Sidang pembaca, mohon maaf apabila Anda sekalian tidak mengetahui siapa saya apalagi mengenal. Kita memang belum pernah berjabat tangan, apalagi berciuman kening seperti gaya Habibie saat jadi presiden. Sekedar sebagai perkenalan, barangkali Anda sekalian lamat-lamat masih ingat pelajaran sejarah di sekolah. Meski serba sedikit, mungkin hanya satu dua kalimat, petualangan kami ditulis dalam buku sejarah nusantara sebagai migrasi orang-orang berkulit sawo matang.
Dengan perahu-perahu kecil yang disebut barangay, dalam gelombang besar kami meninggalkan tanah leluhur untuk bertualang mencari daerah baru. Saya adalah salah satu dari mereka. Kebetulan saya dipercaya sebagai kapten yang bertanggungjawab membawa salah satu rombongan dari Asia daratan. Sampai sekarang saya masih sering tersenyum sendiri kalau mendengar anak cucu mendendangkan lagu Nenek Moyangku Seorang Pelaut atau melakonkan petualangan kami dalam kesenian tradisional kethoprak tobong dengan lakon Ajisaka, meski tidak persis benar dengan apa yang kami alami sekitar 5.500 tahun lalu. Dalam cerita tersebut digambarkan bahwa pulau yang kami datangi sebagai penuh kekuatan jahat dengan dimanifestasikan dalam figur Dewatacengkar. Penggambaran itu barangkali akan lebih enak apabila dimaknai sebagai betapa banyak tantangan, rintangan dan bahkan ancaman yang harus kami hadapi.
Masih jelas betul dalam ingatan, betapa nekadnya kami serombongan. Berbagai tekanan yang setiap hari terasa semakin keras melilit, memaksa kami untuk pergi, apapun resikonya. Hanya dengan berbekal semangat untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik, kami nekad bertualang mengarungi lautan. Suatu rahmat yang sangat bernilai ketika kami akhirnya berhasil mendarat di pulau yang oleh Clifford Geertz digambarkan sebagai perpaduan sempurna empat unsur purba, yaitu air, api, tanah dan udara. Rasanya kelelahan perjuangan kami sangatlah kecil artinya apabila dibandingkan dengan hasil yang kami peroleh. Kehidupan baru penuh harapan di tanah yang subur dengan iklim kondusif dan pantai-pantai yang menyambut dengan penuh persahabatan.
Di tanah air baru, kebetulan sebagai eks kapten, saya dipilih sebagai pemimpin teman-teman seperjuangan dan dipanggil sebagai datu. Barangkali kalau mendengar kata datu, pikiran sidang pembaca secara otomatis teringat sebutan datuk yang dipakai masyarakat Aceh atau Kedaton yang digunakan untuk menyebut istana di Jawa. Memang semuanya mengacu pada penamaan pemimpin lokal yang secara turun temurun diwariskan oleh nenek moyang kami di Asia daratan yang barangkali oleh para arkheolog dinamai primus interpares.
Dengan dada penuh harapan, kami bergotongroyong membangun kehidupan baru sesuai dengan keutamaan-keutamaan yang kami yakini. Diantara hari-hari yang penuh tetesan peluh kerja keras, kami sering berkumpul dan bertekun memohon berkah dari roh nenek moyang untuk keselamatan dan kesejahteraan bersama di dunia fana ini. Bukanlah kesalahan besar yang perlu dimintakan maaf apabila keterusterangan kami tentang pengalaman religius ini kemudian menjadikan sidang pembaca dengan serta merta mengkategorikan kami sebagai masyarakat primitif yang animis-dinamis. Kami dengan segala kerendahan hati dan kelapangan dada, akan menerima setiap kategorisasi yang akan Anda sekalian gunakan. Dalam keyakinan kami, yang namanya baik dan benar itu terikat oleh ruang dan waktu. Gaya berdoa di atas sangat mungkin cocok dan baik hanya untuk kami dan barangkali akan tidak pas apabila dijalankan oleh orang lain, seperti orang Amerika, Eropa, Timur Tengah atau bahkan oleh Anda. Oleh karena itu, kami dengan penuh kesadaran mengambil sikap untuk terbuka menerima segalanya dan hidup berdampingan secara damai dengan semua pihak, meski mereka berbeda dalam banyak kebenaran.
