Penguasa Ketiga Majapahit (Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi)

Ratu Tribhuwana Wijayatunggadewi
Sebuah arca Parwati (pasangan Syiwa)
 dari candi Rimbi di Jawa Timur yang
merupakan perwujudan Ratu Tribhuwana.
Saat ini sang arca menghiasi
Museum Nasional Indonesia di Jakarta.
 Sang ratu mewariskan begitu
banyak hal pada negara kita hari ini.
Tribhuwana Wijayatunggadewi adalah penguasa ketiga di Majapahit. Tidak terlihat tanda-tanda Majapahit—yang saat itu dipandang tak lebih pengekor dari Singhasari— akan menjadi kekuatan yang mengubah jalan sejarah nusantara, hingga tiba waktunya Tribhuwana bertahta.

Tribhuwana mendaki tahta tidak dengan mewarisi sebuah kerajaan yang damai dan tenang, sebaliknya, Majapahit senantiasa diambang perpecahan oleh perang saudara (yang sudah terjadi beberapa kali di masa pendahulunya). Di wilayah timur ada “orang-orang Majapahit timur” (mulai wilayah Lumajang hingga ujung timur Blambangan) yang tak pernah merelakan diri takluk pada “orang-orang Majapahit Barat”, di mana pada semenanjung timur Jawa masih banyak kerajaan-kerajaan berdaulat yang senantiasa mengancam Majapahit seperti Keta dan Sadeng. Bali merobek-robek perjanjian takluk pada Jawa yang dibuat pada zaman Singhasari. Demikian juga bahaya senantiasa mengancam dari wilayah barat oleh bangsa mongol.

Tribhuwana melewati masa mudanya dengan tidak mudah. Ayahnya, pendiri Majapahit, senantiasa menghadapi rongrongan pemberontakan, dengan demikian keselamatannya sendiri senantiasa dalam bahaya. Ketika saudara tirinya, Jayanagara Dyah Kalagemet bertahta, alih-alih menyekap dan mengontrol Tribhuwana sebagai penguasa kecil di Kahuripan, raja muda ini mengeluarkan perintah larangan bagi Tribhuwana untuk menikah. Dengan cara ini Jayanagara memberangus munculnya rival dalam kekuasaannya di kemudian hari.

Penderitaan Tribhuwana terhenti setelah Jayanagara tewas tahun 1328. Banyak spekulasi mengenai pembunuhan Jayanagara. Bagaimanapun, antara Jayanagara dan Tribhuwana, meski berasal dari garis ayah yang sama, mereka berasal dari keluarga ibu yang berbeda (menurut Pararaton Jayanagara berdarah malayu-jawa, dari ibu bernama Dara Petak (Indreswari), dimana nama Dara Petak tidak disebutkan dalam prasasti-prasasti zaman Majapahit). Tentu saja keluarga Tribhuwana (dari garis Kŗtanāgara) tidak akan membiarkan wangsanya dipunahkan Jayanagara, sehingga banyak sejarawan yang menghubungkan keterlibatan Tribhuwana pada konspirasi tiga serangkai Gayatri-Gajahmada-Tanca pada kasus kematian raja yang mengenaskan itu. Setelah Jayanagara tewas, yang berhak atas tahta seharusnya Gayatri, ibu Tribhuwana sebagai satu-satunya istri raja pertama yang masih hidup. Namun karena Gayatri telah tua dan menjadi biksuni, maka Tribhuwanalah—sebagaimana diperhitungkan dalam konspirasi—mendaki tahta Majapahit.


POTRET MASA LALU. Relief yang menggambarkan sebuah kapal di masa kuno. Sama seperti Sriwijaya, Jawa di zaman Majapahit adalah negara maritim dengan angkatan laut yang ditakuti, sebelum dibelokkan oleh Mataram Islam menjadi bangsa petani (foto: repro internet)
Begitu menggenggam kekuasaan, Tribhuwana mengawali babak baru dalam sejarah nusantara, dan Majapahit pada khususnya. Dia tidak ingin tanggung-tanggung tambal sulam menghadapi satu demi satu pemberontakan sebagaimana pendahulunya. Dia mewujudkan ambisi leluhurnya, Kŗtanāgara, untuk membangun sebuah imperium dan melakukan segala cara menjamin kestabilan imperiumnya itu.

Sama seperti Elizabeth yang sebagian pencapaiannya didapat karena kepiawaiannya memilih pejabat yang cakap semisal Lord Burghely sebagai penasehat utama, Tribhuwana pun merombak kabinetnya dan mengangkat orang-orang cakap, semisal Gajahmada yang menjadi penasehat utamanya. Tribhuwana menunjukkan keseriusannya membangun imperium dengan turun langsung memimpin laskar Majapahit mengoyak kerajaan Sadeng dan menginjak-injak Keta beserta pelabuhannya. Tampaknya usaha ini berhasil hingga Gajahmada bahkan dengan senang hati bersumpah palapa mewujudkan mimpi besar Tribhuwana.

