I La Galigo, Warisan, dan Nilai Luhur


Catatan Diskusi Sastra yang diadakan Komunitas Paqrimpungan, sebuah komunitas yang cinta pada seni dan sastra, hadir sebagai pembicara Aminunding Ram penulis prosa “I La Galigo” berjilid, di Sekretariat PK. identitas Universitas Hasanuddin, Senin (30/1).

Negeri ini boleh berbangga, sebuah epos lahir dari tanah sendiri. Ialah I La Galigo mendapat penghargaan oleh Badan Dunia UNESCO sebagai warisan dunia dan diberi anugerah Memory of The Wold 2011. Karya Sastra terpanjang ini mengalahkan Mahabarata dari India dan Hemesros dari Yunani. I La Galigo adalah salah satu keunikan masyarakat Bugis Makassar, keunikan Indonesia, keunikan dunia yang sekian lama telah dilupakan.

Karya ini sejatinya menjadi warisan dunia bukan hanya tahun 2011 namun tercatat sepanjang masa, maka harus dijaga penduduk dunia, secara nasional apalagi sebagai Masyarakat Bugis. Selain itu, pengakuan dunia ini mesti menjadi kebanggaan tersendiri bangsa Indonesia karena nyatanya nenek moyang kita pernah memiliki peradaban besar yang terdapat dalam kisah I La Galigo. Kebanggan yang perlu disadari sebenarnya bukan saja dilihat secara empirik sebagai karya sastra, melainkan banyak nilai-nilai yang terkandung di dalamnya secara tidak lansung menjadi kiblat karakter Masyarakat Bugis. Hal ini menambah kekayaan budaya bangsa.

I La Galigo baru mencuat tahun 2000-an setelah ‘juru kunci’ H. Muhammad Salim (alm.) membukanya dengan cara menerjemahkan Bahasa Bugis klasik tersebut. Karya I La Galigo semakin hebat setelah ditransformasi ke dalam bentuk teater, disutradarai oleh Robert Wilson atas bantuan tokoh-tokoh dari Bugis Makassar seperti H. Muhammad Salim (alm.), Andi Pangeran, Fachruddin (alm), dsb kemudian dipentaskan di beberapa negara.

Selain itu, para budayawan I La Galigo berusaha melakukan pelestarian, salah satunya dengan cara menuliskan dalam beberapa bentuk karya sastra seperti saduran dan prosa. Namun karya ini diprediksi masih lebih panjang, pecahan-pecahannya masih dicari, diperkirakan masih bertebaran di masyarakat Celebes. Untuk sementara yang ditemukan masih sejumlah 12 jilid.

Buku “I La Galigo” berjilid karya Nunding Ram dkk. dibuat sederhana dari karya sastra I La Galigo sebenarnya, jumlah halaman dikurangi, namun tema dan amanah tetap terjaga. Isi I La Galigo berbicara kosmologi masyarakat Bugis, bagaimana alam diciptakan. Ada Bottilangi tempat para dewa, kolong langi, dan perettiwi.

Pada jilid ke empat dikisahkan asal muasal pelayaran tokoh utama yakni Sawerigading ke negeri Cina menemui jodohnya We Cudai. La Maddukelleng nama lain dari Sawerigading jatuh cinta kepada adik kembarnya We Tenriabeng. To Palanroe mengharamkan pernikahan mereka sebagai kembar siam, jika keduanya menikah maka akan terjadi bencana. Batara Guru ayah dari Sawerigading pun tak mengizinkan hal tersebut terjadi, namun ia tak mau melihat anaknya bersedih, maka dipanggillah seluruh penduduk negeri untuk memberikan solusi. Keturunan orang Rualette dan tunas orang Perettiwi yang menjelma ini pun ditunjukkan oleh Bissulolo sebutan lain dari We Tenriabeng menikahi We Cudai yang berada di negeri Cina, ia sama cantiknya dengan Bissulolo.

Singkat cerita, Sawerigading ditemani sepupunya berlayar, La Massaguni seorang yang gagah berani dalam berperang, La Pananrang adalah seorang yang menjadi juru bicara perdamaian. Mereka menggunakan wangkang (perahu) besar dan megah bersama para awaknya. Selama perjalanan, ada tujuh perompak besar menghalangi perjalanan mereka. Namun tujuan Sawerigading untuk menemui jodohnya bukan berperang, sehingga setiap pemimpin kapal yang ditemui diperjalanan diajak untuk berunding terlebih dahulu, Sawerigading melalui La Pananannrang mengajak mereka untuk melakukan diplomasi, ia menawarkan berbagai hal untuk menghindari peperangan termasuk harta kekayaan yang berlimpah di wangkang emas mereka. Namun ternyata tunas paduka dari kayangan ini menjadi incaran para perompak. Namanya sudah terkenal sebagai manurunnge yang tak terkalahkan, hal itulah yang mengundang para perompak untuk mengalahkannya dalam peperangan.

Dalam sepenggal cerita ini, kita bisa memetik beberapa hal. Misalnya nilai siri’ yang dijunjung tinggi Sawerigading, bahwa ia tak sembarangan mencabut badik. Hanya orang-orang yang mengganggu kehormatannya barulah ia mencabut badiknya. Dulu, orang Bugis Makassar sangat identik menggunakan badik dipinggangnya. Badik salah satu simbol kejantanan pria. Badik digunakan untuk mengawal dan menegakkan kebenaran serta kehormatan. Penggunanya menjujung perilaku siri’, badik tidak sembarang dicabut, ia keluar pada saatnya.

Selanjutnya, peperangan adalah jalan terakhir menyelesaikan persoalan, ia melakukan perundingan atau menawarkan diplomasi untuk menghidari pecahnya perang. Selanjutnya, Sawerigading adalah orang yang kekeuh terhadap pendiriannya, ia berlayar mengarungi samudera luas meskipun maut menghadangnya demi menemukan We Cudai.

Namun hal yang belum dijelaskan secara khusus dalam I La Galigo adalah kehidupan masyarakat di luar istananya. Secara sosiologi, tentu kehidupan istana pun akan melakukan ‘sentuhan’ dengan orang-orang di luar istana. Pun tentang struktur sosial, interaksi sosial, dan perilaku masyarakat pada masa tersebut.

Hal ini berkemungkinan bahwa I La Galigo adalah sebuah kronik yang menceritakan asal muasal keturunan. Di dalamnya lebih diceritakan kisah orang-orang bangsawan. Layaknya masyarakat Inggris atau England. England berasal dari kata ‘angels’ berarti malaikat. Masyarakat bugis mengenalnya sebagai ‘manurunnge’ atau yang turun dari langit, orang-orang yang lahir di tanah England sangat menjunjung asal muasal keturunan mereka (feodalisme), demikian pula masyarakat Bugis dalam I La Galigo.

Satriani M. kompasiana

0 komentar:

Posting Komentar