Tampilkan postingan dengan label Soekarno. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Soekarno. Tampilkan semua postingan

Bungkarno di Mata Im Yang Tjoe

Siapa Im Yang Tjoe?
Mungkin tidak begitu penting dalam sejarah nasional. Ia tidak masuk dalam golongan orang dekat bung  Karno seperti Lim Thwan Tek, Oei Tjong Hauw, atau Oei Tiong Hauw yang bergabung dalam Chuo Sangiin (Dewan Penasihat Pusat) pimpinan Soekarno.  Tapi ia menjadi penting dalam garis sejarah Sukarno. Penulis keturunan Tionghoa inilah yang membuat buku biografi pertama tentang Bung Karno thun 1933. Beberapa saat setelah Bung Karno dibebaskan dari Sukamiskin. Setahun sebelum Bung Karno dibuang ke Ende.

Buku itu terbit jauh sebelum kemerdekaan RI. Tetapi, dalam tulisannya, Im Yang Tjoe sudah merasakan aura Bung Karno akan berdiri sebagai pemimpin bangsa ini, akan membebaskan bangsa ini dari penjajahan kolonial. Ia sudah lama melakukan observasi, penelitian, dan mengikuti rekam-jejak Sukarno. Bahkan untuk keperluan penulisan bukunya, ia menelusuri hingga ke Tulungagung, Sidoarjo, Mojokerto, Surabaya, dan tentu saja Bandung. Karena itu pula, Im Yang Tjoe bisa mendiskripsikan dengan begitu jelas riwayat Sukarno sejak anak-anak hingga mewujud menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan.

Pada bagian akhir bukunya, ia membuat kesaksian. Begini ia menulis, “Sedikit pernyataan, kenapa buku ini ditulis, tiada lain karena penulisnya bersimpati pada tabiat kesatria dan kemanusiaan yang ada pada diri Ir Sukarno itu.”



Soekarno Penuh Kasih

Lebih lanjut ia menuliskan, perikemanusiaan Sukarno begitu besar, dan dirasakan sampai sekarang. Sejak berumur 14 tahun, membunuh nyamuk saja ia tiada pernah, kendati nyamuk itu menggigit badannya. Sebab, ia menganggap nyamuk-nyamuk itu sudah diciptakan untuk hidupnya harus menghisap darah manusia, seperti halnya semut yang mesti memakan gula.

Karenanya, Sukarno berpikir, tidak harus lantaran cangkir kopinya dirubung semut, manusia harus menggunakan kekuatannya untuk membinasakan semut. “Yah… sebagai manusia, Sukarno pantas dihormati,” tulis Im Yang Tjoe.

Sementara, dirinya sendiri terus menolong orang-orang miskin, tidak peduli bangsa apa saja. Jangankan kepada bangsanya sendiri, bahkan kepada orang Belanda yang kenal dengannya ketika sama-sama di penjara, dan ketika keluar tidak punya penghasilan, datang kepada Sukarno yang dengan suka rela memberikan apa saja yang ia punya. Uang tiga picis dikasih satu rupiah, terkadang yang dua rupiah dikasih semua tanpa memikirkan apakah besok masak sayur atau hanya makan pakai garam.

Siapa yang mesti memperingatkan Sukarno akan tabiat yang terkadang menyulitkan dirinya sendiri itu? Tidak satu pun. Karena, Inggit istrinya, pun setali tiga uang. Karenanya, keduanya seakan bersaing dalam kebaikan. Tak jarang mereka main dulu-duluan menyebar milik mereka kepada siapa saja yang lebih membutuhkan. Padahal, kehidupan mereka sendiri tergolong tak seberapa mampu.

Tidak sedikit yang menganggap perbuatan keduanya sebagai bodoh atau konyol. Akan tetapi, tidak begitu sikap Sukarno dan Inggit. Bagi keduanya, ibarat memiliki sebuah gunung emas, girang dan senangnya tidak seberapa dibanding ketika keduanya bisa memberi harta yang paling akhir yang dimilikinya kepada sesama manusia yang sedang dalam kesusahan.



Soekarno Dihormati dan Dikasihi

Pada halaman pengantar, Im Yang Tjoe menulis: “Kepada Ir. Soekarno: Toean, apabila ini menoesoek perasa’an toean, saja minta ma’af atas dasar bahoea ini boekoe saja toelis aken kagoena’annja rahajat jang toean tjinta, samentara ditulisnja poen dengen hati soetji dan penoeh penghormatan. Im Yang Tjoe.”

Dalam episode penangkapan Sokarno di Jogjakarta, 29 Desember 1929, dan kemudin dari kantor polisi digiring ke kereta api, Im Yang Tjoe menulis, Soekarno dikawal ketat dengan memukul tambur sepanjang jalan. Begitu juga ketika Bung Karno keluar dari penjara Soekamiskin, Im Yang Tjoe mencatat, 98 buah mobil, 320 delman sudah siap menjemput Soekarno. Tetapi, pemerintah Belanda hanya mengizinkan delapan buah mobil, antara lain, yang ditumpangi istrinya, Inggit Garnasih, dan anak angkat mereka, Ratna Djoeami, serta mobil yang membawa Moh. Husni Thamrin, anggota Volksraad yang datang dari Betawi.

