Tampilkan postingan dengan label Proklamasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Proklamasi. Tampilkan semua postingan

Sejarah Pramuka Indonesia

PRAMUKA adalah organisasi pendidikan nonformal yang menyelenggarakan pendidikan kepanduan di Indonesia. Anak – anak yang sudah memasuki usia sekolah tentunya tidak akan asing lagi dengan kegiatan kepramukaan yang biasanya menjadi salah satu kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Kegiatan yang mewajibkan anggotanya berpakaian coklat muda untuk pakaian atasan dan coklat tua untuk bawahannya tersebut sangat identik dengan kegiatan kaum muda. Pramuka sudah menjadi sebuah organisasi yang berkembang secara internasional, dan dapat diterima di seluruh dunia karena manfaatnya yang nyata.

Pramuka merupakan singkatan dari praja muda karana, yang memiliki arti rakyat muda yang suka berkarya.Tapi sebelum singkatan ini ditetapkan, kata Pramuka asalnya diambil oleh Sultan Hamengkubuwono IX dari kata "Poromuko" yang berarti pasukan terdepan dalam perang. Dalam dunia internasional, Pramuka disebut dengan istilah ‘Kepanduan’ (Boy Scout).

Sejarah pramuka di Indonesia tidak terlepas dari Gagasan Baden PowelI yang merupakan Bapak Pandu sedunia. Lord Robert Baden-Powell Of Gilwell menuliskan pengalaman dalam pembinaan remaja di negara lnggris, yang kemudian tumbuh berkembang menjadi gerakan kepanduan (kepramukaan).
Pramuka atau yang dikenal dengan nama Scouting di dunia internasional merupakan suatu gerakan yang membidik atau mendukung orang – orang muda dalam fisik, mental dan perkembangan spiritual, bahwa mereka sebagai orang muda mungkin memerankan peran konstruktif di masyarakat, dengan difokuskan terhadap kemampuan luar ruangan dan bertahan hidup. Saat ini ada lebih dari 40 juta pramuka dewasa dan muda, pria dan wanita, dalam lebih dari 200 negara dan wilayah.

Ide cemerlang Baden-Powell yang ditulis dalam buku Scouting for Boys menyebar ke berbagai negara, termasuk ke Belanda dengan nama "Padvinder". Oleh orang Belanda, gagasan itu dibawa ke Hindia Belanda (Indonesia) yang merupakan daerah jajahannya. Kemudian didirikanlah organisasi bernama NIPV (Nederland Indische Padvinders Vereeniging atau Persatuan Pandu-Pandu Hindia Belanda).

Melihat gerakan kepanduan itu, tokoh-tokoh gerakan nasional berniat mendirikan Padvinders (Pandu) untuk anak bangsa dan kemudian muncullah Padvinders Indonesia seperti JPO (javaanse Padvinders Orgcmizatie), JJP (jong java Padvindery), NATIPIJ (Nationale Islamftsche Padvinderzj), SIAP (Sarekat Islam Afdeling Padvindery), dan Padvinders Muhammadiyah yang kemudian menjadi nama Hizbul Wathan atau HW.

Sejarah telah mencatat bahwa gerakan pramuka (kepanduaan) turut berperan aktif dalam Kongres Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928 yang mencetuskan sumpah pemuda sehingga kepanduan Indonesia semakin berkembang. KH Agus Salim mencetuskan ide untuk mengganti Padvenders dengan nama Pandu atau kepanduan setelah adanya larangan Pemerintah Hindia Belanda menggunakan istilah Padvindery.

Dengan meningkatnya kesadaran nasional setelah Sumpah Pemuda, maka pada tahun 1930 organisasi kepanduan seperti IPO, PK (Pandu Kesultanan), dan PPS (Pandu Pemuda Sumatra) bergabung menjadi KBI (Kepanduan Bangsa Indonesia). Kemudian tahun 1931 terbentuklah PAPI (Persatuan Antar Pandu Indonesia) yang kemudian berubah menjadi BPPKI (Badan Pusat Persaudaraan Kepanduan Indonesia) pada tahun 1938.

Pada masa penjajahan Jepang, pergerakan Kepanduan sempat dilarang karena para pandu ikut terjun dan bahu-membahu memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun, idealisme dan semangat tetap menjiwai para pandu.

Setelah kemerdekaan Indonesia, terbentuklah Pandu Rakyat Indonesia di Solo pada tanggal 28 Desember1945 yang merupakan satu-satunya organisasi kepanduan Indonesia dengan keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Nomor 93/Bhg.A, tanggal 1 Februari 1947.
Pada awal tahun 1950, banyak bermunculan organisasi-organisasi kepanduan sehingga Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan, mengganti keputusan Nomor 93/Bhg.A, Tanggal 1 Februari 1947 dengan Keputusan Nomor 23441/ Kab, Tanggal 6 September 1951.
Hal ini memungkinkan organisasi kepanduan lain selain Pandu Rakyat Indonesia. Pada tanggal 16 September 1951, terbentuklah IPINDO (Ikatan Pandu Indonesia) yang diterima menjadi anggota Internasional Conference (Organisasi Kepanduan Sedunia) mewakili Indonesia masuk dalam Far East Regional Scout Officer pada tahun 1953.

Pada tahun 1954, terbentuklah organisasi POPPINDO (Persaudaraan Organisasi Pandu Puteri Indonesia) dan PKPI (Kepanduan Putri Indonesia) yang melebur menjadi PERKINDO (Persatuan Kepanduan Indonesia).

Perkembangan Gerakan Pramuka Indonesia

Dalam kurun waktu 1950-1960 banyak organisasi kepanduan tumbuh di Indonesia. 100 organisasi kepanduan yang terhimpun dalam tiga federasi organisasi, yaitu IPINDO, POPPINDO dan PKPI. Pada tanggal 9 Maret 1961, Presiden Soekarno memberikan amanat pemimpin pandu di Istana Merdeka.

Presiden Soekarno menyatakan pembubaran semua organisasi kepanduan di Indonesia dan kemudian meleburnya menjadi organisasi baru yang bernama Gerakan Pramuka dengan lambang tunas kelapa. Dengan bantuan Perdana Menteri Ir Juanda, maka perjuangan menghasilkan Keppres No 238 Tahun 1961 tentang Gerakan Pramuka yang pada tanggal 20 Mei 1961 ditandatangani oleh Pjs Presiden RI Ir Juanda karena Presiden Soekarno sedang berkunjung ke Jepang.

Akhirnya Gerakan Pramuka diperkenalkan resmi kepada khalayak pada tanggal 14 Agustus 1961 bersamaan dengan Presiden RI menganugerahkan panji-panji sebagai penghargaan keikutsertaan para pandu dalam mengisi kemerdekaan Indonesia. Sejak itulah, pada tanggal 14 Agustus 1961 ditetapkan sebagai Hari Pramuka yang setiap tahun diperingati seluruh anggota Gerakan Pramuka se-Indonesia.

Tidak hanya di Jakarta, namun juga di berbagai daerah di Indonesia. Di Ibukota Jakarta, digelar apel besar diikuti 10.000 anggota Gerakan Pramuka yang dilanjutkan dengan pawai pembangunan dan defile di depan Presiden dan berkeliling Jakarta.

