Tampilkan postingan dengan label OrangIndonesia. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OrangIndonesia. Tampilkan semua postingan

Teranglah Wanita Berbangsa (RA Kartini)

RA Kartini
Habis gelap terbitlah terang melekat pada sosok Kartini. Sebuah terang pada wanita Indonesia yang terbelenggu pada aturan adat dan agama. Menunjukan bahwa perasaan wanita lebih kuat dari fisik laki-laki. Disadari oleh Kartini bahwa kedunya harus saling melengkapi. Ia tidak bisa mendirikan sekolah sendiri tanpa ada sosok suami yang mendukung. Dari pernikahaanya ia bisa mendirikan sekolah wanita pertama di rembang.

Riwayat Singkat

RA Kartini lahir disebuah desa di Mayong yang terletak 22 km sebelum masuk jantung kota Jepara. Disanalah beliau dilahirkan oleh seorang ibu bernama M.A. Ngasirah dari kalangan rakyat biasa yang dijadikan garwo ampil (selir) oleh wedono Mayong RMAA Sosroningrat. Anak yang lahir itu adalah seorang bocah kecil dengan mata bulat berbinar-binar memancarkan cahaya cemerlang seolah menatap masa depan yang penuh tantangan.
Kartini hanya dapat merasakan bangku sekolah sampai umur 12 tahun di ELS (Europese Lagere School, karena pada saat itu wanita tidak boleh berpendidikan lebih tinggi dari pria. Beliau pernah juga mengajukan lamaran untuk sekolah dengan beasiswa ke negeri Belanda dan ternyata dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hanya saja dengan berbagai pertimbangan terutama adat maka besiswa tersebut diserahkan kepada putera lainnya yang namanya kemudian cukup terkenal yaitu H. Agus Salim.

Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.

Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903 dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan diberi kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.

Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.

Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.

Buah Pikiran

Sekolah Kartini
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.

Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.

Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.


Buku-buku rangkuman surat Kartini

  • Habis Gelap Terbitlah Terang
  • Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya
  • Letters from Kartini, An Indonesian Feminist 1900-1904
  • Panggil Aku Kartini Saja
  • Kartini Surat-surat kepada Ny RM Abendanon-Mandri dan suaminya

Kutipan mutiara dari tulisan Kartini

Tiada awan di langit yang tetap selamanya. Tiada mungkin akan terus-menerus terang cuaca. Sehabis malam gelap gulita lahir pagi membawa keindahan. Kehidupan manusia serupa alam. – R. A. Kartini

Gadis yang pikirannya sudah dicerdaskan, pemandangannya sudah diperluas, tidak akan sanggup lagi hidup di dalam dunia nenek moyangnya. – R. A. Kartini

Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata “Aku tiada dapat!” melenyapkan rasa berani. Kalimat “Aku mau!” membuat kita mudah mendaki puncak gunung. – R. A. Kartini

Dan biarpun saya tiada beruntung sampai ke ujung jalan itu, meskipun patah di tengah jalan, saya akan mati dengan merasa berbahagia, karena jalannya sudah terbuka dan saya ada turut membantu mengadakan jalan yang menuju ke tempat perempuan Bumiputra merdeka dan berdiri sendiri. – R. A. Kartini

Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam. – R. A. Kartini

Salah satu daripada cita-cita yang hendak kusebarkan ialah: Hormatilah segala yang hidup, hak-haknya, perasaannya, baik tidak terpaksa baikpun karena terpaksa, haruslah juga segan menyakiti mahkluk lain, sedikitpun jangan sampai menyakitinya. Segenap cita-citanya kita hendaklah menjaga sedapat-dapat yang kita usahakan, supaya semasa mahkluk itu terhindar dari penderitaan, dan dengan jalan demikian menolong memperbagus hidupnya: dan lagi ada pula suatu kewajiban yang tinggi murni, yaitu “terima kasih” namanya. - R. A. Kartini

Adakah yang lebih hina, daripada bergantung kepada orang lain? – R. A. Kartini

Lebih banyak kita maklum, lebih kurang rasa dendam dalam hati kita, semakin adil pertimbangan kita dan semakin kokoh dasar rasa kasih sayang. Tiada mendendam, itulah bahagia. – R. A. Kartini

Ikhtiar! Berjuanglah membebaskan diri.. Jika engkau sudah bebas karena ikhtiarmu itu, barulah dapat engkau tolong orang lain. – R. A. Kartini

Tetapi sekarang ini, kami tiada mencari penglipur hati pada manusia, kami berpegangan teguh-teguh pada tangan-Nya. Maka hari gelap gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi. – R. A. Kartini

Karena ada bunga mati, maka banyaklah buah yang tumbuh, demikianlah pula dalam hidup manusia bukan? Karena ada angan-angan muda mati, kadang-kadang timbullah angan-angan lain, yang lebih sempurna, yang boleh menjadikan buah. – R. A. Kartini

K.H. Zainal Mustafa (Pahlawan Asal Tasikmalaya)

K.H. Zainal Mustafa (lahir di Bageur, Cimerah, Singaparna, Tasikmalaya, 1899 - Jakarta, 28 Maret 1944) adalah salah satu pahlawan nasional Indonesia. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tasikmalaya.

KH. Zaenal Mustofa adalah pemimpin sebuah pesantren di Tasikmalaya dan pejuang Islam pertama dari Jawa Barat yang mengadakan pemberontakan terhadap pemerintahan Jepang. Nama kecilnya Hudaeni. Lahir dari keluarga petani berkecukupan, putra pasangan Nawapi dan Ny. Ratmah, di kampung Bageur, Desa Cimerah, Kecamatan Singaparna (kini termasuk wilayah Desa Sukarapih Kecamatan Sukarame) Kabupaten Tasikmalaya (ada yang menyebut ia lahir tahun 1901 dan Ensiklopedia Islam menyebutnya tahun 1907, sementara tahun yang tertera di atas diperoleh dari catatan Nina Herlina Lubis, Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia Cabang Jawa Barat). Namanya menjadi Zaenal Mustofa setelah ia menunaikan ibadah haji pada tahun 1927. Hudaeni memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, ia belajar mengaji dari guru agama di kampungnya. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkannya untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali ia melanjutkan pendidikannya ke pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Dimyati, kakak sepupunya, yang dikenal dengan nama KH. Zainal Muhsin. Dari Gunung Pari, ia kemudian mondok di Pesantren Cilenga, Leuwisari, dan di Pesantren Sukamiskin, Bandung. Selama kurang lebih 17 tahun ia terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah ia mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas. Lewat ibadah haji, ia berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Ia pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci. Kontak dengan dunia luar itu mendorongnya untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya dari ibadah haji, tahun 1927, ia mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah. Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini ia menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya. Di samping itu, ia juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kiai pun menjadi melekat dengan namanya. KH. Zaenal Mustofa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, ia masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya

Perlawanan kepada penjajah Sejak tahun 1940

KH. Zaenal Mustofa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap pendudukan penjajah. Ia selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikannya dalam ceramah dan khutbah-khutbahnya. Atas perbuatannya ini, ia selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kiai yang pro Belanda. Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zaenal Mustofa bersama KH. Ruhiat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942. Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanannya terhadap penjajah tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zaenal Mustofa bersama Kiai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapannya yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, ia masih mendekam di penjara. Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zaenal Mustofa dibebaskan dari penjara, dengan harapan ia akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya. Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zaenal Mustofa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkatnya, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, ia memperingatkan para pengikut dan santrinya agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Ia malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda. Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangannya itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebenciannya semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat. Pada masa pemerintahan Jepang ini, ia menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Tokyo. Ia menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat. Sikap ini pernah ia tunjukkan secara terang-terangan di muka Jepang. Pada waktu itu, semua alim ulama Singaparna harus berkumpul di alun-alun dan semua diwajibkan melakukan seikerei. Di bawah todongan senjata, semua ulama terpaksa melakukan perintah itu, hanya KH. Zaenal Mustofa yang tetap membangkang. Ia juga mengatakan kepada Kiai Rukhiyat, yang hadir pada waktu itu, bahwa perbuatan tersebut termasuk musyrik. Menurutnya, orang-orang musyrik itu tidak perlu ditakuti, apalagi diikuti perintahnya. Sebaliknya, mereka justeru harus diperangi dan dimusnahkan dari muka bumi. Ia yakin bahwa dalam Islam hanya Allah Swt lah yang patut ditakuti dan dituruti; Allah Swt selalu bersama-sama orang yang mau dekat kepada-Nya dan selalu memberikan pertolongan dan kekuatan kepada orang-orang yang mau berjuang membela agamanya. Ia berprinsip lebih baik mati ketimbang menuruti perintah Jepang. Keyakinan seperti ini senantiasa ditanamkan kepada para santrinya dan masyarakat Islam sekitarnya. Ia juga menentang dan mengecam romusha, pengerahan tenaga rakyat untuk bekerja dengan paksa. Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zaenal Mustofa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Pebruari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula ia akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik. Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zaenal Mustofa meminta para santrinya mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kiai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zaenal Mustofa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas. Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zaenal Mustofa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum. Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Pebruari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir. Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu salat Asar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri. Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, Zaenal Mustofa memerintahkan para santrinya untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian. Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna. Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di Penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang. Pun, sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zaenal Mustofa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikutnya yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang, termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zaenal Mustofa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zaenal Mustofa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya. Besarnya pengaruh KH Zaenal Mustofa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantrennya sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun. Belakangan, Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta memberi kabar bahwa KH. Zaenal Mustofa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta. Melalui penelusuran salah seorang santrinya, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makamnya itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santrinya yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.

Diangkat menjadi pahlawan Pada tanggal 6 Nopember 1972,
KH. Zaenal Mustofa diangkat sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.

Pendeklarasi Negara Kepulauan (Ir H Djuanda Kartawidjaja)

Nama : Ir H Djuanda Kartawidjaja
Lahir : Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911
Meninggal: Jakarta 7 November 1963 Agama: Islam

Pendidikan: Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) – sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), 1933

Karir:
- Guru SMA Muhammadiyah di Jakarta, 1933-1937
- Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura
- Menteri Perhubungan - Menteri Pengairan
- Menteri Kemakmuran - Menteri Keuangan
- Menteri Pertahanan - Perdana Menteri
- Pendiri Persatuan Insinyiur Indonesia (PII) bersama Ir Rooseno Soeryohadikoesoemo, 23 Mei 1952

Perdana Menteri Ir H Djuanda Kartawidjaja, pada 13 Desember 1957 mendeklarasikan bahwa Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan. Pria kelahiran Tasikmalaya, Jawa Barat, 14 Januari 1911, itu dengan kepemimpinan yang berani dan visioner mendeklarasikan bahwa semua pulau dan laut Nusantara adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan (wawasan nusantara). Maka sangat bijak ketika hari Deklarasi Djuanda itu kemudian melalui Keppres No.126/2001 dikukuhkan sebagai Hari Nusantara.

Ir H Djuanda Kartawidjaja, lulusan Technische Hogeschool (Sekolah Tinggi Teknik) – sekarang Institut Teknologi Bandung (ITB), yang beberapa kali menjabat menteri di antaranya Menteri Perhubungan, Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan, itu sebelumnya sangat risau melihat pengakuan masyarakat internasional kala itu yang hanya mengakui bahwa batas laut teritorial selebar 3 mil laut terhitung dari garis pantai terendah. Itu artinya pulau-pula Nusantara dalam wilayan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diproklamirkan 17 Agustus 1945, adalah pulau-pulau yang terpisah-pisah oleh perairan (lautan) internasional (bebas).

Negara-negara lain, terutama Amerika Serikat dan Australia, sangat berkepentingan mempertahankan kondisi pulau-pulau Indonesia yang terpisah-pisah itu. Tetapi PM Djuanda dengan berani mendobrak kepentingan negara-negara maju itu.

Dengan berani dia mengumumkan kepada dunia (Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957) bahwa segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau yang termasuk dalam daratan Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya, adalah bagian yang wajar dari wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan pedalaman atau perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Djuanda, dengan berani mengumumkan kepada dunia, bahwa wilayah laut Indonesia tidaklah sebatas yang diatur dalam Territoriale Zee Maritiem Kringen Ordonantie (ordonansi tentang laut teritorial dan lingkungan maritim) 1939, tetapi wilayah laut Indonesia adalah termasuk laut di sekitar, diantara, dan di dalam Kepulauan Indonesia.

Deklarasi tiu juga menyatakan penentuan batas laut 12 mil yang diukur dari garis-garis yang menghubungkan titik terluar pada pulau-pulau Negara Republik Indonesia akan ditentukan dengan Undang-undang.

Deklarasi itu ditentang oleh Amerika Serikat dan Australia. Namun, Djuanda dan para penerus dalam pemerintahan berikutnya, di antaranya Prof Dr Mochtar Kusumaatmadja dan Prof Dr Hasyim Djalal, dengan gigih berjuang melalui diplomasi sehingga konsepsi negara nusantara tersebut diterima dan ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB, United Nation Convention on Law of the Sea (UNCLOS) 1982.

Dengan demikian, Indonesia menjadi negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Memiliki wilayah laut seluas 5,8 juta km2 yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut itu terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Deklarasi Djuanda secara geo-politik memiliki arti yang sangat strategis bagi kesatuan, persatuan, pertahanan dan kedaulatan serta kemajuan Indonesia. Deklarasi Djoeanda dapat disebut merupakan pilar utama ketiga dari bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tiga pilar utama tersebut adalah:
(1) Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 yang merupakan pernyataan Kesatuan Kejiwaan Indonesia;
(2) Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan NKRI;
(3) Delarasi Djuanda 13 Desember 1957 sebagai pernyataan Kesatuan Kewilayahan Indonesia (darat, laut dan udara).

Secara geo-ekonomi Deklarasi Djuanda juga strategis bagi kejayaan dan kemakmuran Indonesia. Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumput laut, dan produk-produk bioteknologi), sumberdaya alam yang tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya), juga energi kelautan seperti pasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion), maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.

Abdi Negara Ir Djuanda seorang abdi negara dan abdi masyarakat. Dia seorang pegawai negeri yang patut diteladani. Meniti karir dalam berbagai jabatan pengabdian kepada negara dan bangsa. Semenjak lulus dari Technische Hogeschool (1933) dia memilih mengabdi di tengah masyarakat. Dia memilih mengajar di SMA Muhammadiyah di Jakarta dengan gaji seadanya. Padahal, kala itu dia ditawari menjadi asisten dosen di Technische Hogeschool dengan gaji lebih besar.

Setelah empat tahun mengajar di SMA Muhammadiyah Jakarta, pada 1937, Djuanda mengabdi dalam dinas pemerintah di Jawaatan Irigasi Jawa Barat. Selain itu, dia juga aktif sebagai anggota Dewan Daerah Jakarta.

Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, tepatnya pada 28 September 1945, Djuanda memimpin para pemuda mengambil-alih Jawatan Kereta Api dari Jepang. Disusul pengambil-alihan Jawatan Pertambangan, Kotapraja, Keresidenan dan obyek-obyek militer di Gudang Utara Bandung.

Kemudian pemerintah RI mengangkat Djuanda sebagai Kepala Jawatan Kereta Api untuk wilayah Jawa dan Madura. Setelah itu, dia diangkat menjabat Menteri Perhubungan. Dia pun pernah menjabat Menteri Pengairan, Kemakmuran, Keuangan dan Pertahanan. Beberapa kali dia memimpin perundingan dengan Belanda. Di antaranya dalam Perundingan KMB, dia bertindak sebagai Ketua Panitia Ekonomi dan Keuangan Delegasi Indonesia. Dalam Perundingan KMB ini, Belanda mengakui kedaulatan pemerintahan RI.

Djuanda sempat ditangkap tentara Belanda saat Agresi Militer II tanggal 19 Desember 1948. Dia dibujuk agar bersedia ikut dalam pemerintahan Negara Pasundan. Tetapi dia menolak.

Dia seorang abdi negara dan masyarakat yang bekerja melampaui batas panggilan tugasnya. Mampu menghadapi tantangan dan mencari solusi terbaik demi kepentingan bangsa dan negaranya. Karya pengabdiannya yang paling strategis adalah Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.

Dia seorang pemimpin yang luwes. Dalam beberapa hal dia kadangkala berbeda pendapat dengan Presiden Soekarno dan tokoh-tokoh politik lainnya. Djuanda meninggal dunia di Jakarta 7 November 1963 dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.

Pak Sakera (Bantengnya Madura)

Sakera adalah seorang tokoh pejuang yang lahir di kelurahan Raci Kota Bangil, Pasuruan, Jatim, Indonesia. Ia berjuang melawan penjajahan Belanda pada awal abad ke-19. Sakera adalah seorang jagoan daerah yang melawan penjajah Belanda di perkebunan tebu Kancil Mas Bangil. Legenda jagoan berdarah Bangil ini sangat populer di Jawa Timur utamanya di Pasuruan dan Madura.
Sakera bernama asli Sadiman yang bekerja sebagai mandor di perkebunan tebu milik pabrik gula kancil Mas Bangil. Ia dikenal sebagai seorang mandor yang baik hati dan sangat memperhatikan kesejahteraan para pekerja hingga dijuluki Pak Sakera (dalam bahasa kawi sakera memiliki arti ringan tangan, akrab/mempunyai banyak teman).
Pak Sakera ini mempunyai istri dua, yang tua bernama Ginten. Tahukah kalian kalau Ginten itu lebih terkenal dengan sebutan Bu Sakera. Istri mudanya bernama Marlena. Meskipun dimadu, Ginten dan Marlena itu akur, rukun, tidak pernah bertengkar. Malahan saat Pak Sakera marah ke Marlena, Bu Sakera, atau Ginten, justru mengingatkan suaminya.. “Jangan marah-marah ke istri. Orang yang suka marah ke istri itu rejekinya sulit.” Selain bersama dua istrinya, Pak Sakera juga tinggal bersama seorang keponakannya dari istri Tuanya yang bernama Brudin.
Suatu saat setelah musim giling selesai, pabrik gula tersebut membutuhkan banyak lahan baru untuk menanam tebu. Karena kepentingan itu orang Belanda pimpinan ambisius perusahaan ini ingin membeli lahan perkebunan yang seluas-luas dengan harga semurah-murahnya.dengan cara yang licik orang belanda itu menyuruh carik Rembang untuk bisa menyediakan lahan baru bagi perusahaan dalam jangka waktu singkat dan murah, dan dengan iming-iming harta dan kekayaan hingga carik Rembang bersedia memenuhi keinginan tersebut. Carik Rembang menggunakan cara-cara kekerasan kepada rakyat dalam mengupayakan tanah untuk perusahaan.
Sakera melihat ketidak adilan ini mencoba selalu membela rakyat dan berkali kali upaya carik Rembang gagal. Carik Rembang melaporkan hal ini kepada pemimpin perusahaan. Pemimpin perusahaan marah dan mengutus wakilnya Markus untuk membunuh Sakera. Suatu hari di perkebunan pekerja sedang istirahat, Markus marah-marah dan menghukum para pekerja serta menantang Sakera. Sakera yang dilapori hal ini marah dan membunuh Markus serta pengawalnya di kebon tebu. Sejak saat itu Sakera menjadi buronan polisi pemerintah Hindia Belanda. Suatu saat ketika Sakera berkunjung ke rumah ibunya, disana ia dikeroyok oleh carik Rembang dan polisi Belanda. Karena ibu Sakera diancam akan dibunuh maka Sakera akhirnya menyerah, Sakera pun masuk penjara Bangil.
Siksaan demi siksaan dilakukan polisi belanda kepada sakera setiap hari. selama dipenjara Pak Sakera selalu kangen dengan keluarga dirumahnya, Sakera memiliki istri yang sangat cantik bernama Marlena dan seorang keponakan bernama Brodin. Berbeda dengan Sakera yang berjiwa besar, Brodin adalah pemuda nakal yang suka berjudi dan sembunyi-sembunyi mengincar Marlena istri Sakera. Berkali kali Brodin berusaha untuk mendekati Marlena. Sementara Sakera ada dipenjara, Brodin berhasil berselingkuh dengan Marlena.
Ketika kabar itu sampai di telinga Sakera maka Sakera marah dan kabur dari penjara. Brodin pun tewas dibunuh Sakera. Kemudian Pak Sakera melakukan balas dendam secara berturut turut, dimulai Carik Rembang dibunuh, dilanjutkan dengan menghabisi para petinggi perkebunan yang memeras rakyat. Bahkan kepala polisi Bangil pun ditebas tanganya dengan senjata khasnya ‘Clurit’ ketika mencoba menangkap Sakera. Dengan cara yang licik pula polisi belanda mendatangi teman seperguruan sakera yang bernama Aziz untuk mencari kelemahan Pak Sakera. Dengan iming-iming akan diberi imbalan kekayaan oleh Goverment Belanda di Bangil Aziz menjebak Sakera dengan mengadakan tayuban, karena tahu Sakera paling senang acara tayuban akhirnya Sakera pun terjebak dan dilumpuhkan ilmunya degan pukulan bambu apus. Lagi-lagi belanda berhasil mertangkap kembali Pak Sakera yang kemudian diadili oleh Government Bangil dan diputuskan untuk dihukum gantung.
Sakera gugur digantung di penjara Bangil dan Ia dimakamkan di Bekacak, Kelurahan Kolursari (daerah paling selatan Kota Bangil).