Ini dia siapa Im Yang Tjoe
Im Yang Tjoe adalah sebuah nama samaran dari seoarng wartawan yang bernama asli Tan Hong Bun.
Pada masa tuanya, ia menjadi kaya, tetapi bukan karena buku-buku yang ditulisnya, juga bukan karena pernah dekat dengan Bung Karno. Ia sering berkeliling Pulau Jawa dengan bersepeda dan meramu jamu yang kemudian diberi merek dagang Pil Kita yang ternyata paling digandrungi para atlet dan sopir
kutipan Peter A. Rohi , wartawan senior pada artikel jawa pos

Perdebatan Soekarno dan Pemuda Di Rengasdengklok

Tanggal 15 Agustus 1945, kira-kira pukul 22.00, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, tempat kediaman Bung Karno, berlangsung perdebatan serius antara sekelompok pemuda dengan Bung Karno mengenai Proklamasi Kemerdekaan sebagaimana dilukiskan Lasmidjah Hardi ( 1984:58 ); Ahmad Soebardjo ( 1978:85-87 ) sebagai berikut:

Sekarang Bung, sekarang! malam ini juga kita kobarkan revolusi !” kata Chaerul Saleh meyakinkan Bung Karno bahwa ribuan pasukan bersenjata sudah siap mengepung kota dengan maksud mengusir tentara Jepang. ” Kita harus segera merebut kekuasaan !” tukas Sukarni berapi-api. ” Kami sudah siap mempertaruhkan jiwa kami !” seru mereka bersahutan. Wikana malah berani mengancam Soekarno dengan pernyataan; ” Jika Bung Karno tidak mengeluarkan pengumuman pada malam ini juga, akan berakibat terjadinya suatu pertumpahan darah dan pembunuhan besar-besaran esok hari .

Mendengar kata-kata ancaman seperti itu, Soekarno naik darah dan berdiri menuju Wikana sambil berkata: ” Ini batang leherku, seretlah saya ke pojok itu dan potonglah leherku malam ini juga! Kamu tidak usah menunggu esok hari !”.

 Hatta kemudian memperingatkan Wikana; “… Jepang adalah masa silam. Kita sekarang harus menghadapi Belanda yang akan berusaha untuk kembali menjadi tuan di negeri kita ini. Jika saudara tidak setuju dengan apa yang telah saya katakan, dan mengira bahwa saudara telah siap dan sanggup untuk memproklamasikan kemerdekaan, mengapa saudara tidak memproklamasikan kemerdekaan itu sendiri ? Mengapa meminta Soekarno untuk melakukan hal itu ?

Namun, para pemuda terus mendesak; ” apakah kita harus menunggu hingga kemerdekaan itu diberikan kepada kita sebagai hadiah, walaupun Jepang sendiri telah menyerah dan telah takluk dalam ‘Perang Sucinya!”. ” Mengapa bukan rakyat itu sendiri yang memproklamasikan kemerdekaannya ? Mengapa bukan kita yang menyatakan kemerdekaan kita sendiri, sebagai suatu bangsa ?”. Dengan lirih.

Setelah amarahnya reda, Soekarno berkata; “… kekuatan yang segelintir ini tidak cukup untuk melawan kekuatan bersenjata dan kesiapan total tentara Jepang! Coba, apa yang bisa kau perlihatkan kepada saya ? Mana bukti kekuatan yang diperhitungkan itu ? Apa tindakan bagian keamananmu untuk menyelamatkan perempuan dan anak-anak ? Bagaimana cara mempertahankan kemerdekaan setelah diproklamasikan ? Kita tidak akan mendapat bantuan dari Jepang atau Sekutu. Coba bayangkan, bagaimana kita akan tegak di atas kekuatan sendiri “. Demikian jawab Bung Karno dengan tenang.

Para pemuda, tetap menuntut agar Soekarno-Hatta segera memproklamasikan kemerdekaan. Namun, kedua tokoh itu pun, tetap pada pendiriannya semula. Setelah berulangkali didesak oleh para pemuda, Bung Karno menjawab bahwa ia tidak bisa memutuskannya sendiri, ia harus berunding dengan para tokoh lainnya. Utusan pemuda mempersilahkan Bung Karno untuk berunding. Para tokoh yang hadir pada waktu itu antara lain, Mohammad Hatta, Soebardjo, Iwa Kusumasomantri, Djojopranoto, dan Sudiro. Tidak lama kemudian, Hatta menyampaikan keputusan, bahwa usul para pemuda tidak dapat diterima dengan alasan kurang perhitungan serta kemungkinan timbulnya banyak korban jiwa dan harta. Mendengar penjelasan Hatta, para pemuda nampak tidak puas. Mereka mengambil kesimpulan yang menyimpang; menculik Bung Karno dan Bung Hatta dengan maksud menyingkirkan kedua tokoh itu dari pengaruh Jepang.

Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok. Aksi “penculikan” itu sangat mengecewakan Bung Karno, sebagaimana dikemukakan Lasmidjah Hardi ( 1984:60 ). Bung Karno marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik. Namun, melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan. Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.

Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil. Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya. Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta . Akan tetapi, Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri. Di rumah seorang Tionghoa, Djiaw Kie Siong yang diusir dari rumahnya oleh anggota PETA agar dapat ditempati oleh "rombongan dari Jakarta", yang oleh warga di sana dipanggil Babah Kisong. Babah Kisong merelakan rumah kecilnya untuk mewujudkan sebuah “rumah besar” yang dicita-citakan bareng-bareng semua bangsa Indonesia. Siang itu terjadi perdebatan panas;  "Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu …".
 ” Lalu apa ?” teriak Bung Karno sambil beranjak dari kursinya, dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.

Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara; ” Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal 17 “.
 ”Mengapa justru diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16 ?” tanya Sukarni.
Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal, mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik. Angka 17 adalah angka suci. Pertama-tama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Qur’an diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia “. Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok sebagaimana ditulis Lasmidjah Hardi ( 1984:61 ).

Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta . Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Rombongan penjemput tiba di Rengasdengklok sekitar pukul 17.00. Ahmad Soebardjo memberikan jaminan, bahwa Proklamasi Kemerdekaan akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945, selambat-lambatnya pukul 12.00. Dengan jaminan itu, komandan kompi PETA setempat, Cudanco Soebeno, bersedia melepaskan Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta

Sumber id.wikipedia.org, kaskus.us dan kompasiana.com

Melihat Penampilan Bung Karno

Buat Bung Karno, nampaknya kesengsaraan tidak ada hubungannya dengan gaya dan penampilan. Bung Karno tidak menutup-nutupi masa lalunya yang melarat. Tentang bagaimana di masa kanak-kanaknya, dirinya tidak pernah mengenal sendok dan garpu.
Ketika tumbuh sebagai remaja, dan sudah mempunyai kesadaran berpenampilan, kemiskinan itu tampaknya tak mempengaruhi Bung Karno dalam bergaya.


Kiriman uang saku dari orangtuanya dan ekstra uang saku dari Pak Poegoeh kakak iparnya di Surabaya, dihematnya sen demi sen. Namun itu tak berarti dirinya tidak bisa tampil keren. Tampak dari foto-fotonya, sejak muda Bung Karno selalu berbusana apik dan menawan. Tampaknya sejak muda Bung Karno sudah punya bakat sebagai pencipta trend mode di jamannya.

Di dalam buku “Sukarno Penjambung Lidah Rakjat”, Bung Karno bercerita tentang perselisihannya dengan penghulu. Ketika itu akan dilangsungkan pernikahannya dengan Utari, putri HOS Tjokroaminoto. Itu adalah pernikahan pertama bagi Bung Karno. Penghulu memintanya untuk melepaskan dasinya. Soalnya dasi itu dianggap simbol budaya Kristen. Bung Karno tidak bisa mengerti larangan itu. Dia berusaha menjelaskan, dirinya sangat menyukai berpakaian pantas dan rapi. Tapi penghulu tidak mau menerima alasan itu. Karena Bung Karno tetap ngotot mengenakan dasi, penghulu mulai menggertak. Penghulu menolak menikahkan jika Bung Karno tidak melepaskan dasinya!

Bukannya ciut oleh gertakan tadi, Bung Karno malah semakin marah. Persetan! Rasanya dia lebih baik tidak menikah saja kalau soal berpenampilan pun, dirinya mesti diatur-atur. Bung Karno menulis, “Dalam hal ini biarpun Nabi sendiri sekalipun, takkan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi”. Bung Karno menjadi emosi oleh penghulu yang mencoba mengatur dan mengancamnya. Lalu dia menggeledek, “Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak, dan saya akan selalu memberontak, saya tidak mau didikte orang di hari pernikahan saya!”.

Sebagaimana umumnya lelaki, Bung Karno juga pernah berusaha menumbuhkan kumisnya. Mungkin bisa tampak lebih gagah dan ganteng. Tapi sayang usaha itu sia-sia. Kumisnya hanya tumbuh sebaris tipis saja. Sejak itu dia tidak pernah lagi mencoba-coba menumbuhkan kumisnya. Tetap bergaya klimis rapi.

Di sebuah majalah jadul, saya pernah membaca wawancara dengan Dewi Soekarno. Dewi bercerita tentang bagaimana Bung Karno tetap memperhatikan penampilannya, juga ketika usianya beranjak senja. Bung Karno sering memintanya menolong bukan saja mengecat rambutnya yang beruban, tapi juga alisnya! Sebelum Bung Karno berpidato, untuk menyamarkan pucat di wajahnya, tak jarang Dewi membubuhi sedikit rona merah dengan pupur membayang tipis di wajah suaminya itu.

Kesukaan Bung Karno akan gaya dan penampilan mematahkan pendapat orang tentang pria Jawa yang umumnya berpenampilan seadanya. Sudah banyak yang membahas bagaimana peran Bung Karno sebagai trend setter mode pria di Indonesia. Mulai dari idenya tentang pemakaian kopiah yang hingga kini dipakai pria Indonesia dan menjadi salah satu identitas bangsa. Juga gaya busananya yang banyak ditiru pria di jamannya. Misalnya stelan jas putih dan baju safari lengan pendek maupun lengan panjang.


Baju kepresidenannya yang bergaya militer membuatnya tampak gagah berdampingan dengan pemimpin dunia lainnya. Baju itu adalah hasil rancangannya sendiri. Karena itu Bung Karno pernah tersinggung dengan kritik Kepala Staf Angkatan Perang TB Simatupang (kala itu masih kolonel) yang menyarankan Bung Karno agar tidak memakai baju militer dengan segala atributnya itu.

Sejak menjadi pemimpin bangsa, Bung Karno tak pernah tampak mengenakan pakaian adat yang mewakili suku tertentu. Dia punya alasan khusus tentang ini. Bukan karena tidak mencintai tradisi. Justru sebaliknya dialah penganjur tradisi budaya, termasuk pakaian adat. Namun sebagai kepala negara, dia memposisikan dirinya harus netral berdiri di atas semua golongan demi persatuan dan kesatuan bangsa. Karena itu dia mengorbankan identitas sukunya dengan sama sekali tidak pernah berpakaian daerah.

