Kemiskinan

Di era global ini, salah satu kata yang sangat populer adalah kemiskinan. Coba perhatikan ketika masa kampanye pada pemilu dpr dan presiden kemarin. Banyak partai dan capres yang menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai daya tarik. Rebutan iklan bantuan langsung tunai bagi khalayak miskin pun jadi rebutan parpol. Bahkan pasangan Mega-Prabowo membuat deklarasi di Tempat Pembuangan Sampah yang dipahami sebagai salah satu simbol kemiskinan.

Sejak paruh kedua abad XX, kemiskinan meperoleh perhatian dari berbagai kalangan di dunia. Banyak pemikiran dan usaha dicurahkan, keringat dicucurkan untuk memerangi kemiskinan demi terwujudnya impian lahirnya masyarakat sejahtera. Saking bersemangatnya, Orde Baru pun menamai kabinetnya dengan sebutan kabinet pembangunan, sebagai manifestasi dari komitmen yang tinggi untuk memerangi kemiskinan. Di Amerika Latin pun berkembang apa yang dinamakan teologi kemakmuran. Pancaran kasih Tuhan ada dalam eksistensi kemakmuran, dan Pancaran cinta setan ada dalam eksistensi kemiskinan.
Naga-naganya, perang terhadap kemiskinan belum akan segera berakhir.


Ketika pembangunan gagal menciptakan masyarakat sejahtera, berbagai ahli mencoba mencari tahu penyebabnya. Ahli dari Dunia Ketiga mengajukan pemikiran bahwa kemiskinan negara-negara bekas jajahan terutama disebabkan oleh kolonisasi dan ketergantungan. Selama masa kolonisasi, negara penjajah menguras semua potensi, baik ekonomi, sosial maupun kultural, sehingga masyarakat jajahan menjadi kaum miskin abadi. Ketika kemerdekaan dapat diproklamasikan, negara penjajah tetap melakukan pengurasan melalui neo-kolonialisme atau penjajahan jarak jauh. Dengan berodal uang, ilmu dan teknologi, negara-negara penjajah menjadikan Dunia Ketiga sebagai sapi perahan yang wajib menyetorkan susu kepada bos.

Tuduhan kaum intelektual Dunia Ketiga yang menjadikan Dunia Pertama sebagai tokoh antagonis, tentu tidak dapat diterima. Sebaliknya mereka mengajukan pikiran tandingan bahwa kemiskinan Dunia Ketiga adalah karena budayanya yang mistik, malas, tradisional dan statis. Solusi yang ditawarkan pun jelas, yaitu mengembangkan kebudayaan dunia ketiga menjadi legal-rasional dan progresif. Makanya jangan heran kalau kemudian muncul program pengembangan enterpreneurship di dunia pendidikan Indonesia, bahkan pakai bintang cantik Dian Sastro sebagai ikonnya. Banyak lagi program yang disusun untuk mengubah konstruk mental, agar paling tidak tetap menjadi pengikut setia arahan Dunia Pertama.
Benarkah kemiskinan merupakan sesuatu yang najis, sehingga perlu dihindari oleh seluruh umat manusia? Dalam Etika Protestan, sikap utama yang ditonjolkan adalah miskin. Kepercayaan mereka berinti pada pandangan bahwa semua harta dan segala benda di dunia ini adalah milik Tuhan, sehingga manusia wajib menjaga dan mengembangkannya dengan taruhan jiwa dan raga. Bukan berarti tidak boleh mengkonsumsi benda milik Tuhan. Manusia boleh memakannya, meminumnya atau apa saja sebatas untuk mempertahankan hidup. Yang dilarang adalah menikmatinya atau menyamankan diri dengan menggunakan milikNya.

Kerja keras untuk proyek pengembangan harta Tuhan inilah yang kemudian melahirkan bullionisme dan merkantilisme di jaman berikutnya. Apresiasi tinggi terhadap harta Tuhan diwujudkan dengan mengembangkan sebanyak mungkin dengan mengkonsumsi sesedikit mungkin. Dengan menjadi miskin, manusia sesungguhnya akan mampu mengembangkan kekayaan berlimpah, kekayaan milik Tuhan. Orang Indonesiapun sebenarnya memiliki ajaran itu, bahkan jauh sebelum orang Protestan, yaitu laku prihatin. Kerja keras, tetapi sesedikit mungkin mengolah dan memanfaatkan alam untuk kepentingan pribadi.

Dua khasanah pemikiran menempatkan kemiskinan dalam posisi yang mulia. Dengan kemiskinan, harga diri manusia tidak lagi dilekatkan pada benda-benda duniawi, tetapi semata kepada ketulusan hati dan kebersihan jiwa. Relasi antar manusia pun jauh dari pemikiran transaksi ekonomi. Orang lain direngkuhnya sebagai saudara atau dalam bahasa Latin sebagai socius. Kehidupan masyarakatpun berlangsung dalam damai harmoni dengan sesama dan alam.

Tidak hanya mulia, kemiskinan juga merupakan wujud tertinggi kesetiaan manusia kepada Tuhan Sang Pencipta. Dalam kitab kuno dicatat bahwa orang miskin adalah pemilik kunci surga. Dengan menjalani hidup miskin, manusia dapat mencapai makrifat,karena mampu menghindar dari pikiran dan tindakan menyombongkan diri serta merugikan orang lain dan alam. Dia akan menjadi manusia mulia tidak hanya disisi allam, dan sesama, tetapi juga di mata Tuhan. Manusia tidak perlu menebang hutan berjuta hektar, tidak perlu mengeruk batu bara. Manusia juga terhindar dari sifat mencari keuntungan pribadi dengan memeras keringat atau mengeksploatasi saudara dan tetangga. Hanya dengan kemiskinan, manusia dapat sepenuhnya hidup demi sebesar-besarnya kemuliaan Tuhan: Ad maiorem dei gloriam.


Sastro Sukamiskin

2 komentar:

  1. Begitulah hidup Mbak, banyak variasi dan warnanya...

    BalasHapus
  2. wahh...blegggghhhh.. hampir pingsan.. wuih.. akhirnya bacanya selesai.. panjang yee.. tapi aku tangkap kok isinya.. yah pada dasarnya memang harus dari diri sendiri dulu mau berusaha dan berusaha untuk keluar dari jerat kemiskinan, tapi kalo sudah niat nggak ada males berusaha dan hanya menghandalkan tangan yang menengadah untuk meminta-minta ya sulit untuk keluar dari jerat kemiskinan. Pokoknya jangan menyerah.. deh..

    BalasHapus