Berdasarkan Surat Keputusan Musyawarah Nasional Gerakan Pramuka tahun 1988 di Dili, Timor-Timor nomor 10/MUNAS/88 tentang Bapak Pramuka, Sri Sultan Hamengku Buwono IX Raja Kesultanan Yogyakarta (Gubernur Yogyakarta) dan juga Wakil Presiden Indonesia yang kedua antara 1973-1978 dan pernah menjabat sebagai Ketua Kwartir Gerakan Pramuka adalah Bapak Pramuka Indonesia.

Gerakan Kepramukaan Saat Ini

Saat ini gerakan pramuka sesuai rentang usia anak meliputi Pramuka Siaga (7-10 tahun), Pramuka Penggalang (11-15 tahun), Pramuka Penegak (16 -20 tahun) dan Pramuka Pandega (21-25 tahun). Kegiatan kepramukaan saat ini merupakan kegiatan di luar lingkungan sekolah dan keluarga yang dilakukan di alam terbuka dengan menggunakan prinsip dasar dan metode kepramukaan, yang memiliki sasaran akhir berupa watak, akhlak dan budi pekerti yang luhur serta disesuaikan dengan perkembangan dan kepentingan masyarakat Indonesia. Ketahui juga sejarah OSIS dan sejarah paskibraka sebagai wadah organisasi pelajar di sekolah.

Hiruk pikuk perebutan kekuasaan yang terjadi pada saat jatuhnya orde baru dan juga terjadinya krisis moneter menyebabkan gerakan pramuka menjadi kurang mendapatkan perhatian oleh banyak kalangan. Hal ini berlangsung cukup lama hingga pada tanggal 26 Oktober 2010, DPR mengesahkan UU no. 12 Tahun 2010 mengenai Gerakan Pramuka. UU tersebut menyatakan bahwa pramuka bukan lagi satu – satunya organisasi yang diperbolehkan untuk menyelenggarakan pendidikan kepramukaan, sehingga memungkinkan berbagai organisasi profesi untuk menyelenggarakan kegiatan kepramukaan.

K. H. Subchi, ulama besar guru jenderal Soedirman (Kiai Bambu Runcing)

K. H. Subchi
Kisah hidup Kiai Subchi dari Parakan, Temanggung, seharusnya bisa jadi teladan. Ulama besar ini dikenal rendah hati dan sangat dekat dengan rakyat kecil.

K. H. Subchi (Nama lahir: Mohamad Benjing, Nama setelah berumah tangga R Somowardojo, Nama setelah Haji:Subchi/ Subki/ Subeki) lahir di Parakan, Temanggung, 31 Desember 1858 – meninggal di Parakan, Temanggung, 6 April 1959 pada umur 100 tahun

Dia membagikan hasil panennya untuk rakyat miskin. Kiai Subchi juga mengizinkan tanahnya digarap orang-orang yang tidak memiliki lahan.

"Inilah kebaikan hati Kiai Subchi, hingga disegani rakyat dan memiliki kharisma kuat," demikian ditulis Munawir Aziz dalam buku Pahlawan Santri, Tulang Punggung Pergerakan Nasional.

Jasa-jasa Kiai Subchi selama perang kemerdekaan sangat besar. Dialah yang menggelorakan semangat para santri dan pemuda di Temanggung dan sekitarnya untuk mengusir Belanda yang mau menguasai Indonesia kembali. Dialah ulama yang dipanggil dengan sebutan 'Kiai Bambu Runcing'.

Dia meminta para pemuda mengumpulkan bambu yang ujungnya diruncingkan. Kemudian diberi asma dan doa khusus. Bambu runcing inilah yang kemudian dikenal sebagai simbol perjuangan melawan penjajah.

Panglima TNI Jenderal Soedirman adalah salah satu dari beberapa tokoh besar yang menganggap Kiai Subchi sebagai guru. Soedirman meminta nasihat dan doa dari Sang Kiai sebelum bertempur di Palagan Ambarawa. Sosok Pak Dirman memang dikenal dekat dengan para ulama dan santri.

Semakin hari, semakin banyak pejuang yang datang untuk meminta nasihat dan doa dari Kiai Subchi. Ulama besar yang dikenal rendah hati ini menangis melihat itu semua. Dia merasa tak layak diperlakukan seperti itu. Melihat sikap tawadhu itu Panglima Hizbullah, Kiai Zainul Arifin sampai bergetar hatinya.

Kiai Wahid Hasyim, ayah Gus Dur, meminta Kiai Subchi terus menyemangati para pemuda. Dia menguatkan hati Kiai Subchi apa yang dilakukannya sudah benar.

Kiai Subchi wafat tahun 1959 dalam usia 109 tahun. Semoga sikap nasionalisme dan rendah hati ulama besar ini selalu diteladani oleh generasi muda.

The Grand Old Man (Haji Agus Salim)

Haji Agus Salim (lahir dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4 November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia. Haji Agus Salim ditetapkan sebagai salah satu Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 27 Desember 1961 melalui Keppres nomor 657 tahun 1961

Beliau adalah putra bangsa yang cerdas pada 1903 berhasil lulus dengan predikat lulusan terbaik SMA atau HBS (Hogere Burger School) dimana saat itu masa belajar Sekolah Menengah adalah 5 tahun diusianya yang masih belia yaitu 19 tahun. Agus Salim menjadi lulusan terbaik di tiga kota yaitu Surabaya, Semarang, dan Jakarta.

Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.

Kiprah Haji Agus Salim

Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:

  • anggota Volksraad (1921-1924)
  • anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
  • Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
  • pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir pada tahun 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
  • Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 beliau laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia, sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan pada tahun 1950 sampai akhir hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.

Ketika itu Haji Agus Salim adalah seorang Menteri Luar Negeri dan sedang berkunjung ke Jerman. Beliau tahu tentang hal ini. Beliau pun akhirnya menyusun naskah pidato dengan Bahasa Jerman bukan Bahasa Inggris. Jerman yang awalnya tak mau memandang Indonesia sama sekali sangat terpukau mendengar pidato dari Haji Agus Salim yang ternyata bisa berbahasa Jerman. Seketika itu Jerman langsung menyatakan dukungannya terhadap Indonesia.

Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad Khatib, yang masih merupakan pamannya.

Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Suratkabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO).

Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.

7 Karakter Haji Agus Salim

1. Ulama Rasional Panutan Para Santri

Ada beberapa hal yang patut diapresiasi dari cara Agus Salim melakukan dakwah. Diantara yang cukup menonjol adalah berpikir rasional dalam menyikapi pesan-pesan agama. Misalnya dalam hal puasa yang mengikuti waktu matahari terbit dan terbenam. Ketika tinggal di Amerika, Salim selalu sahur jam 4 subuh dan berbuka jam 7 malam. Padahal sesuai waktu setempat, berbuka seharusnya pada pukul 10 malam. Dalam perkara ini, Salim melakukan ijtihad dengan berpuasa mengikuti kebiasaan di Indonesia. Salim juga berpendapat bahwa wine boleh diminum asal tidak memabukkan. Hal ini diperoleh dari keterangan Emil Salim yang dikutip Majalah Tempo Edisi Kemerdekaan (Agustus 2013). Menurut Emil : “Om tahu batas. Ia tidak mabuk. Tubuhnya yang dihangatkan, bukan otak”, begitu penjelasan putra Bey Salim (adik Agus Salim) ketika diwawancarai wartawan Tempo. Satu lagi tindakan Salim yang dirujuk banyak ulama hingga sekarang adalah dibukanya tabir pembatas antara laki-laki dan perempuan, ketika berlangsung musyawarah Jong Islamieten Bond (JIB). Menurutnya tabir itu merupakan produk budaya Arab – bukan Islam, simbol penindasan terhadap kaum perempuan.