Walaupun semasa menjadi presiden tidak pernah berbusana daerah, namun Sukarno punya kepedulian terhadap pelestarian batik. Sukarno menghidupkan tradisi pameran batik di istana negara. Salah satu konsep Sukarno tentang batik khas Indonesia yaitu batik motif Terang Bulan. Motif batik ini kemudian dirintis dan diwujudkan oleh Ibu Sud atau Saridjah Niung Bintang Soedibjo.

Dulu Bung Karno sering meledek Ibu Sud yang berpinggul besar itu dengan julukan “bokong gede”, menunjukkan pertemanan mereka yang akrab. Karena keakraban itu, Ibu Sud paham bagaimana menerjemahkan batik Indonesia konsep Bung Karno. Selain dikenal sebagai pencipta lagu kanak-kanak, Ibu Sud (nenek disainer busana Carmanita) ini memang juga seorang pembatik. Motif batik Terang Bulan konsep Sukarno adalah batik yang mengkombinasikan motif batik kraton dan batik pesisir.

Orang sering menggeneralisir adat etnis dengan cara seseorang dalam berpenampilan. Pada Sukarno, gaya dan penampilannya lebih pada soal insting, selera, kesadaran dan pemahamannya tentang estetika. Bukan sekedar karena harus menjaga penampilan sebagai kepala negara . Karena jauh sebelum menjadi pemimpin bangsa pun, penampilannya selalu terjaga apik, sampai rela adu mulut dengan penghulu nikah.

Kecenderungannya untuk selalu tampil representatif nampaknya memang sudah bakat natural-nya. Sudah dimulai sejak remaja. Selalu tampak begitu flamboyan. Sukarno memang punya selera. Sebagaimana dikatakannya ketika membetulkan dasi Menhan Amerika, “Tuan punya bom atom, tapi kami punya seni yang tinggi!”. Kesenimanan Sukarno membuatnya memandang mode dan gaya juga adalah bagian dari seni.

Itu diakuinya sendiri ketika perasaannya remuk akibat dikurung di penjara Banceuy Bandung yang lebarnya 1,50 meter dan panjangnya seperti peti mayat. Dikatakannya, “....aku rasanya hendak mati. Pengalaman yang meremukkan. Aku adalah seorang yang biasa rapi dan pemilih. Aku adalah orang yang suka memuaskan perasaan. Aku menyukai pakaian bagus....”.

Ketika Bung Karno sekeluarga tiba di Jakarta 9 Juli 1942 dari pengasingannya di Sumatera, topik yang paling pertama ditanyakannya adalah “mencari tukang jahit”. Saat itu kapal laut “Van Riebeeck” yang ditumpanginya berlabuh di pelabuhan Pasar Ikan, di Penjaringan Jakarta Utara. Di masa lalu pelabuhan Pasar Ikan dikenal juga dengan nama Pelabuhan Sunda Kelapa.

Berita kembalinya Bung Karno di Jawa, setelah pembuangan di Sumatera

Orang pertama yang menjemputnya di pelabuhan itu adalah Anwar Tjokroaminoto, adik Utari, bekas adik iparnya. Melihat jas Anwar yang keren, Bung Karno lalu menyadari jas putih plus celana kedodoran yang dikenakannya sudah ketinggalan jaman. Betapa berbeda dengan stelan jas Anwar warna ivory yang dilihatnya jauh lebih modern.

“Jasmu bagus sekali potongannya”, puji Bung Karno. Anwar hidungnya kembang kempis dipuji Bung Karno. “Bikinan penjahit De Koning”, sahut Anwar berlagak. Anwar lalu buka rahasia bagaimana caranya ke penjahit itu, dengan harga miring. “Melalui pintu belakang”, bisik Anwar. Bung Karno segera tertarik ingin menjahit bajunya di penjahit yang tergolong penjahit terbaik dan mahal di Jakarta di kala itu. “Apa dia mau menjahit untukku?”, tanya Bung Karno pada Anwar. Percakapan selanjutnya antara keduanya bukan tentang strategi perjuangan, tapi kasak-kusuk tentang baju.

Di kemudian hari, Bung Karno yang pesolek melengkapi gaya busananya dengan tongkat komando. Banyak orang percaya, tongkat komando itu adalah jimat saktinya. Tapi Bung Karno membantah. Tongkat komando itu semata-mata untuk menunjang gayanya. Dia menyebut dirinya “pelagak”. Dia berkata bahwa tongkatnya sama sekali tidak sakti, “tapi kalau diketok di jidat, ya bisa benjol”.

Ide, inspirasi, karya, cita-cita memang tidak perlu selalu ditentukan oleh mahal dan mewahnya gaya hidup, gaya berbusana dan gaya berpenampilan. Dengan kepantasannya mempresentasikan diri, Bung Karno mampu memberi citra tersendiri bagi bangsanya di dunia internasional. Padahal kondisi Indonesia ketika itu masih begitu miskin. Dengan gayanya sebagai “pelagak”, dia mampu menyejajarkan bangsanya dengan para penista kemiskinan yang pongah itu.