Sumpah Pemuda (Lahirnya Bangsa Sejati)

teks Sumpah Pemuda
Sumpah Pemuda merupakan bukti otentik bahwa pada tanggal 28 Oktober 1928 Bangsa Indonesia dilahirkan, oleh karena itu seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia, proses kelahiran Bangsa Indonesia ini merupakan buah dari perjuangan rakyat yang selama ratusan tahun tertindas dibawah kekuasaan kaum kolonialis pada saat itu, kondisi ketertindasan inilah yang kemudian mendorong para pemuda pada saat itu untuk membulatkan tekad demi mengangkat harkat dan martabat hidup orang Indonesia asli, tekad inilah yang menjadi komitmen perjuangan rakyat Indonesia hingga berhasil mencapai kemerdekaannya 17 tahun kemudian yaitu pada 17 Agustus 1945. Rumusan Sumpah Pemuda ditulis Moehammad Yamin pada sebuah kertas ketika Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato pada sesi terakhir kongres. Sumpah tersebut awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang-lebar oleh Yamin.
Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928. isi teks aslinya adalah:

SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA
Djakarta, 28 Oktober 1928

sumpah pemuda
Gagasan penyelenggaraan Kongres Pemuda Kedua berasal dari Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggota pelajar dari seluruh Indonesia. Atas inisiatif PPPI, kongres dilaksanakan di tiga gedung yang berbeda dan dibagi dalam tiga kali rapat. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng). Dalam sambutannya, ketua PPPI Sugondo Djojopuspito berharap kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda. Acara dilanjutkan dengan uraian Moehammad Yamin tentang arti dan hubungan persatuan dengan pemuda. Menurutnya, ada lima faktor yang bisa memperkuat persatuan Indonesia yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kemauan
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928, di Gedung Oost-Java Bioscoop, membahas masalah pendidikan. Kedua pembicara, Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, berpendapat bahwa anak harus mendapat pendidikan kebangsaan, harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan di rumah. Anak juga harus dididik secara demokratis. Pada rapat penutup, di gedung Indonesische Clubgebouw di Jalan Kramat Raya 106, Sunario menjelaskan pentingnya nasionalisme dan demokrasi selain gerakan kepanduan. Sedangkan Ramelan mengemukakan, gerakan kepanduan tidak bisa dipisahkan dari pergerakan nasional. Gerakan kepanduan sejak dini mendidik anak-anak disiplin dan mandiri, hal-hal yang dibutuhkan dalam perjuangan. Sebelum kongres ditutup diperdengarkan lagu "Indonesia Raya" karya Wage Rudolf Supratman yang dimainkan dengan biola saja tanpa syair, atas saran Sugondo kepada Supratman. Lagu tersebut disambut dengan sangat meriah oleh peserta kongres. Kongres ditutup dengan mengumumkan rumusan hasil kongres. Oleh para pemuda yang hadir, rumusan itu diucapkan sebagai Sumpah Setia.

Para peserta Kongres Pemuda II ini berasal dari berbagai wakil organisasi pemuda yang ada pada waktu itu, seperti Jong Java, Jong Ambon, Jong Celebes, Jong Batak, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Rukun, PPPI, Pemuda Kaum Betawi, dll. Di antara mereka hadir pula beberapa orang pemuda Tionghoa sebagai pengamat, yaitu Oey Kay Siang, John Lauw Tjoan Hok dan Tjio Djien Kwie namun sampai saat ini tidak diketahui latar belakang organisasi yang mengutus mereka. Sementara Kwee Thiam Hiong hadir sebagai seorang wakil dari Jong Sumatranen Bond. Diprakarsai oleh AR Baswedan pemuda keturunan arab di Indonesia mengadakan kongres di Semarang dan mengumandangkan Sumpah Pemuda Keturunan Arab.

Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :

  • Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
  • Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
  • Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
  • Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
  • Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
  • Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
  • Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
  • Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
  • Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)

Peserta :

  1. Abdul Muthalib Sangadji
  2. Purnama Wulan
  3. Abdul Rachman
  4. Raden Soeharto
  5. Abu Hanifah
  6. Raden Soekamso
  7. Adnan Kapau Gani
  8. Ramelan
  9. Amir (Dienaren van Indie)
  10. Saerun (Keng Po)
  11. Anta Permana
  12. Sahardjo
  13. Anwari
  14. Sarbini
  15. Arnold Manonutu
  16. Sarmidi Mangunsarkoro
  17. Assaat
  18. Sartono
  19. Bahder Djohan
  20. S.M. Kartosoewirjo
  21. Dali
  22. Setiawan
  23. Darsa
  24. Sigit (Indonesische Studieclub)
  25. Dien Pantouw
  26. Siti Sundari
  27. Djuanda
  28. Sjahpuddin Latif
  29. Dr.Pijper
  30. Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
  31. Emma Puradiredja
  32. Soejono Djoenoed Poeponegoro
  33. Halim
  34. R.M. Djoko Marsaid
  35. Hamami
  36. Soekamto
  37. Jo Tumbuhan
  38. Soekmono
  39. Joesoepadi
  40. Soekowati (Volksraad)
  41. Jos Masdani
  42. Soemanang
  43. Kadir
  44. Soemarto
  45. Karto Menggolo
  46. Soenario (PAPI & INPO)
  47. Kasman Singodimedjo
  48. Soerjadi
  49. Koentjoro Poerbopranoto
  50. Soewadji Prawirohardjo
  51. Martakusuma
  52. Soewirjo
  53. Masmoen Rasid
  54. Soeworo
  55. Mohammad Ali Hanafiah
  56. Suhara
  57. Mohammad Nazif
  58. Sujono (Volksraad)
  59. Mohammad Roem
  60. Sulaeman
  61. Mohammad Tabrani
  62. Suwarni
  63. Mohammad Tamzil
  64. Tjahija
  65. Muhidin (Pasundan)
  66. Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
  67. Mukarno
  68. Wilopo
  69. Muwardi
  70. Wage Rudolf Soepratman
  71. Nona Tumbel

(disarikan dari berbagai macam sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda, http://www.sumpahpemuda.org/)

Perumus Lambang Negara (Sultan Hamid II)


Sultan Hamid II putra sulung Sultan Pontianak; Sultan Syarif Muhammad Alkadrie (lahir di Pontianak, Kalimantan Barat, 12 Juli 1913 – meninggal di Jakarta, 30 Maret 1978 pada umur 64 tahun) yang terlahir dengan nama 'Syarif Abdul Hamid Alkadrie.  Sultan Hamid II Perancang Lambang Negara Indonesia, Garuda Pancasila. Dalam tubuhnya mengalir darah Arab-Indonesia pernah diurus ibu asuh berkebangsaan Inggris. Istri beliau seorang perempuan Belanda yang kemudian melahirkan dua anak keduanya sekarang di Negeri Belanda.

Pendidikan dan Karir

Syarif menempuh pendidikan ELS di Sukabumi, Pontianak, Yogyakarta, dan Bandung. HBS di Bandung satu tahun, THS Bandung tidak tamat, kemudian KMA di Breda, Belanda hingga tamat dan meraih pangkat letnan pada kesatuan tentara Hindia Belanda.

Masa Pendudukan Jepang

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan sekutunya, pada 10 Maret 1942, ia tertawan. Dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel. Ketika ayahnya mangkat akibat agresi Jepang, pada 29 Oktober 1945 dia diangkat menjadi sultan Pontianak menggantikan ayahnya dengan gelar Sultan Hamid II. Dalam perjuangan federalisme, Sultan Hamid II memperoleh jabatan penting sebagai wakil daerah istimewa Kalimantan Barat dan selalu turut dalam perundingan-perundingan Malino, Denpasar, BFO, BFC, IJC dan KMB di Indonesia dan Belanda.

Sultan Hamid II kemudian memperoleh jabatan Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden, yakni sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda dan orang Indonesia pertama yang memperoleh pangkat tertinggi dalam kemiliteran.

Menteri Negara dan Peristiwa APRA

Pada 21-22 Desember 1949, beberapa hari setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio, Westerling yang telah melakukan makar di Tanah Air menawarkan “over commando” kepadanya, namun dia menolak tegas. Karena tahu Westerling adalah gembong APRA.