Meski sikap Salim cenderung nyeleneh dan bertentangan dengan banyak ulama ketika itu, namun ia tak dicap menganut aliran liberal. Malah pemikirannya itu kemudian, banyak dipuji oleh tokoh-tokoh Islam seperti Nurcholish Madjid dan Ahmad Syafii Maarif. Kita bisa memahami kedalaman ilmu Agus Salim, karena ia sempat berguru selama lima tahun di Hejaz, Arab Saudi. Salah satu ulama yang mempengaruhi cakrawala pemikirannya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, yang juga merupakan pamannya. Dari ulama tersebut ia memperoleh banyak ilmu baru, terutama mengenai fikih Islam.


2. Pemimpin yang Mau Hidup Miskin

Haji Agus Salim merupakan sedikit dari pemimpin bangsa yang mau hidup susah. Jika saja ia mau meneruskan pekerjaannya sebagai konsulat Belanda di Arab Saudi, mungkin Salim tak akan hidup melarat. Pada awal abad ke-20 Salim sudah beroleh gaji sangat besar, 200 gulden per bulan. Menurut budayawan Ridwan Saidi, gaji itu sangat besar untuk ukuran orang Melayu. Sebagai perbandingan, sebuah keluarga dengan satu istri dan tiga anak, saat itu dapat hidup layak hanya dengan 15 gulden per bulan. Namun Salim meninggalkan itu semua, dan memilih menjadi aktivis Sarekat Islam (SI).

Ketika menjadi aktivis SI, Salim juga menjabat sebagai pemimpin redaksi “Hindia Baroe”, koran yang dimiliki beberapa pengusaha Belanda. Melalui koran ini, ia sering mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang tidak pro-rakyat. Oleh para pemiliknya, Salim diminta untuk tidak terlalu keras mengkritik pemerintah. Namun permintaan itu malah dijawabnya dengan pengunduran diri. Karena ingin hidup bebas dan idealis, Salim tak mempunyai pendapatan tetap. Akibatnya ia kerap berpindah-pindah rumah, dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Mohammad Roem, aktivis JIB yang sering bertandang ke rumah Salim menceritakan, bahwa rumahnya di Tanah Tinggi – Jakarta Pusat, berada di kawasan becek. Ia juga pernah tinggal di Jatinegara, yang mana keluarga Salim hanya menempati satu ruangan. Di rumah itu, Roem melihat koper-koper bertumpuk di pinggir ruang dan beberapa kasur digulung. Meski sudah menjabat sebagai menteri luar negeri, Salim dan keluarganya masih tinggal di rumah kontrakan. Terakhir ia mondok di Jalan Gereja Theresia No. 20, Menteng, tempat dimana ia menghabiskan masa tuanya.


3. Mendidik Anak Tanpa Sekolah Formal

Karakter ini boleh jadi tak dimiliki oleh pemimpin bangsa lainnya, yang hidup sezaman dengannya. Pada awal abad ke-20, hampir semua tokoh-tokoh bangsa menyekolahkan anaknya hingga ke jenjang yang paling tinggi. Malah banyak pula yang menyekolahkannya hingga ke mancanegara. Namun Salim berbeda dengan yang lain. Bukan karena ia tak mampu membiayai pendidikan putra-putrinya, namun ia beranggapan sekolah kolonial tak membuat anak mandiri. Prinsip Agus Salim sama seperti halnya Mohammad Syafei, pendiri INS Kayutanam. Bedanya Syafei membangun sekolah dengan kurikulum mandiri, sedangkan Salim mengajarkan anak-anaknya sendiri.

Menurut Siti Asiah, putri Agus Salim, ketujuh anaknya itu tidak pernah mengenyam bangku pendidikan formal, kecuali si bungsu Mansur Abdur Rachman Ciddiq. Salim bersama istrinya Zainatun Nahar-lah, yang mengajarkan anak-anaknya secara bergantian. Pendidikan ala keluarga Salim, biasanya berlangsung sambil bermain atau ketika sedang makan. Menurut Siti Asiah atau yang akrab disapa Bibsy, paatje dan maatje (panggilan untuk ayah-ibunya) sering menyanyikan lagu-lagu yang liriknya diambil dari karya sastrawan dunia. Selain itu ayahnya juga pandai berhumor, sehingga bisa memikat dan tak membosankan. Untuk melatih kemampuan berbahasa, sedari kecil mereka telah mengajak anak-anak berbicara Bahasa Belanda, sehingga bahasa itu ibarat bahasa ibu mereka.

Pendidikan home schooling ala Agus Salim tak semata-mata membuat anak pintar, namun juga memperhatikan pertumbuhan jiwa mereka. Ia bersama istrinya, tak menginginkan anak-anak terkekang oleh kehendak orang tua. Oleh karenanya, ia mengharamkan memberi kualifikasi seperti “kamu nakal” atau “kamu jahat” kepada anak-anaknya. Meski tak mengenyam pendidikan formal, namun anak-anak Salim bisa tumbuh dan “menjadi orang”. Ketika W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola, putri tertuanya Dolly – yang ketika itu berusia 15 tahun, mengiringinya dengan piano. Sedangkan putranya, Islam Besari Salim, terjun di dunia militer dan sempat menjadi atase militer Indonesia di China.


4. Humoris yang Intelek

Agus Salim merupakan seorang intelektual yang humoris dan seorang humoris yang intelek. Pada saat menjadi pimpinan Sarekat Islam, Salim sering berseberangan dengan anggota yang beraliran komunis. Ia kerap kali dicerca dan diejek oleh pengikut SI berhaluan kiri. Dalam salah satu kesempatan di podium, Muso pernah mengejek Cokroaminoto seperti kucing, dan Agus Salim yang mirip kambing. Muso berteriak kepada hadirin : “Saudara-saudara, orang yang berjanggut itu seperti apa? “Kambing!” jawab hadirin. “Lalu, orang yang berkumis itu seperti apa? “Kucing!” Begitu giliran Salim berpidato, ia tak mau kalah. “Saudara-saudara, pertanyaan yang tadi belum lengkap. Orang yang tidak berkumis dan tidak berjanggut itu seperti apa?” Salim menjawab sendiri, “Anjing!”

