Religi Sunda: Menggugat Stempel Hindu-Budha


H. Purwanta
religi sunda
Sejarawan/Arkheolog sangat suka mengkategorikan nusantara pada periode klasik sebagai dipengaruhi oleh Hindu/Budha. Salah satunya adalah ketika menjelaskan keberagamaan masyarakat Sunda. Saat menjelaskan kerajaan Sunda, dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid II antara lain dituliskan sebagai berikut:

Di Jawa Barat terdapat beberapa buah kerajaan kecil. Selain pusat kerajaan Galuh yang diperintah oleh raja Sena sebelum dikalahkan oleh Rahyang Purbasora, masih ada kerajaan-kerajaan lain. Kerajaan Kuningan diperintah oleh Sang Seuweukarma, dan yang rupanya cukup disegani oleh Sanjaya, yaitu kerajaan Sunda. Kerajaan Sunda ini dikatakan letaknya di sebelah barat Citarum, dan masih dari Carita Parahyangan diketahui bahwa Sanjaya adalah menantu raja Sunda yang bergelar Tohaan (Yang Dipertuan) di Sunda, yaitu Tarusbawa.
Berdasarkan berita-berita yang diperoleh dapat diduga bahwa agama yang dianut pada zaman Sanjaya ialah agama Hindu dari mazhab Siwa. Hal ini antara lain dinyatakan oleh prasasti Canggal, yang memuja dewa Siwa lebih banyak dibandingkan dengan pemujaan kepada kedua dewa Trimurti lainnya. Tentang sifat keagamaan ini, juga tidak bertentangan dengn berita Carita Parahyangan, yang menyebutkan bahwa pemujaan yang umum dilakukan oleh raja Galuh adalah sewabakti ring balara upati. Upati tentulah rusakan dari kata Sanskerta Utpali atau Utpala, yaitu nama lain untuk Yama, dewa pencabut nyawa. Menurut dongeng-dongeng Bali, Yama ini mempunyai sifat-sifat yang sarna, baik dengan Siwa maupun dengan Kala, dan pemujaan terhadap para dewa itu pun tidak pula berbeda.” Di dalam tradisi sastra Jawa dan Sunda, Utipati ini kini kadang-kadang berubah Utipati, Otipati, atau Odipati. “
Rupanya, pada masa itu sudah tampak, ada tanda-tanda makin berkembangnya pengaruh agama Buddha, yang sebagaimana diketahui kemudian menjadi agama resmi raja-raja Mataram yang mendirikan Borobudur. Tentang ini pun, Carita Parahyangan sudah memberikan petunjuknya, melalui nasihat yang diberikan oleh Sanjaya kepada Rahyang Tamperan, anaknya: … haywa dek nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang reya…, janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak.”

Dari kutipan di atas, terlihat bahwa sejarawan/arkheolog mengarahkan keberagamaan masyarakat Sunda sebagai “Hindu dari mazhab Siwa”. Pandangan mereka tentu tidak lah sembarangan dan pasti disertai bukti-bukti kuat. Sebagai landasan pandangan mereka paling tidak ada dua, yaitu prasasti Canggal dan Carita Parahiyangan. Agar lebih jelas, di bawah ini disampaikan isi prasasti Canggal:

Pembangunan lingga oleh Raja Sanjaya di atas gunung (Bait 1). Pujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu (Bait 2-6). Pulau Jawa yang sangat makmur, kaya akan tambang emas dan banyak menghasilkan padi. Di pulau itu didirikan candi Siwa demi kebahagiaan penduduk dengan bantuan dari penduduk Kunjarakunjadesa (Bait 7). Pulau Jawa yang dahulu diperintah oleh raja Sanna, yang sangat bijaksana, adil dalam tindakannya, perwira dalam peperangan, bermurah hati kepada rakyatnya. Ketika wafat Negara berkabung, sedih kehilangan pelindung (Bait 8-9). Pengganti raja Sanna yaitu putranya bernama Sanjaya yang diibaratkan dengan matahari. Kekuasaan tidak langsung diserahkan kepadanya oleh raja Sanna tetapi melalui kakak perempuannya (Sannaha) (Bait 10-11). Kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman Negara. Rakyat dapat tidur di tengah jalan, tidak usah takut akan pencuri dan penyamun atau akan terjadinya kejahatan lainnya. Rakyat hidup serba senang (Bait 12)

