WS Rendra


Kabar duka masih menggelayut di Bengkel Teater Rendra di Citayam, Depok. Belum habis rasa duka yang mendalam dengan kepergian seniman fenomenal Mbah Surip (52) yang dikebumikan Selasa (4/8) malam, kabar duka datang lagi.

Penyair terkemuka Willibordus Surendra Broto Rendra atau lebih dikenal dengan WS Rendra (74), meninggal dunia, Kamis (6/8) sekitar pukul 22.05 WIB. Penyair berjuluk Burung Merak itu terbang selamanya...

Bapak meninggal sekitar pukul 20.05 WIB setelah sempat disuapi bubur dan dikasih minum," ungkap putrinya, Clara Shinta, kepada Kompas.com, semalam.

Menurut penuturan Clara, yang juga dikenal sebagai artis sinetron, bapaknya tengah mengalami sakit komplikasi dan sempat dirawat di rumah sakit. Jenazah almarhum semalam disemayamkan di kediaman putrinya itu yang terletak di Perumahan Pesona Kayangan Depok.

Banyak seniman dan sastrawan merasa kehilangan dan duka yang mendalam. Sastrawan Hamsad Rangkuti (66) yang terakhir sempat bersama Rendra ketika memperingati 15 tahun wafatnya pelukis Nashar di Denpasar, Bali, Juni 2009 lalu, mengatakan sangat kehilangan.

"Rendra suatu malam tak keluar kamar. Katanya, ia ingin menghindari makan yang enak-enak. Malam berikutnya, ketika diajak makan di warung, ia mau dan selalu mengingatkan, bahwa semua ini harus kita lalui, karena kita diberi umur panjang," katanya.

Rendra yang sudah menunaikan ibadah haji lebih satu kali ini, lanjut Hamsad, sempat mengutip ayat ayat Al-Quran; "Kuberi kamu berumur panjang, tapi Kukurangi hal-hal lain." Hamsad pun berkali-kali dapat pesan pendek di telepon selulernya, yang berisikan nasehat untuk istrinya, sebelum operasi kanker payudara.

Menurut sastrawan terkemuka peraih SEA Write Awards tahun 2008 ini, kematian Rendra adalah kehilangan besar bangsa ini. Penyair besar yang sangat peduli dengan persoalan bangsa ini.

Dalam suatu pembacaan puisi memperingati Seabad Bung Hatta di Padang, Sumatera Barat, 29 Agustus 2002, Rendra dalam puisinya memukau belasan guru besar dan puluhan doktor. Ini satu bait dari 23 bait puisi yang dibacakannya:

... Dengan puisi ini aku bersaksi/bahwa rakyat Indonesia belum merdeka/Rakyat yang tanpa hak hukum/bukanlah rakyat merdeka./Hak hukum yang tidak dilindungi/oleh lembaga pengadilan yang mandiri/adalah hukum yang ditulis di atas air!//," ucap Rendra, ketika itu.

Sajak tersebut, kata Rendra ketika itu adalah penghormatan kepada Mohammad Hatta. "Beliau saya anggap sebagai pelopor pejuang pembebasan bangsa Indonesia dan bukan sekadar pembebasan negara dari kolonialisme belaka," ujarnya kepada Kompas saat itu.

Rendra tidak hanya garang dalam sajak. Akan tetapi, juga saat menyampaikan pokok-pokok pikirannya dalam makalah. "Sejak rezim Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur (Abdurrahman Wahid), dan Megawati, ternyata demokrasi kita adalah demokrasi elite politik, bukan demokrasi rakyat. Demokrasi elite politik dalam praktiknya menjajah daulat rakyat. Tanpa daulat hukum tak ada daulat rakyat, dan tanpa daulat rakyat tak ada kontrol terhadap keadilan hukum," ujarnya.

Dalam percaturan seni kontemporer Indonesia (sastra dan teater/drama), WS Rendra yang dipanggil Mas Willi ini , adalah satu yang paling terkemuka. Dilahirkan di Solo, 7 November 1935, penyair yang mengklaim diri berumah di angin karya-karya dikenal banyak orang. Tidak saja di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Karya-karyanya diterjemahkan dalam berbagai bahasa.

Dalam suatu sajaknya; untuk Kembali ke Angin Rendra mengatakan:

Kemarin dan esok

adalah hari ini

Bencana dan keberuntungan

sama saja

Langit di luar

langit di badan

bersatu dalam jiwa.

0 komentar:

Posting Komentar