Tampilkan postingan dengan label Soekarno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Soekarno. Tampilkan semua postingan

Cerita - Cerita Unik dari Mantan Presiden RI Ir.Soekarno

1.Perintah pertama Soekarno sebagai Presiden

Sosok Soekarno punya seribu cerita unik yang mengundang senyum. Kira-kira apa perintah pertama Presiden Soekarno saat menjadi Presiden?
Sehari setelah kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang. Mereka menetapkan Soekarno sebagai Presiden RI pertama dan Mohammad Hatta sebagai wakil presiden RI.
Tidak ada debat sengit dalam sidang di Gedung Road van Indie di Jalan Pejambon itu. Sederhana saja, PPKI memilih Soekarno sebagai presiden. Berbeda sekali dengan sidang paripurna di DPR yang penuh keriuhan, protes serta gontok-gontokan.
Kisah ini diceritakan Soekarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan Yayasan Bung Karno tahun 2007.
"Nah kita sudah bernegara sejak kemarin. Dan sebuah negara memerlukan seorang Presiden. Bagaimana kalau kita memilih Soekarno?"
Soekarno pun menjawab, "Baiklah."
Sesederhana itu. Maka jadilah Soekarno sebagai Presiden pertama RI. Namanya negara yang baru seumur sehari, tidak ada mobil kepresidenan yang mengantar Soekarno. Maka Soekarno pun pulang berjalan kaki.
"Di jalanan aku bertemu dengan tukang sate yang berdagang di kaki lima. Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia memanggil pedagang yang bertelanjang kaki itu dan mengeluarkan perintah pelaksanaannya yang pertama. Sate ayam 50 tusuk!" ujar Soekarno.
Itulah perintah pertama presiden RI. "Sate ayam 50 tusuk!"
Soekarno kemudian jongkok di pinggir got dekat tempat sampah. Sambil berjongkok, Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia itu menghabiskan sate ayam 50 tusuk dengan lahap. Itulah pesta perayaan pelantikannya sebagai Presiden RI.
Saat Soekarno pulang ke rumah, dia menyampaikan dirinya telah dipilih menjadi Presiden pada Fatmawati, istrinya. Fatmawati tidak melompat-lompat kegirangan. Fatmawati menceritakan wasiat ayahnya sebelum meninggal.
"Di malam sebelum bapak meninggal, hanya tinggal kami berdua yang belum tidur. Aku memijitnya untuk mengurangi rasa sakitnya, ketika tiba-tiba beliau berkata 'Aku melihat pertanda secara kebatinan bahwa tidak lama lagi...dalam waktu dekat...anakku akan tinggal di istana yang besar dan putih itu'. Jadi ini tidak mengagetkanku. Tiga bulan yang lalu, Bapak sudah meramalkannya," ujar Fatmawati tenang.
Soekarno memang ditakdirkan jadi orang besar dengan segala ceritanya.

2.Soekarno cinta budaya bangsa

Sejak kecil, Soekarno sangat menyukai cerita wayang. Dia hapal banyak cerita wayang sejak kecil. Saat masih bersekolah di Surabaya, Soekarno rela begadang jika ada pertunjukan wayang semalam suntuk. Dia pun senang menggambar wayang di batu tulisnya.

Saat ditahan dalam penjara Banceuy pun kisah-kisah wayanglah yang memberi kekuatan pada Soekarno. Terinspirasi dari Gatot Kaca, Soekarno yakin kebenaran akan menang, walau harus kalah dulu berkali-kali. Dia yakin suatu saat penjajah Belanda akan kalah oleh perjuangan rakyat Indonesia.

"Pertunjukan wayang di dalam sel itu tidak hanya menyenangkan dan menghiburku. Dia juga menenangkan perasaan dan memberi kekuatan pada diriku. Bayangan-bayangan hitam di kepalaku menguap bagai kabut dan aku bisa tidur nyenyak dengan penegasan atas keyakinanku. Bahwa yang baik akan menang atas yang jahat," ujar Soekarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan Yayasan Bung Karno tahun 2007.

Soekarno tidak hanya mencintai budaya Jawa. Dia juga mengagumi tari-tarian dari seantero negeri. Soekarno juga begitu takjub akan tarian selamat datang yang dilakukan oleh penduduk Papua.

Karena kecintaan Soekarno pada seni dan budaya, Istana Negara penuh dengan aneka lukisan, patung dan benda-benda seni lainnya. Setiap pergi ke daerah, Soekarno selalu mencari sesuatu yang unik dari daerah tersebut.

Dia menghargai setiap seniman, budayawan hingga penabuh gamelan. Soekarno akan meluangkan waktunya untuk berbincang-bincang soal seni dan budaya setiap pagi, di samping bicara politik.

Saat-saat diasingkan di Istana Bogor selepas G-30S/PKI, Soekarno membunuh waktunya dengan mengiventarisir musik-musik keroncong yang dulu populer tahun 1930an dan kemudian menghilang. Atas kerja kerasnya dan beberapa seniman keroncong, Soekarno berhasil menyelamatkan beberapa karya keroncong.

3.Ketika Bung Karno paksa Belanda memikul sepeda

Ada saja cerita lucu yang datang dari Bung Karno, proklamator yang lahir pada 6 Juni 1901 dan wafat pada tanggal 21 Juni 1970. Sebuah cerita lucu dituturkan istrinya Fatmawati. Fatmawati menjadi Ibu Negara Indonesia dari tahun 1945 hingga tahun 1967 dan merupakan istri ke-3 dari Soekarno. Fatmawati juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945.
Fatmawati mengakui kadang kali ada kelucuan daripada pembawaan Soekarno. Bila Bung Karno sudah melucu, dirinya jadi terpingkal-pingkal dibuatnya. Menurut Fatmawati, Bung Karno pernah bercerita kalau dirinya senang berkelakar. Senang mendengar dan bercerita yang lucu. Dan kelucuan Bung Karno bukanlah kelucuan seorang badut, tapi sikap eksentrik seorang pemikir.
Menurut Fatmawati, ketika Bung Karno dibuntuti polisi Belanda, polisi Belanda tersebut dipaksa untuk memikul sepedanya. Bung Karno tahu kalau dirinya selalu diikuti oleh serdadu Belanda. Sedikit saja Bung Karno melanggar hukum, Belanda dengan cepat mengirimnya ke dalam bui. Justru karena tahu polisi Belanda tidak boleh melepaskan pandangan mengikuti jejaknya, membuat dia sering mempermainkan polisi Belanda.
Waktu itu, Bung Karno sedang bersepeda, seorang polisi mengikutinya dari belakang. Bung Karno sengaja tidak mempercepat laju sepedanya. Dia menggenjot dengan santai saja. Polisi belanda itu pun santai pula mengikuti dari kejauhan. Tiba-tiba timbul pikiran membikin polisi itu repot. Di tepi persawahan, Bung Karno berhenti dan meninggalkan sepedanya di sana. Kemudian Bung Karno berjalan meniti pematang, menuju suatu perkampungan yang agak jauh letaknya, tempat seorang temannya tinggal. Bung Karno tahu, sepedanya tidak akan ada yang mengambil.
"Bung Karno tahu, polisi itu tidak berani membiarkan dirinya lepas dari pandangannya. Dia wajib menguntit Soekarno terus,” cerita Fatmawati dikutip dari buku Bung Karno Masa Muda’ Penerbit: Pustaka Yayasan Antar Kota, Jakarta, 1978.
Tapi kesulitannya sekarang adalah sepedanya tidak boleh ditinggalkan begitu saja seperti sepeda Bung Karno. Disiplin melarang polisi Belanda meninggalkan sepedanya di jalanan. Akhirnya terpaksa polisi itu memikul sepedanya meniti pematang sambil terseok-seok. Sesekali polisi itu kejeblos masuk lumpur sawah dengan bebannya yang cukup berat. Dia tidak berani membiarkan Bung Karno bebas berkeliaran di luar pengawasannya.
Sedangkan Bung Karno yang punya pikiran nakal itu enak saja meniti pematang panjang menuju perkampungan. Dia dengan jalan lenggang kangkung, sementara di belakang sang polisi dengan geram mengikutinya.
Itulah beberapa keping perbuatan Soekarno yang terkadang lucu, menurut Fatmawati sering membuat dia terpingkal-pingkal mendengarnya.

4.Bung Karno dan Ibu Fatmawati, tak pernah ingat kapan menikah

Di zaman modern, ada tradisi memperingati ulang tahun perkimpoian. Kalau 25 tahun perkimpoian disebut kimpoi perak, sementara 50 tahun perkimpoian disebut kimpoi emas. Tetapi, menurut pengakuan Ibu Fatmawati, dia dan Bung Karno tidak pernah merayakan ulang tahun perkimpoian
Jangankan kimpoi perak atau kimpoi emas, ulang tahun pernikahan ke-1, ke-2 atau ke-3 saja tidak pernah. Sebabnya tak lain karena keduanya tidak pernah ingat kapan menikah. Ini bisa dimaklumi karena saat berlangsungnya pernikahan, zaman sedang dibalut perang. Saat itu Perang Dunia II sedang berkecamuk dan Jepang baru datang untuk menjajah Indonesia.
"Kami tidak pernah merayakan kimpoi perak atau kimpoi emas. Sebab kami anggap itu soal remeh, sedangkan kami selalu dihadapkan pada persoalan-persoalan besar yang hebat dan dahsyat," begitu cerita Ibu Fatmawati di buku Bung Karno Masa Muda, terbitan Pustaka Antar Kota, 1978.
Kehidupan pernikahan Bung Karno dan Fatmawati memang penuh dengan gejolak perjuangan. Dua tahun setelah keduanya menikah, Indonesia mencapai kemerdekaan. Tetapi ini belum selesai, justru saat itu perjuangan fisik mencapai puncaknya. Bung Karno pastinya terlibat dalam setiap momen-momen penting perjuangan bangsa.
Pasangan ini melahirkan putra pertamanya yaitu Guntur Soekarnoputra. Guntur lahir pada saat Bung Karno sudah berusia 42 tahun. Berikutnya lahir Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh. Putra-putri Bung Karno dikenal memiliki bakat kesenian tinggi. Hal itu tak aneh mengingat Bung Karno adalah sosok pengagum karya seni, sementara Ibu Fatmawati sangat pandai menari.

