Langkah Keras Belanda Agresi Militer Belanda II

Latar Belakang

Agresi Militer Belanda IITanggal 6 Agustus 1948, Dr. Willem Drees dari Partij van de Arbeid, menjadi Perdana Menteri kabinet koalisi bersama Partai Katolik (Katholieke Volkspartij). Dia menggantikan Dr. L.J.M. Beel, yang kemudian diangkat menjadi Hooge Vertegenwoordiger van de Kroon (Wakil Tinggi Mahkota) Belanda di Indonesia. Beel menggantikan posisi van Mook sebagai Wakil Gubernur Jenderal. Jabatan Gubernur Jenderal dan Wakil Gubernur Jenderal dihapus. Willem Drees, pernah menjadi Menteri Sosial di kabinet Schermerhorn dan kemudian di kabinet Beel. Drees menjadi Perdana Menteri Belanda dari tahun 1948 – 1958.

Pengangkatan Dr. Beel menjadi Wakil Tinggi Mahkota menunjukkan, betapa pentingnya masalah Indonesia bagi Belanda. Dengan demikian setelah Profesor Schermerhorn, Dr. Beel adalah mantan Perdana Menteri Belanda kedua yang dipercayakan untuk menyelesaikan masalah Indonesia.

Berbeda dengan Profesor Schermerhorn yang sosialis, Beel termasuk kelompok garis keras dan dekat dengan kalangan pengusaha di Belanda, yang tidak ingin memberikan konsesi apa pun kepada pihak Republik. Dengan pengangkatan Dr. Beel, Belanda telah menunjukkan sikap kerasnya, dan Letnan Jenderal Spoor yang memang ingin menghancurkan TNI, mendapat dukungan politik.

Belanda yang secara sepihak memutuskan hubungan diplomatik, dan tidak diketahui oleh Yogyakarta. Bagi Belanda perjanjian Renville adalah cara damai untuk merebut kembali wilayah RI yang telah diduduki Belanda sejak Agresi Militer Belanda 1 dilancarkan. Namun cara tersebut dikatakan tidak menyelesaikan masalah Indonesia dengan Belanda. Wakil tertinggi mahkota Belanda di indonesia Dr LJMBell pukul 23.00 tanggal 18 desember 1948 mengumumkan "bahwa belanda sudah tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville "

Jalannya Agresi Militer Belanda II

Pada 19 Desember 1948 penyerbuan ke wilayah Republik Indonesia oleh tentara Belanda. Pemerintahan Belanda di wilayah bekas Hindia Belanda bersikeras menyebut peristiwa penyerbuan tersebut sebagai “Aksi Polisionil”. Dengan istilah “Aksi Polisionil”, pihak Belanda ingin menegaskan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa militer.
Agresi Militer Belanda II dimaksudkan oleh Belanda untuk memusnahkan kekuatan TNI, yang dianggap sebagai ekstrimis atau bahkan kriminal. Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai".

Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh 5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25 menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00, seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari.

Pemerintah Darurat

Pemerintah Darurat Republik Indonesia19 Desember 1948 presiden mengadakan sidang darurat kabinet. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tetap berada di Ibukota. Berhubung Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman menolak. Secara taktis militer adalah sangat merugikan RI sebab sangat teramat mudah menguasai RI dan menawan para pembesar RI, dan secara strategis politis sudah dapat diperhitungkan Belanda, bahwa apabila para pemimpin RI ditawan dan ibu kota RI dan kota lainya telah diduduki , maka akan mudah menundukan TNI dan para pembesar lainya yang akhirnya akan meratakan jalan kearah terbentuknya negara federal ciptaan Belanda.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi. Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Sedangkan di pihak TNI terus melakukan serangan grilya kepada pasukan belanda yang terus mendesak masuk kota Yogyakarta. Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949.

Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan menjadi medan gerilya yang luas.


Pengasingan Sukarno dan Hatta

Rumah Pengasingan Sukarno Bangka
Belanda berhasil masuk kota Yogyakarta 22 Desember 1948. Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para pemimpin republik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs. Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP) dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.
Di Pengasingan Sukarno melakukan pertemuan-pertemuan diplomatik tidak terlepas dari peran KTN, yaitu perwakilan Amerika Serikat, Australia, dan Belgia, yang memfasilitasi perundingan RI dengan Belanda. Selain itu, Belanda cukup memberikan "kebebasan" kepada Soekarno dan Hatta untuk menjalankan aktivitas di luar pesanggrahan.

0 komentar:

Posting Komentar