Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosial. Tampilkan semua postingan

sawang sinawang (Sastro Sukamiskin)

Setiap masyarakat menciptakan dan mengembangkan kebudayaan sebagai sinar yang memandu kehidupan, sesuai dengan lingkungan sosial dan fisik di wilayahnya. Dalam perjalanan waktu, generasi baru muncul dan dibentuk oleh kebudayaan itu agar mewarisi dan mengembangkan sinar kehidupan itu menjadi lebih terang. Meskipun demikian, tidak jarang generasi baru menghadapi tantangan, hambatan dan bahkan tekanan, sehingga kurang berhasil mengembangkannya. Salah satu hambatan yang paling kuat adalah adanya kebudayaan lain yang tidak toleran dan bahkan melakukan penjajahan budaya. Akibatnya, generasi baru tidak hanya gagal mengembangkan, tetapi juga mengambil sinar kebudayaan lain untuk memandu kehidupannya. Disinilah titik awal munculnya kebudayaan hibrid atau campuran.
Pengambilan kebudayaan lain sebagai sinar, seiring dengan pergantian generasi tanpa disadari jumlahnya semakin banyak. Pada generasi tertentu, sebagian besar hidup masyarakat berada dalam terang sinar kebudayaan lain. Dengan kata lain, sebagian besar kebudayaan nenek moyangnya tidak lagi menjadi sinar penerang kehidupan dan hilang, sisanya menjadi fosil yang dipajang di museum.

Apa ruginya meninggalkan kebudayaan nenek moyang sendiri dan menggunakan kebudayaan asing? Tidak ada, selama masyarakat mampu menjadikan nenek moyang asing sebagai nenek moyangnya. Bahkan mungkin akan banyak keuntungannya, selama masyarakat mengambil jiwa kebudayaan asing sebagai jiwanya. Akan tetapi ketika jiwanya menggunakan kebudayaan asli dan kehidupan sehari-hari menggunakan kebudayaan asing, maka masyarakat akan menjadi bingung dan bahkan linglung. Banyak perilaku yang tidak sesuai dengan hati nurani terjadi di depan mata, tanpa dapat dicegah. Puncaknya adalah krisis sebagai bentuk berubahnya sinar

Dalam kondisi seperti itu, tak ada buah kehidupan yang manis dan bermakna dapat dinikmati. Tertib kehidupan menjadi hilang, karena tidak ada lagi etika yang dijunjung bersama. Tragedi dari pucuk pimpinan nasional sampai pangkal bawahan lokal menjadi menu harian yang suka tidak suka, mau tidak mau harus ditelan.

Solusi yang mungkin ditempuh adalah menemukan kembali warisan masa lampau yang masih sesuai dengan peri kehidupan sekarang. Tentu tidak akan semudah orang Eropa me-reaissance keeropaannya atau orang Jepang saat melakukan kokugaku. Meski sulit dan harus menempuh jarak yang sangat jauh, perjalanan pulang tampaknya harus dilakukan. Meski harus mandi keringat dan berkubang lumpur, penggalian sari kehidupan nenek moyang harus diselesaikan.

Salah satu warisan yang perlu dijernihkan adalah sawang sinawang. Pepatah jawa ini sengaja sebagai awalan, karena memiliki makna yang sangat dalam. Paling tidak ada tiga point penting yang terkandung dalam pepatah itu, yaitu sawang, sinawang dan sawang sinawang. Padanan dalam bahasa Indonesia untuk kata kerja sawang adalah memandang, menyimak atau memperhatikan. Di sisi lain, sinawang terdiri dari kata dasar sawang dan imbuhan in. Pemberian imbuhan dalam konteks ini berfungsi untuk mempasifkan kata kerja, sehingga sinawang dapat diartikan sebagai dipandang, disimak atau diperhatikan.

Kedudukan sawang sebagai kata dasar kerja menunjukkan bahwa memandang merupakan kegiatan yang dilakukan oleh subyek terhadap suatu obyek. Apabila dilekatkan pada subyek, kata dasar sawang akan mengalami peluluhan menjadi nyawang, seperti pada kalimat Kliwon lagi nyawang omahe sing miring amarga kena gempa. Aktivitas memandang bukan semata-mata dilakukan oleh panca indera mata. Memandang melibatkan seluruh kemampuan aspek kemanusiaan subyek, baik mata, akal maupun budi. Melalui proses memandang, subyek mengolah informasi yang diterima melalui mata dengan jalan membandingkan terhadap pengalamannya sebagai individu maupun pengetahuan yang dimilikinya dari berbagai pihak. Ketika memandang rumahnya yang miring, dalam benak Kliwon terdapat ingatan tentang gambaran rumah itu sebelum terjadi gempa. Dengan kata lain, dalam aktivitas memandang terdapat dialog antara masa lampau (pengalaman dan pengetahuan) dengan masa kini (obyek pandangan).

Dialog masa lampau dengan masa kini dalam proses sawang melahirkan dua macam pengetahuan, yaitu pengetahuan tentang obyek dan pengetahuan tentang subyek. Pengetahuan tentang obyek berupa gambaran detail kondisi yang tampak kasat mata, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pada kasus Kliwon dan rumahnya, pengetahuan obyek kuantitatif berupa jumlah kerusakan beserta letaknya, sedang pengetahuan kualitatif berupa tingkat kerusakan seperti parah, sedang dan ringan.
Selain pengetahuan tentang obyek, proses sawang juga melahirkan pemahaman tentang diri sendiri sebagai subyek. Pemahaman terutama berupa kesadaran baru dalam diri subyek tentang posisinya saat itu. Ketika melakukan proses sawang, subyek memperhitungkan ikatan atau relasinya dengan obyek. Apabila obyek merupakan bagian dari subyek, baik ikatan darah maupun kepemilikan, maka subyek akan memaknai kondisi obyek sebagai cerminan dari kondisi subyek. Oleh karena itu, hasil sawang tersebut tersimbolkan dalam bentuk kata-kata yang menggambarkan kondisi kehidupan subyek, seperti menderita, mujur, begja, prihatin, sengsara dan sebagainya.

Apabila obyek sawang bukan bagian dari subyek, tetapi memiliki ikatan yang erat, seperti kerabat atau tetangga, subyek akan berusaha memahami kondisi atau posisi obyek dengan melibatkan seluruh aspek kehidupannya. Keterlibatan subyek pada obyek termanifestasi pada penghayatan terhadap kondisi obyek, sehingga melahirkan ungkapan “nderek”. Dari sudut pandang ini, ungkapan seperti nderek mangayubagya, nderek bingah, nderek belasungkawa, menjadi bentuk usaha subyek mentransfer kondisi obyek sebagai kondisinya sendiri. Pada sistem sosial Jawa, berbagai nilai dan norma terbangun dengan kerangka seperti itu, antara lain kekerabatan, gotong royong, dan tulung tinulung.
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa sawang menjadi kunci bagi masyarakat Jawa untuk memahami obyek sekaligus melahirkan kesadaran baru tentang subyek. Dengan kata lain, masyarakat Jawa menempatkan sawang menjadi laku bagi lahirnya pengetahuan tentang dunia sebagai obyek dan kesadaran baru dalam diri manusia sebagai subyek yang mendunia.

Berbagai pengetahuan dihasilkan oleh manusia Jawa melalui proses memandang yang dilakukannya, baik berupa filsafat kehidupan maupun keterampilan praktis. Apabila dikelompokkan, jumlah karya pengetahuan Jawa lebih banyak pada bidang filsafat kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia Jawa cenderung menyarikan dinamika kehidupan untuk memperoleh hakekat, dari pada mengembangkan keterampilan praktis. Memahami hakekat dipandang lebih penting untuk menjalani kehidupan masa kini dan masa mendatang. Hal ini berdampak pada pendokumentasian pergumulan pemikiran tentang nilai dan norma jauh lebih baik dari pada pendokumentasian pengetahuan praktis.

Selain sebagai subyek, manusia Jawa juga menyadari bahwa dirinya menjadi obyek pandangan bagi sesama. Bahkan kesadaran akan kedudukan sebagai obyek ini ditempatkan menjadi perhatian utama dalam kebudayaan Jawa. Kesadaran tersebut mendorong lahirnya nilai dan norma yang berinti pada pengendalian diri atau self control. Berbagai ungkapan, seperti empan papan (memposisikan diri sesuai situasi dan kondisi) dan unggah ungguh (sopan santun atau tata krama) mencerminkan bahwa kemampuan membawakan diri merupakan keterampilan hidup yang sangat penting.

Makna lain dari sawang sinawang adalah bahwa realitas berbeda hakekat dengan pengetahuan/kebenaran yang dihasilkan dari kegiatan memandang. Maksudnya ketika subyek memproduksi pengetahuan tentang suatu obyek, kebenarannya sangat kecil apabila dibandingkan dengan kebenaran yang dimiliki oleh obyek. Sebagai contoh, ketika A memandang B sekarang telah sukses dan hidup berkecukupan, makna sukses dan berkecukupan yang dipahami A akan jauh berbeda dengan sukses dan berkecukupan yang dirasakan oleh B. Kesadaran akan perbedaan tersebut menjadikan manusia Jawa memahami bahwa kebenaran bersifat subyektif dan relatif, yaitu tergantung pada siapa, dimana dan kapan.

Subyektivitas dan relativitas kebenaran, menjadikan manusia Jawa mengembangkan tata nilai dan norma yang berinti pada penghormatan terhadap pendapat atau kebenaran orang lain. Ungkapan desa mawa cara, negara mawa tata memanifestasikan pemahaman bahwa setiap desa memiliki tradisi yang berbeda dan setiap negara memiliki hukum yang berbeda. Perbedaan tersebut dipandang sebagai realitas yang menggembirakan dan patut dirayakan, karena pada hakekatnya dunia ini terbangun dari berbagai perbedaan yang saling melengkapi.

Apakah pemikiran nenek moyang tentang sawang sinawang yang telah berusia ribuan tahun ini mampu melampaui pemikiran kaum modernis bahkan postmodernis?

-Sastro Sukamiski-

Yu Youzhen, Wanita Kaya Penyapu Jalan

"Kerja bukan hanya tentang gaji, itu membuat orang terfokus" "Kemalasan menimbulkan segala macam kebiasaan buruk." -Yu Youzhen-


Yu Youzhen
Yu mempertahankan pekerjaan penyapu jalan sejak 1998
Yu Youzhen (53) bukan perempuan biasa. Warga kota Wuhan, China ini memiliki kekayaan yang luar biasa. Menurut harian South China Morning Post, Yu adalah pemilik 17 gedung apartemen di Wuhan dengan nilai aset sebesar 1,6 juta dollar AS atau lebih dari Rp 15 miliar.

Namun, tak seperti orang kaya lainnya yang memilih bersantai menghitung kekayaan atau bepergian ke luar negeri, Yu tetap memilih bekerja di usianya yang sudah senja itu. Dan, pekerjaan yang dipilih Yu adalah petugas kebersihan kota dengan gaji hanya sekitar Rp 2 juta sebulan.