5.Saat Soekarno kencingi Hatta

Tanggal 8 Agustus 1945, pemimpin tertinggi pasukan Jepang di Asia Tenggara, Jenderal Terauchi memanggil Soekarno dan Mohammad Hatta ke Vietnam. Terauchi sama sekali tidak menjelaskan apa maksudnya. Hal ini membuat Soekarno dan Hatta bertanya-tanya.
Berangkatlah mereka dengan diiringi 20 pejabat tinggi militer Jepang. Pesawat yang ditumpangi Soekarno penuh sesak. Tapi tak ada yang mau bicara soal alasan pemanggilan tersebut.
Ternyata pertemuan Soekarno-Hatta dengan Terauchi di Dalath ini sangat penting dalam sejarah Indonesia. Jepang mengaku tidak akan menghalang-halangi kemerdekaan Indonesia. Jepang sadar mereka sudah dikalahkan pasukan sekutu. Kondisi peperangan sama sekali berubah. Jepang sudah kalah habis-habisan dalam perang dunia II di Pasifik.
Kisah ini diceritakan Soekarno dalam biografinya yang ditulis Cindy Adams "Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang diterbitkan Yayasan Bung Karno tahun 2007.
Maka dengan membawa berita baik itu, pulanglah Soekarno dan Hatta ke Indonesia. Kali ini mereka tidak naik pesawat penumpang yang bagus seperti saat berangkat. Mereka naik pesawat pembom yang sudah rongsokan. Banyak lubang bekas tembakan di badan pesawat itu.
Pesawat itu juga tidak memiliki tempat duduk. Para penumpang duduk di lantai pesawat atau berbaring. Tidak ada juga pemanas, sehingga para penumpang menggigil kedinginan. Parahnya, tidak ada juga kamar kecil.
Nah, yang jadi masalah, saat itu Soekarno ingin kencing. Dia berbisik pada Suharto, dokter pribadinya.
"Aku ingin kencing. Apa yang harus kulakukan?" bisik Soekarno.
Suharto juga bingung, tidak ada kamar kecil. Maka dia menunjuk bagian ekor pesawat yang penuh lubang bekas tembakan. "Tidak ada tempatnya, jadi tidak ada jalan lain. Bung harus kencing di sana," kata Suharto.
"Baiklah. Aku melangkah pelan-pelan ke bagian belakang pesawat dan melampiaskan hajatku. Dan baru aku mulai, tiupan angin yang keras menghempas melalui lubang-lubang bekas peluru dan menyemburkan air itu ke seluruh ruangan pesawat. Kawan-kawanku yang malang itu mandi dengan air istimewa," beber Soekarno.
Saat mendarat di Jakarta, para pemimpin bangsa itu masih setengah basah dengan air kencing sang pemimpin besar revolusi. Tak dijelaskan bagaimana reaksi Hatta dan yang lainnya saat terkena air kencing Soekarno.

6.Soekarno menipu Belanda dengan telur dan Alquran

Bung Karno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Organisasi ini menjadi cikal bakal Partai Nasional Indonesia yang didirikan pada tahun 1927. Aktivitas Soekarno di PNI inilah yang membuat dia mendekam di penjara Banceuy dan kemudian dipindahkan ke Sukamiskin pada tahun 1930.
Saat dipenjara, Soekarno mengandalkan hidupnya dari sang istri. Seluruh kebutuhan hidup dipasok oleh Inggit yang dibantu oleh kakak kandung Soekarno, Sukarmini atau yang lebih dikenal sebagai Ibu Wardoyo.
Saat dipindahkan ke penjara Sukamiskin, pengawasan terhadap Soekarno semakin keras dan ketat. Dia dikategorikan sebagai tahanan yang berbahaya. Bahkan untuk mengisolasi Soekarno agar tidak mendapat informasi dari luar, dia digabungkan dengan para tahanan 'elite'. Kelompok tahanan ini sebagian besar terdiri dari orang Belanda yang terlibat korupsi, penyelewengan, atau penggelapan. Tentu saja, obrolan dengan mereka tidak nyambung dengan Bung Karno muda yang sedang bersemangat membahas perjuangan kemerdekaan. Paling banter yang dibicarakan adalah soal makanan, cuaca, dan hal-hal yang tidak penting.
Beberapa bulan pertama menjadi tahanan di Sukamiskin, komunikasi Bung Karno dengan rekan-rekan seperjuangannya nyaris putus sama sekali. Tapi sebenarnya, ada berbagai cara dan akal yang dilakukan Soekarno untuk tetap mendapat informasi dari luar.
Hal itu terjadi saat pihak penjara membolehkan Soekarno menerima kiriman makanan dan telur dari luar. Telur yang merupakan barang dagangan Inggit itu selalu diperiksa ketat oleh sipir sebelum diterima Bung Karno.
Seperti yang dituturkan Ibu Wardoyo yang dikutip dalam buku 'Bung Karno Masa Muda' terbitan Pustaka Antarkota tahun 1978, telur menjadi alat komunikasi untuk mengabarkan keadaan di luar penjara. Caranya, bila Inggit mengirim telur asin, artinya di luar ada kabar buruk yang menimpa rekan-rekan Bung Karno. Namun dia hanya bisa menduga-duga saja kabar buruk tersebut, karena Inggit tidak bisa menjelaskan secara detail.
Seiring berjalannya waktu, Soekarno dan Inggit kemudian menemukan cara yang lebih canggih untuk mengelabui Belanda. Medianya masih sama, telur. Namun, telur tersebut telah ditusuk-tusuk dengan jarum halus dan pesan lebih detail mengenai kabar buruk itu dapat dipahami Bung Karno. Satu tusukan di telur berarti semua kabar baik, dua tusukan artinya seorang teman ditangkap, dan tiga tusukan berarti ada penyergapan besar-besaran terhadap para aktivis pergerakan kemerdekaan.
Ada lagi cara yang lebih rumit dengan menggunakan media buku-buku agama hingga Alquran. Inggit yang mendapat jatah berkunjung dua kali sepekan diizinkan membawa buku-buku agama dan Alquran. Misalnya, Bung Karno dikirimi Alquran tanggal 24 bulan April. Maka Bung Karno harus membuka surat Alquran keempat di halaman 24. Di bawah huruf-huruf tertentu pada halaman tersebut terdapat lubang-lubang kecil seperti huruf Braille. Contohnya di bawah huruf B ada tusukan, selanjutnya di bawah huruf U, dan seterusnya, hingga membentuk rangkaian kata dan kalimat yang berisi kabar dari rekan-rekan seperjuangannya yang berada di luar penjara.
Satu lagi model komunikasi yang digunakan Bung Karno. Cara ini dipilih Ibu Wardoyo, yang selalu menemani Inggit membesuk ke penjara Sukamiskin. Dia menggunakan bahasa tubuh seperti menarik telinga, menyilangkan jari, mengedipkan mata, menggerakan satu tangan, hingga menggerakkan bagian muka. Semua kode itu sudah dipahami maknanya oleh Bung Karno.
Selama menjalani masa hukuman dari Desember 1929 hingga dibebaskan pada tanggal 31 Desember 1931, Soekarno tidak pernah dijenguk oleh kedua orangtuanya yang berada Blitar. Menurut Ibu Wardoyo, orang tua mereka Raden Soekemi Sosrodihardjo dan Ida Ayu Nyoman Rai tidak sanggup melihat anak yang mereka banggakan itu berada di tempat hina yakni penjara dan dalam posisi yang tidak berdaya.
Apalagi, saat di Sukamiskin, menurut Ibu Wardoyo, kondisi Soekarno demikian kurus dan hitam. Namun Bung Karno beralasan, dia sengaja membuat kulitnya menjadi hitam dengan bekerja dan bergerak di bawah terik matahari untuk memanaskan tulang-tulangnya. Sebab di dalam sel tidak ada sinar matahari, lembab, gelap, dan dingin.

7. Soekarno soal cerutu Kuba, Che dan Castro

Che Guevara lebih dulu berkunjung ke Indonesia tahun 1959. El Comandante ini berdiskusi panjang lebar soal revolusi di Indonesia. Pada waktu itu, Che juga merupakan wakil resmi pemerintah Kuba untuk membicarakan hubungan dagang antar kedua negara. Soekarno cocok dengan pribadi Che. Keduanya penuh energi dan bergaya informal..
Che sempat berwisata ke Candi Borobudur. Dia yang terkesan dengan Soekarno kemudian mengundang Soekarno untuk ganti berkunjung ke Kuba.
Maka tahun 1960, Soekarno yang melawat ke Kuba. Pemimpin Kuba Fidel Castro langsung menyambutnya di Bandara Havana. Soekarno disambut meriah. Warga Kuba berdiri di sepanjang jalan membentangkan poster bertuliskan 'Viva President Soekarno'.
Fidel Castro yang juga anti-Amerika klop dengan Soekarno. Sejarah menunjukkan keduanya tidak pernah mau didikte Amerika Serikat.
Soekarno menghadiahi Castro keris, senjata asli Indonesia. Mereka tertawa seperti dua sahabat saat bertukar penutup kepala. Soekarno menukar kopiahnya dengan topi a la komandan militer yang menjadi ciri khas Castro. Che pun tampak senang mengenakan kopiah Soekarno.
Yang unik, rombongan kepresidenan sempat berhenti hanya karena petugas polisi yang memimpin konvoi ingin menghisap cerutu.
Cerita itu dituturkan ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno' terbitan Kepustakaan Populer Gramedia.
Saat itu dalam konvoi Soekarno ada tiga polisi yang memimpin iring-iringan kepresidenan sekaligus membuka jalan. Tiba-tiba polisi pemimpin konvoi menghentikan motornya dan menyuruh konvoi berhenti. Tentu saja semua peserta bertanya-tanya kenapa konvoi berhenti.
Polisi itu lalu mengeluarkan cerutu, dan menghampiri sopir Soekarno. Rupanya dia mau pinjam korek untuk menyalakan cerutu. Setelah menyala, polisi itu lalu memberi hormat pada Soekarno. Dia menaiki motornya dan memimpin konvoi kembali dengan gagah. Sambil menghisap cerutu kuba tentu saja.
"Bung Karno tertawa berderai melihat itu. Rupanya dia cukup paham Kuba masih dalam revolusi," ujar Bambang.
Lawatan ke Kuba sangat mengesankan untuk Soekarno. Sangat berbeda dengan lawatannya ke Washington beberapa waktu sebelumnya. Kala itu Soekarno tersinggung dengan Presiden Eisenhower yang sombong. Eisenhower menganggap remeh Soekarno yang dianggapnya datang dari negara dunia ketiga.
Dibiarkannya Soekarno menunggu di Gedung Putih hampir setengah jam lamanya. Amarah Soekarno pun meledak.
"Apakah kalian memang bermaksud menghina saya. Sekarang juga saya pergi," ujar Soekarno dengan marah.
Para pejabat AS pun kebingungan. Mereka sibuk meminta maaf dan meminta Soekarno tinggal. Eisenhower pun segera keluar menemui Soekarno.
Pada pertemuan berikutnya, Eisenhower menjadi lebih ramah. Dia sadar Soekarno tak bisa diremehkan.