Kisah yang lain. Dalam suatu pertemuan SI, setiap akhir kalimat yang disampaikan Agus Salim, selalu disambut oleh para peserta dengan sahutan “mbek, mbek, mbek”. Itu untuk mengejek janggutnya yang panjang seperti janggut kambing. Meski diejek oleh banyak orang, namun Salim tak kehilangan akal. Ia malah dengan entengnya menukas, “Tunggu sebentar. Sungguh menyenangkan, kambing-kambing-pun mendatangi ruangan ini untuk mendengar pidato saya. Sayang mereka kurang mengerti bahasa manusia, sehingga menyela dengan cara yang kurang pantas. Saya sarankan kepada mereka agar keluar ruangan sekadar makan rumput di lapangan. Kalau pidato saya untuk manusia ini selesai, mereka akan disilakan masuk kembali dan saya akan berpidato dalam bahasa kambing untuk mereka.”

Satu lagi humor Agus Salim yang diingat orang ialah ketika ia diundang makan malam. Pada acara tersebut ia memilih menyantap hidangan dengan tangannya. Seorang Eropa terkesima dengan tindakan tersebut dan langsung menegur, “Mengapa Anda makan menggunakan tangan, padahal sudah tersedia sendok”. Salim lantas menjawab, ”Saya menyuap dengan tangan sendiri untuk masuk ke mulut saya. Sedangkan sendok yang Tuan-tuan pakai, pernah masuk ke mulut banyak orang.” Begitulah beberapa cuplikan humor intelek khas Agus Salim.


5. Menguasai Banyak Bahasa Asing

Agus Salim adalah sedikit dari orang Indonesia yang fasih berbicara dalam sembilan bahasa asing. Selain Bahasa Melayu dan Bahasa Minang yang menjadi bahasa ibunya, Salim juga menguasai Bahasa Belanda, Arab, Inggris, Jepang, Prancis, Jerman, Mandarin, Latin, Jepang dan Turki. Ia juga menguasai beberapa bahasa daerah, seperti Bahasa Jawa dan Sunda. Karena penguasaannya yang komplet, Salim beberapa kali ditugaskan pemerintah mewakili Indonesia dalam berbagai perundingan. Pada tahun 1947, ia bersama Sutan Sjahrir menjadi wakil Indonesia dalam Konferensi Inter-Asia di New Delhi. Selanjutnya Salim memimpin delegasi Indonesia ke Timur Tengah untuk memperoleh pengakuan kedaulatan. Hasilnya, Indonesia beroleh dukungan kemerdekaan dari Mesir (10 Juni 1947), Lebanon (29 Juni 1947), dan Suriah (2 Juli 1947). Selanjutnya Agus Salim kembali mendampingi Sutan Sjahrir, dalam sidang Dewan Keamanan PBB di Lake Success Amerika Serikat. Dalam Perjanjian Renville, Agus Salim kembali diutus untuk berunding dengan Belanda. Kali ini ia pergi bersama Perdana Menteri Amir Sjarifuddin, Ali Sastroamijoyo, Mohammad Roem, dan Ir. Djuanda.

Kefasihan Salim dalam menguasai bahasa asing, dikisahkan pula oleh seorang Indonesianis George McTurnan Kahin. Suatu hari Kahin mengundang Salim dan Ngo Dinh Diem makan di ruang dosen Cornell University. Ketika itu ia diminta sebagai pembicara tamu di universitas tersebut, sedangkan Diem sedang mengumpulkan dukungan bagi Vietnam Selatan. Belakangan, tokoh yang terkenal jago omong itu menjadi Perdana Menteri di negerinya. Melihat keduanya asik berdebat dalam Bahasa Prancis, Kahin begitu terperangah. Namun ia lebih terperangah lagi, ketika melihat Diem terpana mendengarkan kata-kata Agus Salim.


6. Pendebat yang Kritis

Dalam suatu pertemuan, penulis pernah mendengar kesan seseorang yang mengatakan bahwa orang Minang itu suko maota, pandai maota, dan lamak maota (suka bicara, pandai bicara, dan enak ketika berbicara). Dari sifat itulah kemudian tumbuh sifat inklusif dan egaliter pada kebanyakan pribadi Minangkabau. Seperti laki-laki Minang yang suka maota di lapau, Agus Salim juga tangkas dalam bersilat lidah. Kepiawaian ini berguna sekali ketika ia menjadi wartawan, diplomat, dan politisi. Dalam sidang Volksraad misalnya, Salim pernah berbantah-bantahan dengan Bergmeyer tentang kata ekonomi. Hal ini bermula ketika Salim tak diperkenankan berpidato dalam Bahasa Melayu. Saat itu Bergmeyer dengan maksud mengejek, menyela pidato Salim dan bertanya, “Apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Melayu” Bukannya menjawab, ia lantas membalas pertanyaan tersebut dengan pertanyaan yang sama, “Coba Tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu dalam Bahasa Belanda, nanti saya akan sebutkan Bahasa Melayunya”. Karena memang tak ada padanannya dalam Bahasa Belanda, sontak tantangan tersebut membuat geger seisi ruang sidang.
Ketika menulis di berbagai media, sering pula ia menggunakan keahliannya itu untuk mengkritisi kebijakan pemerintah. Di harian Neratja terbitan 25 September 1917, ia pernah menulis : “dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang”. Tulisan ini untuk mengkritik kebijakan Belanda yang mendiskriminasi masyarakat inlander. Kemudian di harian Fadjar Asia, 29 November 1927, ia menulis tentang polisi dan rakyat : “sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut pengakuan di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa …” Demikian goresan pena Salim, yang dimuat di beberapa media terbitan Hindia-Belanda.


7. Guru yang Tak Menggurui

Menurut pendapat banyak aktivis muslim pra-kemerdekaan, Agus Salim merupakan mentor yang menyenangkan. Selain ramah dan menggugah, Salim juga merupakan tipikal guru yang membimbing. Ketika berdiskusi ia selalu menyerahkan kesimpulannya kepada masing-masing lawan bicara. Mohammad Natsir salah satu murid binaannya pernah menuturkan : “ketika sulit memperoleh jalan keluar dari sebuah permasalahan, para pengurus JIB berpaling ke Agus Salim. Di depan orang tua itu mereka memaparkan permasalahan. Setelah menyimak dengan cermat, giliran Salim yang berbicara. Panjang lebar, dari semua aspek ia terangkan, namun tak menyinggung solusi. Kemudian salah seorang pengurus JIB menyela : tapi mana jawabnya? Agus Salim hanya merespons : “Jawab permasalahan itu ada pada Saudara-saudara, karena ini persoalan generasi Saudara, bukan persoalan saya. Lihat anak saya (sambil menunjuk anaknya yang masih kecil). Jikalau saya menggendongnya terus, kapan ia berjalan? Biarlah ia mencoba berjalan. Terjatuh tapi ia akan beroleh pengalaman dari situ” (Ridwan Saidi dalam buku 100 tahun Agus Salim).

Karena kurang setuju dengan sikap yang menggurui, Agus Salim pernah meminta Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari, untuk mendidik santri agar tidak mendewakan guru. Menurutnya kultus individu terhadap guru akan membuat umat menjadi jumud. Alih-alih ingin membebaskan orang sesuai pesan Islam, taklid buta malah membuat umat semakin bodoh dan jauh dari nilai-nilai agama.

Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.

Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta. Namanya kini diabadikan untuk stadion sepak bola di Padang.

