gula (Zuiker Bond).

1907
Lahir Serikat Pegawai Pemerintah.

1908
Lahir Vereniging Spoor-Traam Personeel (VSTP) dipimpin oleh Semaoen.

1909
Pada 26 September di kalangan Tionghoa di Jakarta dibentuk Tiong Hoa Sim Gie dipimpin oleh Lie Yan Hoei. Empat bulan kemudian kelompok ini merubah nama menjadi Tiong Hoa Keng Kie Hwee yang kemudian menjadi inti dari Federasi Kaoem Boeroeh Tionghoa.

1911
Lahir Perkumpulan Bumi Putra Pabean (PBPP).

1912
Lahir Sarekat Dagang Islam (SDI) yang bergerak di bidang perekonomian dan perdagangan, Serikat Islam sebagai serikatburuh kaum pribumi dan Persatuan Guru Bantu (PGB).

1913
Lahir Serikat Pekerja Kereta Api (Spoor Bond).

1914
Lahir Persatuan Pegawai Pegadaian Bumiputra (PPPB).

1915
Lahir Serikat Pekerja Perusahaan Swasta (Partikulir) / (SPPP).

1916
Lahir Serikat Pekerja Opium Regie Bond (ORB).

1917
Lahir Serikat Pekerja Pabrik Gula.

1918
Pada bulan Agustus lahir PFB (Personeel Fabriek Bond) yang beranggotakan buruh tetap, Perkumpulan Tani dan koperasi yang kemudian lazim disebut sebagai Sarekat Tani dengan anggota kuli kenceng atau pemilik tanah yang disewa pabrik, serta Perserikatan Kaum Buruh Umum (PKBO) yang beranggotakan buruh musiman. Ketiga perhimpunan itu diketuai Suryopranoto yang juga menyebut dirinya sebagai komandan Tentara Buruh Adidarmo.

1919
Lahir Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dipimpin oleh Semaoen.

1920
Pemogokan buruh terjadi pada 72 pabrik gula di seluruh Jawa. Dari jumlah itu 28 pemogokan terjadi pada masa sebelum dan sesudah giling yang meliputi 4.700 pekerja; sedangkan pemogokan yang lain terjadi dalam masa giling (dari bulan Mei sampai Oktober) dengan pemogokan terdiri dari 20.716 orang. Pemogokan yang terjadi di luar musim giling biasanya terpaksa dilakukan sebagai reaksi tindakan pengusaha yang dianggap tidak adil dan sewenang-wenang. Dari jumlah 4.700 pemogok sebagian besar terdiri dari tukang yang berperan penting dalam menjalankan proses produksi di pabrik gula. Pemogokan dalam musim giling biasanya dilakukan atas inisiatif buruh karena motif-motif ekonomis. Gerakan telah dipersiapkan sehingga meskipun pemogok yang terdiri dari buruh tetap hanya mencapai 1.997 orang tetapi mereka mampu memimpin sejumlah besar buruh musiman (7.584 orang) dan buruh tidak tetap sekitar pabrik (11.135 orang).

1920
Para pekerja anggota Personeel Fabrik Bond (PFB) mogok kerja, menuntut majikan supaya mau mengakui keberadaanSerikat Pekerja mereka.

1921
Harga gula, komoditas andalan Belanda di tanah jajahannya jatuh di pasaran dunia. Pemodal Belanda yang mengalami kerugian cukup besar terpaksa harus menekan ongkos produksi secara besar-besaran, diantaranya adalah dengan memangkas upah buruh. Buruknya kondisi kerja waktu itu memicu pergolakan aksi buruh. Pemerintah mengaktifkan kantor Pengawasan Perburuhan yang berada dibawah Departemen Kehakiman. Ia punya bagian yang secara terpusat mengawasi pergerakan serikat buruh dan mengamati kebutuhan dikeluarkannya peraturan hukum baru menyangkut perburuhan.

1922
Para pekerja pelabuhan Surabaya melancarkan aksi mogok kerja, menuntut perbaikan nasib. PPKB dan Revolutionaire Vakcentrale berhasil membangun aliansi yang bernama PVH (Persatuan Vakbond Hindia).

1923
Pegawai Kereta Api mogok kerja. Tuntutan mereka kala itu kurang berhasil. Pemerintah kolonial melarang adanya aksi mogok kerja, yang dilakukan kaum pekerja dan segera dikeluarkan Undang-Undang tentang larangan mogok kerja (artikel 161 bis Buku Hukum Pidana) tanggal 10 Mei 1923. Serikat Pekerja Kereta Api dan Trem-Vereniging van Spoor en Trem Personeel (VSTP) menjadi anggota Gabungan SerikatPekerja International yaitu International Federation of Trade Union (IFTU) yang bermarkas besar di Moskow Rusia.
Revolutionaire Vakcentrale membangun hubungan dengan Profintern (Red International Labour Union) dan menjadi anggotanya.