Barangkali diantara sidang pembaca ada yang meragukan ketulusan hati kami menerima kebenaran lain dalam iklim kemerdekaan sepenuh-penuhnya. Apabila sidang pembaca sempatkan membuka lembaran sejarah nusantara akan dengan jelas terlihat bahwa pada jaman kami terdapat banyak cara bersujud kepada Hyang Gaib. Tidak pernah terlintas dalam pikiran orang yang bertualang dalam dunia metafisik melalui tapa ngrame bahwa tapa pendhem merupakan jalan sesat dan begitu pula sebaliknya. Bagi kami, perbedaan adalah bunga-bunga kemerdekaan dalam memilih dan menjalani kehidupan.
Penghargaan dan penghormatan yang tulus juga kami berikan kepada darah daging kami yang memilih jalan hidup berbeda. Bahkan seandainya diantara mereka ada yang memilih “kebenaran Illahi” lain. Sedikitpun tak ada kedukaan ataupun umpatan kepada mereka. Dari sejarah dapat sidang pembaca saksikan restu tetap mengalir kepada keturunan kami tercinta yang bernama Kudunga di Kutai ketika memilih belajar huruf Pallawa, bahasa Sanskerta dan kemudian meyakini “kebenaran Illahi” import dari India. Perlakuan yang sama juga kami berikan kepada Raden Patah di Demak ketika memutuskan untuk belajar bahasa Arab dan meyakini “kebenaran Illahi” import dari Timur Tengah melalui tangan para pedagang Gujarat. Atau juga kepada Kyai Sadrach di Jawa Tengah Selatan ketika memilih “kebenaran Illahi” import versi Timur Tengah yang lain melalui para zending atau missionaris berkulit putih.
Sekali lagi, kami dengan tulus menghargai keputusan yang ditempuh oleh anak cucu untuk memilih “kebenaran Illahi” import, meski harus menghadapi kenyataan akan ditanggalkannya “kebenaran Illahi” yang kami temukembangkan sendiri berdasar pengalaman religius “masyarakat berkulit sawo matang”. Kamipun ikut tersenyum bangga ketika menyimak kerja keras anak cucu untuk mengawinkan aliran asli dengan alur “kebenaran Illahi” import. Bahkan kadang kami mencoba tertawa, meski rasanya hambar, ketika melihat kerja keras tersebut justru lebih banyak menghasilkan kekacauan. Maaf bila kami dianggap terlalu berterus terang. Cobalah sekali-kali menonton pertunjukan wayang purwa dan perhatikan para tokoh kahyangan yang bergelar Bathara. Sungguh merupakan kekacauan ketika keesaan, kekudusan dan keabstrakan Bathara yang menjadi inti “kebenaran Illahi” kami, tidak lagi nampak pada penggambaran pewayangan, baik yang bernama Guru, Narada, Durga maupun Kala.
Meski banyak kekacauan konseptual yang nantinya diwariskan kepada Anda sekalian, kami tetap rela bin ikhlas. Harapan kami adalah bahwa dengan penghayatan “kebenaran Illahi” import tersebut, anak cucu akan mampu memperoleh kesejahteraan duniawi dan kebahagiaan surgawi. Itupun kalau orientasi kehidupan surgawi yang dibawa oleh “kebenaran Illahi” import menjadi keyakinan Anda.
Sungguh, dalam keheningan malam, hati kami sering melantunkan kidung, semoga “kebenaran Illahi” import mampu memberi manfaat bagi pengembangan kebaikan hidup bersama. Jujur saja, doa kami bukan tentang hal-hal yang berbau “seharusnya”. Karena kalau bicara masalah “yang seharusnya” atau “yang semestinya”, semua “kebenaran Illahi” dapat menjelaskan panjang lebar tentang keutamaan dan janji-janji nikmat. Pikiran kami menukik ke masalah-masalah “yang senyatanya”, karena hanya melalui kenyataan dan fakta semua orang dapat menghitungnya secara relatif sama.