Dari kutipan di atas, tidak ada satu pun kata Hindu atau pun Budha tercantum pada prasasti. Penempatan kerajaan Sunda sebagai beragama Hindu lebih didasarkan pada penyebutan Dewa Siwa, Dewa Brahma, dan Dewa Wisnu pada prasasti. Siwa, Brahma dan Wisnu memang panteon agama Hindu di India dan dipuja sebagai dewa tetinggi. Permasalahannya adalah apakah di nusantara, khususnya di Sunda, ketiga dewa itu juga dimaknai sama dengan yang ada di India? Dengan kata lain, apakah masyarakat nusantara sama dengan masyarakat India dalam memuja ketiga dewa itu? Jawabnya bisa ya, tapi kemungkinan besar tidak.
Dalam kajian Heidegger, pembaca atau uadience ketika memaknai teks, bukan hanya untuk memahami isi teks, tetapi lebih-lebih untuk menemukan peluang yang disediakan oleh teks demi pengembangan diri pembaca. Contoh kontemporer adalah rantai pada celana yang beberapa waktu lalu populer di kalangan anak muda Indonesia.
dompet-rantai
Tidak dipungkiri bahwa fenomena rantai itu diambil dari Amerika Latin. Akan tetapi, maknanya sama sekali berbeda, bahkan tidak dapat dikatakan apabila anak muda Indonesia mengadopsi Amerika Latin. Di Indonesia makna rantai adalah untuk keamanan dan fashion, sedang di Amerika Latin sebagai ungkapan solidaritas terhadap mereka yang dipenjara. Dari sudut pandang ini, dengan menganut pola yang sama, pengambilan Siwa, Brahma dan Wisnu dari tradisi India adalah untuk mengembangkan religi masyarakat nusantara dan bukan untuk menjadi beragama Hindu atau menjadi orang India dalam memuja ketiga dewa.
Bagaimana posisi dewa-dewi bernama India itu dalam religi masyarakat Sunda? Kedudukan mereka dijelaskan dalam Shangyang Siksakanda ng Karesian sebagai berikut:

Sakala batara jagat basa ngretakeun bumi niskala. Basana: Brahma, Wisnu, Isora, Mahadewa, Siwah. bakti ka Batara! Basana: Indra, Yama, Baruna, Kowera, Besawarma, bakti ka Batara! Basana: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Pata(n)jala, bakti ka Batara: Sing para dewata kabeh pada bakti ka Batara Seda Niskala. Pahi manggihkeun si tuhu lawan preityaksa.
Ini na parmanggihkeuneun dina sakala, tangtu batara di bwana pakeun pageuh jadi manik sakurungan, pakeuneun teja sabumi. Hulun bakti di tohaan, ewe bakti di laki, anak bakti di bapa, sisya bakti di guru, mantri bakti di mangkubumi, mangkubumi bakti di ratu, ratu bakti di dewata.

Terjemahan ke bahasa Indonesia sebagai berikut:

Suara panguasa alam waktu menyempurnakan mayapada. Ujarnya: Brahma, Wisnu, isora, Mahadewa, Siwa baktilah kepada Batara! Ujarnya: Indra. Yama, Baruna, Kowara, Besawarma, baktilah kepada Batara! Ujarnya: Kusika, Garga, Mestri, Purusa, Patanjala, baktilah kepada Batara! Maka para dewata semua berbakti kepada Batara Seda Niskala Semua menemukan “Yang Hak” dan “Yang Wujud”.
Ini yang harus ditemukan dalam sabda, ketentuan Batara di dunia agar teguh menjadi “Permata di dalam sangkar”, untuk cahaya seluruh dunia, Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru, mantri tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata.

Penggalan Shangyang Siksskanda ng Karesian alinea ke dua di atas memberi gambaran bangun etika sosial yang terdapat pada masyarakat Sunda, yaitu: “Hamba tunduk kepada majikan, istri tunduk kepada suami, anak tunduk kepada bapak, siswa tunduk kepada guru”, etika politik, yaitu “mantri tunduk kepada mangkubumi, mangkubumi tunduk kepada raja, raja tunduk kepada dewata”.

Penjenjangan tidak hanya terjadi pada sosial politik, tetapi juga pada religi. Pada baris terakhir alinea pertama dijelaskan bahwa dewa-dewi yang namanya diambil dari pantheon masyarakat India, semua berbakti kepada Batara Seda Niskala. Dengan demikian, dalam religi masyarakat Sunda, para dewa berada di bawah Batara Seda Niskala atau pada teks lain juga disebut sebagai Batara Tunggal dan Batara Jagat. Hal ini jelas berbeda dengan religi masyarakat India yang menempatkan ketiga dewa (Brahma, Siwa dan Wisnu) sebagai yang tertinggi. Oleh karena itu menjadi aneh kalau masyarakat nusantara, khususnya Sunda, dinamakan sebagai beragama Hindu.