Pendeklarasi Negara Kepulauan (Ir H Djuanda Kartawidjaja)

Nama : Ir H Djuanda Kartawidjaja
Lahir : Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911
Meninggal: Jakarta 7 November 1963 Agama: Islam

Pendidikan: Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) – sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), 1933

Karir:
- Guru SMA Muhammadiyah di Jakarta, 1933-1937
- Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura
- Menteri Perhubungan - Menteri Pengairan
- Menteri Kemakmuran - Menteri Keuangan
- Menteri Pertahanan - Perdana Menteri
- Pendiri Persatuan Insinyiur Indonesia (PII) bersama Ir Rooseno Soeryohadikoesoemo, 23 Mei 1952

Perdana Menteri Ir H Djuanda Kartawidjaja, pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911, itu dengan kepemimpinan yang berani dan visioner mendeklarasikan bahwa semua pulau dan laut Nusantara adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan (wawasan nusantara). Maka sangat bijak ketika hari Deklarasi Djuanda itu kemudian melalui Keppres No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari Nusantara.

Ir H Djuanda Kartawidjaja, lulusan Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) – sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yang beberapa kali menjabat menteri di antaranya Menteri Perhubungan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan, itu sebelumnya sangat risau melihat pengakuan masyarakat internasional kala itu yang hanya mengakui bahwa batas laut teritorial selebar 3 mil laut terhitung dari garis pantai terendah. Itu artinya pulau-pula Nusantara dalam wilayan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945, adalah pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan (lautan) internasional (bebas).

Negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia, sangat berkepentingan mempertahankan kondisi pulau-pulau Indonesia yang terpisah-pisah itu. Tetapi PM Djuanda dengan berani mendobrak kepentingan negara-negara maju itu.

Dengan berani dia mengumumkan kepada dunia (Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957) bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Djuanda, dengan berani mengumumkan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas yang diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie (ordonansi tentang laut teritorial dan lingkungan maritim) 1939, tetapi wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, diantara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

Deklarasi tiu juga menyatakan penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang.

Deklarasi itu ditentang oleh Amerika Serikat dan Australia. Namun, Djuanda dan para penerus dalam pemerintahan berikutnya, di antaranya Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Prof Dr Hasyim Djalal, dengan gigih berjuang melalui diplomasi sehingga konsepsi negara nusantara tersebut diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut itu terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Deklarasi Djuanda secara geo-politik memiliki arti yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan serta kemajuan Indonesia. Deklarasi Djoeanda dapat disebut merupakan pilar utama ketiga dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiga pilar utama tersebut adalah:
(1) Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan Kesatuan Kejiwaan Indonesia;
(2) Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan NKRI;
(3) Delarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai pernyataan Kesatuan Kewilayahan Indonesia (darat, laut dan udara).

Secara geo-ekonomi Deklarasi Djuanda juga strategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumberdaya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), juga energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.

Abdi Negara Ir Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karir dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari Technische Hogeschool (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hogeschool dengan gaji lebih besar.

Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambil-alihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara Bandung.

Kemudian pemerintah RI mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura. Setelah itu, dia diangkat menjabat Menteri Perhubungan. Dia pun pernah menjabat Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beberapa kali dia memimpin perundingan dengan Belanda. Di antaranya dalam Perundingan KMB, dia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RI.

Djuanda sempat ditangkap tentara Belanda saat Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948. Dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Tetapi dia menolak.

Dia seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja melampaui batas panggilan tugasnya. Mampu menghadapi tantangan dan mencari solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negaranya. Karya pengabdiannya yang paling strategis adalah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

Dia seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal dia kadangkala berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lainnya. Djuanda meninggal dunia di Jakarta 7 November 1963 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Sumpah Pemuda (Lahirnya Bangsa Sejati)

teks Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan, oleh karena itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia, proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945. Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928. isi teks aslinya adalah:

SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928

sumpah pemuda
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :

  • Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
  • Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
  • Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
  • Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
  • Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
  • Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
  • Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
  • Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
  • Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)

Peserta :

  1. Abdul Muthalib Sangadji
  2. Purnama Wulan
  3. Abdul Rachman
  4. Raden Soeharto
  5. Abu Hanifah
  6. Raden Soekamso
  7. Adnan Kapau Gani
  8. Ramelan
  9. Amir (Dienaren van Indie)
  10. Saerun (Keng Po)
  11. Anta Permana
  12. Sahardjo
  13. Anwari
  14. Sarbini
  15. Arnold Manonutu
  16. Sarmidi Mangunsarkoro
  17. Assaat
  18. Sartono
  19. Bahder Djohan
  20. S.M. Kartosoewirjo
  21. Dali
  22. Setiawan
  23. Darsa
  24. Sigit (Indonesische Studieclub)
  25. Dien Pantouw
  26. Siti Sundari
  27. Djuanda
  28. Sjahpuddin Latif
  29. Dr.Pijper
  30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
  31. Emma Puradiredja
  32. Soejono Djoenoed Poeponegoro
  33. Halim
  34. R.M. Djoko Marsaid
  35. Hamami
  36. Soekamto
  37. Jo Tumbuhan
  38. Soekmono
  39. Joesoepadi
  40. Soekowati (Volksraad)
  41. Jos Masdani
  42. Soemanang
  43. Kadir
  44. Soemarto
  45. Karto Menggolo
  46. Soenario (PAPI & INPO)
  47. Kasman Singodimedjo
  48. Soerjadi
  49. Koentjoro Poerbopranoto
  50. Soewadji Prawirohardjo
  51. Martakusuma
  52. Soewirjo
  53. Masmoen Rasid
  54. Soeworo
  55. Mohammad Ali Hanafiah
  56. Suhara
  57. Mohammad Nazif
  58. Sujono (Volksraad)
  59. Mohammad Roem
  60. Sulaeman
  61. Mohammad Tabrani
  62. Suwarni
  63. Mohammad Tamzil
  64. Tjahija
  65. Muhidin (Pasundan)
  66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
  67. Mukarno
  68. Wilopo
  69. Muwardi
  70. Wage Rudolf Soepratman
  71. Nona Tumbel

(disarikan dari berbagai macam sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda, http://www.sumpahpemuda.org/)

Kekejaman Belanda di Tanah Rawa Gede

Tentara Belanda pun memerintahkan semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja belasan tahun di kampung itu berdiri berjejer dan memberondong mereka dengan senapan.
Kata-kata di atas membuka kekejaman tentara Belanda pada warga Rawa Gede. Banyak peristiwa menyedihkan sebenarnya yang kurang terekspos di Indonesia tentang berbagai kejadian pada masa mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia dari berbagai serangan, salah satunya adalah pembantaian rakyat Rawagede - Karawang di Jawa Barat.

rawa gede
Di Jawa Barat, sebelum Persetujuan Renville ditandatangani, tentara Belanda dari Divisi 1 yang juga dikenal sebagai Divisi 7 Desember, terus memburu laskar-laskar Indonesia dan unit pasukan TNI yang masih mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Yang ikut ambil bagian dalam operasi di daerah Karawang adalah detasemen 3-9 RI, pasukan para (1e para compagnie) dan 12 Genie veld compagnie, yaitu brigade cadangan dari pasukan para dan DST (Depot Speciaale Troepen).