Sudah sejak 1998, Yu bekerja sebagai petugas kebersihan kota. Dia harus bangun sejak pukul 3.00 dini hari, lalu bekerja selama enam jam penuh membersihkan ruas jalan sepanjang 3 km dari sampah dan kotoran lainnya. Tak hanya itu, Yu harus bekerja selama enam hari dalam sepekan.

Sejatinya, Yu dan suaminya memang terlahir dari keluarga miskin dan terbiasa bekerja keras. Sejak 1980-an, Yu dan suaminya bekerja dari pagi hingga malam demi bisa menyisihkan sedikit uang.

Jerih payah mereka terbayar, ketika mereka akhirnya bisa membangun rumah tiga lantai. Nah, beberapa ruangan di rumah tiga lantai inilah yang kemudian disewakan Yu untuk warga desa yang merantau ke Wuhan.

Dengan menyewakan ruangan dengan harga 50 yuan atau sekitar Rp 75.000 sebulan, Yu bisa menyisihkan uang untuk membangun lebih banyak apartemen. Hanya dalam beberapa tahun, Yu sudah memiliki lima gedung apartemen.

Kembali ke masa kini, banyak orang tak memahami mengapa Yu, yang sudah berkelimpahan uang, tetap bekerja sebagai pembersih jalanan. Apa sebenarnya motivasi Yu mempertahankan pekerjaannya?

"Saya ingin menjadi contoh bagi putra dan putri saya. Seseorang tak bisa hanya duduk di rumah dan memakan semua kekayaannya," kata Yu menjelaskan motivasinya.

Bahkan Yu tak segan-segan memperingatkan kedua anaknya agar tak bermalas-malasan.

"Jika mereka tak mau bekerja maka saya akan serahkan semua kekayaan saya kepada negara," ujar Yu.

Dan ancaman sang ibu ternyata cukup manjur. Putranya kini bekerja sebagai pengemudi di kawasan Donghu dengan gaji sekitar Rp 3 juta sebulan. Sementara putrinya bekerja sebagai karyawan sebuah perusahaan dengan penghasilan hampir Rp 5 juta sebulan.

Yu adalah salahsatu orangtua yang telah berusaha untuk menetapkan contoh yang baik bagi anak-anaknya.


sumber:
http://internasional.kompas.com/read/2013/01/08/21363817/Yu.Youzhen.Wanita.Kaya.Penyapu.Jalan?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kknwp

Kain Tapis Asli Lampung

Kain Tapis
Kain Tapis adalah pakaian wanita suku Lampung yang berbentuk kain sarung terbuat dari tenun benang kapas dengan motif atau hiasan bahan sugi, benang perak atau benang emas dengan sistim sulam (Lampung; "Cucuk"). Dengan demikian yang dimaksud dengan Tapis Lampung adalah hasil tenun benang kapas dengan motif, benang perak atau benang emas dan menjadi pakaian khas suku Lampung.
Jenis tenun ini biasanya digunakan pada bagian pinggang ke bawah berbentuk sarung yang terbuat dari benang kapas dengan motif seperti motif alam, flora dan fauna yang disulam dengan benang emas dan benang perak. Tapis Lampung termasuk kerajian tradisional karena peralatan yang digunakan dalam membuat kain dasar dan motif-motif hiasnya masih sederhana dan dikerjakan oleh pengerajin.
Kerajinan ini dibuat oleh wanita, baik ibu rumah tangga maupun gadis-gadis (muli-muli) yang pada mulanya untuk mengisi waktu senggang dengan tujuan untuk memenuhi tuntutan adat istiadat yang dianggap sakral. Kain Tapis saat ini diproduksi oleh pengrajin dengan ragam hias yang bermacam-macam sebagai barang komoditi yang memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi.

Sejarah Kain Tapis Lampung

Kain Tapis
Kain Tapis merupakan salah satu jenis kerajinan tradisional masyarakat Lampung dalam menyelaraskan kehidupannya baik terhadap lingkungannya maupun Sang Pencipta Alam Semesta. Karena itu munculnya kain Tapis ini ditempuh melalui tahap-tahap waktu yang mengarah kepada kesempurnaan teknik tenunnya, maupun cara-cara memberikan ragam hias yang sesuai dengan perkembangan kebudayaan masyarakat. Menurut Van der Hoop disebutkan bahwa orang lampung telah menenun kain Brokat yang disebut Nampan (Tampan) dan kain Pelepai sejak abad II masehi. Motif kain ini ialah kait dan konci (Key and Rhomboid shape), pohon hayat dan bangunan yang berisikan roh manusia yang telah meninggal. Juga terdapat motif binatang, matahari, bulan serta bunga melati. Dikenal juga tenun kain tapis yang bertingkat, disulam dengan benang sutera putih yang disebut Kain Tapis Inuh.
Hiasan-hiasan yang terdapat pada kain tenun Lampung juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan ragam hias di daerah lain. Hal ini terlihat dari unsur-unsur pengaruh taradisi Neolithikum yang memang banyak ditemukan di Indonesia. Masuknya agama Islam di Lampung, ternyata juga memperkaya perkembangan kerajinan tapis ini.
Walaupun unsur baru tersebut telah berpengaruh, unsur lama tetap dipertahankan. Adanya komunikasi dan lalu lintas antar kepulauan Indonesia sangat memungkinkan penduduknya mengembangkan suatu jaringan maritim. Dunia kemaritiman atau disebut dengan jaman bahari sudah mulai berkembang sejak jaman kerajaan Hindu Indonesia dan mencapai kejayaan pada masa pertumbuhan dan perkembangan kerajaan-kerajaan islam antara tahun 1500 1700.
Bermula dari latar belakang sejarah ini, imajinasi dan kreasi seniman pencipta jelas mempengaruhi hasil ciptaan yang mengambil ide-ide pada kehidupan sehari-hari yang berlangsung disekitar lingkungan seniman dimana ia tinggal.
Penggunaan transportasi pelayaran saat itu dan alam lingkungan laut telah memberi ide penggunaan motif hias pada kain kapal. Ragam motif kapal pada kain kapal menunjukkan adanya keragaman bentuk dan konstruksi kapal yang digunakan. Dalam perkembangannya, ternyata tidak semua suku Lampung menggunakan Tapis sebagai sarana perlengkapan hidup. Diketahui suku Lampung yang umum memproduksi dan mengembangkan tenun Tapis adalah suku Lampung yang beradat Pepadun.

Bahan dan Peralatan Tenun Tapis Lampung

Tenun Tapis
Bahan Dasar Tapis Lampung : Kain tapis Lampung yang merupakan kerajinan tenun tradisional masyarakat Lampung ini dibuat dari benang katun dan benang emas. Benang katun adalah benang yang berasal dari bahan kapas dan digunakan sebagai bahan dasar dalam pembuatan kain tapis, sedangkan benang emas dipakai untuk membuat ragam hias pada tapis dengan sistim sulam. Pada tahun 1950, para pengrajin tapis masih menggunakan bahan hasil pengolahan sendiri, khususnya untuk bahan tenun. Proses pengolahannya menggunakan sistim ikat, sedangkan penggunaan benang emas telah dikenal sejak lama.

Bahan-bahan baku itu antara lain :
• Khambak/kapas digunakan untuk membuat benang.
• Kepompong ulat sutera untuk membuat benang sutera.
• Pantis/lilin sarang lebah untuk meregangkan benang.
• Akar serai wangi untuk pengawet benang.
• Daun sirih untuk membuat warna kain tidak luntur.
• Buah pinang muda, daun pacar, kulit kayu kejal untuk pewarna merah.
• Kulit kayu salam, kulit kayu rambutan untuk pewarna hitam.
• Kulit kayu mahoni atau kalit kayu durian untuk pewarna coklat.
• Buah deduku atau daun talom untuk pewarna biru.
• Kunyit dan kapur sirih untuk pewarna kuning.
Pada saat ini bahan-bahan tersebut diatas sudah jarang digunakan lagi, oleh karena pengganti bahan-bahan diatas tersebut sudah banyak diperdagangkan di pasaran.

Peralatan Tenun kain Tapis
1. Sesang yaitu alat untuk menyusun benang sebelum dipasang pada alat tenun.
2. Mattakh yaitu alat untuk menenun kain tapis yang terdiri dari bagian Alat-alat :
• Terikan (alat menggulung benang)
• Cacap (alat untuk meletakkan alat-alat mettakh)
• Belida (alat untuk merapatkan benang)
• Kusuran (alat untuk menyusun benang dan memisahkan benang)
• Apik (alat untuk menahan rentangan benang dan menggulung hasil tenunan)
• Guyun (alat untuk mengatur benang)
• Ijan atau Peneken (tunjangan kaki penenun)
• Sekeli (alat untuk tempat gulungan benang pakan, yaitu benang yang dimasukkan melintang)
• Terupong/Teropong (alat untuk memasukkan benang pakan ke tenunan)
• Amben (alat penahan punggung penenun)
• Tekang yaitu alat untuk merentangkan kain pada saat menyulam benang emas.

Jenis Tapis Lampung Menurut Asal pemakainya

Beberapa jenis kain tapis yang umum digunakan masyarakat Lampung Pepadun dan Lampung Saibatin adalah :

Tapis Lampung dari Pesisir :
* Tapis Inuh
* Tapis Cucuk Andak
* Tapis Semaka
* Tapis Kuning
* Tapis Cukkil
* Tapis Jinggu

Tapis lampung dari Pubian Telu Suku :
* Tapis Jung Sarat
* Tapis Balak
* Tapis Laut Linau
* Tapis Raja Medal
* Tapis Pucuk Rebung
* Tapis Cucuk Handak
* Tapis Tuho
* Tapis Sasap
* Tapis Lawok Silung
* Tapis Lawok Handak

Tapis Lampung dari Sungkai Way Kanan :
* Tapis Jung Sarat
* Tapis Balak
* Tapis Pucuk Rebung
* Tapis Halom/Gabo
* Tapis Kaca
* Tapis Kuning
* Tapis Lawok Halom
* Tapis Tuha
* Tapis Raja Medal
* Tapis Lawok Silung

Tapis Lampung dari Tulang Bawang Mego Pak:
* Tapis Dewosano
* Tapis Limar Sekebar
* Tapis Ratu Tulang Bawang
* Tapis Bintang Perak
* Tapis Limar Tunggal
* Tapis Sasab
* Tapis Kilap Turki
* Tapis Jung Sarat
* Tapis Kaco Mato di Lem
* Tapis Kibang
* Tapis Cukkil
* Tapis Cucuk Sutero

Tapis Lampung dari Abung Siwo Mego :
* Tapis Rajo Tunggal
* Tapis Lawet Andak
* Tapis Lawet Silung
* Tapis Lawet Linau
* Tapis Jung Sarat
* Tapis Raja Medal
* Tapis Nyelem di Laut Timbul di Gunung
* Tapis Cucuk Andak
* Tapis Balak
* Tapis Pucuk Rebung
* Tapis Cucuk Semako
* Tapis Tuho
* Tapis Cucuk Agheng
* Tapis Gajah Mekhem
* Tapis Sasap
* Tapis Kuning
* Tapis Kaco
* Tapis Serdadu Baris

8 Cara Menghidupkan Kembali Persahabatan

Woman’s Day | Healthy Living
sahabat
Sahabat
Ketika kita sedang sangat sibuk, beberapa persahabatan akan terabaikan. Tapi itu tidak berarti Anda tidak dapat menghidupkan kembali sebuah hubungan.