8.Repotnya Soekarno beristri banyak

Presiden pertama Republic Indonesia, Soekarno, dikenal beristri banyak. Punya istri banyak dan cemburuan tentu membuat Soekarno pusing. Kadang Soekarno terpaksa main kucing-kucingan dengan para istrinya.
Ketika Soekarno menikah dengan Hartini, Fatmawati marah dan keluar dari Istana. Istri kedua Soekarno ini memilih tinggal di Kebayoran Baru. Hartini pun akhirnya tidak tinggal di Istana, tetapi di paviliun Istana Bogor. Lalu setelah menikah dengan Dewi Soekarno, wanita Jepang ini ditempatkan di Wisma Yasoo, Jl Gatot Subroto. Sementara istri lainnya, Haryati 'ditaruh' di kawasan Slipi, Jakarta Barat.
Banyak kisah lucu soal poligami Soekarno. Misalnya soal surat. Karena sibuk, Soekarno tidak sempat menulis surat untuk masing-masing istrinya. Maka dia menyuruh juru tulis Istana untuk mengetikkan surat cinta bagi istrinya.
Tapi betapa kagetnya Soekarno saat mendapati surat cinta itu diketik di atas kertas berkop kepresidenan resmi. Lengkap dengan logo burung garuda dan cap kepresidenan. Bukan itu saja, si pengirim bukan ditulis sebagai 'mas' atau 'Soekarno' tetapi Paduka Yang Mulia Presiden Republik Indonesia, Ir Soekarno.
Nah, akibat banyak istri ini para ajudan pun jadi punya tugas tambahan. Ajudan Soekarno, Bambang Widjanarko menceritakan semua kerepotan ini.
Para istri Soekarno ini selalu curiga ke mana Soekarno pergi setelah jam dinas usai. Apakah menemui istrinya yang lain? ke rumah si A, si B atau si C? Para ajudan Soekarno pun harus berbohong demi menyelamatkan bos mereka.
"Kami para ajudannya harus membantu dan mengamankan setiap timbul persoalan. Kalau perlu harus berbohong, apabila ibu yang satu bertanya apakah Bung Karno bertemu dengan ibu yang lainnya," kata Bambang Widjanarko dalam buku 'Sewindu Dekat Bung Karno' terbitan Kepustakaan Populer Gramedia.
Jika Soekarno bertanya "Apakah aku sudah rapi?" Maka 'rapi' itu artinya bersih dari bekas lipstik, dan wangi parfum salah satu istrinya. Ajudan pun harus ektra teliti memeriksa. Jika ada bekas parfum misalnya, maka Soekarno akan pulang dulu ke Istana Negara untuk mandi dan berganti pakaian.
Pernah suatu saat, Haryati, mendengar Soekarno sedang menemui istrinya yang lain. Dia pun marah dan hendak menyusul ke tempat acara. Soekarno yang mendapat laporan, memerintahkan bagaimana dan apapun caranya, Haryati tak boleh meninggalkan Slipi.
Maka 'operasi sabotase' itu digelar. Awalnya sopir Haryati berpura-pura mobilnya mogok. Haryati yang murka meminta agar dikirim mobil dari Istana. Tapi berjam-jam mobil itu tidak juga datang. Saat sopir sudah berhasil menyalakan mobil yang tadi mogok, sebuah truk tiba-tiba mogok di depan rumahnya. Mobil Haryati pun tidak bisa keluar dari garasi. Misi sabotase ini sukses.
Repot memang punya banyak istri yang pencemburu.


9.Bung Karno tak suka wanita seksi

Presiden Soekarno semasa hidupnya dikenal memiliki pesona, sehingga dengan mudah menaklukkan wanita-wanita cantik yang diinginkannya. Sejarah mencatat Bung Karno sembilan kali menikah. Namun banyak yang tidak tahu wanita seperti apa yang dicintai Sang Putra Fajar itu.
Untuk urusan kriteria ternyata Bung Karno bukanlah sosok pria neko-neko. Perhatian Bung Karno akan mudah tersedot jika melihat wanita sederhana yang berpakaian sopan. Lalu, bagaimana Bung Karno memandang wanita berpenampilan seksi?
Pernah di satu kesempatan ketika sedang jalan berdua dengan Fatmawati, Bung Karno bercerita mengenai penilaiannya terhadap wanita. Kala itu Bung Karno benar-benar sedang jatuh hati pada Fatmawati.
"Pada suatu sore ketika kami sedang berjalan-jalan berdua, Fatmawati bertanya padaku tentang jenis perempuan yang kusukai," ujar Soekaro dalam buku 'Bung Karno Masa Muda' terbitan Pustaka Antar Kota.
Sesaat Bung Karno memandang sosok Fatmawati yang saat itu berpakaian sederhana dan sopan. Perasaan Bung Karno benar-benar bergejolak, dia sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu.
"Aku memandang kepada gadis desa ini yang berpakaian baju kurung merah dan berkerudung kuning diselubungkan dengan sopan. Kukatakan padanya, aku menyukai perempuan dengan keasliannya, bukan wanita modern yang pakai rok pendek, baju ketat dan gincu bibir yang menyilaukan," kata Soekarno.
"Saya lebih menyukai wanita kolot yang setia menjaga suaminya dan senatiasa mengambilkan alas kakinya. Saya tidak menyukai wanita Amerika dari generasi baru, yang saya dengar menyuruh suaminya mencuci piring," tambahnya.
Mungkin saat itu Fatmawati begitu terpesona mendengar jawaban Soekarno yang lugas. Sampai pada akhirnya jodoh mempertemukan keduanya. Soekarno menikah dengan Fatmawati pada tahun 1943, dan dikarunia 5 anak yakni Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati, dan Guruh.
"Saya menyukai perempuan yang merasa bahagia dengan anak banyak. Saya sangat mencintai anak-anak," katanya.

Prof. John Roosa: Identitas bangsa Indonesia berubah total sesudah 1965

BULAN September, bisa dibilang sebagai bulan paling bersejarah dalam cerita Indonesia modern. Pada bulan ini, terjadi satu peristiwa yang menjadi penanda lahirnya sebuah rezim politik paling berdarah dan paling kuat dalam sejarah Indonesia modern, rezim Orde Baru.

Cita-cita tentang Indonesia yang demokratis, yang menjunjung tinggi perikemanusiaan dan perikeadilan, yang meniscayakan kebhinekatunggalikaan, sejak September 1965 terkubur bersama jutaan bangkai manusia sebangsa. Setelah September 1965, kita seperti orang mabuk yang berjalan terseok-seok, kumuh, dan sering beringas dalam menggapai dan merumuskan identitas sebagai sebuah bangsa. Tapi mengherankan, tidak banyak studi yang dilakukan dalam masa-masa paling gelap itu. Tidak ada ’seujung kuku’ jika dibandingkan dengan, misalnya, studi tentang Holocaus Nazi/Hitler terhadap bangsa Yahudi di Jerman pada masa Perang Dunia II. Padahal, Peristiwa G30S 1965 dan yang menyertainya, merupakan tragedi kemanusiaan terbesar kedua setelah Holocaus dalam rentang skala, waktu, dan jumlah korban yang ditimbulkannya. Kita seperti ingin melupakannya ketimbang merenungkannya, ingin membantahnya ketimbang memahaminya.

Salah satu dari sedikit sarjana yang mendedikasikan dirinya dalam upaya mengungkap Peristiwa G30S tersebut adalah sejarahwan John Roosa, yang saat ini menjadi profesor di University of British Columbia (UBC), Kanada. Bukunya, Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup d’État in Indonesia, yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia menjadi Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: ISSI dan Hasta Mitra, 2007), adalah bagian dari upayanya untuk memahami peristiwa tersebut. Untuk itu, bertepatan dengan bulan ‘gelap’ ini, M. Zaki Hussein dari Left Book Review (LBR), berbincang-bincang dengan John Roosa. Berikut petikannya:



Apa yang membuat Anda tertarik untuk meneliti G30S dan pembantaian orang-orang PKI serta sayap kiri pada 1965-1966?

Waktu saya belajar sejarah Asia Tenggara di universitas tahun 1990an, saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil. Sebagai sejarahwan, saya lihat ada kebutuhan untuk investigasi yang lebih mendalam guna membongkar sejarah yang digelapkan oleh pembunuh-pembunuh itu. Sebagai manusia biasa yang peduli dengan prinsip-prinsip moral, saya benci dengan rezim Suharto. Rezim itu berfungsi sebagai attack dog buat modal asing dan jadi penuh dengan pejabat-pejabat bodoh dan brutal, orang dengan watak preman yang sama sekali tidak peduli dengan prinsip HAM, yang mengkhianati prinsip kemerdekaan, membunuh dan menyiksa orang Indonesia sendiri, dan kemudian menjual kekayaan tanah airnya kepada konglomerat multinasional dengan harga murah.

Akhir tahun 1990an, saya heran kenapa gerakan reformasi tidak mempersoalkan kejahatan-kejahatan yang terjadi waktu Orde Bobrok baru dimulai, tidak bisa melihat rezim itu sebagai satu package dari 1965 sampai 1998. Miseducation orang Indonesia selama 32 tahun cukup lengkap. Untuk mengerti rezim itu, kita harus kembali ke hari-hari lahirnya.



’Saya tidak habis pikir, kok bisa ada peristiwa sebesar dan sehebat ini tapi pengetahuan kita tentangnya sedemikian kecil.’



Sekalipun sekarang sudah ada keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mencabut kewenangan Kejaksaan untuk melarang buku, tetapi buku Anda, Dalih Pembunuhan Massal, pernah dilarang oleh Kejaksaan Agung pada 2009. Apa komentar Anda mengenai hal ini?

Dari satu segi, pelarangan itu bisa dianggap sebagai penghargaan. Ternyata kekuatan buku saya tinggi sekali, sampai pejabat-pejabat takut buku itu bisa mempengaruhi rakyat Indonesia. Dan pejabat-pejabat di Clearing house-nya Kejaksaan Agung teliti sekali waktu membaca Dalih. Konon, mereka telah siapkan laporan panjang dan mendaftar 143 kesalahan dari Dalih. Tapi, dari segi lain, pembredelan itu tentu saja, menyedihkan. Kok di era reformasi dan era internet ada pejabat yang mengira mereka masih bisa membredel buku. Saya lihat kemenangan kami di MK tahun 2010 sebagai kemenangan untuk rule of law dan hak kebebasan berekspresi. Yang tetap menjengkelkan, Kejaksaan Agung tidak mau membuka laporannya. Saya masih penasaran, apa keberatan mereka terhadap buku saya dan kenapa mereka membredel Dalih?



Anda menyebutkan bahwa PKI sebagai organisasi tidak terlibat dalam G30S, tapi ada individu PKI yang terlibat tanpa persetujuan partai, bisa anda jelaskan secara singkat hal ini?

G30S itu operasi rahasia. Badan-badan partai, seperti Central Committee (CC) dan CDB-CDB (Comite Daerah Besar) di tingkat propinsi, tidak pernah membicarakan G30S, apalagi ambil keputusan. Menurut Iskandar Subekti, panitera Politbiro, banyak dari anggota Politbiro itu sendiri tidak tahu persis apa itu G30S (Di Politbiro ada kira-kira 12 orang: Aidit, Lukman, Sudisman, dll.). Soal yang dibicarakan di Politbiro adalah: lebih baik PKI mendukung para perwira progresif untuk mendahului Dewan Jenderal (DJ) atau tunggu sampai DJ melakukan kudeta. Politbiro ambil keputusan bahwa PKI harus mendukung para perwira progresif dan Aidit ditugaskan untuk melaksanakan keputusan itu. Sehingga anggota Politbiro tidak melihat G30S sebagai aksi partai. Aidit membentuk tim inti yang terdiri dari beberapa anggota Politbiro, misalnya Sudisman dan Oloan Hutapea, dan hanya tim inti itu, tim ad hoc di luar institusi formal di partai, yang bekerja dengan Sjam di Biro Khusus untuk merancang operasi G30S. Tapi, belum tentu tim inti itu tahu persis apa itu G30S. Tampaknya, Aidit dan pemimpin PKI lain di tim inti itu tetap berpikir bahwa kelompok perwira progresif (Untung cs.) yang memegang peran utama dalam aksi G30S. Mereka kira Untung, Latief, dan Suyono punya kekuatan militer yang cukup untuk melawan jenderal-jenderal kanan dan punya rencana yang jelas. Padahal, Untung cs. berpikir bahwa pemimpin PKI yang memegang peran utama. Dua kelompok itu (orang PKI di tim intinya Aidit dan perwira militer) tidak pernah duduk bersama untuk menyusun G30S. Karena Sjam jadi perantaranya, persiapan aksi itu jadi kacau.

