Bungkarno di Mata Im Yang Tjoe

Siapa Im Yang Tjoe?
Mungkin tidak begitu penting dalam sejarah nasional. Ia tidak masuk dalam golongan orang dekat bung  Karno seperti Lim Thwan Tek, Oei Tjong Hauw, atau Oei Tiong Hauw yang bergabung dalam Chuo Sangiin (Dewan Penasihat Pusat) pimpinan Soekarno.  Tapi ia menjadi penting dalam garis sejarah Sukarno. Penulis keturunan Tionghoa inilah yang membuat buku biografi pertama tentang Bung Karno thun 1933. Beberapa saat setelah Bung Karno dibebaskan dari Sukamiskin. Setahun sebelum Bung Karno dibuang ke Ende.

Buku itu terbit jauh sebelum kemerdekaan RI. Tetapi, dalam tulisannya, Im Yang Tjoe sudah merasakan aura Bung Karno akan berdiri sebagai pemimpin bangsa ini, akan membebaskan bangsa ini dari penjajahan kolonial. Ia sudah lama melakukan observasi, penelitian, dan mengikuti rekam-jejak Sukarno. Bahkan untuk keperluan penulisan bukunya, ia menelusuri hingga ke Tulungagung, Sidoarjo, Mojokerto, Surabaya, dan tentu saja Bandung. Karena itu pula, Im Yang Tjoe bisa mendiskripsikan dengan begitu jelas riwayat Sukarno sejak anak-anak hingga mewujud menjadi tokoh pergerakan kemerdekaan.

Pada bagian akhir bukunya, ia membuat kesaksian. Begini ia menulis, “Sedikit pernyataan, kenapa buku ini ditulis, tiada lain karena penulisnya bersimpati pada tabiat kesatria dan kemanusiaan yang ada pada diri Ir Sukarno itu.”



Soekarno Penuh Kasih

Lebih lanjut ia menuliskan, perikemanusiaan Sukarno begitu besar, dan dirasakan sampai sekarang. Sejak berumur 14 tahun, membunuh nyamuk saja ia tiada pernah, kendati nyamuk itu menggigit badannya. Sebab, ia menganggap nyamuk-nyamuk itu sudah diciptakan untuk hidupnya harus menghisap darah manusia, seperti halnya semut yang mesti memakan gula.

Karenanya, Sukarno berpikir, tidak harus lantaran cangkir kopinya dirubung semut, manusia harus menggunakan kekuatannya untuk membinasakan semut. “Yah… sebagai manusia, Sukarno pantas dihormati,” tulis Im Yang Tjoe.

Sementara, dirinya sendiri terus menolong orang-orang miskin, tidak peduli bangsa apa saja. Jangankan kepada bangsanya sendiri, bahkan kepada orang Belanda yang kenal dengannya ketika sama-sama di penjara, dan ketika keluar tidak punya penghasilan, datang kepada Sukarno yang dengan suka rela memberikan apa saja yang ia punya. Uang tiga picis dikasih satu rupiah, terkadang yang dua rupiah dikasih semua tanpa memikirkan apakah besok masak sayur atau hanya makan pakai garam.

Siapa yang mesti memperingatkan Sukarno akan tabiat yang terkadang menyulitkan dirinya sendiri itu? Tidak satu pun. Karena, Inggit istrinya, pun setali tiga uang. Karenanya, keduanya seakan bersaing dalam kebaikan. Tak jarang mereka main dulu-duluan menyebar milik mereka kepada siapa saja yang lebih membutuhkan. Padahal, kehidupan mereka sendiri tergolong tak seberapa mampu.

Tidak sedikit yang menganggap perbuatan keduanya sebagai bodoh atau konyol. Akan tetapi, tidak begitu sikap Sukarno dan Inggit. Bagi keduanya, ibarat memiliki sebuah gunung emas, girang dan senangnya tidak seberapa dibanding ketika keduanya bisa memberi harta yang paling akhir yang dimilikinya kepada sesama manusia yang sedang dalam kesusahan.



Soekarno Dihormati dan Dikasihi

Pada halaman pengantar, Im Yang Tjoe menulis: “Kepada Ir. Soekarno: Toean, apabila ini menoesoek perasa’an toean, saja minta ma’af atas dasar bahoea ini boekoe saja toelis aken kagoena’annja rahajat jang toean tjinta, samentara ditulisnja poen dengen hati soetji dan penoeh penghormatan. Im Yang Tjoe.”

Dalam episode penangkapan Sokarno di Jogjakarta, 29 Desember 1929, dan kemudin dari kantor polisi digiring ke kereta api, Im Yang Tjoe menulis, Soekarno dikawal ketat dengan memukul tambur sepanjang jalan. Begitu juga ketika Bung Karno keluar dari penjara Soekamiskin, Im Yang Tjoe mencatat, 98 buah mobil, 320 delman sudah siap menjemput Soekarno. Tetapi, pemerintah Belanda hanya mengizinkan delapan buah mobil, antara lain, yang ditumpangi istrinya, Inggit Garnasih, dan anak angkat mereka, Ratna Djoeami, serta mobil yang membawa Moh. Husni Thamrin, anggota Volksraad yang datang dari Betawi.

Ini dia siapa Im Yang Tjoe
Im Yang Tjoe adalah sebuah nama samaran dari seoarng wartawan yang bernama asli Tan Hong Bun.
Pada masa tuanya, ia menjadi kaya, tetapi bukan karena buku-buku yang ditulisnya, juga bukan karena pernah dekat dengan Bung Karno. Ia sering berkeliling Pulau Jawa dengan bersepeda dan meramu jamu yang kemudian diberi merek dagang Pil Kita yang ternyata paling digandrungi para atlet dan sopir
kutipan Peter A. Rohi , wartawan senior pada artikel jawa pos

0 komentar:

Posting Komentar