Salah satu kejadian yang cukup kontroversial pada orde baru adalah peristiwa malapetaka 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal dengan Malari. Peristiwa ini terjadi tepat pada saat kunjungan Perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei ke Indonesia. Jepang pada saat itu dianggap sebagai pemeras ekonomi Indonesia karena mengambil lebih dari 53% ekspor (71% diantaranya berupa minyak) dan memasok 29% impor Indonesia, selain itu investasi jepang yang semakin bertambah dari waktu ke waktu di Jawa dianggap membunuh pengusaha-pengusaha kecil pribumi.
PM Jepang Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang mesti dienyahkan. Aksi berupa long march dari Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, itu mengusung tiga tuntutan: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Ratusan ribu orang ikut turun ke jalan. Tetapi aksi ini kemudian berujung pada kerusuhan.
Untuk kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan.
Latar Belakang
Setelah diusut ternyata terdapat oknum-oknum gelap dibalik peristiwa Malari itu. Kenyataanya aksi pelajar dan mahasiswa itu telah ditunggangi oleh pihak tak bertanggung jawab. Pada siang hari itu, mahasiswa dan pelajar sedang melakukan apel besar untuk menolak modal Jepang terkait kedatangan PM Jepang, namun ternyata terdapat mahasiswa selundupan yang diduga telah dibayar oleh seseorang asisten pribadi presiden bernama Ali Moertopo untuk melakukan provokasi terhadap masyarakat agar melakukan kerusuhan sehingga terkesan kalau mahasiswa merupakan dalang dibalik kerusuhan ini. Ternyata peristiwa Malari ini bukan peristiwa yang sederhana, terdapat banyak faktor dan latar belakang yang menyebabkan peristiwa ini terjadi.
Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini–meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000)–dapat kiranya disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general). Ada juga yang menyebutkan pertentangan 2 kubu asisten pribadi Suharto di bidang ekonomi atau lebih di kenal dengan Mafia Berkeley dan di bidang militer Ali Moertopo dan Soedjono Hoemardhani. Dualisme ini muncul karena kebijakan masing-masing kubu bertolakbelakang.
Kronologi kejadian
Peristiwa Malari sendiri bukanlah satu-satunya kejadian yang terjadi akibat masalah ekonomi pada saat itu. Jauh sebelum Malari terjadi telah ada aksi-aksi lain yang sebenarnya menjadi pemicu terjadinya
Apel Tritura jilid II pada tanggal 15 Januari 1974 yang berujung huru-hara itu.
Diskusi ’28 Tahun Kemerdekaan Indonesia’
Acara ini digelar oleh Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) pada tanggal 13-16 Agustus 1973 dengan mengundang Soebadriosastrosatomo, Syafruddin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB. Simatupang kesimpulan dari diskusi ini adalah:
Perlunya praktik politik dan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah dan bukan sekedar diskusi-diskusi.
Dikalangan generasi muda dan tua masih terdapat perbedaan pandangan mengenai struktur politik serta lebih banyak kondisi dihadapi dalam merumuskan strategi bersama.
Ada dua pandangan dalam melihat praktik kekuasaan yaitu, melihatnya dari luar dan mengbahnya dari dalam.
Petisi 24 Oktober
Untuk memperingati sumpah pemuda DMUI menggelar sebuah diskusi yang mengundang perwakilan dari tiap-tiap angkatan mahasiswa: ’28, ’45, ’66. Adapun untuk pembicara adalah Soediro (perwakilan angkatan 28), B.M. Diah (mewakili angkatan 45), Cosmos Batubara (mewakili angkatan 66), dan juga Hariman Siregar. Ada juga pembicara lain seperti Emil Salim dan juga Frans Seda.
Dari hasil diskusi ini lahirlah ‘Petisi 24 Oktober’ yang dibacakan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Ikrar 10 November 1973
untuk memperingati hari pahlawan para mahasiswa yang terdiri dari 8 dewan mahasiswa antara lain UI, ITB, dan UNPAD. Membacakan sebuah ikrar mengenai kesatuan tekad dan meningkatkan solidaritas sesama mahasiswa.
Kedatangan J.P. Pronk (ketua IGGI)
Kedatangan ketua IGGI, sebuah organisasi yang mengatur hutang di Indonesia, disambut dengan demonstrasi dan poster-poster berisi kalimat protes dari mahasiswa. Hal ini tidak hanya terjadi di Jakarta namun juga di Yogyakarta.
Diskusi tanggal 30 November 1973
Diskusi mengenai untung rugi modal asing ini diadakan di Balai Budaya Jakarta oleh eks anggota Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia seperti, Mochtar Lubis, Adnan Buyung Nasution, Yap Thiam Hien. Diskusi ini menghasilkan sebuah ikrar yaitu ‘Ikrar Warga Negara Indonesia’ yang ditanda tanganni oleh 152 orang yang hadir.
Malam tirakatan 31 Desember 1973
Pada malam tahun baru ini DMUI menggelar sebuah malam renungan yang dihadiri oleh dosen dan mahasiswa dari Jakarta, Bogor, dan Bandung. Malam itu Hariman Siregar membacakan sebuah pidato yang berjudul ‘Pidato Pernyataan Dari Mahasiswa’. Pidato itu dituding menjadi seruan untuk gerakan makar terhadap pemerintah. Dalam pidato itu menunjukkan bukti peran pemuda akan kepedulian terhadap keadaan bangsa dan pemuda bisa melakukan perubahan.
12 Januari 1974
Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia yang diwakili oleh ketua dewan mahasiswa masing-masing bertemu dengan presiden. Pertemuan ini menghasilkan 6 tuntutan mengenai pemberantasan korupsi dan pembenahan ekonomi.
Karena tidak puas dengan hasil diskusi bersama presiden akhirnya seluruh mahasiswa yang hadir berkumpul kembali di Student Center UI di Salemba mereka memutuskan untuk melakukan sebuah apel akbar di halaman utama Universitas Trisakti pada tanggal 15 Januari 1974 untuk membacakan kembali tuntutan mereka.
Pada tanggal 14 Januari 1974, PM Jepang, Kakuei Tanaka, datang ke Indonesia. Dia disambut dengan demonstrasi kecil-kecilan di lapangan terbang Halim Perdanakusuma, kejadian ini membuat pemerintah memperketat penjagaan terhadap seluruh aksi mahasiswa.
Tepat keesokan harinya, 15 Januari 1974, ratusan mahasiswa dan pelajar berkumpul di halaman Fakultas Kedokteran UI, Salemba, untuk melakukan longmarch ke halaman Universitas Trisakti. Rencananya nanti mereka akan membacakan Tritura Jilid II yang berisi 1) Bubarkan Aspri, 2)hentikan modal asing, 3)hukum para koruptor.
Namun kejadian ini digunakan oleh pemerintah untuk menjatuhkan mahasiswa. Ada Invicible Hand yang menyusupkan orang-orang bayaran untuk mengacaukan aksi dan melakukan provokasi sehingga terjadi huru-hara. Diduga orang yang melakukan ini adalah Ali Moertopo namun ada juga indikasi kalau Soeharto sendiri yang melakukan ini untuk menghentikan aksi mahasiswa.
Namun Sejarah telah banyak di hilangkan sehingga penelusuran sangat sulit dilakukan. Peristiwa ini sangat penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.