Rezim Suharto menangkap lebih dari satu juta orang atas nama ’penumpasan G30S.’ Jelas penangkapan semasif itu sebenarnya tidak perlu sebagai reaksi terhadap aksi kecil. Pepatah yang dipakai Sukarno benar: tentara ’membakar rumah untuk membunuh tikus.’ G30S merupakan dalih saja untuk kepentingan yang lebih besar.



’Kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa.’



Anda mengatakan bahwa peristiwa G30S itu sebenarnya merupakan dalih untuk sebuah pembantaian massal. Lalu, apa sebenarnya tujuan utama di balik pembantaian massal itu?

Ada dua hal: represi terhadap gerakan nasionalis kiri (pengangkapan massal, penahanan massal) dan pembunuhan terhadap gerakan itu. Kalau represi, tujuan utamanya menghancurkan kekuatan petani, yang sedang mendukung proses land reform, dan kekuatan buruh, yang sedang mengambil alih banyak perusahaan milik modal asing. Represi itu sebenarnya bisa dilakukan tanpa pembunuhan. Waktu itu PKI tidak melawan. Kenapa kelompok Suharto di dalam Angkatan Darat (AD) memilih membunuh orang yang sudah ditahan? Ada beberapa kemungkinan, tapi satu poin yang cukup penting: kelompok Suharto mau membuktikan kesetiaannya kepada kampanye antikomunis Amerika Serikat (AS), supaya AS membantu tentara bertahan lama sebagai penguasa. Suharto sadar bahwa rezim dia akan bergantung kepada bantuan finansial dari AS untuk memperbaiki ekonomi Indonesia.



Anda nyaris tidak membahas apa yang terjadi di Lubang Buaya saat peristiwa G30S, kenapa demikian? Apakah karena kurangnya data atau karena kejadian-kejadian di Lubang Buaya memang tidak signifikan untuk merekonstruksi narasi tentang peristiwa G30S?

Memang tidak banyak informasi yang bisa diandalkan tentang apa persisnya yang terjadi di Lubang Buaya. Hampir semua orang yang hadir di sana, tidak mau mengakui kehadiran mereka atau tidak mau cerita secara jelas dan jujur tentang kejadian-kejadian di sana. Wajar, kalau kita ingat teror yang mereka alami. Yang jelas, propaganda kelompok Suharto tentang Lubang Buaya itu bohong belaka. Ya, rezim itu sendiri tidak peduli dengan fakta: mereka tidak pernah membuat investigasi dengan benar. Malah, mereka memaksa beberapa gadis yang tidak punya hubungan dengan peristiwa itu mengaku membunuh para jenderal. Ada buku baru yang mengharukan tentang hal ini: Aku Bukan Jamilah (2011), oleh R. Juki Ardi. Kalau geng Suharto mau menghargai jenderal-jenderal itu, seharusnya mereka melacak kejadian di Lubang Buaya sampai bisa tahu persis siapa yang membunuh mereka dan atas perintah siapa. Kalau informasi itu bisa diketahui, kita bisa memahami proses pengambilan keputusan di dalam kelompok G30S (Sjam, Untung cs).





Presiden Suharto di Museum ‘Lubang Buaya’, foto: Setneg.



Anda menyebutkan bahwa Amerika Serikat memiliki kontak dengan kelompok Jenderal Angkatan Darat yang dinamakan ‘brain trust.’ Apakah kelompok ini yang disebut dengan ’Dewan Jenderal?’ Seberapa erat sebenarnya hubungan mereka dengan Amerika Serikat?

’Brain trust’ itu istilah yang dipakai oleh CIA sendiri dalam laporan tentang G30S tahun 1968. Saya kira, tidak ada satu kelompok perwira AD yang sering rapat dan menyusun bersama strategi yang jelas untuk semacam konfrontasi terhadap PKI. Organisasi mereka lebih informal dan strateginya disusun dalam pertemuan-pertemuan biasa. Yang jelas, jenderal Abdul Haris Nasution menjadi pemimpin para perwira antikomunis dan dia sering bicara dengan perwira lain tentang strategi untuk menghancurkan PKI. Hubungan antara pimpinan AD dan AS erat sekali sebelum dan sesudah G30S. Banyak perwira AD diterbangkan ke AS untuk latihan militer dan sebagian di antara mereka rela jadi informant untuk militer AS. AS kasih senjata, alat komunikasi, bantuan material, seperti beras, dan bantuan finansial serta daftar nama anggota PKI. AS membantu tentara menciptakan psychological warfare campaign. Perusahaan-perusahaan AS berhenti membayar royalti ke pemerintah Sukarno di awal tahun 1966 dan mulai mengirim uang itu ke rekening Suharto.



’Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak.’



Ada yang menyatakan bahwa sekalipun pembantaian 1965-1966 diorganisir oleh Angkatan Darat, tetapi adanya ketegangan dan persaingan tajam antara kelompok komunis dan nonkomunis juga menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya pembantaian tersebut. Bagaimana pendapat Anda mengenai hal ini?

Ketegangan antara PKI dan organisasi anti-komunis sebelum G30S, misalnya antara PKI dan PNI di Bali, atau PKI dan NU di Jawa Timur, tidak bisa menjelaskan pembunuhan massal. Orang sipil yang ikut milisi, seperti Tameng di Bali dan Ansor di Jawa Timur, tidak mampu membunuh sebegitu banyak orang sendirian. Paling-paling mereka bisa mengorganisir tawuran-tawuran. Dalam tawuran-tawuran seperti itu, orang PKI berani melawan dan tidak akan banyak orang yang gugur. Pembunuhan massal terjadi sesudah banyak orang PKI rela masuk kamp-kamp penahanan. Kemudian tugas milisi menjadi algojo saja. Kalau tidak ada backing dari tentara, orang sipil di milisi-milisi itu tidak bisa berbuat banyak. Sekejam apapun orang PKI sebelum G30S (dan kekejaman itu juga terlalu sering dibesar-besarkan), tetap tidak bisa membenarkan tindakan extra-judicial killing yang dilakukan milisi maupun tentara. Seharusnya para pelaku pembunuhan itu malu dan menyesal dengan apa yang mereka perbuat: membunuh orang yang telah tidak berdaya. Mereka adalah pengecut yang kemudian berpose sebagai pahlawan perang. Tidak ada perang waktu itu, kecuali dalam imajinasi orang yang tidak tahu apa itu perang yang sebenarnya.



Menurut Anda, apa dampak pembantaian 1965-1966 yang sampai sekarang masih terasa, baik terhadap korban maupun rakyat Indonesia secara umum?

Ya jelas masih terasa. Identitas banga Indonesia berubah total sesudah 1965. Semangat antikolonialisme hilang dan anti-komunisme menjadi dasar identitas bangsa. Ini berarti kebencian terhadap sesama orang Indonesia menjadi basis untuk menentukan siapa warganegara yang jahat dan baik. Sistem ekonomi dan sistem politik juga berubah total. Sesudah 1998 orang Indonesia menggali lagi ide-ide dari zaman pra-1965, dan juga pra-1959 (sebelum Demokrasi Terpimpin): ide-ide tentang rule of law, HAM, sekularisme, dll.

Apa pelajaran yang bisa diambil gerakan Progresif di Indonesia sekarang agar peristiwa mengerikan semacam G30S itu tidak terulang kembali?

Peristiwa G30S sendiri sebenarnya tidak begitu mengerikan. Seperti Bung Karno katakan, G30S merupakan gelombang kecil dalam sejarah Indonesia yang penuh dengan perang (RMS, DI/TII, PRRI/Permesta) dan kerusuhan. Berapa kali Bung Karno mau dibunuh? G30S membunuh duabelas orang (enam jenderal, satu letnan, anaknya Nasution, satpam di rumah sebelah rumah Leimena, keponakan Maj. Gen. Panjaitan, dan dua perwira di Jawa Tengah). Yang jauh lebih mengerikan adalah pembunuhan massal yang terjadi sesudah G30S. Sekarang yang penting menurut saya adalah upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran di Indonesia tentang kejahatan-kejahatan yang terjadi pada waktu itu. Secara umum orang Indonesia tidak tahu apa-apa tentang kejahatan itu. Juga harus ada pengakuan dari negara bahwa memang tentara dan orang sipil yang melakukan kejahatan. Extra-judicial killings, penghilangan paksa, penyiksaan, mati kelaparan dalam penjara, semuanya tidak bisa dibenarkan dan tidak bisa ditolerir.

Orang kiri sekarang harus mengoreksi diri juga: selama ini partai-partai Marxis-Leninis tidak menghargai prinsip-prinsip HAM. Kita harus belajar bagaimana berpolitik dan berperang melawan imperialisme dan kapitalisme seraya tetap memegang Universal Declaration of Human Rights dan Konvensi-konvensi Geneva.



http://indoprogress.com/lbr/?p=243

Monumen Nasional (Kebesaran Perjuangan Bangsa Indonesia)

Untuk mengenang dan melestarikan kebesaran perjuangan bangsa Indonesia yang dikenal dengan Revolusi Kemerdekaan Rakyat Indonesia 17 Agustus 1945 dan untuk membangkitkan inspirasi dan semangat patriotisme bagi generasi sekarang dan generasi masa mendatang, maka dibangunlah suatu tugu peringatan yang kemudian dikenal sebagai Tugu Monumen Nasional (Monas).

Pada tanggal 17 Agustus 1954 sebuah komite nasional dibentuk dan sayembara perancangan monumen nasional digelar pada tahun 1955. Terdapat 51 karya yang masuk, akan tetapi hanya satu karya yang dibuat oleh Frederich Silaban yang memenuhi kriteria yang ditentukan komite, antara lain menggambarkan karakter bangsa Indonesia dan dapat bertahan selama berabad-abad. Sayembara kedua digelar pada tahun 1960 tapi sekali lagi tak satupun dari 136 peserta yang memenuhi kriteria. Ketua juri kemudian meminta Silaban untuk menunjukkan rancangannya kepada Sukarno. Akan tetapi Sukarno kurang menyukai rancangan itu dan ia menginginkan monumen itu berbentuk lingga dan yoni. Silaban kemudian diminta merancang monumen dengan tema seperti itu, akan tetapi rancangan yang diajukan Silaban terlalu luar biasa sehingga biayanya sangat besar dan tidak mampu ditanggung oleh anggaran negara, terlebih kondisi ekonomi saat itu cukup buruk. Silaban menolak merancang bangunan yang lebih kecil, dan menyarankan pembangunan ditunda hingga ekonomi Indonesia membaik. Sukarno kemudian meminta arsitek R.M. Soedarsono untuk melanjutkan rancangan itu. Soedarsono memasukkan angka 17, 8 dan 45, melambangkan 17 Agustus 1945 memulai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, ke dalam rancangan monumen itu. Tugu Peringatan Nasional ini kemudian dibangun di areal seluas 80 hektar. Tugu ini diarsiteki oleh Friedrich Silaban dan R. M. Soedarsono, mulai dibangun 17 Agustus 1961.

Pembangunan Tugu Monumen Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 214 Tahun 1959 tanggal 30 Agustus 1959 tentang Pembentukan Panitia Monumen Nasional yang diketuai oleh Kolonel Umar Wirahadikusumah, Komandan KMKB Jakarta Raya. Pembangunan Tugu Monumen Nasional baru terwujud ketika Republik Indonesia genap berusia dua windu atas dasar gagasan Presiden Republik Indonesia Pertama Ir.Soekarno, dan pemancangan tiang pertama sebagai awal pembangunan Tugu Monumen Nasional dilaksanakan pada tanggal 17 Agustus 1961.

