Sejarah TNI / ABRI

Negara Indonesia pada awal berdirinya sama sekali tidak mempunyai kesatuan tentara. Badan Keamanan Rakyat yang dibentuk dalam sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden pada tanggal 23 Agustus 1945 bukanlah tentara sebagai suatu organisasi kemiliteran yang resmi. Anggota BKR saat itu adalah para pemuda Indonesia yang sebelumnya telah mendapat pendidikan militer sebagai tentara Heiho, Pembela Tanah Air (PETA), KNIL dan lain sebagainya. Melalui Dekrit Presiden tanggal 5 Oktober 1945, BKR diubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR).

BKR baik di pusat maupun di daerah berada di bawah wewenang KNIP dan KNI Daerah dan tidak berada di bawah perintah presiden sebagai panglima tertinggi angkatan perang. BKR juga tidak berada di bawah koordinasi Menteri Pertahanan. BKR hanya disiapkan untuk memelihara keamanan setempat agar tidak menimbulkan kesan bahwa Indonesia menyiapkan diri untuk memulai peperangan menghadapi Sekutu.

Pada 5 Oktober 1945 sebuah Maklumat Pemerintah yang berbunyi, “Untuk memperkuat rasa keamanan umum, maka diadakan satu Tentara Keamanan Rakyat”. BKR pun berganti nama menjadi TKR. Kemudian TKR harus dibaca sebagai Tentara Keselamatan Rakyat (7 Januari 1946). Dua minggu kemudian, diubah pula menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI). Dengan integrasi laskar dan barisan perjuangan lain ke dalam TRI, maka tentara resmi dinamai Tentara Nasional Indosia (TNI) 3 Juni 1947. TNI sendiri terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Setelah itu berturut-turut berganti nama Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), yang kembali menjadi Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI), Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), melalui penggabungan dengan Polri, dan berdasarkan Ketetapan MPR No. VI/MPR/2000 kembali menggunakan nama Tentara Nasional Indonesia (TNI) setelah pemisahan peran antara TNI dan Polri.

Perubahan posisi dari Tentara yang menjaga rakyat menjadi tentara pengancam rakyat di mulai pada tahun 1958. Saat Presiden Sukarno menjadikan TNI memiliki dwifungsi. Konsep dwifungsi TNI pertama kali muncul dalam bentuk konsep "Jalan Tengah" yang diusulkan pada tahun 1958 oleh Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada saat itu, kepada Presiden Soekarno untuk memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.

“...memberikan cukup saluran pada tentara kita bukan sebagai organisasi, tetapi sebagai perorangan-perorangan yang menjadi eksponen daripada organisasi kita, (untuk) turut serta menentukan, kebijaksanaan negara kita pada tingkat-tingkat yang tinggi

Hal ini menyebabkan TNI memiliki kekuasaan berlebih dan pada masa pemerintahan Soeharto, konsep ini mengalami perubahan dan menjadikan TNI secara organisatoris (bukan perorangan) menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan seperti menteri, gubernur, bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI.

Dwi fungsi TNI perlahan mulai di hapuskan sejalan runtuhnya rezim Presiden Suharto. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004 dan diharapkan selesai pada Pemilu 2009.


0 komentar:

Posting Komentar