Dalam operasinya di daerah Karawang, tentara Belanda mencari Kapten Lukas Kustario, komandan kompi Siliwangi -kemudian menjadi Komandan Batalyon Tajimalela/Brigade II Divisi Siliwangi- yang berkali-kali berhasil menyerang patroli dan pos-pos militer Belanda. Di wilayah Rawagede juga berkeliaran berbagai laskar, bukan hanya pejuang Indonesia namun juga gerombolan pengacau dan perampok.

Pada 9 Desember 1947, tentara Belanda di bawah pimpinan seorang Mayor mengepung desa Rawagede dan menggeledah setiap rumah. Namun mereka tidak menemukan sepucuk senjatapun. Mereka kemudian memaksa seluruh penduduk keluar rumah masing-masing dan mengumpulkan di tempat yang lapang. Penduduk laki-laki diperintahkan untuk berdiri berjejer, kemudian mereka ditanya tentang keberadaan para pejuang Republik. Namun tidak satupun rakyat yang mengatakan tempat persembunyian para pejuang tersebut.

Perwira Tentara Belanda kemudian memerintahkan untuk menembak mati semua penduduk laki-laki, termasuk para remaja dan bahkan ada yang baru berusia 11 dan 12 tahun. Beberapa orang berhasil melarikan diri ke hutan, walaupun terluka kena tembakan. Saih, kini berusia 83 tahun menuturkan, bahwa dia bersama ayah dan para tetangganya sekitar 20 orang jumlahnya disuruh berdiri berjejer. Ketika tentara Belanda memberondong dengan senapan mesin –istilah penduduk setempat: “didredet”- ayahnya yang berdiri di sampingnya tewas kena tembakan, dia juga jatuh kena tembak di tangan, namun dia pura-pura mati. Ketika ada kesempatan, dia segera melarikan diri.

Hari itu tentara Belanda membantai 431 penduduk Rawagede. Tanpa ada pengadilan, tuntutan ataupun pembelaan. Seperti di Sulawesi Selatan, tentara Belanda di Rawagede juga melakukan yang mereka namakan eksekusi di tempat (standrechtelijke excecuties). Tindakan yang jelas merupakan kejahatan perang. Diperkirakan korban pembantaian lebih dari 431, karena banyak yang hanyut dibawa sungai yang banjir karena hujan deras.

Pimpinan Republik mengadukan peristiwa pembantaian ini kepada Committee of Good Offices for Indonesia (Komisi Jasa Baik untuk Indonesia) dari PBB. Namun tindakan Komisi ini hanya sebatas pada kritik terhadap aksi militer tersebut yang mereka sebut sebagai “deliberate and ruthless”, tanpa ada sanksi yang tegas atas pelanggaran HAM, apalagi untuk memandang pembantaian rakyat yang tak bedosa sebagai kejahatan perang (war crimes).

Tahun 1969 berdasarkan keputusan sidang Parlemen Belanda, Pemerintah Belanda membentuk tim untuk meneliti kasus-kasus pelanggaran/penyimpangan yang dilakukan oleh tentara tentara kerajaan Belanda.

Pengakuan veteran Belanda

"Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata,"
"Namaku tidak bisa aku sebutkan, tapi aku bisa ceritakan kepada Anda apa yang sebenarnya terjadi di desa Rawa Gedeh (Rawagede).

Anda tahu, antara tahun 1945 – 1949, kami mencoba merebut kembali jajahan kami di Asia Tenggara. Untuk itu dari tahun 1945 sampai 1949, sekitar 130.000 tentara Belanda dikirim ke bekas Hindia Belanda, sekarang Indonesia. Di sana terjadi berikut ini:

pembantaian rawa gede
Di Jawa Barat, timur Batavia, di daerah Krawang, ada Desa Rawa Gedeh. Dari arah Rawa Gedeh tentara Belanda ditembaki. Maka diputuskanlah untuk menghajar desa ini untuk dijadikan pelajaran bagi desa-desa lain.

Saat malam hari Rawa Gedeh dikepung. Mereka yang mencoba meninggalkan desa, dibunuh tanpa bunyi (diserang, ditekan ke dalam air sampai tenggelam; kepala mereka dihantam dengan popor senjata, dll)

Jam setengah enam pagi, ketika mulai siang, desa ditembaki dengan mortir. Pria, wanita dan anak-anak yang mau melarikan diri dinyatakan patut dibunuh: semuanya ditembak mati. Jumlahnya ratusan.

Setelah desa dibakar, tentara Belanda menduduki wilayah itu. Penduduk desa yang tersisa lalu dikumpulkan, jongkok, dengan tangan melipat di belakang leher. Hanya sedikit yang tersisa. Rawa Gedeh telah menerima 'pelajarannya'.

Semua lelaki ditembak mati--kami dinamai 'Angkatan Darat Kerajaan'.

Semua perempuan ditembak mati--padahal kami datang dari negara demokratis.

Semua anak ditembak mati--padahal kami mengakunya tentara yang Kristiani.

Sekarang aku siang malam teringat Rawa Gedeh, dan itu membuat kepalaku sakit dan air mataku terasa membakar mata, terutama kalau aku teringat anak-anak yang tangannya masih terlalu pendek untuk melipat tangan di belakang leher, dan mata mereka terbelalak, ketakutan dan tak faham.

Aku tidak bisa menyebut namaku, karena informasi ini tidak disukai kalangan tertentu."

Fakta Unik Proklamasi Indonesia

1. Bung Karno sakit saat pembacaan teks proklamasi
Bung Karno begadang bersama para sahabatnya menyusun konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda.
“Pating greges” (tidak enak badan, demam), keluh Bung Karno setelah dibangunkan dokter kesayangannya.
Kemudian darahnya dialiri chinineurethan intramusculair dan menenggak pil brom chinine. Lalu ia tidur lagi.
Pukul 09.00, Bung Karno terbangun. Berpakaian rapi putih-putih dan menemui sahabatnya, Bung Hatta.
Tepat pukul 10.00, keduanya memproklamasikan kemerdekaan Indonesia dari serambi rumah.
“Demikianlah Saudara-saudara! Kita sekalian telah merdeka!”, ujar Bung Karno di hadapan segelintir patriot-patriot sejati.
Mereka lalu menyanyikan lagu kebangsaan sambil mengibarkan bendera pusaka Merah Putih.
Setelah upacara yang singkat itu, Bung Karno kembali ke kamar tidurnya. Masih meriang. Tapi sebuah revolusi telah dimulai…

2. Upacara Bendera Indonesia saat proklamasi
Upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia ternyata berlangsung tanpa protokol, tak ada korps musik, tak ada konduktor dan tak ada pancaragam.
Tiang bendera pun dibuat dari batang bambu secara kasar, serta ditanam hanya beberapa menit menjelang upacara. Tetapi itulah, kenyataan yang yang terjadi pada sebuah upacara sekaral yang dinanti-nanti selama lebih dari tiga ratus tahun!