Walaupun senang bergaya, Bung Karno tidak silau harta. Di akhir kekuasaannya, kala dipaksa meninggalkan istana oleh Suharto, Bung Karno ternyata tidak turut membawa serta kemeja-kemeja favoritnya “Arrow”, arloji Rolex dan benda berharga lainnya. Semua itu digeletakkannya begitu saja.
Menurut kesaksian Sogol Djauhari Abdul Muchid (anggota Detasemen Kawal Pribadi/DKP), Bung Karno meninggalkan istana sebelum 16 Agustus 1967, hanya ber-kaos oblong cap cabe, celana piyama krem dan bersandal merk Bata yang sudah usang. Di pundaknya tersampir baju piyama-nya.

Tangan kanannya menggenggam sesuatu yang sangat berharga. Lebih berharga daripada kemeja Arrow, parfum Shalimar favoritnya, uang dollar dan emas batangan yang tak ikut dibawanya, dan hingga kini tak diketahui di mana semua itu. Hanya satu benda yang dibawanya ketika meninggalkan istana. Benda yang merupakan simbol dari 1001 kisah pengorbanannya untuk bangsanya. Itulah yang digenggamnya erat, yaitu bendera pusaka yang dibungkus gulungan kertas koran, hasil jahitan Fatmawati istrinya. Toh walau berkaos oblong seadanya, semua itu tidak membuat kewibawaannya serta merta sirna.

Wibawanya itu bahkan tetap hidup hingga kini, walaupun jauh sebelumnya dia sudah mengalami “pembunuhan” secara perlahan di pengasingannya di Wisma Yaso. Bung Karno seakan menyadari itu. Karena itu, menurut Sidarto Danusubroto ajudannya, Bung Karno menulis di bukunya kalimat filsuf Jerman Ferdinand Freiligrath, “ Man töten den Geist nicht”. Ya, tak ada yang bisa membunuh jiwa.

Gaya dan penampilan memang tidak kekal. Tapi melalui kekekalan jiwanya, gaya dan penampilan Bung Karno menjadi kenangan kekal yang tetap tergores dalam sejarah.
 
Walentina Waluyanti – Holland

Dibalik Cerita Soekarno Kecil

Masa kanak-kanak adalah masa paling menyenangkan. Ketika kita bebas berlari, ketika kita bebas berexpresi. Mari kita sama-sama melihat kebelakan masa kecil bapak pendiri Republik Indonesia.

Soekarno dilahirkan dengan seorang ayah yang bernama Raden Soekemi Sosrodihardjo dan ibunya yaitu Ida Ayu Nyoman Rai. Keduanya bertemu ketika Raden Soekemi yang merupakan seorang guru ditempatkan di Sekolah Dasar Pribumi di Singaraja, Bali. Nyoman Rai merupakan keturunan bangsawan dari Bali dan beragama Hindu sedangkan Raden Soekemi sendiri beragama Islam. Karena perbedaan keyakinan dan suku mereka di denda 25 ringgit yang nilainya sama dengan 25 dolar. Ibu Soekarno menjual perhiasannya untuk membayar denda tersebut. karena merasa tidak di sukai di bali Raden Soekemi mengajukan pindah tugas ke Surabaya dan di terima.

Tak ada yang bisa di banggakan dari Koesno Sosrodihardjo (nama lahir Ir Soekarno). Lahir di Surabaya, Jawa Timur, 6 Juni 1901 dari golongan keluarga miskin. Namun karena ia sering sakit maka ketika berumur lima tahun namanya diubah menjadi Soekarno oleh ayahnya. Nama Soekarno diambil dari "Karna" tokoh pahlawan dalam cerita Mahabharata. Inbuhan "soe" yang berarti baik.

Ketika kecil Soekarno tinggal bersama kakeknya, Raden Hardjokromo di Tulung Agung, Jawa Timur. Ia bersekolah pertama kali di Tulung Agung hingga akhirnya ia pindah ke Mojokerto, mengikuti orangtuanya yang ditugaskan di kota tersebut. Di Mojokerto, ayahnya memasukan Soekarno ke Eerste Inlandse School, sekolah tempat ia bekerja. Soekarno memiliki seorang kakak yang bernama Sukarmini.


Soekarno Paling Miskin

Ketika di Mojokerto ia tinggal di daerah miskin. Gaji ayahnya setengah untuk membayar uang kontrakan rumah. sehingga keadaan Sukarno saat itu sangatlah miskin. ini tergambar dalam ceritanya dalam buku penyambung lidah rakyat terjemahan karya Cindy Adams :
Ketika aku berumur enam tahun kami pindah ke Modjokerto. Kami tinggal didaerah jang melarat dan keadaan tetanggatetangga kami tidak berbeda dengan keadaan sekitar itu sendiri, akan tetapi mereka selalu mempunjai sisa uang sedikit untuk membeli pepaja atau djadjan lainnja. Tapi aku tidak. Tidak pernah.

Lebaran adalah hari besar bagi ummat Islam, hari penutup dari bulan puasa, pada bulan mana para penganutnja menahan diri dari makan dan minum ataupun tidak melewatkan sesuatu melalui mulut mulai dari terbitnja matahari sampai ia terbenam lagi. Kegembiraan dihari Lebaran sama dengan hari Natal. Hari untuk berpesta dan berfitrah. Akan tetapi kami tak pernah berpesta maupun mengeluarkan fitrah. Karena kami tidak punja uang untuk itu. Dimalam sebelum Lebaran sudah mendjadi kebiasaan bagi kanak-kanak untuk main petasan. Semua anak-anak melakukannja dan diwaktu itupun mereka melakukannja. Semua, ketjuali aku.