"Meskipun sudah lama berlalu, ada baiknya menjaga teman-teman yang telah membantu Anda dalam masalah dan teman curhat yang mendengarkan keluhan Anda," ujar Vicki Field, pelatih di Chapel Hill, NC.

Tetapi keinginan saja tidak cukup. Anda harus menemukan cara untuk menyambung persahabatan kembali, hal itu bisa saja menjadi sangat sulit setelah berbulan-bulan atau bertahun-tahun tanpa kontak. Berikut adalah langkah pertama terbaik untuk membuat untuk mendapatkan teman Anda kembali di dalam hidup Anda.

1. Menulis pesan di Facebook

Berhubungan via media elektronik adalah salah satu cara termudah untuk kembali berhubungan, ujar Field. Tapi apa yang Anda katakan pertama kali? Mulailah dengan bercerita tentang seberapa sibuk Anda dan kemudian menambahkan rincian tentang apa yang telah Anda lakukan.

Berbagi info tentang kehidupan Anda dapat mendorong teman Anda untuk membalas dengan keterbukaan yang sama. Setelah Anda terhubung kembali, buatlah rencana untuk bertemu secara pribadi. “Anda tidak dapat menggantikan hubungan yang nyata dengan Facebook atau media sosial apa pun," ujar Field.

2. Kembali terhubung dengan kegiatan favorit Anda

Sebuah aktivitas yang Anda kerjakan bersama-sama bisa menggerakkan sebuah persahabatan yang pernah terhenti, ujar Celestine Chua, pendiri blog Personal Excellence.

"Karena hal itu bisa membuat Anda bersama-sama di masa lalu, seharusnya hal itu bisa mengingatkan kembali kenangan positif dan membawa Anda menjadi dekat lagi," jelasnya. Mulailah dengan mengirim email ke teman Anda dengan daftar kegiatan favorit bersama dan menyarankan melakukan salah satunya.

3. Kirim kartu yang ditulis tangan

Sebuah catatan di kotak pos bisa menjadi kejutan untuk teman yang belum Anda ajak berbicara dalam beberapa waktu. Dan tidak perlu menunggu sampai liburan untuk mengirimkannya, sebuah kartu dapat memulai hubungan Anda kapan saja, ujar Shari Goldsmith, pelatih kehidupan wanita dan terapis kesehatan mental di Cincinnati.

Ingatlah, "jangan terlalu menuntut," ujarnya memperingatkan. "Wanita selalu sibuk dan tidak ingin merasa persahabatan datang dengan niat tersembunyi." Jadi hindari menyebutkan masa lalu atau tanggal spesifik untuk bertemu. Sebaliknya, tinggalkan pesan terbuka, katakan Anda bersedia untuk makan siang atau minuman dalam beberapa pekan ke depan, ujarnya. Dan ingatkan dia tentang cara terbaik untuk menghubungi Anda.

4. Mengatur tanggal untuk menelepon

Mendengar suara seorang teman dapat menjadi cara yang bagus untuk berhubungan kembali. Tetapi dengan jadwal sibuk, Anda mungkin harus menunggu lama sampai bisa berbicara. Itulah sebabnya cara terbaik adalah untuk menjadwalkan chat.

Tinggalkan pesan suara dengan menyebutkan waktu luang Anda, ujar Shasta Nelson, pendiri GirlFriendCircles.com, situs persahabatan wanita. "Mungkin aneh untuk meneleponnya tanpa alasan, tapi orang-orang pasti mengerti," ujarnya. Setelah bisa menelepon teman Anda, pastikan untuk mengatur waktu dan tanggal untuk telepon lain atau pertemuan, ujarnya.

5. Lakukan sesuatu yang baik dan tak terduga

Mengirimkan hadiah buatan tangan atau kue favoritnya, mempersiapkan kejutan kecil, bisa memiliki efek besar dalam menghidupkan kembali persahabatan, terutama dengan seseorang yang Anda pernah anggap sebagai sahabat baik.

"Ini akan membuka hati teman Anda untuk Anda, yang akan melanjutkan persahabatan," ujar Chua. Hanya saja, jangan berlebihan. Kirimlah sesuatu yang tidak terlalu mahal.

6. Gelar pesta makan malam

Ada kemungkinan lebih dari satu teman Anda yang datang, sehingga mengundang sejumlah orang bisa memulai kembali beberapa persahabatan sekaligus, ujar Nelson. Biarkan teman-teman Anda tahu betapa mereka berarti bagi Anda dengan "makan malam ucapan terima kasih," ujarnya menyarankan. Pertimbangkan untuk mengundang orang yang saling mengenal satu sama lain, seperti beberapa mantan rekan kerja.


7. Undang dia menghadiri acara bersama-sama

Memiliki tiket tambahan untuk konser, pesta atau membaca buku? Membawa teman Anda untuk sebuah pertemuan bisa lebih santai dan tidak menakutkan seperti pertemuan satu lawan satu. "Hal itu akan mengurangi tekanan dan memungkinkan Anda berdua bersantai di lingkungan yang berkelompok," jelas Chua.

Daripada melompat ke diskusi serius mengapa Anda berpisah, Anda akan bersosialisasi dengan orang lain atau menikmati beberapa hiburan, yang dapat membuat reuni Anda tidak terlalu canggung.

8. Coba pengalaman baru

Menciptakan kenangan menyenangkan bersama-sama adalah cara yang pasti untuk menghidupkan kembali persahabatan, ujar Chua. Kirim email ke teman Anda untuk bertemu dan sarankan daftar kegiatan untuk saling mendekatkan.

Beberapa ide seperti: bermain paintball, panjat tebing, mengambil pelajaran tari dan pergi trekking, ujar Chua. "Itu adalah cara yang bagus untuk belajar hal-hal baru tentang teman Anda dan menemukan kesamaan baru untuk lebih akrab."

Ki Samin Surosentiko dan Ajarannya(Blora, Jawa tengah)

Ki Samin Surosentiko
Samin Surosentiko lahir pada tahun 1859, di Desa Ploso Kedhiren, Randublatung Kabupaten Blora. Ayahnya bernama Raden Surowijaya atau lebih dikenal dengan Samin Sepuh. Nama Samin Surosentiko yang asli adalah Raden Kohar . Nama ini kemudian dirubah menjadi Samin, yaitu sebuah nama yang bernafas kerakyatan. Samin Surosentiko masih mempunyai pertalian darah dengan Kyai Keti di Rajegwesi, Bojonegoro dan juga masih bertalian darah dengan Pengeran Kusumoningayu yang berkuasa di daerah Kabupaten Sumoroto ( kini menjadi daerah kecil di Kabupaten Tulungagung) pada tahun 1802-1826.Pada tahun 1890 Samin Surosentiko mulai mengmbangkan ajarannya di daerah Klopoduwur, Blora. Banyak penduduk di desa sekitar yang tertarik dengan ajarannya, sehingga dalam waktu singkat sudah banyak masyarakat yang menjadi pengikutnya.

Pada saat itu pemerintah Kolonial Belanda belum tertarik dengan ajarannya, karena dianggap sebagai ajaran kebatinan biasa atau agama baru yang tidak membahayakan keberadaan pemerintah kolonial.Pada tahun 1903 Residen Rembang melaporkan bahwa ada sejumlah 722 orang pengikut samin yang tersebar di 34 Desa di Blora bagian selatan dan daerah Bojonegoro. Mereka giat mengembangkan ajaran Samin. Sehingga sampai tahun 1907 orang Samin berjumlah + 5.000 orang. Pemerintah Kolonial Belanda mulai merasa was-was sehingga banyak pengikut Samin yang ditangkap dan dipenjarakan. Dan pada tanggal 8 Nopember 1907, Samin Surosentiko diangkat oleh pengikutnya sebagai RATU ADIL,dengan gelar Prabu Panembahan Suryangalam. Kemudian selang 40 hari sesudah peristiwa itu, Samin Surosentiko ditangkap oleh radenPranolo, yatu asisten Wedana Randublatung. Setelah ditangkap Samin beserta delapan pengikutnya lalu dibuang ke luar Jawa, dan berliau meninggal di luar jawa pada tahun 1914.

Tahun 1908, Penangkapan Samin Surosentiko tidak memadamkan pergerakan Samin. Wongsorejo, salah satu pengikut Samin menyebarkan ajarannya didistrik Jawa, Madiun. Di sini orang-orang Desa dihasut untuk tidak membayar Pajak kepada Pemerintah Kolonial. Akan tetapi Wongsorejo dengan baberapa pengikutnya ditangkap dan dibuang keluar Jawa.

Tahun 1911 Surohidin, menantu Samin Surosentiko dan Engkrak salah satu pengikutnya menyebarkan ajaran Samin di daerah Grobogan, sedangkan Karsiyah menyebarkan ajaran Samin ke Kajen, Pati.

Tahun 1912, pengikut Samin mencoba menyebarkan ajarannya di daerah Jatirogo, Kabupaten Tuban, tetapi mengalami kegagalan.

Tahun 1914, merupakan puncak Geger Samin. Hal ini disebabkan karena Pemerintah Kolonial belanda menaikkan Pajak, bahkan di daerah Purwodadi orang-orang Samin sudah tidak lagi menghormati Pamong Desa dan Polisi, demikian juga di Distrik Balerejo, Madiun.

Di Kajen Pati, Karsiyah tampil sebagai Pangeran Sendang Janur, menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membayar pajak. Di Desa Larangan, Pati orang-orang Samin juga menyerang aparat desa dan Polisi

Di Desa Tapelan, Bojonegoro juga terjadi perlawanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda, yaitu dengan tidak mau membayar pajak.

Tahun 1930, perlawanan Samin terhadap pemerintah Kolonial terhenti, hal ini disebabkan karena tidak ada figur pimpinan yang tanggguh

Dalam naskah tulisan tangan yang diketemukan di Desa Tapelan yang berjudul Serat Punjer Kawitan, disebut-sebut juga kaitan Samin Surosentiko dengan Adipati Sumoroto

Dari data yang ditemukan dalam Serat Punjer Kawitan dapat disimpulkan bahwa Samin Surosentiko yang waktu kecilnya bernama Raden Kohar , adalah seorang Pangeran atau Bangsawan yang menyamar dikalangan rakyat pedesaan. Dia ingin menghimpun kekuatan rakyat untuk melawan Pemerintah Kolonial Belanda dengan cara lain.