3. Draft teks proklamasi di tong sampah
Naskah asli teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang ditulis tangan oleh Bung Karno dan didikte oleh Bung Hatta, ternyata tidak pernah dimiliki dan disimpan oleh Pemerintah!
Anehnya, naskah historis tersebut justru disimpan dengan baik oleh wartawan BM Diah, seorang putera asal Aceh yang juga tokoh pers, pejuang kemerdekaan, diplomat, dan pengusaha Indonesia.
Diah menemukan draft proklamasi itu di keranjang sampah di rumah Laksamana Maeda, 17 Agustus 1945 dini hari, setelah disalin dan diketik oleh Sajuti Melik.
Pada 29 Mei 1992, Diah menyerahkan draft tersebut kepada Presiden Soeharto, setelah menyimpannya selama 46 tahun 9 bulan 19 hari.

4. Kebohongan menyelamatkan dokumntasi proklamasi
Berkat kebohongan, peristiwa sakral Proklamasi 17 Agustus 1945 dapat didokumentasikan dan disaksikan oleh kita hingga kini.
Saat tentara Jepang ingin merampas negatif foto yang mengabadikan peristiwa penting tersebut, Frans Mendoer, fotografer yang merekam detik-detik proklamasi, berbohong kepada mereka.
Dia bilang tak punya negatif itu dan sudah diserahkan kepada Barisan Pelopor, sebuah gerakan perjuangan. Mendengar jawaban itu, Jepang pun marah besar.
Padahal negatif film itu ditanam di bawah sebuah pohon di halaman kantor Harian Asia Raja. Setelah Jepang pergi, negatif itu diafdruk dan dipublikasi secara luas hingga bisa dinikmati sampai sekarang. Bagaimana kalau Mendoer bersikap jujur pada Jepang?

5. Suara Prokamasi direkam sesudah merdeka
Proklamasi yang sering kita dengar (suara radio kuno ada kresek2nya) itu bukan suara asli pas proklamasi. Proklamasi yang sebenarnya (sekitar jam sepuluh pagi ..?) tidak direkam. Kemudian salah satu tokoh (lupa siapa) berinisiatif untuk menyebarkan proklamasi lewat radio. Bung Karno awalnya menolak tegas dengan alasan proklamasi cuma dilakukan sekali, tapi akhirnya setuju setelah menimbang2 berbagai alasan (biar seluruh rakyat Indonesia tau dan percaya) kemudian beliau membacakan kembali teks proklamasi. Itulah dokumentasi yang kita dengar sampai sekarang.

berbagai sumber

Perdebatan Soekarno dan Pemuda Di Rengasdengklok

Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo ( 1978:85-87 ) sebagai berikut:

Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .

Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”.

 Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?

Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih.

Setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.

Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.

Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.

Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di rumah seorang Tionghoa, Djiaw Kie Siong yang diusir dari rumahnya oleh anggota PETA agar dapat ditempati oleh "rombongan dari Jakarta", yang oleh warga di sana dipanggil Babah Kisong. Babah Kisong merelakan rumah kecilnya untuk mewujudkan sebuah “rumah besar” yang dicita-citakan bareng-bareng semua bangsa Indonesia. Siang itu terjadi perdebatan panas;  "Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …".
 ” Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.

Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 “.
 ”Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni.
Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).

Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta

Sumber id.wikipedia.org, kaskus.us dan kompasiana.com

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

Sukarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan Imam Bonjol No.1) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Sukarno-Hatta yang ditinggalkan berdebat dengan Nishimura, Maeda mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan oleh Soekarno, M. Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh Soekarni, B.M. Diah, Sudiro (Mbah) dan Sayuti Melik.

Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti "transfer of power". Bung Hatta, Subardjo, B.M Diah, Sukarni, Sudiro dan Sajuti Malik tidak ada yang membenarkan klaim Nishijima tetapi di beberapa kalangan klaim Nishijima masih didengungkan. Setelah konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler.

Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00 - 04.00 dini hari. Teks proklamasi ditulis di ruang makan di kediaman Soekarno, Jl. Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Para penyusun teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, dan Mr. Ahmad Soebarjo. Konsep teks proklamasi ditulis oleh Ir. Soekarno sendiri. Di ruang depan, hadir B.M Diah Sayuti Melik, Sukarni dan Soediro. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Teks Proklamasi Indonesia itu diketik oleh Sayuti melik. Pagi harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.

Acara dimulai pada pukul 10:00 dengan pembacaan proklamasi oleh Soekarno dan disambung pidato singkat tanpa teks. Kemudian bendera Merah Putih, yang telah dijahit oleh bu Fatmawati, dikibarkan, disusul dengan sambutan oleh Soewirjo, wakil walikota Jakarta saat itu dan Moewardi, pimpinan Barisan Pelopor.

Pada awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Oleh sebab itu ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi bendera Merah Putih (Sang Saka Merah Putih), yang dijahit oleh Fatmawati beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya.[4]. Sampai saat ini, bendera pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.

Peristiwa Rengasdengklok

Dua hari kemudian, saat Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke tanah air dari Dalat, Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC.
Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan tua tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi.
Gejolak tekanan yang menghendaki pengambilalihan kekuasaan oleh Indonesia makin memuncak dilancarkan para pemuda dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi tidak dilaksanakan karena Soekarno dan Hatta tidak muncul.

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana --yang konon kabarnya terbakar gelora heroismenya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka --yang tergabung dalam gerakan bawah tanah kehilangan kesabaran, dan pada dini hari tanggal 16 Agustus 1945. Bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke Rengasdengklok, yang kemudian terkenal sebagai peristiwa Rengasdengklok.
Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya. Di rengasdengklok terjadi perdebatan antara soekarno dan pemuda masalah waktu proklamasi.

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Mr. Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka menjemput Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta kembali ke Jakarta. Mr. Ahmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu - buru memproklamasikan kemerdekaan.
Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang kerumah masing-masing. Mengingat bahwa hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam, maka tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia. Di rumah Laksamana Muda Maeda teks proklamasi di tuliskan

PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia)

Pada tanggal 6 Agustus 1945 sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia. Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI, atau "Dokuritsu Junbi Cosakai", berganti nama menjadi PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) atau disebut juga Dokuritu Junbi Inkai dalam bahasa Jepang, untuk lebih menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus 1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki sehingga menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.

Tanggal 9 Agustus 1945, sebagai pimpinan PPKI yang baru, Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat untuk bertemu Marsekal Terauchi. Setelah pertemuan tersebut, PPKI tidak dapat bertugas karena para pemuda mendesak agar proklamasi kemerdekaan tidak dilakukan atas nama PPKI, yang dianggap merupakan alat buatan Jepang. Bahkan rencana rapat 16 Agustus 1945 tidak dapat terlaksana karena terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Setelah proklamasi, pada tanggal 18 Agustus 1945, PPKI memutuskan antara lain:
  1. mengesahkan Undang-Undang Dasar,
  2. memilih dan mengangkat Ir. Soekarno sebagai presiden dan Drs. M. Hatta sebagai wakil presiden RI,
  3. membentuk Komite Nasional untuk membantu tugas presiden sebelum DPR/MPR terbentuk.
Berkaitan dengan UUD, terdapat perubahan dari bahan yang dihasilkan oleh BPUPKI, antara lain:
  • Kata Muqaddimah diganti dengan kata Pembukaan.
  • Kalimat Ketuhanan, dengan menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya di dalam Piagam Jakarta diganti dengan Ketuhanan yang Mahaesa.
Mencoret kata-kata ... dan beragama Islam pada pasal 6:1 yang berbunyi Presiden ialah orang Indonesia Asli dan beragama Islam.
Sejalan dengan usulan kedua, maka pasal 29 pun berubah.

