Kegalauan Papua (dua nasionalisme)

Berdasarkan perjanjian international 1896 yang diperjuangkan oleh Prof. Van Vollen Houven (pakar hukum adat Indonesia) di sepakati bahwa ”Indonesia” adalah bekas Hindia Belanda. Sedangkan Irian Barat walaupun dikatakan oleh Belanda secara kesukuan berbeda dengan bangsa Indonesia, tetapi secara sah merupakan wilayah Hindia Belanda.

Bernada Meteray mengupas sejarah Papua sejak pertama kali Kerajaan Sriwijaya (abad VIII) menginjakkan kakinya di sini, disusul Majapahit (abad XIV), lalu Ternate dan Tidore (abad XVI). Suatu keterangan yang dapat menunjukkan bahwa Papua pernah merupakan daerah kekuasaan Sultan Tidore dan Bacan sebagaimana yang dikatakan oleh Koentjaraningrat dan Prof.Dr.Harsya W.Bachtiar dalam penelitiannya yang diungkapkan didalam buku yang berjudul : “ Penduduk Irian Barat “ bahwa pertemuan pertama antara orang – orang pribumi Irian Barat dengan orang – orang dari luar daerah terjadi ketika Sultan Tidore berusaha memperluas wilayah. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore. , kemudian datanglah Belanda (VOC), Jepang, hingga pemerintah Indonesia.

Namun Ternyata kebanyakan orang papua tidak sependapat dengan Prof. Van Vollen Houven.
“Tidak pernah orang Papua diterima sebagai bagian dari rakyat Indonesia. Warga Papua dianggap sebagai binatang. Saya tidak jamin, warga Papua masih menginginkan jadi bagian Indonesia. Lihat saja, bagaimana orang Papua ditembak atau dibunuh,” tegas Ketua Gereja Baptis Papua, Pendeta Socrates Sofyan Yoman kepada itoday (18/6).

Bernada Meteray, mengurai benang pangkal dinamika pergolakan rakyat Papua dari beberapa aspek yaitu historis, ideologis dan politis yang bermuara pada satu titik yaitu nasionalisme. Nasionalisme Papua dan Nasionalisme Indonesia, masalah ke-papua-an dan ke-indonesia-an menjadi pangkal dinamika yang melahirkan pergolakan rakyat Papua sampai hari ini. Perbedaan nasionalisme itu dimunculkan karena perbedaan ras dan sejarah dari daerah NKRI yang lain.

5 Agustus 1962 lahirlah Persetujuan New York yang mengatur tentang pemerintahan sementara di Papua dan mempersiapkan pelaksanaan hak menentukan nasib bagi Rakyat Papua. Kemudian pada bulan Juli-Agustus 1969 dilaksanakan tindakan pilih bebas bagi Rakyat Papua, yang oleh Indonesia dinamakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA). Pelaksanaan PEPERA diterjemahkan oleh Indonesia dengan sistem perwakilan dan tidak sesuai dengan Persetujuan New York yang mengatur satu orang satu suara (one man, one vote). Karena faktanya dari 800ribu penduduk Papua yang memiliki hak pilih, cuma 1.025 orang yang dilibatkan. Selain itu, berbagai tindakan represif, intimidasi dan teror dilakukan untuk menekan perwakilan dari Rakyat Papua tadi. Sehingga PEPERA berhasil dimenangkan oleh Indonesia dengan suara mayoritas walaupun pelaksanaannya tidak demokratis dan tidak menghargai hak asasi manusia Rakyat Papua. (aliansi mahasiswa papua)
Nasionalisme Indonesia ditumbuhkan oleh tokoh-tokoh nasionalis mulai akhir 1945 ketika residen Van Eechoud merekrut beberapa orang Indonesia sebagai pegawai pemerintah, di antaranya Soegoro Atmoprasodjo yang ditunjuk sebagai pengajar dan direktur asrama pada Kursus Singkat Pamong Praja di Kota Nica. Soegoro meyakinkan para siswanya untuk berpikir bahwa mereka adalah bagian dari bangsa Indonesia. Beberapa orang yang menempuh pendidikan Eechoud dan kemudian menjadi terkemuka dalam aktivitas politik antara lain: Markus dan Frans Kaisepo, Nicolaas Jouwe, Herman Wajoi, Silas Papare, Albert Karubuy, Moses Rumainum, Baldus Mofu, Eliezer Jan Bonay, Likas Rumkorem, Martin Indey, Johan Ariks, Herman Womsiwor dan Abdulah Arfan.

Pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua New Guinea, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Papua Barat sebagai “Mavik” “dilaksanakan Proklamasi Kemerdekaan Papua Barat. Proklamasi ini dicetuskan oleh Seth Jafet Rumkorem sebagai Presiden Papua Barat, dan didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL ), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima) TEPENAL Republik Papua Barat.

Sampai sekarang kebanyakan rakyat papua ingin menentukan dirinya sebagai bangsa sendiri, Artinya Indonesia gagal menanamkan nasionalismenya. Dan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) perlu dipertanyakan kembali. Mungkin orang papua menganggap Indonesia adalah penjajah bukannya Belanda.
Masalah Papua adalah masalah dua nasionalisme bukan sekedar pendidikan, persoalan kesejahteraan, kesenjangan sosial atau persoalan ketidaksetaraan ekonomi. Semoga menjadi pembelajaran bagi bangsa Indonesia, bagaimana pentingnya nasionalisme.

Sumber: wikipedia.ord
             serbasejarah.wordpress.com
             ampjogja.blogspot.com
             wpan.wordpress.com
             Nasionalisme Ganda Orang Papua, Bernarda Meteray

0 komentar:

Posting Komentar