Apabila membuka buku sejarah perjalanan hidup keturunan kami, terus terang banyak masalah yang mengecewakan dan bahkan akhir-akhir ini menimbulkan sikap skeptis. Mimpi-mimpi kami ketika melakukan migrasi, seakan pupus sudah. Tindakan curang, selingkuh, pembunuhan dan perang yang begitu lekat mewarnai halaman demi halaman sejarah nusantara sejak keturunan kami menghayati “kebenaran Illahi” import, mau tidak mau membuat kami sering menangis sedih di tengah malam. Mengapa anak cucu kami memiliki kepribadian culas dan kejam? Barangkali diantara sidang pembaca yang mendalami sejarah nusantara akan dapat menyimak betapa banyak kekerasan fisik yang lahir selama bangsa nusantara di bawah pengaruh sihir “kebenaran Illahi” import. Seakan akan anak cucu kami telah berubah menjadi masyarakat beringas yang berkepribadian kejam dan memandang kekerasan senjata sebagai jalan keluar terhadap setiap masalah yang muncul.
Sungguh, hati kami sering terasa menciut ketika membuka lembar demi lembar buku harian anak cucu kami di nusantara ini selama masa dominasi “kebenaran Illahi” import berlangsung. Barangkali sidang pernah mendengar cerita bahwa Ken Arok adalah anak dewa Brahma. Terus terang, hanya kengerianlah yang mengemuka di hati kami kalau ingat cerita itu. Bagaimana tidak? Menurut pengalaman religius kami, hanya roh halus level bawah seperti gendruwo, peri priprayangan dan wewe gombel yang dapat berhubungan sex dengan manusia. Masa dewa Brahma itu selevel dengan gendruwo? Tentu mustahil bin impossible! Tapi yang lebih tidak masuk akal lagi adalah kalau cerita itu dijadikan kekuatan sekaligus pembenar kepentingan politik Ken Arok yang kemudian bergelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Bagaimana mungkin Ken Arok yang pembunuh dan selingkuh dengan Ken Dedes dapat layak dan pantas ditunjuk oleh Illahi untuk amurwabhumi? Apakah Hyang Illahi tidak menggunakan kriteria moral tertentu dalam memilih orang untuk memimpin? Ataukah justru orang-orang bermoral rendah yang diberkati dan memperoleh ridho untuk memimpin masyarakat? Terus terang kami tidak tahu lagi bagaimana harus mengambil sikap, apakah merupakan berkah atau bencana kalau trend dewa-raja itu dengan kuatnya mewarnai pikiran mereka yang menjadi pemimpin negeri di hampir semua periode sejarah nusantara. Tidak hanya masa dominasi “kebenaran Illahi” versi India konsep dewa-raja berkembang, tetapi juga pada masa berkembangnya “kebenaran Illahi” versi Timur Tengah. Gelar Kalifatullah pada masa yang lebih kemudian mengindikasikan usaha untuk mengkaitkan urusan politik dengan Hyang Illahi.
Meski sulit menentukan apakah merupakan pengalaman religius atau sekedar legitimasi religius, konsep pemimpin sebagai wakil Hyang Illahi mengakibatkan berkembangnya penguasa yang otoriter, karena perintahnya disejajarkan dengan perintah Tuhan. Dalam sejarah dengan jelas dapat dibaca betapa otoritarianisme berkem-bang secara tak terkendali di tanah yang sebenarnya sangat kami harapkan menjadi pusat pengembangan akal budi ini. Yang sangat menggenaskan adalah kemerosotan status kemanusiaan sebagian besar keturunan kami, sampai disepadankan dengan “slangkrah mungging jaladri” (sampah di tengah samudra).
Barangkali sidang pembaca tersinggung dan ingin menyatakan bahwa tidak ada setitikpun kesalahan dari “kebenaran Illahi” yang Anda yakini dan dengan serta merta menyalahkan kedangkalan iman, tafsir atau interpretasi warga nusantara. Boleh saja berpendapat demikian, karena sejak awal kami dengan tulus menghargai dan menghormati semua “kebenaran Illahi”, dari manapun datangnya. Sungguh, dalam doa-doa yang terlantun kami selalu berharap semoga banyaknya “kebenaran Illahi” di nusantara akan memperluas wawasan dan menyediakan banyak pilihan jalan dalam menggapai cita. Yang kami sayangkan adalah dampak ikutan yang secara nyata semakin menjauhkan kehidupan keturunan tercinta kami dari impian. Permasalahannya adalah apakah hubungan antara dampak ikutan dengan “kebenaran Illahi” import itu sebagai asap dan api.