Ajaran Kebatinan


Menurut warga Samin di Desa Tapelan, Samin Surosentiko dapat menulis dan membaca aksara Jawa, hal ini bisa dibuktikan dengan beberapa buku peninggalan Samin Surosentiko yang diketemukan di Desa Tapelan dan beberapa desa samin lainnya.

Khusus di Desa Tapelan buku-bukun peninggalan Samin Surosentiko disebut SERAT JAMUSKALIMOSODO, serat Jamuskalimosodo ini ada beberapa buku. Di antaranya adalah buku Serat Uri-uri Pambudi, yaitu buku tentang pemeliharaan tingkah laku manusia yang berbudi.

Ajaran kebatinan Samin surosentiko adalah perihal “ manunggaling kawulo Gusti atau sangkan paraning dumadi “. Menurut Samin Surosentiko , perihal manunggaling kawulo Gusti itu dapat diibaratkan sebagai “ rangka umanjing curiga “( tempat keris yang meresap masuk ke dalam kerisnya ). Dalam buku Serat Uri-uri Pambudi diterangkan sebagai berikut :

“Tempat keris yang meresap masuk dalam kerisnya mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini menunjukkan pamor (pencampuran) antara mahkluk dan Khaliknya yang benar-benar sejati. Bila mahkluk musnah, yang ada hanyalah Tuhan (Khalik). Senjata tajam merupakan ibarat campuran yang menunjukkan bahwa seperti itulah yang disebut campuran mahkluk dan Khaliknya. Sebenarnya yang dinamakan hidup hanyalah terhalang oleh adanya badan atau tubuh kita sendiri yang terdiri dari darah, daging dan tulang. Hidup kita ini, yang menghidupinya adalah yang sama-sama menjadi pancer (pokok) kita. Hidup yang sejati itu adalah hidup yang menghidupi segala hal yang ada di semesta alam.”

Di tempat lain Samin Surosentiko menjelaskan lagi sebagai berikut :

“ Yang dinamakan sifat Wisesa (penguasa utama/luhur) yang bertindak sebagai wakil Allah, yaitu ingsun (aku, saya), yang membikin rumah besar, yang merupakan dinding (tirai) yaitu badan atau tubuh kita (yaitu yang merupakan realisasi kehadirannya ingsun). Yang bersujud adalah mahkluk, sedang yang disujudi adalah Khalik, (Allah, Tuhan). Hal ini sebenarnya hanya terdindingi oleh sifat. Maksudnya, hudip mandiri itu sebenarnya telah berkumpul menjadi satu antara mahkluk dan Khaliknya.”

Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, yang bertindak mencari sandang pangan kita sehari-hari adalah “ Saderek gangsal kalima pancer” adapun jiwa kita diibaratkan oleh Samin sebagai mandor. Seorag mandor harus mengawasi kuli-kulinya. Atau lebih jelasnya dikatakan sebagai berikut:

“ Gajah Seno saudara Wrekodara yang berwujud gajah. Jelasnya saudara yang berjumlah lima itu mengibaratkan ilmu ke-Tuhan-an. Hal ini perlu dicapai (yaitu tiga saudara, empat dan lima pokoknya). Adapun yang bekerja mencari sandang pangan setiap hari itu adalah saudara kita berlima itu. Adapun jiwa (sukma) kita bertindak sebagai mandor. Itulah sebabnya mandor harus berpegang teguh pada kekuasaan yang berada ditangannya untuk mengatur anak buahnya, agar semuanya selamat. Sebaliknya apabila anak buahnya tadi betindak salah dan tindakan tersebut dibiarkan saja, maka lama kelamaan mereka kian berbuat seenaknya. Hal ini akan mengakibatkan penderitaan.

Pengandaian jiwa sebagai mandhor dan sedulur papat kalima pancer sebagai kuli-kuli tersebut diatas adalah sangat menarik. Kata-kata ini erat hubungannya dengan kerja paksa/kerja rodi di hutan-hutan jati di daerah Blora dan sekitarnya. Pekerja rodi terdiri dari mandor dan kuli. Mandhor berfungsi sebagai pengawas, sedangkan kuli berfungsi sebagai pekerja. Pemakaian kata yang sederhana tersebut oleh Samin Surosentiko dikandung maksud agar ajarannya dapat dimengerti oleh murid-muridnya yang umumnya adalah orang desa yang terkena kerja paksa.

Menurut Samin Surosentiko, tugas manusia di dunia adalah sebagai utusan Tuhan. Jadi apa yang dialami oleh manusia di dunia adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu sedih dan gembira, sehat dan sakit, bahagia dan sedih, harus diterima sebagai hal yang wajar. Hal tersebut bisa dilihat pada ajarannya yang berbunyi :

“ ..Menurut perjanjian, manusia adalah pesuruh Tuhan di dunia untuk menambah kendahan jagad raya. Dalam hubungan ini masyarakat harus menyadari bahwa mereka hanyalah sekedar melaksanakan perintah. Oleh karena itu apabila manusia mengalami kebahagiaan dan kecelakaan, sedih dan gembira, sehat dan sakit, semuanya harus diterima tanpa keluhan, sebab manusia terikat dengan perjanjiannya. Yang terpenting adalah manusia hidup di dunia ini harus mematuhi hukum Tuhan, yaitu memahami pada asal-usulnya masing-masing….”

Samin Surosentiko juga mengajarkan pengikutnya untuk berbuat kebajikan, kejujuran dan kesabaran. Murid-muridnya dilarang mempunyai rasa dendam. Adapun ajaran selengkapnya sebagai berikut:

“ …Arah tujuannya agar dapat berbuat baik dengan niat yang sungguh-sungguh, sehingga tidak ragu-ragu lagi. Tekad jangan sampai goyah oleh sembarang godaan, serta harus menjalankan kesabaran lahir dan batin, sehingga bagaikan mati dalam hidup. Segala tindak-tanduk yang terlahir haruslah dapat menerima segala cobaan yang datang padanya, walaupun terserang sakit, hidupnya mengalami kesulitan, tidak disenangi orang, dijelek-jelekkan orang, semuanya harus diterima tanpa gerutuan, apalagi sampai membalas berbuat jahat, melainkan orang harus selalu ingat pada Tuhan…,”

Ajaran di atas dalam tradisi lisan di desa Tapelan dikenal sebagai “ angger-angger pratikel” (hukum tindak tanduk), “ angger-angger pengucap “ (hukum berbicara), serta “ angger-angger lakonana” (hukum perihal apa saja yang perlu dijalankan).

Hukum yang pertama berbunyi “Aja dengki srei, tukar padu, dahpen kemeren, aja kutil jumput, mbedog colong.” Maksudnya, warga samin dilarang berhati jahat, berperang mulut, iri hati pada orang lain, dan dilarang mengambil milik orang.

Hukum ke dua berbunyi “ Pangucap saka lima bundhelane ana pitu lan pengucap saka sanga budhelane ana pitu.” Maksud hukum ini , orang berbicara harus meletakkan pembicaraannya diantara angka lima, tujuh dan sembilan. Angka-angka tersebut hanyalah simbolik belaka. Jelasnya, kita harus memelihara mulut kita dari segala kata-kata yang tidak senonoh atau kata-kata yang menyakitkan orang lain. Kata-kata yang tidak senonoh dan dapat menyakitkan orang lain dapat mengakibatkan hidup manusia ini tidak sempurna.

Adapun hukum yang ke tiga berbunyi “ Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni.” Maksudnya, warga Samin senantiasa diharap ingat pada kesabaran dan berbuat “ bagaikan orang mati dalam hidup “

Menurut Samin Surosentiko, semua ajaran diatas dapat berjalan denganbaik asalkan orang yang menerima mau melatih diri dalam hal samadi. Ajaran ini tertuang dalam Serat Uri-uri Pambudi yang berbunyi sebagai berikut : “…Adapun batinnya agar dapat mengetahui benar-benar akan perihal peristiwa kematiannya, yaitu dengan cara samadi, berlatih “mati” senyampang masih hidup (mencicipi mati) sehingga dapat menanggulangi segala godaan yang menghalang-halangi perjalanannya bersatu dengan Tuhan, agar upaya kukuh, dapat terwujud, dan terhindar dari bencana.”

Selanjutnya menurut Samin Surosentiko, setelah manusia meninggal diharapkan roh manusia yang meninggal tadi tidak menitis ke dunia, baik sebagai binatang( bagi manusia yang banyak dosa) atau sebagai manusia (bagi manusia yang tidak banyak dosa), tapi bersatu kembali dengan Tuhannya. Hal ini diterangkan Samin Surosentiko dengan contoh-contoh yang sulit dimengerti orang apabila yang bersangkutan tak banyak membaca buku-buku kebatinan. Demikian kata Samin Surosentiko :

“ …Teka-teki ini menunjukkan bahwa jarak dari betal makmur ke betal mukaram sejengkal, dan dari betal mukaram ke betal mukadas juga sejengkal. Jadi triloka itu jaraknya berjumlah tiga jengkal. Kelak apabila manusia meninggal dunia supaya diusahakan tidak terkuasai oleh triloka. Hal ini seperti ajaran Pendeta Jamadagni. Tekad pendeta Jamadagni yang ingin meninggalkan dunia tanpa terikat oleh triloka itu diceritakan oleh Serat Rama. Pada awalnya ingin menitis pada bayi yang lahir (lahir kembali kedunia). Oleh karena itulah pada waktu meninggal dunia dia berusaha tidak salah jalan, yaitu kembali ke rahim wanita lagi. (jangan sampai menitis kembali pada bayi, lahir kembali ke dunia).”

Dari keterangan diatas dapatlah diketahiu bahwa Samin Surosentiko tidak menganut faham ‘Penitisan’ tapi menganut faham ‘ manunggaling kawulo Gusti’ atau ‘sangkan paraning dumadi’.

Dari ajaran-ajaran tertulis di atas jelas kiranya bahwa Samin Surosentiko adalah seorang “theis”. Keparcayaan pada Tuhan, yang disebutnya dengan istilah-istilah Gusti, Pangeran, Allah, Gusti Allah, sangatlah kuat, hal ini bisa dilihat pada ajarannya :

“ Adapun Tuhan itu ada, jelasnya ada empat. Batas dunia disebelah utara, selatan, timur, dan barat. Keempatnya menjadi bukti bahwa Tuhan itu ada (adanya semesta alam dan isinya itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan itu ada….”

Demikianlah cuplikan ajaran Samin Surosentiko yang berasal dari Serat Uri-uri Pambudi. Selanjutnya akan dijelaskan ajaran Samin Surosentiko yang terdapat dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten. Buku ini maknanya pengukuhan kehidupan yang sejati.

Ajaran dalam buku Serat Pikukuh Kasajaten ditulis dalam bentuk puisi tembang, yaitu suatu genre puisi tradisional kesusasteraan Jawa. Disini yang akan dikutip adalah sebuah tembang Pangkur yang mengandung ajaran perihal Perkawainan. Adapun tembang Pangkur yang dimaksud seperti dibawah ini :

Saha malih dadya garan, 
anggegulang gelunganing pembudi,
palakrama nguwoh mangun,
memangun traping widya,
kasampar kasandhung dugi prayogantuk,
ambudya atmaja tama,
mugi-mugu dadi kanthi.”