Selanjutnya dia berangkat ke Negeri Belanda, dan pada 2 Januari 1950, sepulangnya dari Negeri Kincir itu dia merasa kecewa atas pengiriman pasukan TNI ke Kalbar - karena tidak mengikutsertakan anak buahnya dari KNIL.

Pada saat yang hampir bersamaan, terjadi peristiwa yang menggegerkan; Westerling menyerbu Bandung pada 23 Januari 1950. Sultan Hamid II tidak setuju dengan tindakan anak buahnya itu, Westerling sempat marah.

Perumusan Lambang Negara (Garuda Pancasila)

Sewaktu Republik Indonesia Serikat dibentuk, dia diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Porto Folio dan selama jabatan menteri negara itu ditugaskan Presiden Soekarno merencanakan, merancang dan merumuskan gambar lambang negara.

Tanggal 10 Januari 1950 dibentuk Panitia Teknis dengan nama Panitia Lencana Negara di bawah koordinator Menteri Negara Zonder Porto Folio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis Muhammad Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantoro, M. A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan RM Ngabehi Purbatjaraka sebagai anggota. Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

Merujuk keterangan Bung Hatta dalam buku “Bung Hatta Menjawab” untuk melaksanakan Keputusan Sidang Kabinet tersebut Menteri Priyono melaksanakan sayembara. Terpilih dua rancangan lambang negara terbaik, yaitu karya Sultan Hamid II dan karya M. Yamin. Pada proses selanjutnya yang diterima pemerintah dan DPR adalah rancangan Sultan Hamid II. Karya M. Yamin ditolak karena menyertakan sinar-sinar matahari dan menampakkan pengaruh Jepang.

Setelah rancangan terpilih, dialog intensif antara perancang (Sultan Hamid II), Presiden RIS Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta, terus dilakukan untuk keperluan penyempurnaan rancangan itu. Terjadi kesepakatan mereka bertiga, mengganti pita yang dicengkeram Garuda, yang semula adalah pita merah putih menjadi pita putih dengan menambahkan semboyan "Bhineka Tunggal Ika".

Pada tanggal 8 Februari 1950, rancangan final lambang negara yang dibuat Menteri Negara RIS, Sultan Hamid II diajukan kepada Presiden Soekarno. Rancangan final lambang negara tersebut mendapat masukan dari Partai Masyumi untuk dipertimbangkan, karena adanya keberatan terhadap gambar burung garuda dengan tangan dan bahu manusia yang memegang perisai dan dianggap bersifat mitologis.

Sultan Hamid II kembali mengajukan rancangan gambar lambang negara yang telah disempurnakan berdasarkan aspirasi yang berkembang, sehingga tercipta bentuk Rajawali - Garuda Pancasila dan disingkat Garuda Pancasila. Presiden Soekarno kemudian menyerahkan rancangan tersebut kepada Kabinet RIS melalui Moh Hatta sebagai perdana menteri.

AG Pringgodigdo dalam bukunya “Sekitar Pancasila” terbitan Departemen Hankam, Pusat Sejarah ABRI menyebutkan, rancangan lambang negara karya Sultan Hamid II akhirnya diresmikan pemakaiannya dalam Sidang Kabinet RIS. Ketika itu gambar bentuk kepala Rajawali Garuda Pancasila masih “gundul” dan “'tidak berjambul”' seperti bentuk sekarang ini.

Inilah karya kebangsaan anak-anak negeri yang diramu dari berbagai aspirasi dan kemudian dirancang oleh seorang anak bangsa, Sultan Hamid II Menteri Negara RIS. Presiden Soekarno kemudian memperkenalkan untuk pertama kalinya lambang negara itu kepada khalayak umum di Hotel Des Indes, Jakarta pada 15 Februari 1950.

Penyempurnaan kembali lambang negara itu terus diupayakan. Kepala burung Rajawali Garuda Pancasila yang “gundul” menjadi “berjambul” dilakukan. Bentuk cakar kaki yang mencengkram pita dari semula menghadap ke belakang menjadi menghadap ke depan juga diperbaiki, atas masukan Presiden Soekarno.

Tanggal 20 Maret 1950, bentuk akhir gambar lambang negara yang telah diperbaiki mendapat disposisi Presiden Soekarno, yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk akhir rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini.

Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 akibat diduga bersengkokol dengan Westerling dan APRA-nya.

Masa Akhir

Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H. Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah, Pontianak.

Dari transkrip rekaman dialog Sultan Hamid II dengan Masagung (1974) sewaktu penyerahan berkas dokumen proses perancangan lambang negara, disebutkan “ide perisai Pancasila” muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara. Dia teringat ucapan Presiden Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa, dasar negara Indonesia, di mana sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila divisualisasikan dalam lambang negara.

Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.

Demonstran Alam (Soe Hok Gie)

Soe Hok GieSoe Hok Gie adalah Orang keturunan China yang lahir pada 17 Desember 1942. Leluhur Soe Hok Gie sendiri adalah berasal dari provinsi Hainan, Republik Rakyat Cina. Seorang putra dari pasangan Soe Lie Pit —seorang novelis— dengan Nio Hoe An. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara keluarga Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan, Soe Hok Gie merupakan adik dari Soe Hok Djie yang juga dikenal dengan nama Arief Budiman. Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta.

Sejak masih sekolah, Soe Hok Gie dan Soe Hok Djin sudah sering mengunjungi perpustakaan umum dan beberapa taman bacaan di pinggir-pinggir jalan di Jakarta. Menurut seseorang peneliti, sejak masih Sekolah Dasar (SD), Soe Hok Gie bahkan sudah membaca karya-karya sastra yang serius, seperti karya Pramoedya Ananta Toer. Mungkin karena Ayahnya juga seorang penulis, sehingga tak heran jika dia begitu dekat dengan sastra.

Sesudah lulus SD, kakak beradik itu memilih sekolah yang berbeda, Hok Djin (Arief Budiman) memilih masuk Kanisius, sementara Soe Hok Gie memilih sekolah di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Strada di daerah Gambir. Konon, ketika duduk di bangku ini, ia mendapatkan salinan kumpulan cerpen Pramoedya: “Cerita dari Blora” —bukankah cerpen Pram termasuk langka pada saat itu?

Pada waktu kelas dua di sekolah menangah ini, prestasi Soe Hok Gie buruk. Bahkan ia diharuskan untuk mengulang. Tapi apa reaksi Soe Hok Gie? Ia tidak mau mengulang, ia merasa diperlakukan tidak adil. Akhirnya, ia lebih memilih pindah sekolah dari pada harus duduk lebih lama di bangku sekolah. Sebuah sekolah Kristen Protestan mengizinkan ia masuk ke kelas tiga, tanpa mengulang.

Selepas dari SMP, ia berhasil masuk ke Sekolah Menengan Atas (SMA) Kanisius jurusan sastra. Sedang kakaknya, Hok Djin, juga melanjutkan di sekolah yang sama, tetapi lain jurusan, yakni ilmu alam.

Selama di SMA inilah minat Soe Hok Gie pada sastra makin mendalam, dan sekaligus dia mulai tertarik pada ilmu sejarah. Selain itu, kesadaran berpolitiknya mulai bangkit. Dari sinilah, awal pencatatan perjalanannya yang menarik itu; tulisan yang tajam dan penuh kritik.

Ada hal baik yang diukurnya selama menempuh pendidikan di SMA, Soe Hok Gie dan sang kakak berhasil lulus dengan nilai tinggi. Kemuidan kakak beradik ini melanjutkan ke Universitas Indonesia. Soe Hok Gie memilih ke fakultas sastra jurusan sejarah , sedangkan Hok Djin masuk ke fakultas psikologi.