Kita akan melanjutkan untuk mencermati pandangan sejarawan tentang keberagamaan masyarakat Sunda. Dikatakan berdasarkan penggalan Carita Parahyangan yang menyatakan bahwa “nasihat yang diberikan oleh Sanjaya kepada Rahyang Tamperan, anaknya: … haywa dek nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang reya…, janganlah mengikuti agamaku, karena dengan itu aku ditakuti orang banyak”, sejarawan/arkheolog menengarai adanya fenomena makin berkembangnya pengaruh agama Buddha.
Teks yang dikutip pada Sejarah Nasional Indonesia itu penggalan kalimat terakhir dari Carita Parahiyangan bagian XIV. Agar memperoleh pemahaman komprehensif, kiranya akan baik kalau membaca secara lebih lengkap. Pada artikel ini dikutipkan bagian XIII dan XIV, untuk lengkapny silahkan buka

XIII

Sakitu ménakna, ini tangtu Rahiyang Sempakwaja. Ndéh nihan ta ujar Rahiyangtang Kuku, lunga ka Arile, ngababakan na Kuningan. Kareungeu ku Rahiyangtang Kuku, inya Sang Seuweukarma ngadeg di Kuningan, seuweu Rahiyang Sempakwaja; ramarénana pamarta ngawong rat kabéh. Dayeuh para dayeuh, désa paradésa, nusa paranusa. Ti KeIing bakti ka Rahiyangtang Kuku: Rahiyangtang Luda di Puntang. Rahiyangtang Wulukapeu di Kahuripan. Rahiyangtang Supremana di Wiru. Rahiyang Isora di Jawa. Sang ratu Bima di Bali. Di kulon di Tungtung Sunda nyabrang ka désa Malayu: Rahiyangtang Gana ratu di Kemir. Sang Sriwijaya di Malayu. Sang Wisnujaya di Barus. Sang Brahmasidi di Keling. Patihnira Sang Kandarma di Berawan. Sang Mawuluasu di Cimara-upatah. Sang Pancadana ratu Cina. Pahi kawisésa, kena inya ku Rahiyangtang Kuku. Pahingadegkeun haji sang manitih Saunggalah. Pahi ku Sang Seuweukarma kawisésa, kena mikukuh tapak Dangiyang Kuning. Sangucap ta Rahiyang Sanjaya di Galuh, “Kumaha sang apatih, piparéntaheun urang ?. Hanteu di urang dipikulakadang ku Rahiyangtang Kuku. Sang apatih, leumpang, dugaan ku kita ka Kuningan. Sugan urang dipajar koyo ilu dina kariya, ja urang hanteu dibéré nyahoan, daék lunga.” Sang patih teka maring Kuningan, marék ka kadaton, umun bakti ka Rahiyangtang Kuku. Ujar Rahiyangtang Kuku, “Deuh sang apatih, na naha na béja kita, mana kita datang ka dinih?” Ujar sang apatih, “Kami pun dititahan Rahiyangtang Sanjaya. Disuruh ngadugaan ka dinih. Saha nu diwastu dijieun ratu?” Carék Rahiyangtang Kuku, “U sang apatih, yogya aing diwastu dijieun ratu ku na urang réa. Ngan ti Rahiyang Sanjaya ma hanteu nitah ku dék kulakadang deung hamo ka kami, ja bogoh maéhan kulakadang baraya. Ja aing ogé disalahkeun ka Kuningan ku Rahiyang Sempakwaja. Aing beunang Rahiyang Sempakwaja nyalahkeun ka Kuningan ini. Mana aing mo dijaheutan ku Rahiyang Sanjaya.” Pulang deui sang apatih ka Galuh. Ditanya ku Rahiyang Sanjaya, “Aki, kumaha carék Rahiyangtang Kuku ka urang?” “Pun Rahiyang Sanjaya! Rahiyangtang Kuku teu meunang tapana. Mikukuh Sanghiyang Darma kalawan Sanghiyang Siksa. Nurut talatah Sang Rumuhun, gawayangkeun awak carita. Boh kéh ku urang turut tanpa tingtimanana. Biyaktakeun ku urang, ja urang sarwa kaputraan, urang deung Tohaan pahi anak déwata. Ndéh inalap pustaka ku Rahiyang Sanjaya. Sadatang inungkab ikang pustaka. Sabdana tangkarah, “Ong awignam astu krétayugi balem raja kretayem rawanem sang tata dosamem, sewa ca kali cab pratesora sang aparanya ratuning déwata sang adata adininig ratu déwata sang sapta ratu na caturyuga.” “Dah umangen-angen ta Sang Resi Guru sidem magawéy Sang Kandiawan lawan Sang Kandiawati. Mangkana manak Rahiyangtang Kulikuli, Rahiyangtang Surawulan, Rahiyangtang Pelesawi. Rahiyangtang Rawunglangit, kamiadi Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun mangka manak Rahiyangtang Sempakwaja, Rahiyangtang Mandiminyak. Rahitangtang Mandiminyak mangka manak Sang Séna, Rahiyang Sang Séna mangka manak Rahiyang Sanjaya.”