Dihari Lebaran lebih setengah abad jang lalu aku berbaring seorang diri dalam kamar-tidurku jang ketjil jang hanja tjukup untuk satu tempat-tidur. Dengan hati jang gundah aku mengintip keluar arah kelangit melalui tiga buah lobang-udara jang ketjil-ketjil pada dinding bambu. Lobang-udara itu besarnja kira-kira sebesar batubata. Aku merasa diriku sangat malang. Hatiku serasa akan petjah. Disekeliling terdengar bunji petasan berletusan disela oleh sorak-sorai kawankawanku karena kegirangan. Betapa hantjur-luluh rasa hatiku jang ketjil itu memikirkan, mengapa semua kawan-kawanku dengan djalan bagaimanapun dapat membeli petasan jang harganja satu sen itu dan aku tidak !

Keadaan ekonomi membuat Soekarno kecil tidak bisa merasakan seperti anak-anak pada umumnya. Kadang-kadang keluarga kecil ini Makan satu kali sehari, paling sering makan ubi kayu atau jagung. Jagung tumbuk jaman sekarang di jadikan pakan ayam adalah makanan sehari-hari Cikal bakal proklamator kemerdekaan ini. Jika berumtung ayah bisa membeli padi dari para petani, bukan beras seperti yang di jual di pasar-pasar.
Ayahnya seorang guru yang keras. Ia selalu menyuruh Soekarno kecil belajar menghafal abjad-abjad. Bahkan hingga berjam-jam terus-menerus.


Kenakalan Soekarno dan kerasnya sang ayah

Wajar anak-anak nakal. Tidak aneh bocah suka bermain-main. Nah, Sukarno kecil termasuk anak-anak kebanyakan. Yang membedakan barangkali, sikap orang tua menghadapi kenakalan anak. Yang membuat lain barangkali, setting situasi dan zaman yang berbeda.

Suatu hari sukarno kecil memanjat pohon jambu di pekarangan rumahnya, tidak sengaja ia menjatuhkan sarang burung. Ayahnya memarahinya dengan sangat keras.
"Kalau tidak salah aku sudah mengatakan padamu supaya menyayangi binatang.
Engkau dapat menerangkan arti kata-kata: 'Tat Twan Asi, Tat Twam Asi'?
Artinja 'Dia adalah Aku dan Aku adalah dia; engkau adalah Aku dan Aku adalah engkau'.
Dan apakah tidak kuadjarkan kepadamu bahwa ini mempunjai arti yang penting ?". amarah ayahnya.
Maksudnja, Tuhan berada dalam kita semua," jawab Soekarno dengan patuh.
Sekalipun Soekarno sudah meminta ma'af , bapaknya tetap memukul pantatnya dengan rotan

Dihari yang lain Soekarno diminta menjaga padi yang di jemur. Karena Soekarno kecil memiliki hasrat bermain ia meninggalkan padinya dan bermain di sungai mencari ikan. Padi yang di jemur ludes dipatok ayam. Ketika ayahnya melihat padi habis di makan ayam ia geram dan menyiapkan hukuman untuk Soekarno. Sepulang dari kali soekarno membawa seekor lele dan meminta ibunya memasaknya. Ayahnya yang tau ia sudah di rumah menyeretnya lalu memukul dengan kayu. Ibunya yang mencoba menyudahi juga ikut kena marah ayahnya. Lalu ibu mendekap Soekarno kecil dan mengajak melanjtkan memasak ikan. Sokarno terus mendekap ibunya karena ketakutan. walau sang ibu sambil memasak ikan ia terus menenangkan Soekarno kecil.

Tenggelamnya Sang Putra Fajar

Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa-dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”

Senyap.

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.
Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

“Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani
.

Tenggelamnya Sang Putra Fajar

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya.
Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.


Kuburannya Pun Tidak Boleh Dijenguk

Sejarah mencatat, sejak 1971 sampai 1979, makam Bung Karno tidak boleh dikunjungi umum dan dijaga sepasukan tentara. Kalau mau mengunjungi makam harus minta izin terlebih dahulu ke Komando Distrik Militer (KODIM). Apa urusannya KODIM dengan izin mengunjungi makam?

Saya bersama ibu saya dan beberapa saudara datang secara mendadak pergi ke Blitar dengan tujuan utama ziarah ke Makam Bung Karno. Tanpa ragu kita ikuti aturan dan akhirnya sampai ke pimpinannya yang paling tinggi. Saya ikut sampai di meja pemberi izin dan sudah ditentukan oleh kita bersama, bahwa salah satu saudara saya saja yang berbicara. Saya sendiri meragukan emosi saya, bisakah saya bertindak tenang terhadap isolasi kepada sebuah makam oleh Pemerintah atau rezim? Nah, ternyata meskipun tidak terlalu ramah, mereka melayani dengan muka seperti dilipat. Mungkin dengan menunjukkan muka seperti itu merasa bertambah rasa gagahnya terhadap rakyat biasa macam kami. Akhirnya semua beres dan kami mendapat sepucuk surat. Apa yang terjadi?

