Perjanjian Roem-Royen merupakan salah satu peristiwa penting dari serangkaian perundingan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia menuju pengakuan kedaulatan dalam Konferensi Meja Bundar pada tanggal 27 Desember 1949. Perjanjian Roem-Roijen adalah sebuah perjanjian antara Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada tanggal 7 Mei 1949 atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi, Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan Hamengku Buwono IX mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).
Delegasi Indonesia diketuai oleh Mr. Moh. Roem dan Mr. Ali Sastroamidjojo sebagai wakil ketua. Anggota-anggotanya, yaitu dr. Leimena, Ir. Djuanda, Prof. Dr. Mr. Supomo, Mr. Latuharhary, dan disertai oleh lima orang penasihat. Sedangkan Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. van Royen dengan anggota-anggota: Mr. N.S. Blom, Mr. A. Jacob, Dr. J.J. van der Velde, dan empat orang penasihat.
Negosiasi kesepakatan berjalan lambat, Indonesia menuntut pengembalian pemerintah RI ke Yogyakarta disertai dengan pengakuan kedaulatan atas wilayah tertentu dari pihak Belanda. Sedangkan belanda menuntut perang grilya di hentikan dan segera dilaksanakan KMP (Konfrensi Meja Bundar)
Hasil pertemuan ini adalah:
- Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya
- Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
- Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
- Angkatan bersenjata Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan perang
Pada tanggal 22 Juni, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:
- Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian Renville pada 1948
- Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan persamaan hak
- Hindia Belanda akan menyerahkan semua hak, kekuasaan, dan kewajiban kepada Indonesia
- Turut serta dalam KMB di Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.
Pasca perjanjian
Pada 6 Juli, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22 Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.
Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.