Di masa kuliah inilah Gie menjadi aktivis kemahasiswaan. Banyak yang meyakini gerakan Gie berpengaruh besar terhadap tumbangnya Soekarno dan termasuk orang pertama yang mengritik tajam rejim Orde Baru.

Gie sangat kecewa dengan sikap teman-teman seangkatannya yang di era demonstrasi tahun 66 mengritik dan mengutuk para pejabat pemerintah kemudian selepas mereka lulus berpihak ke sana dan lupa dengan visi dan misi perjuangan angkatan 66. Gie memang bersikap oposisif dan sulit untuk diajak kompromi dengan oposisinya.

Soe Hok GieSelain itu juga Gie ikut mendirikan Mapala UI. Salah satu kegiatan pentingnya adalah naik gunung. Pada saat memimpin pendakian gunung Slamet 3.442m, ia mengutip Walt Whitman dalam catatan hariannya, “Now I see the secret of the making of the best person. It is to grow in the open air and to eat and sleep with the earth”.

Pemikiran dan sepak terjangnya tercatat dalam catatan hariannya. Pikiran-pikirannya tentang kemanusiaan, tentang hidup, cinta dan juga kematian. Tahun 1968 Gie sempat berkunjung ke Amerika dan Australia, dan piringan hitam favoritnya Joan Baez disita di bandara Sydney karena dianggap anti-war dan komunis. Tahun 1969 Gie lulus dan meneruskan menjadi dosen di almamaternya.

Bersama Mapala UI Gie berencana menaklukkan Gunung Semeru yang tingginya 3.676m. Sewaktu Mapala mencari pendanaan, banyak yang bertanya kenapa naik gunung dan Gie berkata kepada teman-temannya:
“Kami jelaskan apa sebenarnya tujuan kami. Kami katakan bahwa kami adalah manusia-manusia yang tidak percaya pada slogan. Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal objeknya. Dan mencintai tanah air Indonesia dapat ditumbuhkan dengan mengenal Indonesia bersama rakyatnya dari dekat. Pertumbuhan jiwa yang sehat dari pemuda harus berarti pula pertumbuhan fisik yang sehat. Karena itulah kami naik gunung.”

8 Desember sebelum Gie berangkat sempat menuliskan catatannya: “Saya tak tahu apa yang terjadi dengan diri saya. Setelah saya mendengar kematian Kian Fong dari Arief hari Minggu yang lalu. Saya juga punya perasaan untuk selalu ingat pada kematian. Saya ingin mengobrol-ngobrol pamit sebelum ke semeru. Dengan Maria, Rina dan juga ingin membuat acara yang intim dengan Sunarti. Saya kira ini adalah pengaruh atas kematian Kian Fong yang begitu aneh dan begitu cepat.” Hok Gie meninggal di gunung Semeru tahun 1969 tepat sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27 akibat menghirup asap beracun di gunung tersebut. Dia meninggal bersama rekannya, Idhan Dhanvantari Lubis. Selanjutnya catatan selama ke Gunung Semeru lenyap bersamaan dengan meninggalnya Gie di puncak gunung tersebut.

24 Desember 1969 Gie dimakamkan di pemakaman Menteng Pulo, namun dua hari kemudian dipindahkan ke Pekuburan Kober, Tanah Abang. Tahun 1975 Ali Sadikin membongkar Pekuburan Kober sehingga harus dipindahkan lagi, namun keluarganya menolak dan teman-temannya sempat ingat bahwa jika dia meninggal sebaiknya mayatnya dibakar dan abunya disebarkan di gunung. Dengan pertimbangan tersebut akhirnya tulang belulang Gie dikremasi dan abunya disebar di puncak Gunung Pangrango.

Beberapa quote yang diambil dari catatan hariannya Gie:

“Seorang filsuf Yunani pernah menulis … nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Bahagialah mereka yang mati muda.”

“Kehidupan sekarang benar-benar membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini tidak pantas mati di tempat tidur.”

“Yang paling berharga dan hakiki dalam kehidupan adalah dapat mencintai, dapat iba hati, dapat merasai kedukaan…”

Selain Catatan Seorang Demonstran, buku lain yang ditulis Soe Hok Gie adalah Zaman Peralihan, Di Bawah Lentera Merah (yang ini saya belum punya) dan Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan serta riset ilmiah DR. John Maxwell Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani.

Dipenjara Negeri Sendiri Dihargai Dunia (Pramoedya Ananta Toer)

Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 – meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing.

Masa kecil

Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia.

Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karir militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno.

Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Kontroversi

Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya.

Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama.

Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya.

Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya.

Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.

Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'.
[sunting] Masa tua

Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mengkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an.

Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan.

Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah.

Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia.

Berpulang

Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes.

Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya.

Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00.

Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram.
Makam Pramoedya dipenuhi karangan bunga dan buku-buku karyanya

Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya.

Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun.

Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram.

Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Penghargaan

  1. Pramoedya saat mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun 1999
  2. Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988
  3. Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989
  4. Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995
  5. Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995
  6. UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996
  7. Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999
  8. Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999
  9. Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999
  10. Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000
  11. The Norwegian Authors Union, 2004
  12. Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Keikut sertaan

  1. Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978
  2. Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982
  3. Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982
  4. Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987
  5. Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988
  6. International PEN English Center Award, Inggris, 1992
  7. International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999

Karya Tulis

Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.
  1. Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947
  2. Kranji–Bekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi
  3. Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal karena kommunisme)
  4. Keluarga Gerilya (1950)
  5. Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen
  6. Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen
  7. Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951)
  8. Bukan Pasarmalam (1951)
  9. Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947
  10. Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen
  11. Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953
  12. Gulat di Jakarta (1953)
  13. Midah Si Manis Bergigi Emas (1954)
  14. Korupsi (1954)
  15. Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
  16. Cerita Dari Jakarta (1957)
  17. Cerita Calon Arang (1957)
  18. Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958)
  19. Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; III & IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  20. Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  21. Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  22. Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung. Jilid II & III dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  23. Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965
  24. Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963)
  25. Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit
  26. Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981
  27. Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981
  28. Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981)
  29. Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia
  30. Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
  31. Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985
  32. Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987
  33. Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988
  34. Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
  35. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995
  36. Arus Balik (1995)
  37. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997)
  38. Arok Dedes (1999)
  39. Mangir (2000)
  40. Larasati (2000)
  41. Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)

Teuku Markam (Penyumbang Emas MONAS)


Teuku Markam turunan uleebalang, ia adalah penyumbang terbesar dari emas Monas. Lahir tahun 1925. Ayahnya Teuku Marhaban. Kampungnya Seuneudon dan Alue Capli, Panton Labu Aceh Utara. Sejak kecil Teuku Markam sudah menjadi yatim piatu. Ketika usia 9 tahun, Teuku Marhaban meninggal dunia. Sedangkan ibunya telah lebih dulu meninggal. Teuku Markam kemudian diasuh kakaknya Cut Nyak Putroe. Sempat mengecap pendidikan sampai kelas 4 SR (Sekolah Rakyat). Teuku Markam tumbuh lalu menjadi pemuda dan memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh sekarang) dan tamat dengan pangkat letnan satu. Teuku Markam bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dan ikut pertempuran di Tembung, Sumatera Utara bersama-sama dengan Jendral Bejo, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin dan lain-lain.


