Nasionalisme Si Kulit Putih (Ernest Douwes Dekker)

Douwes Dekker
Banyak yang tidak mengenal sosok Douwes Dekker. Pria yang di tubuhnya mengalir darah Belanda, Perancis, Jerman, dan Jawa ini justru memiliki semangat kebangsaan yang lebih membara ketimbang penduduk bumiputera. Dalam pendidikan dasar tentang sejarah Indonesia, Douwes Dekker hanya disebut sepintas dan tidak mendetail seperti Soekarno dan Hatta, padahal perannya sebagai penggerak revolusi tidak terbantah.

Dalam buku pelajaran sejarah di pendidikan Indonesia, Douwes Dekker sering rancu dalam penyebutannya. Ia sering disamakan dengan saudara kakeknya, Eduard Douwes Dekker. Meski sama-sama berasal dari klan Douwes dan Dekker, keduanya berbeda. Eduard Douwes Dekker adalah penulis buku yang menceritakan penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan, berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker dikenal dengan nama pena Multatuli. Sedangkan yang anda baca adalah Ernest Douwes Dekker, peletak dasar nasionalisme Indonesia. Bung Karno pernah menyebutkan bahwa dirinya berguru kepada Douwes Dekker mengenai gagasan revolusi Indonesia, sedangkan Douwes Dekker menyebut Bung Karno sebagai juru selamat Indonesia.

Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker atau Danudirja Setiabudi lahir di Pasuruan, Hindia-Belanda, 8 Oktober 1879, meninggal di Bandung, Jawa Barat, 28 Agustus 1950 pada umur 70 tahun.

Wartawan Kritis Anti kolonial Belanda

Awalnya Douwes Dekker berangkat ke Afrika Selatan pada tahun 1899 untuk ikut dalam Perang Boer Kedua melawan Inggris. Ia tertangkap lalu dipenjara di suatu kamp di Ceylon. Di sana ia mulai berkenalan dengan sastera India, dan perlahan-lahan pemikirannya mulai terbuka akan perlakuan tidak adil pemerintah kolonial Hindia Belanda terhadap warganya. Pada tahun 1902 Douwes Dekker dipulangkan ke Hindia Belanda.
Kemampuannya menulis laporan pengalaman peperangannya di surat kabar terkemuka membuat ia ditawari menjadi reporter koran Semarang terkemuka, De Locomotief. Di sinilah ia mulai merintis kemampuannya dalam berorganisasi. Tugas-tugas jurnalistiknya, seperti ke perkebunan di Lebak dan kasus kelaparan di Indramayu, membuatnya mulai kritis terhadap kebijakan kolonial. Ketika ia menjadi staf redaksi Bataviaasch Nieuwsblad, 1907, tulisan-tulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda") kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus) seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang"). Kembali kebijakan politik etis dikritiknya. Tulisan-tulisan ini membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa. Tahun 1910 di Bandung ia menerbitkan majalah "Het Tajdeschrift" yang menjelaskan cita-cita politiknya yang mendapat sambutan cukup luas. Tanggal 1 Maret 1912 ia menerbitkan "De Express" yang terkenal bernada tajam dan tidak jemu-jemu menyerang dan menentang politik penjajahan Belanda.
Harian itu menjadi sarana bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk mengemukakan buah pikiran mereka mengenai perjuangan membebaskan bangsa dan penjajahan.

Lahirnya Indische Partij

Indische Partij
Suwardi Suryaningrat, Cipto Mangunkusumo, dan Setiabudi Danudirdja
Douwes Dekker sebenarnya turut serta dalam Lahirnya Budi Utomo karena kedekatanya dengan tokoh kebangkitan nasional seperti Sutomo dan Cipto Mangunkusumo. Ia bahkan menghadiri kongres pertama BO di Yogyakarta. Karena menganggap BO terbatas pada masalah kebudayaan (Jawa), Douwes Dekker tidak banyak terlibat di dalamnya. Douwes Dekker menggagas tentang pemerintahan sendiri Hindia Belanda oleh orang-orang asli Hindia Belanda (Indiërs) yang bercorak inklusif dan mendobrak batasan ras dan suku. Pandangan ini dapat dikatakan original, karena semua orang pada masa itu lebih aktif pada kelompok ras atau sukunya masing-masing.
pada tahun 1912 Douwes Dekker bersama-sama dengan Cipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan partai berhaluan nasionalis inklusif bernama Indische Partij ("Partai Hindia"). Kampanye ke beberapa kota menghasilkan anggota berjumlah sekitar 5000 orang dalam waktu singkat. Semarang mencatat jumlah anggota terbesar, diikuti Bandung. Partai ini sangat populer di kalangan orang Indo, dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, meskipun tetap dicurigai pula karena gagasannya yang radikal. Partai yang anti-kolonial dan bertujuan akhir kemerdekaan Indonesia ini dibubarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda setahun kemudian, 1913 karena dianggap menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.
Akibat munculnya tulisan terkenal Suwardi di De Expres, "Als Ik Een Nederlander Was" (Seandainya Aku Seorang Belanda), ketiganya lalu diasingkan ke Belanda, karena Douwes Dekker dan Cipto mendukung Suwardi.