Rancang bangun Tugu Monumen Nasional dibuat oleh arsitek terkenal Indonesia yaitu Soedarsono dan penasehat konstruksi adalah Prof.Dr.Ir.Roosseno. Pembangunan Tugu Monumen Nasional dibiayai sebagian besar dari sumbangan masyarakat Indonesia secara gotong-royong dan mulai dibuka untuk umum pada tanggal 18 Maret 1972 berdasarkan Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor Cb.11/1/57/72.

Ciri Khas Tugu Monumen Nasional

Arsitektur Tugu Monumen Nasional dan dimensinya penuh mengandung lambang khas budaya bangsa Indonesia. Bentuk tugu yang menjulang tinggi melambangkan lingga (alu/antan), sedangkan pelataran cawan melambangkan yoni (lumpang). Alu dan lumpang merupakan alat rumah tangga yang terdapat hampir di setiap rumah pribumi Indonesia. 

Lingga dan yoni melambangkan positif dan negatif, seperti lelaki dan perempuan, siang dan malam, air dan api, langit dan bumi sebagai lambang dari alam yang abadi.

Di pelataran puncak tugu, api nan tak kunjung padam, melambangkan tekad bangsa Indonesia untuk berjuang yang tidak akan pernah surut sepanjang masa. Tinggi pelataran cawan 17 meter dan tinggi ruang Museum Sejarah 8 meter, luas pelataran cawan yang berbentuk bujur sangkar berukuran 45 meter X 45 meter merupakan pelestarian angka keramat Proklamasi Kemerdekaan RI 17-8-1945.

Bagian-bagian Utama Tugu Monumen Nasional

Ruang Museum Sejarah

Ruang Museum Sejarah terletak 3 meter di bawah permukaan halaman Tugu Monumen Nasional dengan ukuran luas 80X80 meter persegi. Dinding, tiang, dan lantai secara keseluruhan berlapiskan marmer.
Di ruang Museum Sejarah terdapat 51 jendela peragaan (diorama) yang mengabadikan peristiwa sejarah sejak zaman kehidupan nenek moyang bangsa Indonesia, perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa Indonesia, hingga masa pembangunan Orde Baru.

Ruang Kemerdekaan

Di bagian dalam cawan monumen terdapat Ruang Kemerdekaan berbentuk amphitheater. Ruangan ini dapat dicapai melalui tangga berputar di dari pintu sisi utara dan selatan. Ruangan ini menyimpan simbol kenegaraan dan kemerdekaan Republik Indonesia. Diantaranya naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang disimpan dalam kotak kaca di dalam gerbang berlapis emas, lambang negara Indonesia, peta kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia berlapis emas, dan bendera merah putih, dan dinding yang bertulis naskah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.[1][8]. Di dalam Ruang Kemerdekaan Monumen Nasional ini digunakan sebagai ruang tenang untuk mengheningkan cipta dan bermeditasi mengenang hakikat kemerdekaan dan perjuangan bangsa Indonesia. Naskah asli proklamasi kemerdekaan Indonesia disimpan dalam kotak kaca dalam pintu gerbang berlapis emas. Pintu mekanis ini terbuat dari perunggu seberat 4 ton berlapis emas dihiasi ukiran bunga Wijaya Kusuma yang melambangkan keabadian, serta bunga Teratai yang melambangkan kesucian. Pintu ini terletak pada dinding sisi barat tepat di tengah ruangan dan berlapis marmer hitam. Pintu ini dikenal dengan nama Gerbang Kemerdekaan yang secara mekanis akan membuka seraya memperdengarkan lagu "Padamu Negeri" diikuti kemudian oleh rekaman suara Sukarno tengah membacakan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945. Pada sisi selatan terdapat patung Garuda Pancasila, lambang negara Indonesia terbuat dari perunggu seberat 3,5 ton dan berlapis emas. Pada sisi timur terdapat tulisan naskah proklamasi berhuruf perunggu, seharusnya sisi ini menampilkan bendera yang paling suci dan dimuliakan Sang Saka Merah Putih, yang aslinya dikibarkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akan tetapi karena kondisinya sudah semakin tua dan rapuh, bendera suci ini tidak dipamerkan. Sisi utara diding marmer hitam ini menampilkan kepulauan Nusantara berlapis emas, melambangkan lokasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.Semua itu sangat indah.

Pelataran Puncak

Pelataran Puncak Tugu Monumen Nasional terletak pada ketinggian 115 meter dari halaman Tugu Monumen Nasional. Dengan elevator tunggal berkapasitas maksimum 11 orang pengunjung dapat mencapai Pelataran Puncak yang luasnya 11X11 meter persegi, dan dapat menampung sebanyak 50 orang. Di pelataran ini, pengunjung dapat menikmat pemandangan seluruh penjuru kota Jakarta. Di sekeliling rangka elevator di dalam badan Tugu, terdapat tangga darurat yang terbuat dari besi.

Lidah Api Kemerdekaan

Lidah Api di Pelataran Puncak dibuat dari perunggu seberat 14,5 ton dengan tinggi 14 meter dan berdiameter 6 meter, terdiri dari 77 bagian yang disatukan. Seluruh permukaan Lidah Api berlapis emas (gold leaf) seberat lebih kurang 50 kg. Emas Monas disumbang oleh Teuku Markam. Ketinggian dari halaman Tugu Monumen Nasional sampai dengan puncak Lidah Api adalah 132 meter.

Langkah Keras Belanda Agresi Militer Belanda II

Latar Belakang

Agresi Militer Belanda IITanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid, menjadi Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia. Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal. Jabatan Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur Jenderal dihapus. Willem Drees, pernah menjadi Menteri Sosial di kabinet Schermerhorn dan kemudian di kabinet Beel. Drees menjadi Perdana Menteri Belanda dari tahun 1948 – 1958.

Pengangkatan Dr. Beel menjadi Wakil Tinggi Mahkota menunjukkan, betapa pentingnya masalah Indonesia bagi Belanda. Dengan demikian setelah Profesor Schermerhorn, Dr. Beel adalah mantan Perdana Menteri Belanda kedua yang dipercayakan untuk menyelesaikan masalah Indonesia.

Berbeda dengan Profesor Schermerhorn yang sosialis, Beel termasuk kelompok garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda, yang tidak ingin memberikan konsesi apa pun kepada pihak Republik. Dengan pengangkatan Dr. Beel, Belanda telah menunjukkan sikap kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang memang ingin menghancurkan TNI, mendapat dukungan politik.

Belanda yang secara sepihak memutuskan hubungan diplomatik, dan tidak diketahui oleh Yogyakarta. Bagi Belanda perjanjian Renville adalah cara damai untuk merebut kembali wilayah RI yang telah diduduki Belanda sejak Agresi Militer Belanda 1 dilancarkan. Namun cara tersebut dikatakan tidak menyelesaikan masalah Indonesia dengan Belanda. Wakil tertinggi mahkota Belanda di indonesia Dr LJMBell pukul 23.00 tanggal 18 desember 1948 mengumumkan "bahwa belanda sudah tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville "

Jalannya Agresi Militer Belanda II

Pada 19 Desember 1948 penyerbuan ke wilayah Republik Indonesia oleh tentara Belanda. Pemerintahan Belanda di wilayah bekas Hindia Belanda bersikeras menyebut peristiwa penyerbuan tersebut sebagai “Aksi Polisionil”. Dengan istilah “Aksi Polisionil”, pihak Belanda ingin menegaskan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa militer.
Agresi Militer Belanda II dimaksudkan oleh Belanda untuk memusnahkan kekuatan TNI, yang dianggap sebagai ekstrimis atau bahkan kriminal. Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.

Pemerintah Darurat

Pemerintah Darurat Republik Indonesia19 Desember 1948 presiden mengadakan sidang darurat kabinet. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tetap berada di Ibukota. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Secara taktis militer adalah sangat merugikan RI sebab sangat teramat mudah menguasai RI dan menawan para pembesar RI, dan secara strategis politis sudah dapat diperhitungkan Belanda, bahwa apabila para pemimpin RI ditawan dan ibu kota RI dan kota lainya telah diduduki , maka akan mudah menundukan TNI dan para pembesar lainya yang akhirnya akan meratakan jalan kearah terbentuknya negara federal ciptaan Belanda.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Sedangkan di pihak TNI terus melakukan serangan grilya kepada pasukan belanda yang terus mendesak masuk kota Yogyakarta. Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.


Pengasingan Sukarno dan Hatta

Rumah Pengasingan Sukarno Bangka
Belanda berhasil masuk kota Yogyakarta 22 Desember 1948. Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
Di Pengasingan Sukarno melakukan pertemuan-pertemuan diplomatik tidak terlepas dari peran KTN, yaitu perwakilan Amerika Serikat, Australia, dan Belgia, yang memfasilitasi perundingan RI dengan Belanda. Selain itu, Belanda cukup memberikan "kebebasan" kepada Soekarno dan Hatta untuk menjalankan aktivitas di luar pesanggrahan.

Surat cerai Soekarno untuk Inggit

SUKARNO INGGIT
Inggit Garnasih harus menelan pil pahit manakala sang suami Soekarno mengungkapkan keinginannya untuk menikah lagi. Tegas Inggit menolak untuk dipoligami. Akhirnya perceraian pun tak bisa dihindarkan.

Soekarno dan Inggit menikah pada tahun 1923, kala itu usia Inggit jauh lebih tua. Inggit setia mendampingi Soekarno muda yang masih berapi-api memperjuangkan kemerdekaan dari tangan kolonial.

Hampir setiap hari Soekarno yang biasa dipanggil Kusno oleh Inggit keliling Bandung untuk memberikan orasi politiknya. Tanpa mengenal lelah sedikit pun Inggit selalu menemani.

Sampai pada akhirnya, kekhawatiran Inggit menjadi kenyataan, Soekarno bersama rekannya yang baru dari Yogyakarta diturunkan di Stasiun Cicalengka, Bandung. Selanjutnya dengan pengawalan ketat polisi, Soekarno dijebloskan ke Penjara Banceuy.

Didorong rasa cinta, Inggit berulang kali mencoba membesuk, namun ditolak. Dengan setia dia menunggu sampai Soekarno bebas. Ternyata Penjara Banceuy bukanlah yang terakhir, Soekarno kemudian dibuang ke Flores, diasingkan ke Bengkulu. Dalam kondisi itu Inggit masih setia mendampingi.

Di Bengkulu, prahara rumah tangga Inggit dan Soekarno mulai terkoyak. Soekarno kepincut sosok wanita muda berparas ayu. Wanita itu bernama Fatimah. Soekarno yang terlanjur jatuh cinta, meminta izin ke Inggit untuk menikah lagi.

"Aku tidak bermaksud menyingkirkanmu. Merupakan keinginanku untuk menetapkanmu dalam kedudukan paling atas dan engkau tetap sebagai istri yang pertama, jadi memegang segala kehormatan yang bersangkutan dengan hal ini, sementara aku dengan mematuhi hukuman agama dan dan hukuman sipil, mengambil istri kedua agar mendapatkan keturunan," ujar Soekarno ke Inggit seperti dikutip dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams.