Saat nusantara jatuh ke dalam jurang penderitaan sebagai jajahan bangsa Barat, tidak sedikit orang yang menyalahkan kerakusan kaum penjajah. Pendapat itu tidak sekali-kali salah. Tetapi bila pertanyaannya adalah mengapa bangsa nusantara dapat dijajah, jawabnya tentu karena ada sesuatu yang salah dengan perkembangan hidup dan kepribadiannya. Sesuatu yang tidak pas, sehingga bangsa nusantara tidak mampu memenangkan ketika harus berhadapan dengan Barat. Maaf pada khalayak pembaca, dalam hati kecil kami tidak dapat dipungkiri untuk menimpakan “kesalahan perkembangan” tersebut sebagai dampak ikutan “kebenaran Illahi” import. Terjadinya penjajahan merupakan indikasi nyata akan hilangnya harmoni kehidupan. Harmoni hanya akan muncul kalau terdapat equilibrium antar semua jagad kehidupan, baik jagad fisik, sosial maupun metafisik. Penjajahan Barat menjadi pertanda yang jelas bahwa anak cucu kami telah mengabaikan jagad sosial ekonomi. Pertanyaannya adalah siapakah kalau bukan “kebenaran Illahi” import, yang mencetak pikiran keturunan kami sehingga meyakini bahwa hal terpenting dalam hidup ini adalah menyiapkan diri sebaik mungkin untuk memasuki kehidupan setelah mati? Ungkapan urip iku mung mampir ngobe atau hidup ini hanya sepenginang menurut hemat kami merupakan kesimpulan yang sangat mendalam tentang betapa tidak berharganya kehidupan duniawi dibanding kehidupan setelah mati. Terus terang perubahan pola pikir itu merupakan pukulan yang sangat berat bagi generasi kami. Harapan kami saat melakukan migrasi untuk mengembangkan kehidupan melalui penguasaan teknologi kelautan telah terpinggirkan oleh model pertanian subsisten yang berproduksi hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok. Rasanya mata ini menjadi nanar ketika harus menatap realitas bahwa anak cucu kami lebih bangga berdendang lagu Menanam Jagung daripada Nenek Moyangku Seorang Pelaut.
Dengan penuh kebimbangan, hati kami sering bertanya apakah keterpinggiran, kemiskinan, keterbelakangan dan keterjajahan akan dapat diakhiri dengan jalan meman-faatkan sebagian besar energi hidup untuk meretas jalan ke kehidupan setelah mati? Terus terang, kami sangat khawatir akan berulangkalinya penjajahan di nusantara dan anak cucu kami hanya menjadi bulan-bulanan bangsa lain.
Diantara wajah buram sejarah nusantara, pernah juga muncul kegembiraan yang mampu membangkitkan harapan bahwa keturunan kami akan kembali ke “jalan yang seharusnya”. Kami sungguh bangga ketika menyaksikan Soekarno dalam pledoinya berjudul Indonesia Menggugat dengan lantang mengatakan bahwa Indonesia telah dijajah Belanda selama 350 tahun dan sudah saatnya untuk mengakhiri. “Sebuah revolusi pemikiran secara besar-besaran sedang berlangsung” seru kami saat menyimak setiap kata dalam paragraf pergerakan nasional. Mulut ini tak tertahan lagi untuk meneriakkan pekik “Renaissance of Nusantara“ saat kami menemukan kecenderungan semakin kuatnya semangat eksplorasi terhadap kehidupan duniawi dan semakin menurunnya intensitas petualangan di dunia metafisik. Hati ini rasanya tak sabar untuk menantikan selangkah lagi perjuangan mereka untuk sampai mengatakan “Kalau Belanda menjajah 350 tahun, maka “kebenaran Illahi” import telah menjajah selama dua milenium dan sudah saatnya diakhiri”. Tapi... meski tinggal selangkah, ternyata harapan kami seakan tinggal harapan. Indonesia memproklamasi-kan diri hanya untuk kemerdekaan politiknya, tetapi masih lestari menikmati keterjajahan ideologis.