Menurut Samin, perkawinan itu sangat penting. Dalam ajarannya perkawinan itu merupakan alat untuk meraih keluhuran budi yang seterusnya untuk menciptakan “Atmaja Tama” (anak yang mulia). Dalam ajaran Samin , dalam perkawinan seorang temanten laki-laki diharuskan mengucapkan syahadat, yang berbunyi kurang lebih demikian : “ Sejak Nabi Adam pekerjaan saya memang kawin. (Kali ini) mengawini seorang perempuan bernama…… Saya berjanji setia kepadanya. Hidup bersama telah kami jalani berdua.”

Demikian beberapa ajaran kepercayaan yang diajarkan Samin Surosentiko pada pengikutnya yang sampai sekarang masih dipatuhi warga samin.

Ajaran Politik


Dalam ajaran politiknya Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintahan Koloniak Belanda. Hal ini terwujud dalam sikap :

1.Penolakan membayar pajak
2.penolakan memperbaiki jalan
3.penolakan jaga malam (ronda)
4.penolakan kerja paksa/rodi

Samin Surosentiko juga memberikan ajaran mengenai kenegaraan yang tertuang dalam Serat Pikukuh Kasajaten, yaitu sebuah Negara akan terkenal dan disegani orang serta dapat digunakan sebagai tempat berlindung rakyatnya apabila para warganya selalu memperhatikan ilmu pengetahuan dan hidup dalam perdamaian.

Dalam salah satu ceramahnya yang dilakukan tanah lapang Desa Bapangan Blora, pada malam Kamis legi, 7 Pebruari 1889 yang menyatakan bahwa tanah Jawa adalah milik keturunan Pandawa. Keturunan Pandawa adalah keluarga Majapahit. Sejarah ini termuat dalam Serat Punjer Kawitan. Atas dasar Serat Punjer Kawitan itulah, Samin Surosentiko mengajak pengikut-pengikutnya untuk melawan Pemerintah Belanda. Tanah Jawa bukan milik Belanda. Tanah Jawa adalah tanah milik “ wong Jawa “. Oleh karena itulah maka tarikan pajak tidak dibayarkan. Pohon-pohon jati di hutan ditebangi, sebab pohon jati dianggap warisan dari leluhur Pandawa. Tentu saja ajaran itu menggegerkan Pemerintahan Belanda, sehingga Pemerintah Belanda melakukan penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin ajaran Samin.

Geger Samin atau Pergerakan Samin yang dipimpin oleh Samin Surosentiko sebenarnya bukan saja desebabkanoleh faktor ekonomis saja, akantetapi juga disebabkan oleh faktor-faktor lain. Yang jelas pemberontakan melawan Pemerintahan Kolonial Belanda didasarkan pada kebudayaan Jawa yang religius.. Dengan demikian ajaran Samin surosentiko bukanlah ajaran yang pesimitis, melainkan ajaran yang penuh kreatifitas dan keberanian.

Samin Surosentiko yang hidup dari tahun 1859 sampai tahun 1914 ternyata telah memberi warna sejarah perjuangan bangsa, walaupun orang-orang di daerahnya, Blora yang bukan warga Samin mencemoohkannya, tapi sejarah telah mencatatnya, dia telah mampu menghimpun kekuatan yang luar biasa besarnya. Ajaran-ajarannya tidak hanya tersebar didaerah Blora saja, tetapi tersebar di beberapa daerah lainnya, seperti : Bojonegoro, Tuban, Lamongan, Madiun, Jember, Banyuwangi, Purwodadi, Pati, Rembang, Kudus, Brebes, dan lain-lain.

Ibu untuk yang Terbaik

Ada yang tak banyak diketahui orang yaitu setiap Bung Karno akan pergi ke luar negeri apalagi melakukan misi-misi yang berat, maka ia menyempatkan mampir dulu ke Blitar untuk sungkem pada ibundanya, ia meminta restu dan berkata dengan bahasa jawa halus "Aku anakmu datang, meminta doa agar semua pekerjaan beres dan bangsa kita menjadi bangsa yang besar"

Bung Karno pernah berkata dengan menciteer kata-kata Kahlil Gibran kepada Indira Gandhi, saat Indira bertanya pada Uncle Sukarno apa yang paling indah dari seorang manusia : "Tak ada yang lebih dari kata yang keluar dari seorang manusia, kecuali kata "Ibuku"........

Menjelang meninggal Pandit Jawaharlal Nehru berpesan pada Indira Gandhi, "Bila kau ada apa-apa, ada kesulitan tanyalah pamanmu, Sukarno..." Pendekatan diplomasi Sukarno bukan saja pendekatan diplomasi formal, pamer gaya, tapi pendekatan kemanusiaan, setiap pemimpin yang didatangi Sukarno selalu terpesona dengan cara humanis Sukarno menyampaikan persahabatannya. Bahkan Indira Gandhi merasa agak tak suka saat Suharto menjatuhkan Bung Karno, Indira sempat bermuka cemberut di depan Pak Harto pada konferensi Non Blok di Lusaka, tahun 1970.

Seperti kata Bung Karno : "Setiap manusia punya bahasanya sendiri, dan kita bicara menurut bahasa yang mereka suka, maka itu awal kita menyentuh hati mereka sebagai manusia" seperti yang diucapkan Sukarno pada seorang diplomat muda yang terkagum-kagum dengan teknik diplomasi Sukarno.

Satu bulan menjelang kemerdekaan RI, ayah Sukarno. Sukemi Sosrodihardjo datang menemui Bung Karno di pegangsaan. Ia berpesan "Tugasku sudah selesai mengantarkanmu, kini kamulah yang mengantarkan bangsamu menjadi besar" beberapa hari kemudian Pak Sukemi meninggal di Pegangsaan, sebelumnya ia berpuasa untuk merestui kerja anaknya.

Indonesia ini bangsa yang dihidupkan oleh keluarga-keluarga, bukan oleh ambisi, maka ekonomi kita disebut ekonomi kekeluargaan, perikatan kita disebut perikatan kekeluargaan, inilah kenapa Republik Indonesia tidak pecah dan dibalkanisasi, ada ikatan kekeluargaan yang kuat diantara orang-orang Indonesia, kebangsaan kita adalah kebangsaan yang dibentuk tiga hal : Bahasa, Wilayah dan Keluarga.

Hari Ibu Bangsa Indonesia


Sejarah Hari Ibu diawali dari bertemunya para pejuang wanita dengan mengadakan Konggres Perempuan Indonesia I pada 22-25 Desember 1928 di Yogyakarta, di gedung yang kemudian dikenal sebagai Mandalabhakti Wanitatama di Jalan Adisucipto. Dihadiri sekitar 30 organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera.

Hasil dari kongres tersebut salah satunya adalah membentuk Kongres Perempuan yang kini dikenal sebagai Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Kongres berikutnya diadakan di Jakarta dan Bandung. Organisasi perempuan sendiri sudah ada sejak 1912, diilhami oleh perjuangan para pahlawan wanita abad ke-19 seperti M. Christina Tiahahu, Cut Nya Dien, Cut Mutiah, R.A. Kartini, Walanda Maramis, Dewi Sartika, Nyai Achmad Dahlan, Rangkayo Rasuna Said dan lain-lain.

Peristiwa itu merupakan salah satu tonggak penting sejarah perjuangan kaum perempuan Indonesia. Pemimpin organisasi perempuan dari berbagai wilayah berkumpul menyatukan pikiran dan semangat untuk berjuang menuju kemerdekaan dan perbaikan nasib kaum perempuan. Para pejuang perempuan itu melakukan pemikiran kritis dan aneka upaya yang amat penting bagi kemajuan bangsa. Berbagai isu yang saat itu dipikirkan untuk digarap adalah persatuan perempuan Nusantara, perlibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan, dalam berbagai aspek pembangunan bangsa, masalah perdagangan anak-anak dan kaum perempuan, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita, pernikahan usia dini bagi perempuan, dan lain-lain.

Adapun penetapan tanggal 22 Desember sebagai perayaan Hari Ibu diputuskan dalam Kongres Perempuan Indonesia III pada tahun 1938. Dan Presiden Soekarno menetapkan melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959 bahwa tanggal 22 Desember adalah Hari Ibu dan dirayakan secara nasional hingga kini. Misi diperingatinya Hari Ibu pada awalnya lebih untuk mengenang semangat dan perjuangan para perempuan dalam upaya perbaikan kualitas bangsa ini. Dari situ pula tercermin semangat kaum perempuan dari berbagai latar belakang untuk bersatu dan bekerja bersama.

Pada tahun 1950-an, peringatan Hari Ibu mengambil bentuk pawai dan rapat umum yang menyuarakan kepentingan kaum perempuan secara langsung. Satu momen penting bagi para wanita adalah untuk pertama kalinya wanita menjadi menteri adalah Maria Ulfah di tahun 1950. Sebelum kemerdekaan Kongres Perempuan ikut terlibat dalam pergerakan internasional dan perjuangan kemerdekaan itu sendiri. Tahun 1973 Kowani menjadi anggota penuh International Council of Women (ICW). ICW berkedudukan sebagai dewan konsultatif kategori satu terhadap Perserikatan Bangsa-bangsa.

Pada kongres di Bandung tahun 1952 diusulkan untuk dibuatnya sebuah monumen, setahun berikutnya diletakkan batu pertama oleh Ibu Sukanto (ketua kongres pertama) untuk pembangunan Balai Srikandi dan diresmikan oleh menteri Maria Ulfah tahun 1956. Akhirnya pada tahun 1983 Presiden Soeharto meresmikan keseluruhan kompleks monumen menjadi Mandala Bhakti Wanitatama di Jl. Laksda Adisucipto, Yogyakarta.

berbagai sumber

Sejarah Bahasa Indonesia


Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para pemuda dari berbagai pelosok Nusantara berkumpul dalam Kerapatan Pemuda dan berikrar (1) bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia, (2) berbangsa yang satu, bangsa Indonesia, dan (3) menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Ikrar para pemuda ini dikenal dengan nama Sumpah Pemuda.

Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada tahun 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.

Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).

Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara.

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M (Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu Kuna. Bahasa Melayu Kuna itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.

Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.


Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), K’ouen-louen (Ferrand, 1919), Kw’enlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kun’lun (Parnikel, 1977:91), K’un-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra (abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.

Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.

Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara mempengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia. Komunikasi antarperkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Para pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkumpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928).

Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia.

Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

sumber diambil dari http://blog.wisma-bahasa.com/?p=17, silahkan dikroscek, http://titi-share.blogspot.com/2012/04/asal-usul-dan-sejarah-bahasa-indonesia.html, http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Indonesia, dll

Guru dalam Kilasan Sejarah

Guru merupakan pekerjaan tertua. Lebih dulu dibandingkan arsitek yang baru ada setelah manusia tidak lagi tinggal di gua. Atau, lebih juga dari insiyur metalurgi yang baru muncul pada masa manusia mengenal logam
dan pengolahannya. Pekerjaan guru ada sejak manusia mampu berpikir dan mengenal ilmu pengetahuan.