Berbagai alasan yang diungkapkan Soekarno tak juga dapat menggoyahkan prinsip Inggit yang menolak dimadu. Akhirnya setelah hampir dua puluh tahun bersama, keduanya sepakat bercerai. Soekarno mengembalikan Inggit ke orangtuanya di Bandung.

Soekarno pun membuat surat perjanjian yang ditandatangani juga oleh Inggit. Dalam surat itu Soekarno menjatuhkan talak kedua, dan berjanji memberikan sebuah rumah, tunjangan hidup dan membayar hutang Rp 6.230 rupiah, tapi tak semua dipenuhi. Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara dan Hadji Mas Mansoer menjadi saksi perjanjian itu.

Kemudian, pada 1 Juni 1943, Soekarno menikahi Fatimah yang belakangan namanya diubah menjadi Fatmawati. Saat itu Fatmawati berusia 20 tahun sedangkan Soekarno berusia 41 tahun. Dari pernikahan itu mereka dianugerahi lima anak yakni Guntur, Megawati, Rachmawati, Sukmawati dan Guruh.

Lagi-lagi Soekarno jatuh hati pada seorang wanita. Keinginan Soekarno menikahi Hartini, ditolak oleh Fatmawati yang memang memiliki prinsip menolak dimadu. Fatmawati lebih memilih menanggalkan status ibu negara, dan hidup tenang bersama anaknya.


merdeka.com

Sukarno dan Wanita

sukarno dan istri ke 3
Sukarno, presiden pertama Republik Indonesia, merupakan gambaran seorang pemimpin besar di mata rakyat Indonesia. Jiwa kepemimpinan dan karismanya yang terpancar kuat mungkin masih dapat disaksimatakan oleh beberapa orang yang masih hidup di masa Sukarno berkuasa. Daya tarik Sukarno inilah yang juga sulit untuk ditolak oleh beberapa perempuan yang pernah hadir sebagai penghias hati bapak proklamator Indonesia ini. Tercatat ada 9 orang wanita yang pernah dinikahinya. Sampai akhir hidupnya, beberapa telah berstatus sebagai mantan istri dan beberapa lagi masih menjadi istri yang sah.
Sukarno memang adalah seorang pecinta dan pemuja wanita. Ibarat kumbang di taman yang hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain, demikianlah Sukarno. Sukarno memang bukan sosok manusia hipokrit. Dalam wawancara yang dilakukan Cindy Adams, penulis biografinya, dengan terang-terangan Sukarno mengatakan, " I'm a very physical man. I must have sex everyday. "
Reni Nurhayati, sang penulis buku, menilai bahwa memang tak ada satupun dari istri-istri Sukarno yang tidak cantik. Pada Bambang Widjanarko, orang yang pernah 8 tahun menjadi ajudannya, ia berujar, "Ya, aku senang melihat wanita cantik. Aku akan merasa lebih berdosa bila berpura-pura dengan mengatakan tidak atau bersikap seakan tidak senang. Berpura-pura seperti itu namanya munafik dan aku tidak mau munafik." Di saat yang berbeda, ia juga pernah mengatakan, "Aku menjunjung Nabi Besar. Aku mempelajari ucapan-ucapan beliau dengan teliti. Jadi, moralnya bagiku adalah: bukanlah suatu dosa atau tidak sopan kalau seseorang mengagumi perempuan yang cantik. Dan aku tidak malu berbuat begitu, karena melakukan itu pada hakekatnya aku memuji Tuhan dan memuji apa yang telah diciptakanNya."
Siti Utari Tjokroaminoto, Inggit Ganarsih, Fatmawati, Hartini, Kartini Manopo, Naoko Nemoto yang kemudian berganti nama menjadi Ratnasari Dewi, Haryati, Yurike Sanger, dan Heldy Djafar, demikian nama kesembilan bunga hati Sukarno. Cinta memang buta, ia juga tak kenal usia, demikianlah faktanya yang terjadi dengan cinta Sukarno. Mulai dari yang lebih tua darinya 15 tahun (Inggit Ganarsih) hingga yang lebih muda 46 tahun (Heldy Djafar), semua telah jatuh dalam pesona Sukarno. Bagi Sukarno, kebahagiaan dalam perkawinan baru akan tercapai apabila si istri merupakan perpaduan daripada seorang ibu, kekasih dan seorang kawan. Hal ini mungkin yang membuat Sukarno tetap bisa bersikap sama romantis terhadap istri tua maupun istri mudanya. Ia sanggup membuat istri-istrinya merasa bahwa merekalah satu-satunya wanita dalam hidup Sukarno.

Kepiawaian Sukarno mengambil hati wanita memang tidak diragukan lagi. Surat cinta, rayuan, dan sikap gentleman khas Sukarno menjadi hal yang masih dapat dikenang oleh istri dan mantan istrinya. Kendati beberapa diantaranya sudah bercerai dan menikah lagi dengan pria lain, mereka masih fasih membahasakan kembali sederetan kata indah yang pernah ditulis dan diucapkan oleh Sukarno. Banyak gelar yang akhirnya orang sandangkan pada Sukarno menyangkut keahliannya yang satu ini, diantaranya Arjuna, Casanava Cinta, dan Don Juan, sedangkan dari pengagumnya di luar negeri ia dijuluki A Great Lover. Sepak terjangnya memang telah sampai menjadi sorotan dunia, pers barat bahkan dengan sinis menyebutnya " Le Grand Seducteur - tidak bisa melihat rok wanita tanpa bernafsu".
Bagaimanapun penilaian kita pada pribadi Sukarno mengenai kehidupan asmaranya bersama wanita-wanitanya, beliau tetaplah aktor sejarah yang sangat berpengaruh besar terhadap bangsa Indonesia. Dibalik perjuangannya bagi bangsa ini, tertoreh nama Inggit Ginarsih yang Sukarno sendiri sebut sebagai Srikandi Indonesia di depan khalayak ramai pada waktu Kongres Indonesia Raya di Surabaya tahun 1931, dan Fatmawati sang penjahit bendera pusaka Indonesia.
Tidak tahu seberapa besar cintanya pada istri yang satu maupun istri yang lainnya namun satu hal yang pasti cintanya pada Ibu Pertiwi sangatlah besar. Ratna Sari Dewi dalam buku Bung Karno Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku: Kenangan 100 Tahun Bung Karno, menyatakan bahwa sesungguhnya Sukarno adalah seorang pahlawan sejati yang hanya mencintai negara dan bangsanya.

sumber 
http://id.shvoong.com

Friedrich Silaban, Sang Arsitek yang Pluralis, “By the Grace of God”


Dia arsitek pengukir sejarah toleransi beragama di negeri ini. Bung Karno menjulukinya sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal. Friedrich Silaban, seorang penganut Kristen Protestan yang taat kelahiran Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912, wafat dalam usia 72 tahun pada hari Senin, 14 Mei 1984 RSPAD Gatot Subroto Jakarta, karena komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya.

Toleransi beragama yang tinggi sedari dulu telah ditunjukkan oleh umat beragama di Indonesia, baik yang Muslim, Nasrani maupun yang lainnya. Apabila satu pemeluk agama tertentu suatu ketika membangun tempat ibadah, tidak jarang kemudian dibantu oleh umat agama lain. Demikian halnya dalam pembangunan Mesjid Agung Istiqlal. Mesjid yang di awal abad 21 merupakan mesjid terbesar di Asia Tenggara itu, dalam proses pembangunannya telah menyimpan satu sejarah toleransi beragama yang sangat tinggi.

Disebutkan demikian, karena sang arsitek dari mesjid tersebut adalah seorang penganut Kristen Protestan yang taat. Tidak ada yang dibuat-buat sehingga menjadi demikian, namun begitulah memang gambaran toleransi beragama antara umat di negeri ini sejak dulu. Kebesaran jiwa dari umat Islam sangat jelas terlihat disini. Mereka mau menerima pemikiran atau desain tempat ibadah mereka dari seorang yang non muslim. Demikian juga dengan Friedrich Silaban, sang arsitek, telah menunjukkan kebesaran jiwanya dengan terbukanya hati dan pikirannya untuk mengerjakan mesjid yang sangat monumental tersebut.
Pekerjaan karya besar demikian, memang hanya mungkin dilakukan Silaban dengan jiwa besarnya tadi. Sebab dengan perbedaan latar belakang kepercayaan tersebut, maka ia harus terlebih dahulu mampu menjawab pertanyaan yang timbul dalam hati nuraninya sendiri. Pertanyaan dimaksud adalah pantaskah ia sebagai seorang pemeluk Agama Kristen Protestan membuat desain sebuah mesjid?
Sedangkan mesjid dalam hal ini bukanlah sekedar bangunan yang terdiri dari atap genting, dengan dinding batu bata semata. Melainkan merupakan bangunan yang disucikan sebagai tempat umat Islam beribadah dan melakukan kegiatan religius dan sosial lainnya. Apalagi mesjid disini adalah Mesjid Agung Istiqlal (Istiqlal artinya merdeka).

Mesjid yang diniatkan untuk melambangkan kejayaan dan kemerdekaan bangsa Indonesia. Mesjid yang merupakan suatu bangunan monumental kebanggaan seluruh umat Islam di Indonesia, dan akan tercatat sebagai mesjid terbesar di Asia Tenggara dijamannya. Karenanya, bangunan ini akan ‘berbicara’ tidak hanya puluhan tahun tapi sampai ratusan tahun kelak.

Pencetus ide pembangunan mesjid ini sendiri adalah KH Wahid Hasyim yang kala itu menjabat sebagai Menteri Agama RI pertama. Selanjutnya, pada 1950 ayah KH Abdurrahman Wahid (Presiden RI keempat) ini bersama-sama dengan H Agus Salim, Anwar Tjokroaminoto, Ir Sofwan dan sekitar 200-an orang tokoh Islam pimpinan KH Taufiqorrahman melembagakannya dengan membentuk Yayasan Mesjid Istiqlal.
Lembaga ini kemudian dikukuhkan di hadapan notaris Elisa Pondang pada tanggal 7 Desember 1954. Yayasan Mesjid Istiqlal mengharapkan adanya mesjid yang kelak dapat menjadi identitas bagi mayoritas umat Islam di Indonesia. Gagasan dimaksud, juga mendapat dukungan dari Ir. Soekarno, Presiden RI ketika itu. Bahkan, presiden bersedia membantu pembangunan mesjid.

Demi mendapatkan hasil terbaik, desain mesjid sengaja diperlombakan. Untuk itu dibentuklah tim juri yang beranggotakan Prof. Ir. Rooseno, Ir. H Djuanda, Prof. Ir. Suwardi. Hamka, H. AbubakarAceh dan Oemar Husein Amin yang diketuai langsung oleh Ir. Soekarno.
Setelah melalui beberapa kali pertemuan di Istana Negara dan Istana Bogor, maka pada 5 Juli 1955 tim juri memutuskan desain kreasi Silaban yang berjudul ‘Ketuhanan’ jadi pemenangnya. Dia menciptakan karya besar untuk saudaranya sebangsa yang beragama Islam, tanpa mengorbankan keyakinannya pada agama yang dianutnya.

Sedangkan lokasinya diputuskan di Wilhelmina Park, bekas benteng kolonial Belanda. Karena lokasi yang terletak di depan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat itu tergolong sepi, gelap, dan tembok-tembok bekas bangunan benteng telah ditumbuhi lumut dan ilalang menyemak di mana-mana, maka masyarakat, alim ulama sampai ABRI turun bahu-membahu bekerja bakti membersihkan lokasi tersebut pada tahun 1960. Dan setahun kemudian, tepatnya pada tanggal 24 Agustus 1961, pemancangan batu pertamapun dilaksanakan oleh Ir. Soekarno.

Pembangunan mesjid ini memakan waktu kurang lebih sepuluh tahun. Panjangnya waktu ini karena pembangunannya memang sempat tersendat oleh krisis ekonomi dan iklim politik yang memanas. Disamping itu, kebetulan pula pembangunan mesjid ini berbarengan dengan pembangunan monumen lainnya, seperti Gelora Senayan (sekarang Gelora Bung Karno) dan Monas.
Bahkan meletusnya peristiwa pemberontakan G 30 S PKI pada 1965, mengakibatkan pembangunannya sempat berhenti total. Dan baru dimulai kembali setelah Menteri Agama KH. M. Dahlan mengupayakan penggalangan dana. Kepengurusanpun diganti dan ditangani langsung oleh KH. Idham Chalid yang bertindak sebagai koordinator.

Mesjid dengan arsitektur bergaya modern yang memiliki luas bangunan sekitar empat hektar dengan luas tanah mencapai sembilan setengah hektar dan terbagi atas beberapa bagian, yakni gedung induk dan qubah, gedung pendahuluan dan emper penghubung, teras raksasa dan emper keliling, menara, halaman, taman, air mancur, serta ruang wudhu itu akhirnya terselesaikan juga. Penggunaannya kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada 22 Februari 1978.

Di Mesjid ini, beragam kegiatan diselenggarakan, diantaranya kuliah zuhur, taklim magrib, pengajian kaum ibu, pengajian bulanan, bimbingan qiro atul Qur’an, pengajian tinggi Istiqlal, pusat perpustakaan Islam Indonesia, TK Islam, dan lain-lain.

Pergulatan Hati Silaban
Menjawab pertanyaan hati nuraninya mengenai pantas tidaknya dirinya membangun sebuah mesjid, maka sebelum Silaban mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal tersebut, ia minta nasehat dari Monsigneur Geisse, seorang uskup dari Bogor. Dan terutama memohon petunjuk dari Tuhan Allahnya sendiri.
“Oh, Tuhan! Kalau di MataMu itu benar, saya sebagai pengikut Yesus turut dalam sayembara pembuatan Mesjid Besar buat Indonesia di Jakarta. Tolonglah saya! Tunjukkan semua jalan-jalannya dan ide-idenya, supaya saya sukses. Akan tetapi Tuhan! kalau di MataMu itu tidak benar, tidak suka Tuhan saya turut maka gagalkanlah semua usaha saya. Bikin saya sakit atau macam-macam hingga saya tak dapat turut dalam sayembara”, begitu doa Silaban minta petunjuk Tuhan.

Ternyata Arsitek kelahiran Bonandolok (sebelah barat Danau Toba), Sumatera Utara, 16 Desember 1912 ini tidak mengalami hambatan apa-apa ketika hendak mengikuti sayembara. Dengan demikian ia berkesimpulan bahwa Tuhan mengijinkannya, maka iapun mengikuti. Begitulah akhirnya hingga ia dipilih sebagai pemenang pertama.

Desainnya yang menerapkan prinsip minimalis pada Mesjid Istiqlal tersebut serta penataan ruangan-ruangannya yang terbuka di kiri-kanan bangunan utama dengan tiang-tiang lebar diantaranya sehingga memudahkan sirkulasi udara dan penerangan yang alami kedalamnya, membuat desain Silaban ini sangat cocok untuk mesjid yang berdaya tampung 100.000-an tersebut.

Kisah dengan Bung Karno
Arsitektur yang satu ini memang seorang yang selalu kuat mempertahankan apa yang sudah diyakininya benar. Sifatnya yang demikian, telah juga menggoreskan kenangan manis dalam perjalanan hidupnya. Sifat pendirian yang konsisten itu telah membuat hubungannya dengan Bung Karno, Presiden Republik Indonesia pertama, menjadi agak menarik dan unik. Cerita dimaksud diungkapkannya pada Solichin Salam dalam satu wawancara pada bulan Pebruari 1978.

Secara jujur dikatakannya, bahwa arsitekturlah yang membuat hubungannya dengan Bung Karno menjadi unik. Menurutnya, selama 24 tahun dia sering berselisih pendapat dengan Bung Karno. Namun dalam perselisihan pendapat itu, katanya, tidak jarang Bung Karno mengakui terus terang bahwa beliau yang salah dan Silabanlah yang benar.

Bagi Anak kelima dari Jonas Silaban (ayah) dan Noria boru Simamora (ibu), ini pengalaman-pengalaman dengan Presiden Soekarno itu menjadi kenangannya sampai mati. “Saya sudah bekerja 47 tahun terus menerus sampai sekarang, tetapi belum pernah ada pemimpin yang mengaku salah pendapat terhadap saya, selain dari Bung Karno. Contoh untuk ini saya sebutkan antara lain masalah kompleks Bangunan Olah Raga (sebelumnya Asian Games-red) Senayan”, kata Silaban saat itu.

“Karena adalah suatu kekeliruan untuk membuat suatu ‘sport complex’ yang berkaliber internasional atau dua bidang tanah yang terpisah oleh sebuah jalan raya yang nanti akan menjadi jalan raya yang tersibuk di Asia Tenggara. Ditilik dari sudut manajemen dan organisasi, ini akan menyulitkan secara terus menerus dan berganda. Betul saya lihat di sini (gambar) direncanakan sebuah tunnel raksasa, di bawah jalan Jenderal Sudirman, tetapi itu terlalu ‘onna tuurijk’.

Di samping itu ‘tunnel’ demikian akan terus kebanjiran, sehingga membutuhkan pompa raksasa untuk menjamin kekeringannya. Tenaga listrik untuk itu dan untuk penerangan ‘tunnel’ demikian besarnya, sehingga cukup untuk sebuah kota menengah. Tetapi bukan itu saja keberatan saya. Keberatan terbesar adalah masalah lalu-lintas. Duku Atas terlalu dekat kepada bundaran Jalan Thamrin seperti tadi saya telah katakan, maka jalan Sudirman akan menjadi jalan raya tersibuk di seluruh Asia Tenggara. Sukar dapat dibayangkan, betapa macetnya lalu lintas apabila ada ‘sport festival’di ‘Asian Games Complex’ itu” katanya.
Suami dari Letty Kievits, ini lebih lanjut mengatakan, untuk menonton pertandingan pada pukul 17.00 (sore), rakyat sudah harus berkumpul di Stadion sejak pukul 13.00 (siang) kalau tidak, mereka tidak akan kebagian tempat. Sementara kalau presiden mau jalan, selalu didahului ‘voorrijders’ dengan sirenenya, sehingga tidak pernah mengalami apa yang harus dihadapi oleh rakyat.

“Jadi kalau tokh Pemerintah mempertahankan Duku Atas sebagai tempat untuk Asian Games itu, maka sudah dapat diramalkan bahwa lalu lintas pada hari-hari ada acara sport di Asian Games Complex, di jalan itu akan macet total. Kalau Presiden tokh mempertahankan tanah Duku Atas itu dengan rencana Rusia yang pada hari ini saya lihat, maka saya khawatir, bahwa kelak anak-anak Guntur akan nyeletuk: Kok kakek kami bodoh amat membuat kompleks stadion begitu”, begitu kritik Silaban dengan jujur kepada Bung Karno ketika itu.

Menurutnya, ketika itu Bung Karno berkomentar, “Ya, Presiden Soekarno yang salah dan Silaban yang benar”. Itulah kenangan yang tak pernah dilupakannya sampai akhir hidupnya.
Setelah menyelesaikan pendidikan formal di H.I.S. Narumonda, Tapanuli tahun 1927, Koningen Wilhelmina School (K.W.S.) di Jakarta pada tahun 1931, dan Academic van Bouwkunst Amsterdam, Belanda pada tahun 1950, Ia kemudian bekerja menjadi pegawai Kotapraja Batavia, Opster Zeni AD Belanda, Kepala Zenie di Pontianak Kalimantan Barat (1937) dan sebagai Kepala DPU Kotapraja Bogor hingga 1965.
Di zaman kolonial, ayah dari 10 orang anak dan kakek 5 orang cucu, ini sudah menunjukkan prestasi-prestasi yang gemi1ang, seperti misalnya ia berhasil memenangkan sayembara perencanaan rumah Walikota Bogor (1935) dan beberapa hotel. Dalam sayembara-sayembara tersebut, hanya dialah satu-satunya arsitek pribumi. Karyanya dalam membuat monumen mengenang orang-orang Belanda yang gugur melawan Nazi Jerman di masa Perang Dunia II, membuatnya mendapat pujian dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu. Telah banyak karyanya yang sungguh mengagumkan, diantaranya adalah Mesjid Istqlal, Monumen Nasional, Gelora Senayan dan lain-lain.

Karya-karyanya itu jualah yang menobatkannya menjadi orang yang dianggap pantas mendapat penghargaan-penghargaan, baik dari bangsanya sendiri maupun dari luar bangsanya. Penghargaan dimaksud antara lain berupa tanda kehormatan Satya Lencana Pembangunan yang disematkan oleh Presiden Sukarno pada tahun1962. Penghargaan Honorary Citizen (warga negara kehormatan) dari New Orleans, Amerika Serikat. Di samping itu Qubah Mesjid Istiqlal telah diakui Universitas Darmstadt, Jerman Barat sebagai hak ciptanya, sehingga disebut sebagai “Si1aban Dom”, atau qubah Si1aban.

Tokoh yang dijuluki Bung Karno sebagai “by the grace of God” karena kemenangannya mengikuti sayembara desain Mesjid Istiqlal, ini akhirnya tutup usia di RSP AD Gatot Subroto Jakarta, pada hari Senin, 14 Mei 1984, karena komplikasi beberapa penyakit yang dideritanya.

Ia pergi dengan hati bangga, karena hasil karya besarnya telah menjadi kenyataan. Silaban yang sampai akhir hayatnya masih tetap menjabat sebagai Wakil Kepala Proyek Pembangunan Mesjid Istiqlal Jakarta itu akan tercatat dalam sejarah Indonesia sebagai arsitek dari Mesjid Istiqlal. Sebuah mesjid yang termegah di Asia Tenggara pada jamannya.

Dia pergi setelah mengukir sejarah, suatu sejarah yang lebih tinggi dari karya sebuah hasil seni atau teknologi. Tapi adalah sejarah kemanusiaan, kebersamaan, toleransi. Namanya akan dikenang sepanjang zaman.

Sumber :
marjuka – Wajah-wajah Nasional oleh: Solichin Salam dan berbagai
TokohIndonesia DotCom
kobarksb.com/?p=1183,
silaban.net/2006/06/03/silaban-sang-arsitek-kesayangan-bung-karno/
facebook fanpage: Sejarah-Indonesia-Raya

The Green Hilton Memorial Agreement Geneva

 
Harta karun milik bangsa Indonesia yang sering disebut dana revolusi, dana amanah, atau apapun itu yang tercantum dalam The Green Hilton Memorial Agreement Geneva menjadi misteri sampai saat ini. 