1924
Pada bulan Juni Serikat Pekerja Indonesia bersama-samaSerikat Pekerja Filipina, India, Jepang dan Tiongkok di undang untuk menghadiri Konferensi Serikat Pekerja Angkutan Laut di Kanton. Dengan demikian keberadaan dan kehidupanSerikat Pekerja di samping Iebih erat menjalin hubungan kerja sama dengan Serikat-Serikat Pekerja Internasional, juga lebih memperkuat posisi.

1926
PVH (Persatuan Vakbond Hindia) berakhir akibat dari kegagalan aksi politik PKI yang disusul penangkapan besar-besaran terhadap aktivis RV.
1930
Serikat Kaum Buruh Indonesia (SKBI) dibubarkan oleh pemerintah kolonial, dicurigai turut aktif dalam kegiatan perjuangan kebangsaan.

1932
Lahir dua organisasi Serikat Pekerja, yaitu Persatuan Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) dan Persatuan SerikatPekerja Indonesia (PSPI), yang didirikan oleh dr. Soetomo.

1937
Direktur Intemasional Labour Organization (ILO), Harold B. Butle berkunjung ke Indonesia pada bulan Oktober untuk memperoleh informasi tentang perkembangan kehidupan perburuhan di Indonesia yang akan dijadikan bahan laporan dalam Konfrensi ILO.

1938
Lahir gerakan politik yang bekerja sama dengan gerakanserikat pekerja untuk bersama-sama melindungi dan membebaskan hak-hak dan kepentingan pekerja, memberantas pengangguran, mengantisipasi tantangan industrialisasi yang menggusur lapangan usaha kerajinan rakyat.

1940
Pemerintah kolonial mengeluarkan Ordonansi Regeling Arberdsverhouding (ORA), suatu peraturan yang mengatur tentang jaminan dan perlindungan kaum pekerja di perusahaan-perusahan swasta (partikelir).

1945
Pada 15 September lahir sebuah organisasi massa buruh yang bernama BBI (Barisan Buruh Indonesia). BBI mengutamakan barisan buruh untuk memudahkan mobilisasi oleh serikatsekerja dan Partai Buruh. Dalam kongresnya pada bulan September 1945 yang dihadiri oleh kaum buruh dan tani, tercetuslah Partai Buruh Indonesia. BBI juga sepakat untuk menuntaskan revolusi nasional. Untuk mempertahankan tanah air dari serangan musuh, BBI membentuk Laskar Buruh bersenjata di pabrik-pabrik. Untuk kaum perempuan dibentuk Barisan Buruh Wanita (BBW).

1946
BBI dilebur menjadi GASBI (Gabungan Serikat Buruh Indonesia). Serikat buruh yang tidak sepakat dengan struktur GASBI keluar dan membentuk GASBV (Gabungan SerikatBuruh Vertikal). Tetapi pada bulan November, tahun yang sama, atas usaha Alimin dan Harjono, GASBI dan GASBV berhasil dilebur menjadi SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia).

1948
SOBSI sempat mengalami perpecahan akibat perbedaan sikap dalam menanggapi perjanjian Renville. Tetapi tidak lama kemudian SOBSI berhasil kembali mengkonsolidasikan pecahan-pecahannya. Bahkan dalam pernyataan politiknya tahun 1948, SOBSI kemudian menegaskan menolak perjanjian Renville. SOBSI kemudian menyatakan keluar dari HISSBI (HimpunanSerikat-serikat buruh Indonesia) karena perbedaan garis politik.

1957
Soekarno mengeluarkan dua konsepsi mengenai kabinet karya dan dewan nasional. Kabinet karya ini adalah kabinet eksekutif yang menampung orang-orang di parlemen dan partai politik. Buruh sebagai golongan fungsional mendapatkan tempat di Dewan Perancang Nasional. Anggota Dewan ini 77 orang, dan dari 77 itu ada lima wakil angkatan buruh/pegawai yaitu dari SOBSI, SOBRI,RKS dan dua orang dari KBKI. Sementara di Dewan Pertimbangan Agung, duduk dua orang wakil dari buruh yaitu dari SOBSI dan KBKI.

1965
Perubahan rezim dari orde lama ke orde baru di bawah pimpinan Jenderal Suharto banyak sekali perubahan-perubahan atau kebijakan-kebijakan yang sangat merugikan rakyat seperti : ada beberapa organisasi buruh yang dilarang yaitu SOBSI, BTI, dan LEKRA dengan alasan bergabung dengan PKI. Pemerintah orde baru menindak tegas ketika ada gerakan-gerakan buruh atau rakyat yang dianggap bertentangan dengan kebijakan mereka. Dalam waktu singkat dari tahun 1965-1969 negara berhasil mengontrol gerakan buruh dan rakyat secara ketat membatasi ruang gerak aktifitasnya.