Sepanjang sejarah kehidupan manusia itu, guru selalu ada di tengah masyarakatnya. Ia mengajarkan berbagai ilmu dan pengetahuan untuk mempermudah manusia menjalankan kehidupannya. Atau kadang, hanya mengajarkan kebenaran. Dalam lintasan sejarah Indonesia pekerjaan guru ternyata berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Mulai dari zaman kerajaan Hindu-Budha, kesultanan Islam hingga masa Reformasi. Berikut guru-guru sepanjang zaman …

Guru Zaman Kerajaan Hindu-Budha

Pada masa ini guru berasal dari kasta Brahmana. Mereka mengajarkan segala hal yang berhubungan dengan agama dan kitab suci. Mereka mengajarkan filsafat, sastra, hukum, beladiri, dan lain sebagainya. Guru mendapatkan posisi yang terhormat di masyarakat. Mereka statusnya lebih tinggi dari para raja dan bangsawan. Lebih tinggi pula dari para pengusaha. Kasta para guru ini memang lebih mulia dibandingkan kasta Ksatrya dan kasta Waisya.

Pada masa itu, guru mengajarkan ilmu pengetahuannya di tempat-tempat tertentu. Sudah dikenal pula lembaga-lembaga pendidikan. Sebagian besar lembaga pendidikan tersebut di berasarama. Ini adalah cikal bakal boarding school yang ada sekarang.

Menurut keterang I Tsing, seorang pelajar yang sempat belajar di kerajaan Sriwijaya, pendidikan di Nusantara sudah cukup maju. Bahkan, sistem pendidikan di kepulauan Nusantara dijadikan rujukan oleh negara kerajaan lainnya. Beberapa mahaguru pada saat itu dikenal dalam dunia pendidikan internasional. I Tsing menyebut Satyakirti, Dharmapala dan Djnanabhadra.
Guru Zaman Kesultanan Islam

Agama Islam masuk ke Indonesia dengan berbagai macam saluran. Salah satunya adalah lewat jalur pendidikan dan dakwah. Di jalur pendidikan inilah para ulama mencetak para guru lewat serangkaian pendidikan di pesantren. Selain, pesantren ada lembaga pendidikan lain, yaitu mengaji di surau atau di langgar. Ilmu pengetahuan yang dipelajari di pesantren meliputi filsafat, tasawuf, bahasa, fikih, akhlak, aljabar, ilmu falak, dan lain sebagainya. Sedangkan, di surau biasanya hanya mempelajari bahasa, tajwid, fikih, dan akhlak.

Pada masa kesultanan ini juga sedah dikenal guru dengan spesialisasinya. Ada guru fikih, hadits, tasawuf, dan lain sebagainya. Model pendidikan pesantren ini juga menggunakan sistem sekolah berasrama dan juga menjadi cikal bakal boarding school saat ini.

Guru Zaman Penjajahan Eropa

Pendidikan tradisional di kepulauan Nusantara terus berjalan, meski banyak raja-raja di Nusantara yang ditundukkan oleh Verenigde Oost Indische Compaqnie alias (VOC). Pemerintah kolonial baru peduli nasib pendidikan kaum bumiputera setelah diberlakukannya Politik Etika atau Politik Balas Budi. Kepedulian itu juga lebih dilandasi oleh kebutuhan Pemerintah Hindia-Belanda akan tenaga-tenaga profesional, seperti dokter, insiyur dan advokat. Jadi, bukan murni niat yang lurus untuk menyejahterakan kaum pribumi. Kebutuhan mendidik kaum profesional ini muncul setelah Pemerintah mengkalkulasi alangkah mahalnya mendatangkan dokter, insiyur dan advokat dari Eropa.

Pendidikan pada masa Politik Etis dilakukan secara modern dan bergaya Eropa. Sekolah guru juga dibentuk untuk melahirkan guru-guru yang mampu mengawal sistem pendidikan kolonial. Ada HIK (Holandse Indische Kweekschool, atau sekolah guru bantu yang ada di semua Kabupaten) dan HKS (Hoogere Kweek School, atau sekolah guru atas yang ada di Jakarta, Medan, Bandung, dan Semarang. Sedangkan, Europese Kweek School (EKS, sebangsa Sekolah Guru Atas dengan dasar bahasa Belanda dengan maksud memberi ijazah untuk mengajar di sekolah Belanda, yang berbeda dengan HKS) yang hanya diperuntukan bagi orang Belanda atau pribumi yang mahir sekali berbahasa Belanda ataupun orang Arab dan Tionghoa yang juga mahir sekali berbahasa Belanda, dan hanya ada satu di Surabaya. Pada waktu itu, di EKS biasanya satu kelas ada dua puluh delapan orang, maka terdiri 20 orang Belanda, enam orang Arab dan Tionghoa, dan enam orang pribumi. Selain itu juga dikenal HCK atau Hollandsche Chineesche Kweekschool khusus untuk yang keturunan Tionghoa.

Sistem pendidikan kolonial ini mulai mendapat lawan setelah kaum pergerakan nasional membangun sekolah-sekolah yang bernafaskan nasionalisme Indonesia. Di antaranya adalah sekolah-sekolah Sarekat Islam, sekolah-sekolah Muhammadiyah dan sekolah-sekolah kaum pergerakan lainnya. Begitu massif dan berpengaruhnya sekolah-sekolah ini membuat pemerintah kolonial berusaha ‘menertibkannya’. Akhirnya, pemerintah menerbitkan Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen Ordinantie). Guru-guru harus mendapatkan sertifikasi dari pemerintah kolonial. Ini berarti ancaman bagi guru dari sekolah-sekolah milik kaum pergerakan nasional.

Penerbitan ordonansi ini ditolak oleh kaum pergerakan nasional. Seluruh elemen pendidikan, persatuan pelajar hingga partai-partai politik nasionalis menentangnya. Kesatuan gerakan dan kuatnya isu pada masa itu berhasil mendobrak sistem kolonial sehingga pemerintah menarik kembali ordonansi yang telah diterbitkan. Sebuah kemenangan dalam sejarah pendidikan bahkan pergerakan pada masa itu. Kesadaran untuk bersatu inilah yang mengilhami berdirinya Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB) tahun 1912, kemudian berubah nama menjadi Persatuan Guru Indonesia (PGI) tahun 1932.

Guru Zaman Indonesia Merdeka

Setelah Jepang datang, guru-guru di Indonesia merasa lebih bisa berekspresi dalam menjalankan tugasnya. Pemerintah Jepang memfasilitasi pendidikan nasionalisme di sekolah dengan tujuan memobilisasi rakyat guna mendukung perang Jepang pada Perang Asia Timur Raya. Namun, semua organisasi dilarang oleh Jepang, kecuali lembaga yang didirikan oleh Pemerintahan Militer Jepang. Organisasi guru juga termasuk yang dilarang oleh Jepang.

Pascaproklamasi kemerdekaan, para guru disatukan dalam Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Semangat proklamasi 17 Agustus 1945 menjiwai penyelenggaraan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24 - 25 November 1945 di Surakarta. Melalaui kongres ini, segala organisasi dan kelompok guru yang didasarkan atas perbedaan tamatan, lingkungan pekerjaan, lingkungan daerah, politik, agama, dan suku, sepakat dihapuskan. Mereka adalah - guru-guru yang aktif mengajar, pensiunan yang aktif berjuang, dan pegawai pendidikan Republik Indonesia yang baru dibentuk. Mereka bersatu untuk Negara Kesatuan Republik Indonesia. Di dalam kongres inilah, pada tanggal 25 November 1945 - seratus hari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia - Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) didirikan. Nah, hari terbentuknya PGRI ini kemudian dijadikan Hari Guru Nasional.

Dalam perjalanannya, PGRI diakui kebesarannya, sehingga banyak para pimpinan PGRI yang direkrut oleh pemerintah. Ini membuat PGRI bernuansa politis. Pada masa reformasi banyak organisasi profesi guru seiring peningkatan profesionalisme guru. Di antaranya adalah Forum Guru Independen (FGI), Komunitas Air Mata Guru, Ikatan Guru Indonesia (IGI), dan Persatuan Guru Sejahtera Indonesia (PGSI).

ditulis oleh Haryo Mojo (Guru SMART Ekselensia Indonesia-Dompet Dhuafa) dalam http://edukasi.kompasiana.com/2011/08/16/guru-dalam-kilasan-sejarah/ dibandingkan dengan http://www.slideshare.net/Chandrapamungkas2/pendidikan-sejarah-perjuangan-persatuan-guru-republik-indonesia

Toleransi Beragama Dalam Sejarah Indonesia

Sebenarnya, bukan hanya Candi Borobudur yang menyontohkan adanya kepedulian seperti itu. Banyak peninggalan masa lampau menjadi bukti betapa kerukunan beragama sudah terjalin sejak lama.

Hingga saat ini adanya toleransi beragama yang paling tua ditemukan pada situs Batujaya, Karawang (Jawa Barat). Pertanggalannya ditaksir dari masa abad ke-5 Masehi. Sebagaimana laporan Tim Arkeologi UI, di situs ini pernah ditemukan candi Buddha dan candi Hindu yang berdekatan letaknya.

Situs Batujaya juga tergolong istimewa karena pernah memiliki tradisi berciri megalitik sebagai agama asli waktu itu. Tradisi tersebut berkembang sebelum zaman Hindu Buddha. Tiga agama hidup berdampingan secara damai, tanpa ada rasa saling bermusuhan tentu menunjukkan betapa toleransi beragama benar-benar dijunjung tinggi masyarakat kala itu.

Toleransi beragama juga terdapat pada Candi Jawi di Jawa Timur. Atap candi yang berbentuk stupa atau genta, menandakan bangunan suci agama Buddha. Sementara di halaman candi pernah ditemukan sejumlah arca seperti Durga, Siwa, Ganesa, Mahakala, dan Nandiswara yang mewakili agama Hindu.

Kitab kuno Nagarakretagama pernah menyebutkan suatu bangunan Jajawa (identik dengan Candi Jawi) sebagai tempat pendharmaan Raja Singasari Kertanegara (1268-1292) dalam perwujudannya sebagai Siwa-Buddha. Siwa adalah salah satu dewa Trimurti dalam agama Hindu. Ditinjau dari kacamata arkeologi, candi Jawi termasuk unik dan langka karena mewakili dua agama sekaligus.


Bukan hanya toleransi Hindu-Buddha yang tercipta waktu itu. Toleransi Islam-Hindu juga kerap terlihat, antara lain pada menara Masjid Kudus. Bangunan itu terbuat dari bata tanpa lepa (semacam perekat). Teknik konstruksi demikian sangat populer pada masa pra-Islam.