Selama bertugas di Sumatera Utara, Teuku Markam aktif di berbagai lapangan pertempuran. Bahkan ia ikut mendamaikan clash antara pasukan Simbolon dengan pasukan Manaf Lubis. Sebagai prajurit penghubung, Teuku Markam lalu diutus oleh Panglima Jenderal Bejo ke Jakarta untuk bertemu pimpinan pemerintah. Oleh pimpinan, Teuku Markam diutus lagi ke Bandung untuk menjadi ajudan Jenderal Gatot Soebroto. Tugas itu diemban Markam sampai Gatot Soebroto meninggal dunia. Adalah Gatot Soebroto pula yang mempercayakan Teuku Markam untuk bertemu dengan Presiden Soekarno. Waktu itu, Bung Karno memang menginginkan adanya pengusaha pribumi yang betul-betul mampu menghendel masalah perekonomian Indonesia. Tahun 1957, ketika Teuku Markam berpangkat kapten (NRP 12276), kembali ke Aceh dan mendirikan PT Karkam. Ia sempat bentrok dengan Teuku Hamzah (Panglima Kodam Iskandar Muda) karena "disiriki" oleh orang lain. Akibatnya Teuku Markam ditahan dan baru keluar tahun 1958. Pertentangan dengan Teuku Hamzah berhasil didamaikan oleh Sjamaun Gaharu.

Keluar dari tahanan, Teuku Markam kembali ke Jakarta dengan membawa PT Karkam. Perusahaan itu dipercaya oleh Pemerintah RI mengelola pampasan perang untuk dijadikan dana revolusi. Selanjutnya Teuku Markam benar-benar menggeluti dunia usaha dengan sejumlah aset berupa kapal dan beberapa dok kapal di Palembang, Medan, Jakarta, Makassar, Surabaya. Bisnis Teuku Markam semakin luas karena ia juga terjun dalam ekspor - impor dengan sejumlah negara. Antara lain mengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja dan bahkan sempat mengimpor senjata atas persetujuan Departemen Pertahanan dan Keamanan (Dephankam) dan Presiden.

Komitmen Teuku Markam adalah mendukung perjuangan RI sepenuhnya termasuk pembebasan Irian Barat serta pemberantasan buta huruf yang waktu itu digenjot habis-habisan oleh Soekarno. Hasil bisnis Teuku Markam konon juga ikut menjadi sumber APBN serta mengumpulkan sejumlah 28 kg emas untuk ditempatkan di puncak Monumen Nasional (Monas). Sebagaimana kita tahu bahwa proyek Monas merupakan salah satu impian Soekarno dalam meningkatkan harkat dan martabat bangsa. Peran Teuku Markam menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika tidak kecil berkat bantuan sejumlah dana untuk keperluan KTT itu.
Teuku Markam termasuk salah satu konglomerat Indonesia yang dikenal dekat dengan pemerintahan Soekarno dan sejumlah pejabat lain seperti Menteri PU Ir Sutami, politisi Adam Malik, Soepardjo Rustam, Kaharuddin Nasution, Bustanil Arifin,Suhardiman, pengusaha Probosutedjo dan lain-lain. Pada zaman Soekarno, nama Teuku Markam memang luar biasa populer. Sampai-sampai Teuku Markam pernah dikatakan sebagai kabinet bayangan Soekarno.

Sejarah kemudian berbalik. Peran dan sumbangan Teuku Markam dalam membangun perekonomian Indonesia seakan menjadi tiada artinya di mata pemerintahan Orba. Ia difitnah sebagai PKI dan dituding sebagai koruptor dSan Soekarnoisme. Tuduhan itulah yang kemudian mengantarkan Teuku Markam ke penjara pada tahun 1966. Ia dijebloskan ke dalam sel tanpa ada proses pengadilan. Pertama-tama ia dimasukkan tahanan Budi Utomo, lalu dipindahkan ke Guntur, selanjutnya berpindah ke penjara Salemba Jln Percetakan Negara. Lalu dipindah lagi ke tahanan Cipinang, dan terakhir dipindahkan ke tahanan Nirbaya, tahanan untuk politisi di kawasan Pondok Gede Jakarta Timur. Tahun 1972 ia jatuh sakit dan terpaksa dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama kurang lebih dua tahun.

Peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto membuat hidup Teuku Markam menjadi sulit dan prihatin. Ia baru bebas tahun 1974. Ini pun, kabarnya, berkat jasa- jasa baik dari sejumlah teman setianya. Teuku Markam dilepaskan begitu saja tanpa ada konpensasi apapun dari pemerintahan Orba. "Memang betul, saat itu Teuku Markam tidak akan menuntut hak- haknya. Tapi waktu itu ia kan tertindas dan teraniaya," kata Teuku Syauki Markam, salah seorang putra Teuku Markam.

Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera, pada 14 Agustus 1966 mengambil alih aset Teuku Markam berupa perkantoran, tanah dan lain-lain yang kemudian dikelola PT PP Berdikari yang didirikan Suhardiman untuk dan atas nama pemerintahan RI. Suhardiman, Bustanil Arifin, Amran Zamzami (dua orang terakhir ini adalah tokoh Aceh di Jakarta) termasuk teman-teman Markam. Namun tidak banyak menolong mengembalikan asset PT Karkam. Justru mereka ikut mengelola aset-aset tersebut di bawah bendera PT PP Berdikari. Suhardiman adalah orang pertama yang memimpin perusahaan tersebut. Di jajaran direktur tertera Sukotriwarno, Edhy Tjahaja, dan Amran Zamzami. Selanjutnya PP Berdikari dipimpin Letjen Achmad Tirtosudiro, Drs Ahman Nurhani, dan Bustanil Arifin SH.

Pada tahun 1974, Soeharto mengeluarkan Keppres N0 31 Tahun 1974 yang isinya antara lain penegasan status harta kekayaan eks PT Karkam/PT Aslam/PT Sinar Pagi yang diambil alih pemerintahan RI tahun 1966 berstatus "pinjaman" yang nilainya Rp 411.314.924,29 sebagai penyertaan modal negara di PT PP Berdikari. Kepres itu terbit persis pada tahun dibebaskannya Teuku Markam dari tahanan.


Proyek Bank Dunia

Sekeluar dari penjara, tahun 1974, Teuku Markam mendirikan PT Marjaya dan menggarap proyek-prorek Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat. Tapi tidak satupun dari proyek-proyek raksasa yang dikerjakan PT Marjaya baik di Aceh maupun di Jawa Barat, mau diresmikan oleh pemerintahan Soeharto. Proyek PT Marjaya di Aceh antara lain pembangunan Jalan Bireuen - Takengon, Aceh Barat, Aceh Selatan, Medan-Banda Aceh, PT PIM dan lain-lain. Teuku Syauki menduga, Rezim Orba sangat takut apabila Teuku Markam kembali bangkit. Untuk itulah, kata Teuku Syauki, proyek-proyek Markam "dianggap" angin lalu. Teuku Markam meninggal tahun 1985 akibat komplikasi berbagai penyakit di Jakarta. Sampai akhir hayatnya, pemerintah tidak pernah merehabilitasi namanya. Bahkan sampai sekarang.
Semoga Bermanfaat

Plastik Ramah Lingkungandari Berbahan Baku Singkong

Sejak 22 Februari lalu, Indonesia telah berpartisipasi dalam pameran retail MUBA yang digelar di Basel, Swiss. Dalam pameran yang akan berlangsung 10 hari hingga 3 Maret mendatang itu, Kementerian Perdagangan mengkoordinasi 48 pengusaha kecil dan menengah untuk memamerkan produk-produk unggulan dan menjaring konsumen di sana.