Sesampainya di makam kami turun dari kendaraan kami dan saya bawa surat izin dari KODIM. Surat itu kami tunjukan ke tentara yang jaga makam. Waktu tentara itu baca surat, saya terdorong untuk menoleh ke belakang. Terkejut saya. Selain rombongan sendiri, Ibu saya dan saudara-saudara, telah mengikuti kami sebanyak lebih dari tiga puluh orang, bergerombol. Mereka, orang-orang yang tidak kami kenal sama sekali, melekat secara rapat dengan rombongan kami. Saya lupa persis bagaimana, akan tetapi saya ingat kami memasuki pagar luar dan kami bisa mendekat sampai ke dinding kaca tembus pandang dan hanya memandang makamnya dari jarak, yang mungkin hanya sekitar tiga meter.

Para pengikut dadakan yang berada di belakang rombongan kami dengan muka berseri-seri, merasa beruntung dapat ikut masuk ke dalam lingkungan pagar luar itu. Ada yang bersila, memejamkan mata dan mengatupkan kedua tangannya, posisi menyembah. Saya tidak memperhatikannya, tetapi jelas dia bukan berdoa cara Islam. Mereka khusyuk sekali dan waktu kami kembali menuju ke kendaraan kami, beberapa di antara mereka menjabat tangan dan malah ada yang menciumnya, membuat saya merasa risih.

Salah seorang dari mereka ini mengatakan bahwa dia sudah dua hari bermalam di sekitar situ di udara terbuka menunggu sebuah kesempatan seperti yang telah terjadi tadi. Tanpa kata-kata, saya merasakan getar hati rakyat, rakyat Marhaen kata Bung Karno! Mereka menganggap Bung Karno bukan sekedar Proklamator, tetapi seorang Pemimpin mereka dan seorang Bapak mereka. Apapun yang disebarluaskan dan berlawanan arti dengan kepercayaan mereka itu semuanya dianggap persetan. Dalam hubungan Bung Karno dengan Rakyat, tidak ada unsur uang berbicara.


Keyakinan banyak orang tentang kematian soekarno

Keyakinan orang banyak bahwa Bung Karno dibunuh secara perlahan mungkin bisa dilihat dari cara pengobatan proklamator RI ini yang segalanya diatur secara ketat dan represif oleh Presiden Soeharto. Bung Karno ketika sakit ditahan di Wisma Yasso (Yasso adalah nama saudara laki-laki Dewi Soekarno) di Jl. Gatot Subroto. Penahanan ini membuatnya amat menderita lahir dan bathin. Anak-anaknya pun tidak dapat bebas mengunjunginya.

Permintaan dari tim dokter Bung Karno untuk mendatangkan alat-alat kesehatan dari Cina pun dilarang oleh Presiden Soeharto. “Bahkan untuk sekadar menebus obat dan mengobati gigi yang sakit, harus seizin dia, ” demikian Rachmawati Soekarnoputeri pernah bercerita

Kontroversi Kelahiran Bung Karno

Akhir-akhir ini kita dengar pembahasan kembali tempat lahir presiden kita yang pertama Ir Soekarno. Dalam buku-buku sejarah: Presiden pertama RI, Soekarno lahir di Blitar pada 6 Juni 1901. Namun, menurut Ketua Umum Soekarno Institute, Peter A. Rohi, nyatanya proklamator Indonesia itu dilahirkan di Surabaya, tepatnya di Jalan Pandean IV/40.

Saya tertarik mencari data-data untuk penguatan fakta bahwa telah terjadi pembelokan sejarah oleh rezim Soeharto.
Untuk menguatkan fakta tersebut mari kita baca buku sejarah yang menuliskan Soekarno lahir di Surabaya. Di antaranya, buku berjudul 'Soekarno Bapak Indonesia Merdeka' karya Bob Hering, 'Ayah Bunda Bung Karno' karya Nurinwa Ki S. Hendrowinoto tahun 2002, 'Kamus Politik' karangan Adinda dan Usman Burhan tahun 1950, 'Ensiklopedia Indonesia' tahun 1955, 'Ensiklopedia Indonesia' tahun 1985, dan 'Im Yang Tjoe' tahun 1933 yang ditulis kembali oleh Peter A. Rohi dengan judul 'Soekarno Sebagai Manoesia' pada tahun 2008.

Namun dari buku-buku yang sudah saya baca, buku yang ditulis Cindy Adams yang paling "hidup" karena merupakan penuturan langsung Soekarno sendiri.diterbitkan dalam bahasa inggris 1965 berjudul Sukarno, Autobiography as told to Cindy Adams, Indianapolis: Bobbs-Merril. Kemudian di terjemahkan Mayor Abdul Bar Salim satu tahun kemudian.
Ibu mewarisi beberapa perhiasan emas dan untuk membajar denda itu ibu
mendjuaI perhiasannja.Karena bapak merasa tidak disukai orang di Bali, ia kemudian mengadjukan
permohonan kepada Departemen Pengadjaran untuk dipindahkan ke Djawa. Bapak dikirim ke Surabaja dan
disanalah putera sang fadjar dilahirkan.
bab 2 Alenia terakhir
Dikurangi sewa
rumah kami di Djalan Pahlawan 88, neratja mendjadi f 15 dan dengan perbandingan kurs pemerintah f 3,60
untuk satu dollar dapatlah dikira-kira betapa rendahnja tingkat penghidupan keluarga kami.
 Bab 3 Alenia pertama
*Jalan Pahlawan 88, sebuah perkampungan pribumi di Surabaya bagian timur, sejarahwan Bob Hearing (sekarang Jalan Pandean IV/40)

Dalam kutipan di atas jelas tercantum Putra Sang Fajar (Ir Soekarno) lahir di Surabaya. Untuk menegaskan tempat kelahiran Bung Karno di pasang prasasti di Jalan Pandean IV/40. Prasasti dibuka dan diresmikan langsung oleh Prof. Ir. Hariono Sigit, putra dari Utari istri pertama Ir. Soekarno.