Pada awalnya PPKI beranggotakan 21 orang (12 orang dari Jawa, 3 orang dari Sumatra, 2 orang dari Sulawesi, 1 orang dari Kalimantan, 1 orang dari Nusa Tenggara, 1 orang dari Maluku, 1 orang dari golongan Tionghoa). Susunan awal anggota PPKI adalah sebagai berikut:
  1. Ir. Soekarno (Ketua)
  2. Drs. Moh. Hatta (Wakil Ketua)
  3. Prof. Mr. Dr. Soepomo (Anggota)
  4. KRT Radjiman Wedyodiningrat (Anggota)
  5. R. P. Soeroso (Anggota)
  6. Soetardjo Kartohadikoesoemo (Anggota)
  7. Kiai Abdoel Wachid Hasjim (Anggota)
  8. Ki Bagus Hadikusumo (Anggota)
  9. Otto Iskandardinata (Anggota)
  10. Abdoel Kadir (Anggota)
  11. Pangeran Soerjohamidjojo (Anggota)
  12. Pangeran Poerbojo (Anggota)
  13. Dr. Mohammad Amir (Anggota)
  14. Mr. Abdul Abbas (Anggota)
  15. Mr. Mohammad Hasan (Anggota)
  16. Dr. GSSJ Ratulangi (Anggota)
  17. Andi Pangerang (Anggota)
  18. A.H. Hamidan (Anggota)
  19. I Goesti Ketoet Poedja (Anggota)
  20. Mr. Johannes Latuharhary (Anggota)
  21. Drs. Yap Tjwan Bing (Anggota)

Selanjutnya tanpa sepengetahuan Jepang, keanggotaan bertambah 6 yaitu :
  1. Achmad Soebardjo (Anggota)
  2. Sajoeti Melik (Anggota)
  3. Ki Hadjar Dewantara (Anggota)
  4. R.A.A. Wiranatakoesoema (Anggota)
  5. Kasman Singodimedjo (Anggota)
  6. Iwa Koesoemasoemantri (Anggota)

Bom Nagasaki dan Hiroshima

Hiroshima adalah kota pelabuhan di tepi Laut Pedalaman Seto yang dikenal sebagai pusat industri tekstil dan barang-barang dari karet. Kota ini didirikan pada abad ke-16 sebagai kota istana di delta Sungai Ota. Sejak zaman Meiji hingga berakhirnya Perang Dunia II, Hiroshima merupakan pusat industri militer dan logistik untuk keperluan perang. Di antara produk kebanggaan kota Hiroshima adalah mobil Mazda, makanan ringan merek Calbee dan saus merek Otafuku.

Quả bom nguyên tử ném xuống Nagasaki ... Pictures, Images and PhotosNagasaki adalah ibu kota dan kota terbesar di Prefektur Nagasaki yang terletak di pesisir sebelah barat daya Kyushu, Jepang. Lokasi geografisnya adalah 32°44′ LU 129°52′ BT. Nagasaki adalah pusat pengaruh Eropa di Jepang pada zaman pertengahan. Kota Nagasaki yang merupakan kota pelabuhan di Jepang merupakan kota yang tidak terisolasi pada waktu jepang menerapkan politik Isolasi(SAKKOKU). Pengaruh Eropa juga sangat terlihat dengan pesatnya perkembangan agama kristen di kota Nagasaki pada zaman tersebut dan banyaknya peninggalan bersejarah berupa bangunan-bangunan Gereja yang masih terawat hingga saat ini dan dijadikan sebagai obyek wisata.
Pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki adalah serangan nuklir selama Perang Dunia II terhadap kekaisaran Jepang oleh Amerika Serikat atas perintah Presiden Amerika Serikat Harry S. Truman. Setelah enam bulan pengeboman 67 kota di Jepang lainnya, senjata nuklir "Little Boy" dijatuhkan di kota Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945, diikuti dengan pada tanggal 9 Agustus 1945, dijatuhkan bom nuklir "Fat Man" di atas Nagasaki. Kedua tanggal tersebut adalah satu-satunya serangan nuklir yang pernah terjadi.
Bom ini membunuh sebanyak 140.000 orang di Hiroshima dan 80.000 di Nagasaki pada akhir tahun 1945. Sejak itu, ribuan telah tewas akibat luka atau sakit yang berhubungan dengan radiasi yang dikeluarkan oleh bom. Pada kedua kota, mayoritas yang tewas adalah penduduk.

Mengapa Hiroshima dipilih sebagai target pertama dari serangan bom atom AS ini? Jelas sekali Hiroshima dipilih sebagai target pertama serangan berdasarkan pertimbangan matang militer AS kala itu.
Selama Perang Dunia kedua, Hiroshima jarang sekali diterjang oleh aksi pengeboman. Namun status kota tersebut sebagai markas militer Jepang, menjadikannya sasaran empuk dari para lawannya. Hiroshima juga dikenal sebagai kota pelabuhan yang besar di Jepang.
Sementara alasan Nagasaki sendiri sebenarnya bukan target utama dari AS. Kokura merupakan target potensial yang dipilih bersama Kyoto dan Niigata. Nagasaki dipilih sebagai pengganti Kyoto sebagai target potensial. Kyoto sendiri dipilih karena alasan religi yang mendukung pola militer Jepang.
Sementara target potensial ketiga Niigata, dicoret dari daftar karena jaraknya terlalu jauh dari Pangkalan Militer Filipina, tempat pesawat pengebom lepas landas menuju Jepang.
Namun pada akhirnya pilihan target jatuh pada Nagasaki, karena Militer AS juga mencoret Kokura dari daftar target mereka. 
Nagasaki adalah kota yang industri perkapalannya bisa dikatakan maju. Namun kota ini bukanlah kota favorit untuk diserang karena sudah dibom sebanyak lima kali selama 12 bulan terakhir sebelum serangan bom atom melandanya.

Quả bom nguyên tử ném xuống Nagasaki ... Pictures, Images and PhotosEnam hari setelah dijatuhkannya bom di Nagasaki, pada 15 Agustus, Jepang mengumumkan bahwa Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu, menandatangani instrumen menyerah pada tanggal 2 September, yang secara resmi mengakhiri Perang Pasifik dan Perang Dunia II. (Jerman sudah menandatangani menyerah pada tanggal 7 Mei 1945, mengakhiri teater Eropa.) Pengeboman ini membuat Jepang sesudah perang mengadopsi Three Non-Nuclear Principles, melarang negara itu memiliki senjata nuklir.

Setelah menyerahnya jepang atas sekutu membuat pergerakan nasional yang saat itu Indonesia masih diduduki Jepang lebih leluasa. Hal ini yang memicu para nasionalins, terutama pemuda untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia.

Sumber id.wikipedia.org, okezone.com, kaskus.us