Terlepas apa pun yang telah terjadi, atau siapa pun penggagas politik nusantara yang tertuang dalam sumpah palapa, adalah fakta bahwa hanya di era pemerintahan Tribhuwana Majapahit memulai politik ekspansinya.

Sama seperti Elizabeth I, Tribhuwana juga membangun dan memperkuat armada laut. Segera setelahnya Majapahit mulai memberangkatkan angkatan lautnya melakukan penaklukkan. Tahun 1343 Bali dan Lombok ditekuk, sebagai inisiasi yang melambungkan nama Gajahmada. Setelah menuai dukungan penuh dari rakyat, armada diarahkan ke barat. Tahun 1350 Sumatra digulung dimana pasukan Majapahit menusuk jauh ke ibukota Jambi. 31 negara di Sumatra dicukur habis. Selanjutnya Semenanjung Malaysia (Hujung Medini) bersama 13 negara melayu dilibas. Tak lupa mampir sebentar untuk mempercundangi Singapura (Tumasik) dan Bintan. Pasukan Majapahit kemudian berbalik ke Kalimantan (Tanjung Pura) dan mencaploki 20 negara di Kalimantan.

Tribhuwana memiliki wawasan yang luas, pemerintahannya terkenal agresor dan tegas. Apa yang terjadi di masa raja-raja pendahulunya, dimana kerajaan-kerajaan yang tersebar di seantero nusantara (terutama orang-orang belahan timur sejak Lumajang yang tidak henti-hentinya bersikap kurang ajar pada penguasaan induk Majapahit) memandang sebelah mata pada kerajaannya yang muncul sebagai “pemain baru” di tanah Jawa, tidak pernah lagi terjadi sejak Tribhuwana menduduki tahta. Tribhuwana juga satu-satunya raja wanita yang berani keluar dari zona nyaman istana dan terjun langsung menginjak-injak Keta dan Sadeng. Sama seperti Elizabeth I, Tribhuwana mampu membawa pemerintahannya stabil di tengah faksi-faksi yang bertikai, yang diilustrasikan dengan pertentangan antara kabinet Gajahmada dengan poros Ra Kembar.

relief kapal majapahit
Relief yang menggambarkan sebuah kapal di masa kuno.
Sama seperti Sriwijaya, Jawa di zaman Majapahit adalah
negara maritim dengan angkatan laut yang ditakuti,
sebelum dibelokkan oleh Mataram Islam
menjadi bangsa petani 
Wawasan Tribhuwana yang luas dan keberaniannya mengambil tindakan politis akhirnya mewariskan pada Majapahit angkatan laut paling mematikan di belahan asia timur, dan sebuah wilayah kepulauan seluas nusantara pada kita sekarang. Malangnya, tidak seperti Inggris, Jaladhi—angkatan laut Majapahit yang sangat mematikan (200 tahun mendahului bangkitnya angkatan laut Inggris), harus berakhir ketika Mataram Islam berkuasa dan memberangus kekuatan maritim untuk beralih menjadikan nusantara bangsa agraris (petani). Sulit dibayangkan seandainya Tribhuwana tidak pernah bertahta dan Jayanagara berumur panjang, apakah politik nusantara (sumpah palapa) mendapat tempat di pemerintahan Jayanagara. Besar kemungkinan tidak.

Ada hal yang perlu dicatat dalam hidup Ratu Tribhuwana. Begitu Jayanagara tewas, dan dirinya terbebas dari aturan saudara tirinya yang membunuhnya pelan-pelan, Tribhuwana segera—sesegera mungkin—memilih sendiri pasangannya melalui sayembara, untuk memastikan dirinya punya keturunan dan dengan demikian menjaga tahta tetap dalam genggaman garis wangsa Kŗtanāgara leluhurnya. Laki-laki yang dipilihnya itu adalah Cakradara, yang derajadnya segera diangkat setingkat raja kecil bergelar Kertawardhana Bathara ring Tumapel agar sesuai sebagai pasangan Ratu Tribhuwana.

Kertawardhana , meski perannya tak lebih dari sekedar pendamping, tetap bersikap sebagaimana raja-raja Jawa pada umumnya, dengan menyimpan selir untuk pemuasnya, yang memberinya putra bernama Raden Sotor. Yang mengejutkan, selir itu tetap hidup nyaman dalam pemerintahan Tribhuwana.

0 komentar:

Posting Komentar