Hati kami semakin tersayat saat menatap keturunan kami bentrok dan bahkan saling bunuh, maaf beribu maaf, hanya untuk membela “kebenaran Illahi” import. Pertempuran Maluku, Poso, Mataram dan juga merebaknya bom merupakan serpihan peristiwa sejarah yang menjelaskan betapa banyak darah harus dikorbankan oleh keturunan kami. Kegeraman hati kami adalah mengapa hal itu terjadi pada anak cucu kami tercinta di negeri yang kami impikan menjadi tempat tumbuh dan berkembangnya harmoni kehidupan bagi semua jenis bunga perbedaan?
Di era reformasi ini, kami ingin sekali untuk berkumpul dan berbincang sebagai keluarga dengan semua anak cucu. Dari hati ke hati dan melalui keluhuran budi, kami ingin memperoleh jawaban tentang gambaran “Indonesia Raya” yang dibayangkan oleh seluruh keturunan kami. Apakah kekelaman hidup bangsa nusantara selama ini belum cukup meyakinkan untuk landasan refleksi dan menemukan “jalan terang” menuju “Indonesia Raya”? Apakah coreng moreng wajah sejarah nusantara belum cukup membuktikan bahwa “kebenaran Illahi” import yang selama dua milenium mendominasi tidak lagi memadai untuk dijadikan kendaraan menuju cita-cita?
Kadang hati ini dipenuhi kegeraman bila melihat keturunan kami begitu lambat melangkah. Entah karena lambat dalam menyadari atau takut melakukan perubahan. Sebenarnya, ketakutan dalam mengambil resiko itu tidaklah perlu terjadi. Dari sejarah, kita dapat menyimak keberanian Kudunga menjalankan trial and error ketika mengganti “kebenaran Illahi” asli dengan “kebenaran Illahi” versi India. Begitu pula trial and error yang dilakukan Raden Patah ketika pada abad ke-15 mengganti “kebenaran Illahi” versi India dengan “kebenaran Illahi” versi Timur Tengah. Oleh karena itu, apabila secara rasional disadari bahwa “kebenaran Illahi” versi Timur Tengah tidak lagi memadai sebagai kendaraan, anak cucu tidak perlu gamang apalagi takut untuk memodifikasinya atau bahkan mencari kendaraan lain. Bahkan bukan pula merupakan kehinaan seandainya harus menciptakan kendaraan baru. Atau bukan pula memalukan seandainya menganggap “kebenaran Illahi” asli lebih cocok. Barangkali yang tidak perlu terulang adalah teror seperti yang menimpa warga Majapahit, sehingga mereka terpaksa mengungsi ke Bali.
Apapun kendaraan yang dipilih atau bagaimanapun modifikasi dilakukan, selama dengan pertimbangan akal sehat, tentu akan memperoleh kemajuan. Tidak perlu takut salah pilih, karena kesalahan adalah peristiwa manusiawi. Saat memulai petualangan, kami memimpikan untuk memperoleh kehidupan lebih baik dengan mengutamakan kebebasan untuk menjadi diri sendiri dengan bingkai harmoni antara dunia fisik, sosial dan metafisik. Kami berusaha membangun masyarakat yang terbuka secara rohaniah dan memandang setiap bentuk kebenaran sebagai belum final. Oleh karena itu, kami sangat sedih ketika diantara anak cucu ada yang mensakralkan suatu kebenaran dan bahkan menjadikannya bagai mantra-mantra sakti. Lebih menggenaskan lagi apabila berkembang sikap menutup diri terhadap kebenaran lain dan menjadi kerdil oleh klaim bahwa kebenaran miliknya sebagai kebenaran absolud. Sungguh, kami sangat khawatir apabila kekerdilan jiwa itu berkembang di hati anak cucu.
Akhirnya, saya memberanikan diri mengucapkan selamat berjuang untuk menjadi diri sendiri kepada seluruh anak cucu yang masih sempat menghirup udara segar reformasi. Semoga perjuangan Anda tidak terlambat dan nusantara yang saat ini koma dapat terselamatkan.
Catatan
- 1. Pulau yang dimaksud adalah Pulau Jawa. Lihat Clifford Geertz, Involusi Pertanian. (Jakarta, Bhatara)
- 2. Tentang legitimasi religius lihat Frans Magnis Suseno, Etika Politik: Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. (Jakarta, Gramedia)
oleh : Sastrosukamiskin