1973
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) didirikan sebagai satu-satunya serikat buruh yang diakui pemerintah.

1990
Pada bulan November serikat buruh independen pertama dibentuk dengan nama Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBM-SK) di bawah kepemimpinan HJC. Princen. Karena adanya konflik internal dan tekanan pemerintah, serikat ini berhenti beraktivitas.

1992
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) didirikan pada 25 April oleh sekelompok aktivis pro-demokrasi yang mengadakan “pertemuan buruh nasional” di Cipayung, Jawa Barat. Hadir sekitar 100 buruh dari 18 propinsi. SBSI mendapat dukungan dari Abdurrahman Wahid (NU), Sabam Sirait (PDI) dan Asmara Nababan. Mochtar Pakpahan, seorang lawyer buruh dari Medan menjadi Sekjen SBSI.

1993
Pada 14 Juni, 7 buruh pabrik udang, PT. Tambaksari Jalmorejo di Medan di-PHK karena menjadi anggota SBSI. Kongres SBSI yang sedianya diselenggarakan pada 29 Juli tidak mendapat ijin pemerintah.

1994
Konfederasi Serikat Pekerja Bebas Internasional mengajukan pengaduan resmi terhadap Indonesia ke Organisasi Buruh Internasional, ILO. Mereka menuduh pemerintah menolak hakpekerja untuk membentuk serikat pekerja atas pilihan mereka sendiri, mengganggu organisasi pekerja independen, dan melakukan tindakan yang bertentangan dengan standar ILO mengenai kebebasan berserikat dan hak untuk tawar-menawar kolektif.
Serikat buruh independen ketiga, Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), lahir pada bulan Oktober.
Permohonan Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) untuk didaftar sebagai serikat pekerja kembali ditolak pada bulan November. Departemen Tenaga Kerja juga menghalangi niat SBSI untuk mendaftar pada Departemen Dalam Negeri sebagai organisasi sosial di bawah Undang-undang Keormasan. Pemerintah menganggap SBSI tidak sah.

1995
Struktur Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), dengan 13 federasi serikat pekerja sektoralnya berubah dari kesatuan (sentralisasi) menjadi federasi (desentralisasi) dengan nama Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI). Ke-13 sektor industrinya didaftar sebagai serikat pekerja nasional yang terpisah; SPSI merupakan satu-satunya federasi serikatpekerja yang diakui oleh Departemen Tenaga Kerja. Menteri Tenaga Kerja menyatakan bahwa serikat pekerja yang dibentuk harus berafiliasi dengan SPSI, dan bahwa pemerintah tidak akan mengakui setiap serikat pekerja di luar federasi.

1996
PPBI membantu mengorganisasi demo buruh pada bulan Juli di Surabaya. Dengan partisipasi sekira 15.000 buruh dari 10 pabrik, demo ini barangkali merupakan demonstrasi terbesar di masa Orde Baru.

1998
Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) diakui oleh pemerintah. Ketuanya, Mochtar Pakpahan, dibebaskan pada bulan Mei setelah beberapa tahun mendekam di penjara.

2000
Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang SerikatPekerja/Serikat Buruh disahkan di Jakarta pada 4 Agustus oleh Presiden Abdurrahman Wahid.

2003
Kongres Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) yang merupakan gabungan dari 12 organisasi serikat pekerja melaksanakan kongres pendirian pada bulan Januari di Jakarta.

2004
Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang bertujuan untuk memperjuangkan aspirasi Buruh Migran Indonesia di tingkat nasioanal maupun internasional dideklarasikan di Semarang pada tanggal 10 Juli. Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) Sumatera Utara mendapat kehormatan menjadi tuan rumah kongres World Federation of Clerical Workers (WFCW) pada 1-4 November. WFCW beranggotakan 70 negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika, merupakan federasi dari World Confederation of Labour (WCL), organisasi buruh dunia yang terkuat.

diambil dari berbagai sumber
http://sejarahbangsaindonesia.blogdetik.com/2011/06/02/soekarno-dan-pergerakan-buruh/
http://fkispsibekasi.wordpress.com/2011/06/27/sejarah-serikat-buruh-di-indonesia/
http://fkui-sbsipasuruan.blogspot.com/2011/04/sejarah-gerakan-buruh-di-indonesia.html
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=576865279033058&set=a.185914311461492.58951.185906164795640&type=1&relevant_count=1