Salah satu peserta pameran dari Indonesia yaitu PT Tirta Marta, perusahaan yang memproduksi produk-produk plastik ramah lingkungan. Berbeda dengan plastik biasa yang terbuat dari bahan polimer, plastik ini terbuat dari bahan baku tapioka atau singkong.

"Produk ini mendapat respons positif dari pengunjung pameran. Sebab, di Eropa kan kesadaran untuk menggunakan produk ramah lingkungan sudah tinggi," kata Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Gusmardi Bustami, Kamis, 28 Februari 2013.

Dalam promosinya, disebutkan bahwa plastik produksi PT Tirta Marta dapat hancur hanya dalam enam pekan, bergantung pada kondisi tanah dan aktivitas mikroba.

Aplikasi produk tersebut bermacam-macam, antara lain doggie waste bag (kantong untuk kotoran anjing) dan kantong belanja yang dapat dipakai ulang.

Di ajang pameran MUBA, PT Tirta Marta mendapatkan distributor potensial yang melirik Ecoplas untuk pasar Madagaskar, Jerman, dan Swiss. Untuk semakin meyakinkan konsumen Eropa, Ecoplas juga sudah mendapatkan sertifikasi Fair For Life dari IMO yang berbasis di Swiss. "Ini menambah rasa kepercayaan terhadap produk Indonesia, di mana Ecoplas selain ramah lingkungan juga berdampak sosial, karena pada setiap 200 ton Ecoplas, dapat mempekerjakan 2.000 petani singkong dan industri rumahan," kata Gusmardi.

Selain produk Ecoplas, beberapa produk yang juga mendapatkan respons positif dari buyer Swiss dan Jerman, antara lain furnitur outdoor, topi koki, cotton hat, cake case, tenun lurik, kerajinan tangan, dan perhiasan.

Pameran MUBA 2013 merupakan ajang promosi yang pertama kali dilakukan oleh Kementerian Perdagangan untuk menembus salah satu pasar nontradisional di Eropa, yaitu Swiss. "Pada kesempatan ini, para peserta dapat berinteraksi dan mengetahui secara langsung kebutuhan yang diinginkan oleh masyarakat Swiss dan negara sekitarnya," tutur Gusmardi.

Indonesia yang merupakan "Negara Tamu Kehormatan" menampilkan Paviliun Indonesia, yang ditempatkan di area pameran seluas 2.000 meter persegi. Pameran MUBA merupakan pameran retail terbesar dan tertua di Swiss yang dibuka untuk masyarakat umum. Pameran ini menempati luas area sebesar 75 ribu meter persegi.

PINGIT ARIA (Tempo)

Langkah Gerilya Untuk Negara (Jenderal Soedirman)

Jendral Soedirman
Setelah Belanda menguasai ibu kota Indonesia (Yogyakarta) dalam Agresi militer belanda II mengasingkan Ir. Sukarno dan Moh. Hatta, Jenderal Sudirman memilih melakukan perlawanan. Berawal dari rumah Jenderal Soedirman yang terdapat di Jalan Bintaran Wetan no.3 Yogyakarta, yang sekarang menjadi Museum Sasmitaloka Panglima Besar Jenderal Sudirman melewati jalur selatan. Jenderal Soedirman dan pasukan melewati daerah membentang antara Yogyakarta, Panggang, Wonosari, Pracimantoro, Wonogiri, Purwantoro, Ponorogo, Sambit, Trenggalek, Bendorejo, Tulungagung, Kediri, Bajulan, Girimarto, Warungbung, Gunungtukul, Trenggalek (lagi), Panggul, Wonokarto dan Sobo (memimpin gerilya selama 3 bulan, 28 hari). Baru kemudian dari Sobo menuju Yogyakarta melewati Baturetno, Gajahmungkur, Pulo, Ponjong, Piyungan, Prambanan dan baru pada tanggal 10 Juli 1949 kembali lagi ke Yogyakarta.

Peta Gerilya Jendral Soedirman


Letkol dr. wiliater Hutagalung yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III. Menjadi penghubung antara Panglima Besar Soedirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, juga ikut merawat Pangsar yang saat itu menderita penyakit paru. Dalam perjalanan gerilya Jenderal Soedirman merencanakan “grand design” serangan umum 1 Maret. Oleh  Letkol dr. wiliater Hutagalung dihubungkan kepada Divisi II dan III, Juga diberitahukan kepada Sultan Hamengku Buwono IX selaku penanggung jawab Yogyakarta, beberapa masukan diberikan Sultan Hamengku Buwono IX. Gerilya Jendral Soedirman pun terus berlanjut.

Ketika berada di daerah Sedayu, ia hampir tertangka karena desa tersebut di dikepung dan diserang oleh Belanda, hanya karena turunnya hujan yang lebat Beliau berhasil menyelamatkan diri. Selama bergerilya, Panglima Besar tetap mengeluarkan perintah-perintah hariannya berisi juga amanat baik untuk angkatan perang maupun rakyat pada umumnya. Panjang seluruh Route Gerilya pangsar Jenderal Sudirman, dihitung dari Yogyakarta sampai ke perbatasan Jawa Timur pergi dan pulang yaitu melalui 75 buah kota besar dan kota keci yang secara teoritis meliputi 900 kolometer. Pada kenyataan panjangnya menccapai 1.009 km yang sebagian besar ditempuh dnegan berjalan kaki.

Panglima besar Jenderal Sudirman dan rombongan memasuki kota Yogyakarta kembai tanggal 10 Juli 1949, kembali memenuhi panggilan Pmerintah Pusat di Ibukota Yogyakarta setelah kota itu bersih dari pendudukan musuh. Di kiri-kanan rakyat berjejel-jejel menyambut dengan meriah. Mereka ingin meliaht wajah Pangsar yang lebih suka memilih medan gerilya dari pada beristirahat di tempat tidur. Banyak diantara rakyat maupun prajurit yang selama bergerilya terkenal berani, tak urung eneteskan airmata atau menangis tersedu-sedu terutama waktu parade penyambutan Pangsar di Alun-alun Utara Yogyakarta. Setelah mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan fisik Pangsar yang pucat dan kurus rasa haru dan kagum bercampur menjadi satu. Hal itu menunjukkan betapa agungnya Jenderal Sudirman di hati anak buahnya.

Selama bergerilya kesehatan Jenderal Sudirman kurang baik, bahkan menurun dan beberapa kali beliau jatuh pingsan. Di Ygyakarta kesehatannya diperiksa kembali. Teryata paru-paru yang sebela lagi sudah pula terserang penyakit. Karena itu Pangsar diharuskan beristirahat di rumah sakit, tepatnya di rumah sakit Panti Rapih Yogyakarta.

Kesehatan pangsar kian hari kian bertambah parah. Sing hari tanggal 29 Januari 1950 Jenderal Sudirman Panglima Besar Angkatan Perang Republik Indonesia berpulang di rahmatullah di pesanggrahan Militer, jalan Badaan, magelang. Jenazahnya dimakamkan esok harinya di Taman makam Pahlawan Kusumanegara Yogyakarta.


“ Anak-anakku, Tentara Indonesia, kamu bukanlah serdadu sewaan, tetapi prajurit yang berideologi, yang sanggup berjuang dan menempuh maut untuk keluhuran tanah airmu. Percaya dan yakinlah, bahwa kemerdekaan suatu negara yang didirikan di atas timbunan runtuhan ribuan jiwa harta benda dari rakyat dan bangsanya, tidak akan dapat dilenyapkan oleh manusia, siapapun juga” (Panglima Besar Jenderal Sudirman).