Percobaan Pembunuhan Soekarno




Ir Soekarno adalah sosok yang penuh wibawa, dalam setiap ucapannya mampu mengetarkan nadi rakyat. Begitu banyak pengorbanan beliau terhadap bangsa ini.

Tapi taukah anda presiden pertama Indonesia, Soekarno ternyata selama masa jabatannya banyak pihak-pihak yang ingin ngajatuhkan beliau? Dari pihak liberal sampai bangsanya sendiri yang tidak suka dengan beliau mencoba menduduki korsi kekuasaan.
Bahkan tidak tanggung-tanggung, Soekarno sudah mengalami percobaan pembunuhan sebanyak 6 kali. Percobaan pembunuhan dimulai dari taon 1950 sampe 1965.






1. Penggranatan di Cikini
Terjadi tepatnya tanggal 30 Nopember 1957, di Cikini, saat itu Bung Karno sedang menghadiri peringatan ulang tahun Yayasan Perguruan Cikini. kedua anaknya Guntur dan Megawati adalah murid SD Yayasan Perguruan Cikini. Bung Karno menyempatkan diri berkeliling sekitar 25 menit, dan saat akan pulang tiba-tiba terdengar ledakan hebat, ternyata itu ledakan granat yang ditakol dari sekitar sekolah. berikut nama pelaku :
-Juyuf Ismail
-Saadon bin Mohammad
-Tasrif bin Husein dan
-Moh Tasin bin Abubakar
berhasil ditangkep dan di bawa ke pengadilan militer. 28 April 1958 keempat pelaku di hukum mati.


2. Penembakan Pesawat MIG-17 ke Istana Negara
tanggal 9 Maret 1960, Bung Karno sedang bersantai di Istana Merdeka. Sebuah pesawat MIG 15 terbang rendah dan meluncurkan roket tepat mengenai Istana Merdeka. Allah lagi berkehendak ngelindungin Bung Karno dari maut. Letnan Penerbang maukar, pilot pesawat itu mendaratkan pesawatnya di persawahan daerah garut karena kehabisan bahan bakar dan tertangkap. Ia kemudian di kenai hukuman mati, tapi sebelum sempat ngejalanin hukuman, Bung Karno mengumumkan amnesty umum terhadap PRRI/PERMESTA

3. Usaha penembakan dalam acara Idhul Adha
Pada tanggal 14 Mei 1962, saat orang-orang mukmin termasuk Bung Karno sedang berjajar dalam shaf hendak melaksanakan Sholat Idul adha tempatnya di lapangan rumput antara Istana Merdeka dan Istana Negara, tiba-tiba kedengeran suara tembakan pistol bertubi-tubi ke arah Bung Karno dari jarak 4 shaf dibelakangnya. Ketika diperiksa, penembak mengaku melihat Bungkarno yang dibidiknya ada dua orang dan ia jadi bingung mau menembak yang mana. Tembakannya meleset tidak kena Bung Karno , tapi malah kena bahu Ketua DPR Zainul Arifin dari NU yang mengimami shalat. Orang itu akhirnya divonis mati, tapi ketika disodorkan kepada Bung Karno untuk membubuhkan tandatangan untuk di eksekusi, Bung Karno tidak tega untuk merentangkan jalan menuju kematiannya, karena ia berpikir bahwa pembunuh sesungguhnya adalah orang-orang terpelajar ultra fanatic yang merencanakan perbuatan itu.
Seorang kiai yang mimpin pesantren di daerah Bogor H. Moh Bachrm,di duga membuat rencana tersebut dan yang memerintahkan melakukannya. Setelah meletus pemberontakan pki, tempat tahanannya dipindahkan dari RTM ke Penjara Salemba berbaur dengan ribuan tahanan G30S. Ditempat itu juga ditahan seorang kapten CPM yang pernah menginterograsinya. Haji Moh. Bachrum menyangkal semua tuduhan. Sikapnya terhadap tahanan G30S, sangat baik dan selama di Salemba, ia sebagai imam dan sembahyang berjamaah yang diikuti oleh semua tahanan yang beragama Islam yang diselenggarakan di lapangan penjara. Dia bebas lebih cepat dari pada para tahanan G30S, karena dianggap berkelakuan baik.

4. Serangan mortar dari gerombolan Kahar Muzakar
Waktu perjalanan dari Lapangan Terbang mandai menuju Kota. Peluru mortar melesat diarahkan ke mobil Bung Karno, tetapi ternyata meleset jauh.

5. di lempar granat di Makassar
Bung Karno dilempar granat di malem hari di Jalan Cenderawasih, sewaktu Bung Karno sedang dalam perjalanan menuju Gedung Olahraga mattoangin untuk mengghadiri suatu acara. Lemparan granat itu meleset dan jatuh mengenai mobil lain yang beriringan dengan mobil Bung Karno.


6. Terjadi ketika suatu hari Bung Karno dalam perjalanan dari Bogor ke Jakarta
Dalam satu iring-iringan bung Karno melihat sendiri seorang laki-laki dengan gaya aneh seperti maling. Dan tiba-tiba aja ngelempar granat ke arah mobil Bung Karno.

Sumber kaskus.us dan wikipedia.org