Ksatrian Instituut Dan Penamaan Setiabudi Danudirdja

Setelah pulang dari pengasingan di Belanda tahun 1922 kemudian berusaha untuk melamar sebagai guru pada sekolah rendah partikelir pimpinan Ny. H.E. Mayer-Elenbaas di Jln. Kebon Kelapa No. 17, Bandung. Tahun 1923, nama sekolah berubah menjadi Preanger Instituut van de Vereeniging Volksonderwijs (Institut Priangan dari Perkumpulan Pengajaran Rakyat), dan Douwes Dekker menjabat sebagai kepala untuk MULO (setingkat SMP).
Atas dorongan Suwardi Suryaningrat yang saat itu sudah mendirikan Perguruan Taman Siswa, ia kemudian ikut dalam dunia pendidikan, dengan mendirikan sekolah "Ksatrian Instituut" (KI) di Bandung. Ia banyak membuat materi pelajaran sendiri yang instruksinya diberikan dalam bahasa Belanda. KI kemudian mengembangkan pendidikan bisnis, namun di dalamnya diberikan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Douwes Dekker sendiri. Akibat isi pelajaran sejarah ini yang anti-kolonial dan pro-Jepang, pada tahun 1933 buku-bukunya disita oleh pemerintah Keresidenan Bandung dan kemudian dibakar. Pada saat itu Jepang mulai mengembangkan kekuatan militer dan politik di Asia Timur dengan politik ekspansi ke Korea dan Tiongkok. Douwes Dekker kemudian juga dilarang mengajar.
Salah seorang yang pernah menjadi guru di Ksatrian Instituut adalah Bung Karno yang tak lain adalah juga sahabat sekaligus teman seperjuangan Douwes Dekker. Kedekatan ini antara lain bisa dilihat dari pengaruh Bung Karno dalam menyarankan nama-nama Indonesia untuk Douwes Dekker, istri, hingga anaknya: Bung Karno memberi nama Setiabudi Danudirdja untuk Douwes Dekker. Istri ketiga Douwes Dekker yang indo, blasteran Belanda dan Batak, saat masuk ke Hindia Belanda juga menggunakan nama pilihan Bung Karno yakni Haroemi Wanasita—semula bernama Nelly Alberta Geertzema Kruymel. Lalu anak dari Douwes Dekker dan Haroemi yang semula bernama Kees, diberi nama Kesworo oleh Bung Karno. Tak heran jika Douwes Dekker menerima saja semua nama pemberian BK, karena dia menganggap Bung Karno adalah “juru selamat Indonesia”.

Kembali, Masa Revolusi dan Akhir Hayat

Ketika kabar berakhirnya perang berakhir, para interniran (buangan) di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946 sejumlah orang buangan dikirim ke Belanda, termasuk Douwes Dekker. Di Belanda ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Kepulangan ke Indonesia juga melalui petualangan yang mendebarkan karena Douwes Dekker harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibukota Republik Indonesia pada waktu itu pada tanggal 2 Januari 1947.
Tak lama setelah kembali ia segera terlibat dalam posisi-posisi penting di sisi Republik Indonesia. Pertama-tama ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya bekerja dalam waktu hampir 9 bulan. Selanjutnya berturut-turut ia menjadi anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, konsultan dalam komite bidang keuangan dan ekonomi di delegasi itu, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan terakhir sebagai kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di bawah Kementerian Penerangan. Di mata beberapa pejabat Belanda ia dianggap "komunis" meskipun ini sama sekali tidak benar.
Pada periode ini Douwes Dekker tinggal satu rumah dengan Sukarno. Ia juga menempati salah satu rumah di Kaliurang. Dan dari rumah di Kaliurang inilah pada tanggal 21 Desember 1948 ia diciduk tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka "Aksi Polisionil". Setelah diinterogasi ia lalu dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.
Tak lama kemudian Douwes Dekker dibebaskan karena kondisi fisiknya yang payah dan setelah berjanji tak akan melibatkan diri dalam politik. Ia dibawa ke Bandung atas permintaannya. Harumi kemudian menyusulnya ke Bandung. Setelah renovasi, mereka lalu menempati rumah lama (dijulukinya "Djiwa Djuwita") di Lembangweg.
Di Bandung ia terlibat kembali dengan aktivitas di Ksatrian Instituut. Kegiatannya yang lain adalah mengumpulkan material untuk penulisan autobiografinya (terbit 1950: 70 jaar konsekwent) dan merevisi buku sejarah tulisannya.
Ernest Douwes Dekker wafat dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; 29 Agustus 1950 versi van der Veur, 2006) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar