Londo Ireng (Langkah Darurat Belanda)

Latar Belakang

Belanda kehilangan ribuan tentara Eropa dan jumlah yang jauh lebih besar tentara "pribumi" dalam Perang Jawa melawan Pangeran Diponegoro. Belanda tahun 1827 ditengah-tengah berkecamuknya Perang Diponegoro, mengirim bantuan pasukan satu resimen terdiri dari 3000 orang tentara bayaran kulit putih. Dua tahun kemudian resimen tersebut tinggal 1000 orang.
Ditambah lagi setelah kemerdekaan Belgia pada tahun 1830, populasi Belanda itu jauh berkurang. Otomatis belanda kehilangan rekrutan untuk jadi tentara

Pengrekrutan

Antara 1831 dan 1872 lebih dari tiga ribu orang Afrika direkrut sebagai tentara melalui Belanda Gold Coast. Rekrutmen ini sebenarnya merupakan tindakan darurat. Para tentara Afrika pertama Direkrut di Elmina. Mereka dikerahkan tahun 1832 di Sumatera Selatan. Belanda berhasil merekrut tentara bayaran Afrika. Pengiriman terjadi dalam beberapa gelombang: antara tahun 1831-1836, sebanyak 112 orang, tahun 1837-1841, sebanyak 2100 orang dan antara tahun 1860-1872, 800 orang. Jumlah seluruhnya lebih dari 3000 orang, seluruhnya berstatus bujangan. Serdadu bayaran dari Afrika tersebut bekerja berdasar kontrak untuk 12 tahun dan dapat diperpanjang, dengan gaji 20 gulden/bulan.

Mereka disebar keberbagai lokasi, Semarang, Salatiga, Solo, Surabaya dan Yogyakarta, namun sebagian besar ditempatkan di Garnisun Purworejo pada Tangsi Militer Kedungkebo yang baru selesai dibangun permulaan tahun 1830-an.

Peranan Londo Ireng

Karena perekrutan prajurit ini merupakan sebuah eksperimen, maka banyak laporan lengkap mengenai mereka. Dikatakan prajurit-prajurit Afrika ini pemberani, tapi begitu pecah perang, mereka jalan sendiri-sendiri. Susah diatur! Mereka sebagai prajurit Belanda merasa lebih tinggi daripada orang-orang pribumi. Tapi sikap angkuh ini juga dipupuk oleh Belanda karena jarak sosial dengan penduduk setempat menguntungkan pihak Belanda. P
Uji coba serdadu Afrika tersebut dimulai di Lampung, Sumatra Selatan yang nampak kurang memuaskan, kemudian dalam Perang Paderi di Sumatra Barat dimana sudah nampak kelebihan orang Afrika ini, namun yang dianggap sukses oleh Belanda adalah ikut sertanya 536 serdadu Afrika dalam pasukan yang berkekuatan 7500 orang dalam ekspedisi ketiga penaklukan Bali tahun 1849, (Perang Buleleng) yang berakhir dengan ditundukkannya raja Bali setelah jatuhnya benteng Jagaraga (Singaraja). Setelah ekspedisi berakhir sebanyak 41 orang serdadu Afrika mendapat tanda penghargaan dan citra mereka naik tinggi dimata orang Belanda.
Setelah itu serdadu Afrika ikut aktif dalam ekspedisi ke Timor, Sulawesi, Kalimantan dan tentu saja dalam perang Aceh. Disini seorang perwira dalam laporannya mengatakan bahwa “orang Afrika adalah serdadu-serdadu terbaik dalam KNIL (Serdadu Hindia Belanda)” dan “memperhatikan bahwa orang Aceh sangat segan terhadap orang Afrika”.

Munculnya Kampung African

Belanda tidak menutup mata terhadap prestasi dan jasa orang Afrika ini. Mengingat kedatangan mereka berstatus “bujangan”, mereka menyalurkan kebutuhan biologisnya dengan perempuan setempat, ada yang sekedar kumpul kebo, namun banyak yang berujung dengan pernikahan. Mereka membangun kehidupan rumah tangga dan sewaktu kontrak mereka habis, mereka yang tidak ingin kembali ke Afrika, memutuskan untuk menetap ditempat dimana mereka terakhir ditugaskan. Inilah kiranya cikal-bakal masyarakat Afrika , khususnya di Purworejo. Mereka hidup di luar tangsi dan membaur dengan masyarakat setempat bersama isteri penduduk pribumi dan anak-anak turunan mereka, yang mendapat julukan Indo Afrika. Ketika Indonesia merdeka dan KNIL dibubarkan, kebanyakan memilih pindah ke Belanda. Menurut Ineke van Kessel hanya tinggal satu keluarga dari prajurit Afrika yang ada di Purworejo.

0 komentar:

Posting Komentar