Bagindo Aziz chan

Bagindo Aziz chan
Bagindo Azizchan lahir di Kampung Alang Laweh Padang pada tanggal 30 September 1910, dua tahun pasca pemberotakan Blasteng 1908. Sejak kecil Bagindo Azizchan sudah memperlihatkan wataknya berani dan memiliki rasa keingintahuan yang amat besar terhadap segala sesuatu tanpa tahu akan resikonya. Ia sudah terbiasa hidup disiplin dan bertanggung jawab dari orang tuanya yang merupakan seorang ambtenaar (pegawai Belanda) yang tinggal di Kampung Alang Laweh. Di kalangan teman-teman sekolahnya ia dikenal sebagai orang yang �penaik darah�, tetapi cerdik atau banyak akal.

Ia memiliki wawasan yang luas untuk tampil sebagai pemimpin. Sifat religius dan jujur tumbuh dengan kuat dalam dirinya, padahal ia bukan dari golongan santri atau surau seperti kebanyakan tokoh Minang lainya. Sifat dasar inilah yang menjadi penyemangat bagi Bagindo Azizchan dalam mengusir penjajah dari bumi Indonesia.

Pada tahun 1920, ia pergi merantau ke pulau Jawa dalam rangka menuntut ilmu. Saat kuliah di Jakarta, ia sangat dekat dengan Muhammad Roem dan Haji Agus Salim yang juga merupakan tokoh tua dari Sumatera Barat. Dua orang ini kemudian banyak mempengaruhi pemikiran-pemikiran Bagindo Azizchan dalam melakukan perjuangan.

Ia juga pernah aktif di organisasi seperti Jong Islaminten Bond pada tahun 1933, Penyadar dan sebagainya. Beliau juga ahli dan piawai membentuk organisasi-organisasi baik yang bersifat lembaga pendidikan, pemuda maupun sosial politik, seperti Persatuan Pelajar Islam se kota Padang, Perkumpulan Pemuda Pedjaka dan Lembaga Pendidikan (Volks Universiteit)

Pada tahun 1935, Bagindo Azizchan kembali ke Kota Padang. Suasana politik saat itu sedang bergejolak hebat. Bagindo Azizchan mengabdikan dirinya menjadi guru di Modern Islamische Kweekschool (MIK) yang didirikan oleh Syeikh M. Djamil Djambek di Bukittinggi. Namun hanya beberapa bulan saja ia menjadi guru di tempat itu.

Pada 17 Agustus 1945, Kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Namun penjajah kolonial belum sesungguhnya hengkang dari Republik Indonesia, masih banyak terjadi gejolak pada waktu itu. Setahun setelah kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 15 Agustus 1946 dengan mengucapkan Bismillaahirrahmaanirrahiim Bagindo Azizchan diangkat menjadi Walikota Padang. Dalam memimpin Kota Padang ini ia selalu bersikap tegas, seperti menolak kontak langsung dengan tentara NICA. Bagindo Azizchan menjadi sosok yang ditakuti oleh penjajah.

Pada 19 juli 1947 hari Sabtu sore menjelang Maghrib, sebuah tragedi menimpa Bagindo Azizchan. Tepatnya di simpang Kandis Sang Walikota dibunuh dengan sangat keji oleh serdadu Belanda. Sehingga keluarga, warga Padang dan Sumatera Barat merasa amat sangat kehilangan pemimpin dan pahlawan yang dicintai. Dengan peristiwa ini masyarakat Sumatera Barat memperjuangkan agar Bagindo Azizchan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

Alhamdulillah, 58 tahun kepergian Bagindo Azischan, almarhum menerima penganugerahan gelar Pahlawan Nasional dan Bintang Mahaputra Adiprana dengan SK Presiden RI No 082/TK/2005, tanggal 7 Nopember 2005. Penghargaan tertinggi dari negara ini telah diserahkan oleh Presiden RI Bapak Susilo Bambang Yudhoyono atas nama pemerintah, yang diwakili kepada salah satu putrinya Hj Ineke Azizchan Nafis tanggal 9 Nopember 2005 di Istana Negara, Jakarta.

Tahun ini tepatnya tanggal 30 September 2010, Satu Abad Peringatan Hari Lahir Bagindo Azizchan. Walau beliau telah lama mendahului kita, namun semangat, keteladanan dan nilai-nilai kepahlawanan beliau masih terasa dalam lubuk sanubari kita hingga saat ini. Sehingga generasi bangsa yang hidup di zaman kemerdekaan ini pantas dan patut mencontoh semangat juang almarahum. (*)

0 komentar:

Posting Komentar