The Green Hilton Memorial Agreement Geneva yang menyebabkan terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Fitzgerald Kennedy 22 November 1963. Inilah perjanjian yang kemudian menjadi pemicu dijatuhkannya Bung Karno dari kursi kepresidenan oleh jaringan CIA yang menggunakan ambisi Soeharto. Perjanjian itu bernama The Green Hilton Memorial Agreement Geneva. Akta termahal di dunia ini diteken oleh John F Kennedy selaku Presiden AS, Ir Soekarno selaku Presiden RI dan William Vouker yang mewakili Swiss. Perjanjian segitiga ini dilakukan di Hotel Hilton Geneva pada 14 November 1963 sebagai kelanjutan dari MOU yang dilakukan tahun 1961.



Harta tersebut diangkut VOC ke Belanda, Direbut Jerman lalu dikuasai Amerika ketika menang perang dunia ke-2. Semuanya itu bermula dari kisah kerakusan para raja-raja yang ada di nusantara dulu pada era penjajahan Belanda. Para raja-raja menurut literatur yang saya peroleh, lebih senang menyimpan batangan emasnya pada De Javasche Bank (DJB), bank sentral pemerintah kolonial Belanda di Jakarta yang kemudian menjadi Bank Indonesia sekarang. Tetapi banyak juga memang kekayaan harta nenek moyang itu dirampas oleh VOC secara paksa. Harta-harta inilah kemudian diangkut ke negeri Ratu Yuliana (ketika itu). Setelah Belanda kalah perang dengan Jerman, maka Nazi membawa kekayaan itu ke negaranya. Pada Perang Dunia II, Jerman kalah perang dengan Amerika, Harta itu pun diangkut ke Amerika yang kemudian dijadikan modal untuk mendirikan The FED. Inilah yang kemudian mengapa sebagian besar para tetua kita mengklaim bahwa Indonesia punya saham di FED, namun tidak pernah diakui keberadaannya. Mendengar kabar buruk tersebutlah kemudian mendorong Bung Karno selaku Presiden RI untuk melakukan perundingan dengan petinggi Amerika dan Eropa. Bung Karno berhasil mendapatkan pengakuan bahwa harta itu memang berasal dari bangsa Indonesia, tetapi mengabaikan kewajiban bagi negara itu untuk mengembalikannya. Sebab, bagi mereka itu merupakan harta pampasan perang. Hasil kesepakatan itu dinamai “Hilton Agreement” yang terjadi pada tahun 1961.

Banyak pengamat Amerika melihat perjanjian yang kini dikenal dengan nama "The Green Hilton Agreement" itu sebagai sebuah kesalahan bangsa Amerika. Tetapi bagi Indonesia, itulah sebuah kemenangan besar yang diperjuangkan Bung Karno. Sebab volume batangan emas tertera dalam lembaran perjanjian itu terdiri dari 17 paket sebanyak 57.150 ton lebih emas murni. Pada dokumen lain yang tidak dipublikasi disebutkan, atas penggunaan kolateral tersebut AS harus membayar fee sebesar 2,5% setahun kepada Indonesia. Hanya saja, ketakutan akan muncul pemimpinan yang korup di Indonesia, maka pembayaran fee tersebut  bersifat tertutup.

Berdasarkan fakta yang dijumpai di lapangan, harta ini sudah pernah mau dicairkan pada 1986-1987 tapi gagal, lalu pada awal 2000 oleh Megawati ketika menjadi Presiden mencoba untuk mencairkan harta Bung Karno di UBS Swiss, tetapi tidak berhasil, karena Mega tidak tau rekening khusus Bapaknya di FED ini. Sebab sejak awal Bung Karno menyatakan bahwa keluarganya tidak ada yang paham tentang rekening khusus ini.

Dengar-dengar ketika krisis menerpa AS dan dunia akhir-akhir ini, pemerintah Obama mencoba meyakinkan dunia melalui titah Puas di Vatikan bahwa AS berhak mencairkan harta ini. Atas dasar untuk kepentingan ummat manusia, agaknya hati Vatikan mulai luluh. Konon kabarnya, Vatikan telah memberikan restu itu tanpa mengabaikan bantuan kepada rakyat Indonesia. Menurut sebuah sumber di Vatikan, ketika Presiden AS menyampaikan niat tersebut kepada Vatikan, Puas sempat bertanya apakah Indonesia telah menyetujuinya. Kabarnya, AS hanya memanfaatkan fakta MOU antara negara G-20 di Inggris dimana Presiden Indonesia SBY ikut menandatangani suatu kesepakatan untuk memberikan otoritas kepada keuangan dunia IMF dan World Bank untuk mencari sumber pendanaan alternatif. Konon kabarnya, Vatikan berpesan agar Indonesia diberi bantuan. Mungkin bantuan IMF sebesar USD 2,7 milyar dalam fasilitas SDR (Special Drawing Rights) kepada Indonesia pertengahan tahun lalu merupakan realisasi dari kesepakatan ini, sehingga ada isyu yang berkembang bahwa bantuan tersebut tidak perlu dikembalikan. Oleh Bank Indonesia memang bantuan IMF sebesar itu dipergunakan untuk memperkuat cadangan devisa negara.

suber:
safari2009.wordpress.com
kompasiana.com
kaskus.co.id

Si Miskin Pemimpin Bangsa Sejati

TD Pardede , tokoh pengusaha asal Medan jaman dulu jika masih hidup tentu akan tercengang membaca berita majalah Tempo :
Dari luar ruangan, sejumlah tokoh melihat pertemuan itu berlangsung dingin. Teh dalam cangkir berlogo Istana Presiden yang diangkut dari rumah Soeharto, tak disentuh. Hendarman – Jaksa Agung – kata sumber itu, lalu mengajukan konsep penyelesaian di luar pengadilan. Diantaranya, keluarga Soeharto harus membayar 4 trilyun kepada negara. Ini sepertiga dari tuntutan Pemerintah, yakni US $ 420 juta dan Rp 185 milyar plus ganti rugi immaterial Rp 10 trilyun atas Yayasan Supersemar .

Mbak Tutut dan adik adiknya hanya terdiam mendengar angka yang diajukan Pemerintah .

Si ompung Pardede yang dekat dengan Bung Karno pasti teringat saat suatu hari dia dipanggil mendadak ke Jakarta. Mengetahui betapa miskinnya sang Presidennya. Setelah ngobrol ngobrol bersama menteri lainnya, Presiden Republik Indonesia itu mengajak TD Pardede ke pojok ruangan.

“ Pardede, bisa kau pinjamkan aku uang ? “
Gelagapan karena langsung ditodong oleh penguasa negeri. TD Pardede merogoh saku saku jasnya dan memberikan seribu dollar dari kantongnya. Namun Bung Karno hanya mengambil secukupnya dan mengembalikan sisanya kepada Pardede.

Lain cerita salah satu ajudan terakhir,Putu Sugianitri seorang bekas Polisi wanita yang juga harus pensiun tanpa kejelasan. Suatu saat setelah tidak menjadi presiden, Bung Karno jalan jalan keliling kota dan tiba tiba ingin buah rambutan. ” Tri , beli rambutan “.
” Uangnya mana ? ” tanya si polwan asal Bali itu.
” sing ngelah pis ” kata Bung Karno dalam bahasa Bali yang artinya ” saya tak punya uang “.
Jadilah sang ajudan memakai uang pribadinya untuk mantan presiden yang tidak memiliki uang.

Ali Sadikin dilantik menjadi Gubernur pada usia 37 tahun

Ada juga cerita dari Bang Ali Sadikin.
Saat ia menjabat Menko Maritim. Ia ditanya oleh Bung karno apakah ia bisa membantu bisnis mertua Bung Karno yang berkaitan dengan perijinan pelabuhan. Setelah dipelajari Ali Sadikin mengatakan tidak bisa. Peraturan mengatakan demikian.

“ Ya sudah , kalau tidak bisa “ kata Bung Karno.
Bang Ali berpikir. Luar biasa ini manusia. Padahal sebagai Presiden ia bisa memaksakan memberi perintah. Yang mengagumkan Bung Karno selanjutnya tidak pernah dendam, bahkan kelak mengangkat May.Jend KKO Ali Sadikin sebagai Gubernur Jakarta.

Dari cerita tersebut diatas, kita tahu Bung Karno tidak pernah peduli dengan uang atau harta. Ketika turun dari kekuasaan kita tak pernah tahu bahwa Bung Karno dan keluarganya meninggalkan kekayaan yang melimpah ruah.
Saat mendapat surat dari Jenderal Soeharto, bahwa Bung Karno harus meninggalkan Istana Merdeka sebelum tanggal 16 Agustus 1967. Maka teman teman Bung Karno yang mengetahui rencana itu segera menawarkan dan menyediakan 6 rumah untuk tempat tinggal dan putera puteri Bung Karno.
Mendengar hal itu Bung Karno seketika marah, bahwa ia tidak menghendaki rumah rumah itu. Ia menginginkan semua anak anaknya pindah ke rumah Ibu Fatmawati.

“ Semua anak anak kalau meninggalkan Istana tidak boleh membawa apa apa, kecuali buku buku pelajaran, perhiasan sendiri dan pakaian sendiri. Barang barang lain seperti radio , televisi dan lain lain tidak boleh dibawa ! “
Demikian Bung Karno memerintahkan.
Guntur - putera tertua – setelah mendengar penjelasan itu merasa kecewa, karena ia sudah terlanjur menggulung kabel antenna TV yang akhirnya tidak boleh dibawa pergi.


Fatmawati

Sementara Ibu Fatmawati mengeluh karena kamar di rumahnya tidak cukup.
Tak berapa lama datang truk dari Polisi yang membawa 4 tempat tidur dari kayu yang bersusun, dengan kasur dan bantalnya tapi tanpa sprei dan sarung bantal. Juga beras 6 karung.
“ Anak anakku semua disuruh tidur di tempat tidur susun dari kayu, tanpa sprei dan sarung bantal “
Konon Ibu Fat, marah marah kepada utusan yang membawa perlengkapan itu.

Bung Karno keluar dari istana dengan mengenakan kaos oblong cap cabe dan celana piyama warna krem. Baju piyamanya disampirkan ke pundak, dan ia memakai sandal bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang kertas Koran yang digulung, berisi bendera pusaka merah putih. Bendera yang dijahit oleh istrinya sendiri, ibu Fatmawati ketika masa proklamasi kemerdekaan dahulu.

Tak ada voor ridjer, pengawalan atau penghormatan seperti ketika Presiden Soeharto – yang diantar Jenderal Wiranto sampai ke mobil Mercedes - meninggalkan Istana Merdeka setelah menyerahkan jabatannya kepada Habibie.

Ia meninggalkan istana dengan mobil vw kodok yang dikendarai seorang supir asal kepolisian. Salah seorang anggota kawal pribadinya membawakan ovaltine, minuman air jeruk, air teh, air putih, kue kue serta obat obatan Bung Karno.

Itulah seluruh harta yang dimiliki Bung Karno ketika meninggalkan Istana.
Selebihnya ditinggalkan. Kelak harta kekayaan Soekarno yang ditinggal di Istana didata oleh pihak penguasa dengan dibuatkan berita acara. Barang barang itu mulai dari logam emas batangan, lukisan lukisan, buku buku, pakaian, minyak wangi, bolpen, uang dollar yang semuanya bernilai tidak sedikit. Dan semua itu tidak pernah diserahkan kepada Bung Karno atau keluarganya. Tidak jelas siapa yang mewarisi.