Beberapa pakar menyebutkan Menara Kudus mirip candi di Jawa Timur, terlebih karena bangunan itu menghadap ke Barat. Kaki bangunannya yang bertingkat-tingkat dipandang merupakan pengaruh dari masa Majapahit. Ada juga pakar yang menafsirkan Menara Kudus mirip bangunan kulkul di Bali. Banyak ornamen masjid yang diperkaya dengan seni hias Arab, Cina, Vietnam, dan Eropa, semakin menunjukkan kemajemukan kala itu sangat luar biasa.

Di hadapan para pengikutnya, Sunan Kudus pernah memerintahkan agar sapi tidak disembelih dan dikonsumsi, lantaran banyak “saudara-saudara” beragama Hindu yang menganggap seekor sapi sebagai hewan suci. Supaya tidak menyakiti hati mereka, katanya, biarlah mereka yang Muslim tidak mencicipi daging sapi. Toh jika urusannya cuma menu makanan, masih banyak daging hewan lain yang bisa disate atau disop.

Di Jawa Timur, adanya toleransi beragama diperlihatkan oleh makam kuno Tralaya di Trowulan. Sejumlah batu nisan pada kompleks makam Islam itu bertuliskan huruf Jawa Kuno dan Arab pada tiap sisi, berupa tahun Saka dan gambar sinar matahari yang biasa dijumpai pada hasil seni Majapahit. Huruf Jawa Kuno dan tahun Saka merupakan pengaruh India yang sering diidentikkan dengan agama Hindu dan Buddha.

Toleransi beragama yang kuat diperlihatkan pula oleh Kelenteng Sampokong di Semarang. Pada saat-saat tertentu banyak masyarakat Islam, Buddha, Konghucu, dan etnis Tionghoa datang ke tempat itu untuk berbagai keperluan. Begitu pula kelenteng Tuban, yang dipenuhi oleh peziarah Tionghoa dan Islam ketika bulan ramadhan tiba. Satu untuk semua, begitulah kira-kira maknanya.

Di Pura Goa Gajah (Bali) ada tiga tipe bangunan keagamaan yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan Hindu pada saat berkembangnya Hindu Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Ada bangunan keagamaan yang bercorak Siwa Siddhanta dengan adanya pelinggih-pelinggih di sebelah timur agak keselatan dari Goa Gajah. Di samping itu ada bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana

Alat Musik dari Nusa Tenggara Timur Yang Unik dan Terlupakan

Sasando
Ambil uang Rp 5000,- dan terawanglah tanda airnya. Apa yang terlihat? Benda yang terlihat adalah alat musik Sasando. Sebuah alat musik petik asal Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Secara umum, bentuk sasando serupa dengan instrumen petik lainnya seperti gitar, biola, dan kecapi.

Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas ke bawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando.

Sasando memang punya banyak senar. Sasando dengan 28 senar ini diistilahkan dengan Sasando Engkel. Jenis lain; Sasando Dobel namanya, punya 56 senar. Bahkan ada yang 84 senar. Cara memainkan sasando dengan dipetik. Mirip dengan gitar. Hanya saja sasando tanpa chord (kunci) dan senarnya harus dipetik dengan dua tangan, sehingga lebih mirip Harpa.

Bagian utama dari sasando berbentuk seperti harpa, dengan media pemantul suara terbuat dari daun Pohon Gebang (sejenis Pohon Lontar yang banyak tumbuh di Pulau Timor dan Pulau Rote) yang dilekuk menjadi setengah melingkar. Tempat senar-senar diikat terbuat dari bambu yang keras, penahan senar yang sekaligus sebagai pengatur nada senar juga terbuat dari bambu. Batang bambu itu lalu diikat menyatu dengan daun Gebang yang dibuat melingkar tadi.

Pemain Sasando dalam upacara-upacara adat biasanya mengenakan pakaian adat khusus, lengkap dengan topi TiiLangga, yaitu topi tradisional yang bentuknya menyerupai topi koboi. Sasando umumnya dimainkan bersamaan dengan gong dan gendang yang terbuat dari kulit kambing, untuk mengiringi tarian kebalai. Pada perkembangannya Sasando juga digunakan sebagai pengiring tari tradisional lain.

Saat ini sasando sudah mulai di modifikasi. Pemantul bunyi dari daun gebang sudah diganti dengan spul gitar listrik yang ditempelkan pada batang bambu ditengah sasando. Tentu sasando model ini hanya bisa mengeluarkan bunyi keras dengan bantuan sound system.


HEO
Alat Musik Tradisional NTT [ Nusa Tenggara Timur ] Yang Bernama HEO Ini, Adalah Sebuah Alat Musik Gesek Tradisional NTT [ Nusa Tenggara Timur ]. Alat Musik Tradisional HEO Ini Adalah Alat Musik Gesek Tradisional Khas NTT Yang Berasal Dari Daratan Pulau Timor, Tepatnya Adalah Alat Musik Tradisional Khas Suku Dawan Timor.

Alat Musik Gesek Tradisional HEO Ini, Terbuat Dari Kayu, Sedangkan Bagian Yang Digunakan Sebagai Penggeseknya Terbuat Dari Ekor Kuda Yang Telah Dirangkai Menjadi Sebuah Ikatan Pada Kayu Penggesek Yang Berbentuk Seperti Busur

Dawai Dari Alat Musik Gesek Tradisional HEO Ini Terbuat Dari Usus Kuskus Yang Telah Dikeringkan. Alat Musik Gesek Tradisional HEO Ini Mempunyai 4 Dawai, Dan Masing-Masing Diberi Nama :
- Dawai 1 [ Paling Bawah ] Tain Mone, Artinya Tali Laki-Laki
- Dawai 2 Tain Ana, Artinya Tali Anak [ Kecil ]
- Dawai 3 Tain Feto, Artinya Tali Perempuan
- Dawai 4 Tain Ena, Artinya Tali Induk
Dawai Pertama Bernada Sol, Dawai Kedua Bernada Re, Dawai Ketiga Bernada La Dan Dawai Keempat Bernada Do.


Foy Doa
Alat musik tradisional FOY DOA, adalah nama sebuah alat musik tradisional NTT [ Nusa Tenggara Timur ], yang berasal dari pulau Flores, lebih tepatnya lagi berasal dari Kabupaten Ngada.

Seberapa lama usia musik Foy Doa tidaklah diketahui dengan pasti karena tidak ada peninggalan- peninggalan yang dapat dipakai untuk mengukurnya. Foy Doa berarti suling berganda yang terbuat dari buluh/bamabu keil yang bergandeng dua atau lebih.Mungkin musik ini biasanya digunakan oleh para muda-mudi dalam permainan rakyat di malam hari dengan membentuk lingkaran. FOY DOA terdiri dari 2 atau bisa saja lebih suling yang digandeng dan dalam memainkannya digunakan secara bersama-sama.

Sistem penadaan, Nada-nada yang diproduksi oleh musik Foy Doa adalah nada-nada tunggal dan nada-nada ganda atau dua suara, hak ini tergantung selera si pemain musik Foy Doa. Bentuk syair, umumnya syair-syair dari nyanyian musik Foy Doa bertemakan kehidupan , sebagai contoh : Kami bhodha ngo kami bhodha ngongo ngangi rupu-rupu, go-tuka ate wi me menge, yang artinya kami harus rajin bekerja agar jangan kelaparan. Cara Memainkan, Hembuskan angin dari mulut secara lembut ke lubang peniup, sementara itu jari-jari tangan kanan dan kiri menutup lubang suara.

Perkembangan Musik Foy Doa, Awal mulanya musik Foy Doa dimainkan seara sendiri, dan baru sekitar 1958 musisi di daerah setempat mulai memadukan dengan alat-alat musik lainya seperti : Sowito, Thobo, Foy Pai, Laba Dera, dan Laba Toka. Fungsi dari alat-alat musik tersebut di atas adalah sebagai pengiring musik Foy Doa.


Foy Pay
Alat musik tiup dari bambu ini dahulunya berfungsi untuk mengiringi lagu-lagu tandak seperti halnya musik Foy Doa. Dalam perkembangannya waditra ini selalu berpasangan dengan musik Foy Doa. Nada-nada yang diproduksi oleh Foy Pai : do, re, mi, fa, sol.


Knobe Khabetas
Bentuk alat musik ini sama dengan busur panah. Cara memainkannya ialah, salah satu bagian ujung busur ditempelkan di antara bibir atas dan bibir bawah, dan kemudian udara dikeluarkan dari kerongkongan, sementara tali busur dipetik dengan jari. Merupakan kebiasaaan masyarakat dawan di pedesaan apabila pergi berook tanam atau mengembala hewan mereka selalu membawa alat-alat musik seperti Leku, Heo, Knobe Kbetas, Knobe Oh, dan Feku. Sambil mengawasi kebun atau mengawasi hewan-hewan, maka musik digunakan untuk melepas kesepian. Selain digunakan untuk hiburan pribadi, alat musik ini digunakan juga untuk upacara adat seperti, Napoitan Li'ana (anak umur 40), yaitu bayi yang baru dilahirkan tidak diperkenankan untuk keluar rumah sebelum 40 hari. Untuk menyonsong bayi tersebut keluar rumah setelah berumur 40 hari, maka diadakan pesta adat (Napoitan Li'ana)


Knobe Oh
Nama alat musik yang terbuat dari kulit bambu dengan ukuran panjang lebih kurang 12,5 cm. ditengah-tengahnya sebagian dikerat menjadi belahan bambu yang memanjang (semacam lidah) sedemikian halusnya, sehingga dapat berfungsi sebagai vibrator (penggetar). Apabila pangkal ujungnya ditarik dengan untaian tali yang terkait erat pada pangkal ujung tersebut maka timbul bunyi melalui proses rongga mulut yang berfungsi sebagai resonator.


Prere
Alat bunyi-bunyian ini terbuat dari seruas bambu kecil sekecil pensil yang panjangnya kira-kira 15 cm. Buku ruas bagian bawah dibiarkan tertutup, tetapi bagian atasnya dipotong untuk tempat meniup. Buku ruas bagian bawah dibelah untuk menyaluirkan udara tiupan mulut dari tabung bambu bagian atas, sekaligus bagian belahan bambu itu untuk melilit daun pandan sehingga menyerupai orong terompet yang berfungsi memperbesar suaranya.
Selain digunakan untuk hiburan pribadi, juga digunakan untuk mengiringi musik gong gendang pada permainan penak silat rakyat setempat. Nada-nada yang dihasilkan adalah do dan re, sehingga nama alat ini disebut.


Leko Boko / Bijol
Alat musik petik ini terbuat dari labu hutan (wadah resonansi), kayu (bagian untuk merentangkn dawai), dan usus kuskus sebagai dawainya. Jumlah dawai sama dengan Heo yaitu 4, serta nama dawainya pun seperti yang ada pada Heo. Fungsi Leko dalam masyarakat Dawan untuk hiburan pribadi dan juga untuk pesta adat. Alat musik ini selalu berpasangan dengan heo dalam suatu pertunjukan, sehingga dimana ada heo, disitu ada Leko. Dalam penggabungan ini Lelo berperan sebagai pembei harmoni, sedangkan Heo berperan sebagi pembawa melodi atau kadang-kadang sebagai pengisi (Filter) Nyanyian-nyayian pada masyarakat Dawan umumnya berupa improvisasi dengan menuturkan tentang kejadian-kejadian yang telah terjadi pda masa lampau maupun kejadian yang sedang terjadi (aktual).Dalam nyanyian ini sering disisipi dengan Koa (semacam musik rap). Koa ada dua macam yaitu, Koa bersyair dan Koa tak bersyair.

