PERISTIWA LENGKONG (SERPONG)

Pertempuran itu sendiri terjadi pada tanggal 25 Januari 1946. Hal ini bermula ketika pada tanggal 24 Januari 1946 Mayor Daan Yahya menerima informasi bahwa NICA Belanda telah berhasil menduduki wilayah Parungpanjang – Bogor, dan akan segera merebut gudang senjata jepang yang berada di Lengkong Wetan – Serpong (belakangan diketahui bahwa NICA baru menguasai wilayah Parung pada bulan Maret 1946). Tindakan-tindakan provokatif yang dilakukan NICA Belanda itu dianggap akan mengancam secara serius kedudukan Resimen IV Tangerang dan Akademi Militer Tangerang yang baru saja didirikan pada bulan Novemver 1945.

Untuk mengantisipasi hal itu pihak Resimen IV Tangerang mengadakan rencana upaya tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya selaku Kepala Staf Resimen, segera memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.

Tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada komandan Resimen IV Tangerang Letkol Singgih, berangkatlah pasukan TKR dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna Militer Akademi Tangerang (MAT) dan delapan tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan itu terdapat beberapa orang perwira yaitu Mayor Wibowo, Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo (Paman Prabowo Soebianto) dan Letnan Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira polisi tentara (Corps Polisi Militer/CPM sekarang). Ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata Jepang yang sudah menyerah kepada sekutu diserahkan kepada KNIL-NICA Belanda yang waktu itu sudah sampai di Sukabumi menuju Jakarta.

Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di markas Jepang di Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Taruna MAT diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di luar.

Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan meyakinkan pihak Jepang. Di dalam kantor markas Jepang ini Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum mendapat perintah atasannya tentang pelucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari anak buah Kapten Abe. Sekitar 40 orang Jepang disuruh berkumpul di lapangan.

Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya. Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan taruna yang terjebak. Serdadu Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya, tentara Jepang lainnya yang berbaris di lapangan berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam truk.

Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan yang lebih lengkap, menyebabkan Taruna MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.

Tindakan Mayor Daan Mogot yang segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil. Dikatakan bahwa Mayor Daan Mogot bersama rombongan dan anak buahnya Taruna Akademi Militer Tangerang, meninggalkan asrama tentara Jepang, mengundurkan diri ke hutan karet yang disebut hutan Lengkong.

Taruna MAT yang berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Peluru yang dimasukkan banyak yang tidak pas karena ukuran berbeda dan sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.

Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.

Akhirnya 33 taruna dan 3 perwira gugur dan 10 taruna luka berat serta Mayor Wibowo bersama 20 taruna ditawan, sedangkan 3 taruna, yaitu Soedarno, Menod, Oesman Sjarief berhasil meloloskan diri pada 26 Januari dan tiba di Markas Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi hari.

Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya. Sungguh suatu kisah yang pilu bagi yang masih hidup tersebut. Dalam keadaan terluka, ditawan, masih dipaksa menggali kuburan untuk para rekan-rekannya sedangkan nasib mereka masih belum jelas mau diapakan.

Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang, yang kini dikenal dengan Taman Makam Pahlawan Taruna. Selain para perwira dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara, hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menlu RI Haji Agoes Salim yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut beserta para anggota keluarga taruna yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.
Mayor Daan Mogot

Daftar Perwira dan Taruna yang Gugur pada Peristiwa Lengkong
Perwira :

1. Mayor Daan Mogot (Direktur Akademi Militer)
2. Letnan Soebianto Djojohadikoesoemo (Polisi Militer)
3. Letnan Soetopo (Polisi Militer)

Taruna :

1. Agoes Rafli
2. Bachroedin
3. Harsono Pramoegiri
4. Martono
5. Marsono
6. Mat Doellah
7. Memed Danoemihardja
8. Mohammad Arsad
9. Mohammad Ramli Achmad
10. Oemar Ali
11. R.M. Soedjono Djojohadikoesoemo
12. R.M. Sasmito
13. R. Brentel Soegito
14. R. Santoso Koosman
15. R. Soeseno
16. Romadi
17. Rudolf Maringka
18. Sajid Mohammad
19. Saleh Bachroedin
20. Sarjanto Sarnoe
21. Sasmito
22. Sjamsir Alam
23. Sjewret Salim
24. Soebiatnto Harjo
25. Soebandi
26. Soegianto
27. Soegito
28. Soekadi
29. Soekiswo
30. Soemantri Martaatmadja
31. Soerardi
32. Soerjani
33. Soewirjo Tjokrowigeni
34. Zainal
35.

Dari peristiwa tragis yang merengut nyawa para pejuan itu KEMAL IDRIS dalam bukunya BERTARUNG DALAM REVOLUSI memperoleh cerita, dalam saku Lettu Soebianto Djojohadikusumo yg tewas ditemukan notes yg berisi seuntai sajak Henriette Rolang Holst.
Sajak itu tertulis dalam bahasa Belanda;

Wij zijn de bouwers van de tempel niet
Wij zijn enkel de sjouwers van de stenen
Wij zijn het geslacht dat moest vergaan
Opdat een betere oprijze uit onze graven

Sajak itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Rosihan Anwar, yg kini terukir di pintu gerbang Taman Makam Pahlawan Taruna, Tangerang.
Sajak yg menjadi saksi bisu itu berbunyi;

Kami bukan pembina candi
Kami hanya pengangkut batu
Kamilah angkatan yg mesti musnah
Agar menjelma angkatan baru
Di atas kuburan kami telah sempurna

Pada acara perpisahan dengan Taruna AMT bulang Maret 1946 diadakan paduan suara untuk mengenang para pejuang yg gugur di Lengkon.
Lagu yang dinyanyikan adalah Medan Lengkong.
Lagu tersebut semula berjudul Wijaya Kusuma, yang digubah oleh Cornel Simanjuntak dari sajak Sanusi Pane.
Kemudian Rosjidi Imron, Taruna AMT yang gemar musik dan pernah menjadi anggota paduan suara Cornel Simanjuntak memodifikasi sajak Sanusi Pane sedemikian rupa menjadi lirik lagu Medan Lengkong.

Jauh di sana di balik tembok
Terletak taman pahlawan raya
Tewas berjuang di medan Lengkong
Untuk membela Nusa dan Bangsa
Selamat tinggal Ibunda
Selamat tinggal Ayahanda
Kupergi jauh ke sana
Mencari bahagia

Pada tanggal 7 Januari 2005, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Ryamizard Ryacudu menetapkan Peristiwa Lengkong (25 Januari) sebagai Hari Bakti Taruna Akademi Militer. Hal itu dituangkan lewat Surat Telegram KSAD Nomor ST/12/2005.

0 komentar:

Posting Komentar