Toleransi Beragama Dalam Sejarah Indonesia

Sebenarnya, bukan hanya Candi Borobudur yang menyontohkan adanya kepedulian seperti itu. Banyak peninggalan masa lampau menjadi bukti betapa kerukunan beragama sudah terjalin sejak lama.

Hingga saat ini adanya toleransi beragama yang paling tua ditemukan pada situs Batujaya, Karawang (Jawa Barat). Pertanggalannya ditaksir dari masa abad ke-5 Masehi. Sebagaimana laporan Tim Arkeologi UI, di situs ini pernah ditemukan candi Buddha dan candi Hindu yang berdekatan letaknya.

Situs Batujaya juga tergolong istimewa karena pernah memiliki tradisi berciri megalitik sebagai agama asli waktu itu. Tradisi tersebut berkembang sebelum zaman Hindu Buddha. Tiga agama hidup berdampingan secara damai, tanpa ada rasa saling bermusuhan tentu menunjukkan betapa toleransi beragama benar-benar dijunjung tinggi masyarakat kala itu.

Toleransi beragama juga terdapat pada Candi Jawi di Jawa Timur. Atap candi yang berbentuk stupa atau genta, menandakan bangunan suci agama Buddha. Sementara di halaman candi pernah ditemukan sejumlah arca seperti Durga, Siwa, Ganesa, Mahakala, dan Nandiswara yang mewakili agama Hindu.

Kitab kuno Nagarakretagama pernah menyebutkan suatu bangunan Jajawa (identik dengan Candi Jawi) sebagai tempat pendharmaan Raja Singasari Kertanegara (1268-1292) dalam perwujudannya sebagai Siwa-Buddha. Siwa adalah salah satu dewa Trimurti dalam agama Hindu. Ditinjau dari kacamata arkeologi, candi Jawi termasuk unik dan langka karena mewakili dua agama sekaligus.


Bukan hanya toleransi Hindu-Buddha yang tercipta waktu itu. Toleransi Islam-Hindu juga kerap terlihat, antara lain pada menara Masjid Kudus. Bangunan itu terbuat dari bata tanpa lepa (semacam perekat). Teknik konstruksi demikian sangat populer pada masa pra-Islam.

Beberapa pakar menyebutkan Menara Kudus mirip candi di Jawa Timur, terlebih karena bangunan itu menghadap ke Barat. Kaki bangunannya yang bertingkat-tingkat dipandang merupakan pengaruh dari masa Majapahit. Ada juga pakar yang menafsirkan Menara Kudus mirip bangunan kulkul di Bali. Banyak ornamen masjid yang diperkaya dengan seni hias Arab, Cina, Vietnam, dan Eropa, semakin menunjukkan kemajemukan kala itu sangat luar biasa.

Di hadapan para pengikutnya, Sunan Kudus pernah memerintahkan agar sapi tidak disembelih dan dikonsumsi, lantaran banyak “saudara-saudara” beragama Hindu yang menganggap seekor sapi sebagai hewan suci. Supaya tidak menyakiti hati mereka, katanya, biarlah mereka yang Muslim tidak mencicipi daging sapi. Toh jika urusannya cuma menu makanan, masih banyak daging hewan lain yang bisa disate atau disop.

Di Jawa Timur, adanya toleransi beragama diperlihatkan oleh makam kuno Tralaya di Trowulan. Sejumlah batu nisan pada kompleks makam Islam itu bertuliskan huruf Jawa Kuno dan Arab pada tiap sisi, berupa tahun Saka dan gambar sinar matahari yang biasa dijumpai pada hasil seni Majapahit. Huruf Jawa Kuno dan tahun Saka merupakan pengaruh India yang sering diidentikkan dengan agama Hindu dan Buddha.

Toleransi beragama yang kuat diperlihatkan pula oleh Kelenteng Sampokong di Semarang. Pada saat-saat tertentu banyak masyarakat Islam, Buddha, Konghucu, dan etnis Tionghoa datang ke tempat itu untuk berbagai keperluan. Begitu pula kelenteng Tuban, yang dipenuhi oleh peziarah Tionghoa dan Islam ketika bulan ramadhan tiba. Satu untuk semua, begitulah kira-kira maknanya.

Di Pura Goa Gajah (Bali) ada tiga tipe bangunan keagamaan yang berbeda-beda. Ada bangunan keagamaan Hindu pada saat berkembangnya Hindu Siwa Pasupati. Dengan bukti-bukti adanya Arca Tiga Lingga yang masing-masing Lingga dikelilingi oleh delapan Lingga kecil-kecil. Ada bangunan keagamaan yang bercorak Siwa Siddhanta dengan adanya pelinggih-pelinggih di sebelah timur agak keselatan dari Goa Gajah. Di samping itu ada bangunan keagamaan Buddha yang bercorak Buddha Mahayana

0 komentar:

Posting Komentar