Sowito
Merupakan seruas bambu yang dicungkil kulitnya berukuran 2 cm yang kemudian diganjal dengan batangan kayu kecil. Cungkilan kulit bambu ini berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan dipukul dengan sebatang kayu sebesar jari tangan yang panjangnya kurang dari 30 cm. Sertiap ruas bambu menghasilkn satu nada. Untuk keperluan penggiringan, alat musik ini dibuat beberapa buah sesuai kebutuhan.


Mendut
Alat musik petik/pukul dari bambu ini berasal dari Manggarai. Seruas bambu betung yang 1,5 tahun yang panjangnya kira-kira 40 m. Kedua ujung bambu dibiarkan, namun salah satunya dilubangi

Cara pembuatannya, di tengah bambu dilubangi persegi empat dengan ukuran 5 x 4 m. Disamping kiri kanan lubang masing-masing dicungkil satu kulit bambu yang kemudian diganjal dengan batangan kayu hingga berfungsi sebagai dawai. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan dipetik atau dipukul-pukul dengan kayu kecil.


Ketadu Mara

Alat musik petik dua dawai yang biasa digunakan untuk menghibur diri dan juga sebagai sarana menggoda hati wanita. Alat musik ini dipercayai pula dapat mengajak cecak bernyanyi dan juga suaranya disenangi makluk halus.

Larangan Menikah Sunda-Jawa

Pernahkah anda mendengar bahwa orang Sunda dilarang menikah dengan orang Jawa atau sebaliknya? Ternyata hal itu hingga ini masih dipercaya oleh sebagian masyarakat kita. Lalu apa sebabnya?

Mitos tersebut hingga kini masih dipegang teguh beberapa gelintir orang. Tidak bahagia, melarat, tidak langgeng dan hal yang tidak baik bakal menimpa orang yang melanggar mitos tersebut.

Lalu mengapa orang Sunda dan Jawa dilarang menikah dan membina rumah tangga. Tidak ada literatur yang menuliskan tentang asal muasal mitos larang perkawinan itu. Namun mitos itu diduga akibat dari tragedi perang Bubat.

Peristiwa Perang Bubat diawali dari niat Prabu Hayam Wuruk yang ingin memperistri putri Dyah Pitaloka Citraresmi dari Negeri Sunda. Konon ketertarikan Hayam Wuruk terhadap putri tersebut karena beredarnya lukisan sang putri di Majapahit, yang dilukis secara diam-diam oleh seorang seniman pada masa itu, bernama Sungging Prabangkara.

Hayam Wuruk memang berniat memperistri Dyah Pitaloka dengan didorong alasan politik, yaitu untuk mengikat persekutuan dengan Negeri Sunda. Atas restu dari keluarga kerajaan Majapahit, Hayam Wuruk mengirimkan surat kehormatan kepada Maharaja Linggabuana untuk melamar Dyah Pitaloka. Upacara pernikahan rencananya akan dilangsungkan di Majapahit.

Maharaja Linggabuana lalu berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat. Raja Sunda datang ke Bubat beserta permaisuri dan putri Dyah Pitaloka dengan diiringi sedikit prajurit.

Menurut Kidung Sundayana, timbul niat Mahapatih Gajah Mada untuk menguasai Kerajaan Sunda. Gajah Mada ingin memenuhi Sumpah Palapa yang dibuatnya pada masa sebelum Hayam Wuruk naik tahta, sebab dari berbagai kerajaan di Nusantara yang sudah ditaklukkan Majapahit, hanya kerajaan Sunda lah yang belum dikuasai.

Dengan maksud tersebut, Gajah Mada membuat alasan oleh untuk menganggap bahwa kedatangan rombongan Sunda di Pesanggrahan Bubat adalah bentuk penyerahan diri Kerajaan Sunda kepada Majapahit. Gajah Mada mendesak Hayam Wuruk untuk menerima Dyah Pitaloka bukan sebagai pengantin, tetapi sebagai tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara. Hayam Wuruk sendiri disebutkan bimbang atas permasalahan tersebut, mengingat Gajah Mada adalah Mahapatih yang diandalkan Majapahit pada saat itu.

Versi lain menyebut bahwa Raja Hayam Wuruk ternyata sejak kecil sudah dijodohkan dengan adik sepupunya Putri Sekartaji atau Hindu Dewi. Sehingga Hayam Wuruk harus menikahi Hindu Dewi sedangkan Dyah Pitaloka hanya dianggap tanda takluk.

"Soal pernikahan itu, teori saya tentang Gajah Mada, Gajah Mada tidak bersalah. Gajah Mada hanya melaksanakan titah sang raja. Gajah Mada hendak menjodohkan Hayam Wuruk dengan Diah Pitaloka. Gajah mada Ingin sekali untuk menyatukan antara Raja Sunda dan Raja Jawa lalu bergabung. Indah sekali," tegas sejarawan sekaligus arkeolog Universitas Indonesia (UI) Agus Aris Munandar.

Hal ini dia sampaikan dalam seminar Borobudur Writers & Cultural Festival 2012 bertemakan; 'Kontroversi Gajah Mada Dalam Perspektif Fiksi dan Sejarah' di Manohara Hotel, Kompleks Taman Wisata Candi Borobudur, Magelang, Jateng, Selasa (30/10).

Pihak Pajajaran tidak terima bila kedatangannya ke Majapahit hanya menyerahkan Dyah Pitaloka sebagai taklukan. Kemudian terjadi insiden perselisihan antara utusan Linggabuana dengan Gajah Mada.

Perselisihan ini diakhiri dengan dimaki-makinya Gajah Mada oleh utusan Negeri Sunda yang terkejut bahwa kedatangan mereka hanya untuk memberikan tanda takluk dan mengakui superioritas Majapahit, bukan karena undangan sebelumnya. Namun Gajah Mada tetap dalam posisi semula.

Belum lagi Hayam Wuruk memberikan putusannya, Gajah Mada sudah mengerahkan pasukan Bhayangkara ke Pesanggrahan Bubat dan mengancam Linggabuana untuk mengakui superioritas Majapahit. Demi mempertahankan kehormatan sebagai ksatria Sunda, Linggabuana menolak tekanan itu.

Terjadilah peperangan yang tidak seimbang antara Gajah Mada dengan pasukannya yang berjumlah besar, melawan Linggabuana dengan pasukan pengawal kerajaan (Balamati) yang berjumlah kecil serta para pejabat dan menteri kerajaan yang ikut dalam kunjungan itu. Peristiwa itu berakhir dengan gugurnya Raja Linggabuana, para menteri, pejabat kerajaan beserta segenap keluarga kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat.

Tradisi menyebutkan sang Putri Dyah Pitaloka dengan hati berduka melakukan bela pati atau bunuh diri untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Menurut tata perilaku dan nilai-nilai kasta ksatria, tindakan bunuh diri ritual dilakukan oleh para perempuan kasta tersebut jika kaum laki-lakinya telah gugur. Perbuatan itu diharapkan dapat membela harga diri sekaligus untuk melindungi kesucian mereka, yaitu menghadapi kemungkinan dipermalukan karena pemerkosaan, penganiayaan, atau diperbudak.

Hayam Wuruk pun kemudian meratapi kematian Dyah Pitaloka. Akibat peristiwa Bubat ini, bahwa hubungan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada menjadi renggang. Gajah Mada sendiri menghadapi tentangan, kecurigaan, dan kecaman dari pihak pejabat dan bangsawan Majapahit, karena tindakannya dianggap ceroboh dan gegabah. Mahapatih Gajah Mada dianggap terlalu berani dan lancang dengan tidak mengindahkan keinginan dan perasaan sang Mahkota, Raja Hayam Wuruk sendiri.

Tragedi perang Bubat juga merusak hubungan kenegaraan antar Majapahit dan Pajajaran atau Sunda dan terus berlangsung hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan Sunda-Majapahit tidak pernah pulih seperti sedia kala.

Pangeran Niskalawastu Kancana, adik Putri Dyah Pitaloka yang tetap tinggal di istana Kawali dan tidak ikut ke Majapahit mengiringi keluarganya karena saat itu masih terlalu kecil dan menjadi satu-satunya keturunan Raja yang masih hidup dan kemudian akan naik takhta menjadi Prabu Niskalawastu Kancana.

Kebijakan Prabu Niskalawastu Kancana antara lain memutuskan hubungan diplomatik dengan Majapahit dan menerapkan isolasi terbatas dalam hubungan kenegaraan antar kedua kerajaan. Akibat peristiwa ini pula, di kalangan kerabat Negeri Sunda diberlakukan peraturan larangan estri ti luaran (beristri dari luar), yang isinya diantaranya tidak boleh menikah dari luar lingkungan kerabat Sunda, atau sebagian lagi mengatakan tidak boleh menikah dengan pihak Majapahit. Peraturan ini kemudian ditafsirkan lebih luas sebagai larangan bagi orang Sunda untuk menikahi orang Jawa.

Tindakan keberanian dan keperwiraan Raja Sunda dan putri Dyah Pitaloka untuk melakukan tindakan bela pati (berani mati) dihormati dan dimuliakan oleh rakyat Sunda dan dianggap sebagai teladan. Raja Lingga Buana dijuluki 'Prabu Wangi' (bahasa Sunda: raja yang harum namanya) karena kepahlawanannya membela harga diri negaranya. Keturunannya, raja-raja Sunda kemudian dijuluki Siliwangi yang berasal dari kata Silih Wangi yang berarti pengganti, pewaris atau penerus Prabu Wangi.

Beberapa reaksi tersebut mencerminkan kekecewaan dan kemarahan masyarakat Sunda kepada Majapahit, sebuah sentimen yang kemudian berkembang menjadi semacam rasa persaingan dan permusuhan antara suku Sunda dan Jawa yang dalam beberapa hal masih tersisa hingga kini. Antara lain, tidak seperti kota-kota lain di Indonesia, di kota Bandung, ibu kota Jawa Barat sekaligus pusat budaya Sunda, tidak ditemukan jalan bernama 'Gajah Mada' atau 'Majapahit'. Meskipun Gajah Mada dianggap sebagai tokoh pahlawan nasional Indonesia, kebanyakan rakyat Sunda menganggapnya tidak pantas akibat tindakannya yang dianggap tidak terpuji dalam tragedi ini.

Menurut saya masalah pernikahan akan langgeng tidaknya bukan masalah suku tapi saling pengertian, saling menghargai, saling setia, terus jalin komunikasi dan yang paling utama cantik luar dan dalam.