XIV

Bo geulisan Dobana bawa bahetra piting deupa, bukana bwatan sarwo sanjata. “Urang ka nusa Demba!” Data sira lunga balayar. Kareungeu ku Sang Siwiragati. Dek mwatkeun Pwah Sang kari Pucanghaji Tunjunghaji ditumpakkeun dina liman putih. Dék ngajangjang turut buruan; momogana teka Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma ka nusa Demba, tuluy ka kadatwan, calik tukangeun Sang Siwiragati. Rahiyangtang Kuku dihusir ku liman putih, lumpat ka buruan mawa Pwah Sangkari. Hanteu aya pulang deui ka kadatwan liman putih ta, bakti ka Rahiyangtang Kuku. Pulang deui Rahiyangtang Kuku ka Arile, dibawa na liman putih deung Pwah Sangkari. Manguni : “Naha hanteu omas saguri, sapetong, sapaha sapata-payan?” Tuluy ka Galuh ka Rahiyang Sanjaya, hanteu sindang ka Arile. Dibawa na liman putih, dirungkup ku lungsir putih tujuh kayu diwatang ku premata mas mirah komara hinten. Datang siya ti désa Demba, tuluy ka kadatwan. Sateka Rahiyangtang Kuku ring kadaton, mojar ka Rahiyang Sanjaya. naha suka mireungeuh liman putih. Tanyana: “Mana?” “Tuluy dipitutunggangan, diaseukeun Pwah Sangkari ka Rahiyang Sanjaya. Sateka ring dalem hanteu pulang deui. Dah Rahiyang Sanjaya: “Naha tu karémpan? Aing ayeuna kreta, aing deung bapangku, Rahiyangtang Kuku, Sang Seuweukarma. Hanteu ngalancan aing ayeuna. Ajeuna nu tangkarah : “Alas Dangiyang Guru di tengah, alas Rahiyang Isora di wétan paralor Paraga deung Cilotiran, ti kulon Tarum, ka kulon alas Tohaan di Sunda.” Dah sedeng pulang Rahiyangtang Kuku ka Arile, sadatang ka Arile panteg hanca di bwana, ya ta sapalayaga dirgadisi lodah. Mojar Rahiyang Sanjaya, ngawarah anaknira Rakéan Panaraban, inya Rahiyang Tamperan: “Haywa dék nurutan agama aing, kena aing mretakutna urang réya.” Lawasniya ratu salapan tahun, disiliban ku Rahiyang Tamperan.

Pada kutipan bagian XIII diceritakan tentang Rahiyangtang Kuku yang membangun kekuasaan di Arile, Kuningan dengan bergelar Seuweukarma. Dia memperoleh kesuksesan dan bahkan kekuasaannya menjulang sampai Keling dan Cina. Hal itu membuat Sanjaya yang bertahta di Galuh merasa iri terhadap kekuasaan Seuweukarma yang tidak lain adalah pamannya. Dia mengutus patih untuk ke kuningan. Sepulangnya ke Galuh, patih menceritakan bahwa kesuksesan Rahiyangtang Kuku adalah karena kuatnya tapa yang dilakukan, serta selalu menjalankan nasehat-nasehat leluhur yang terdapat pada Sanghiyang Darma dan Sanghiyang Siksa.
Pada bagian XIV diceritakan tentang usaha Rahiyangtang Kuku untuk membuat gembira hati Sanjaya. Dia pergi ke pulau Demba dan berhasil memperoleh gajah putih beserta puteri cantik bernama Pwah Sangkari. Dari pulau Demba, dia langsung ke istana Galuh untuk memberikan gajah putih, puteri Pwah Sangkari beserta emas berlian kepada Sanjaya sebagai hadiah. Hal itu membuat Sanjaya gembira dan menyatakan bahwa antara dia dengan pamannya tidak ada lagi permusuhan. Setelah selesai, Rahiyangtang Kuku pulang ke Arile di Kuningan. Sesampai di istananya, Rahiyangtang Kuku mangkat. Mendengar itu, Rahiyang Sanjaya menasehati anaknya, Rakeyan Panaraban, yaitu Rahiyang Tamperan: ‘Jangan ikuti cara saya, karena saya telah membuat orang-orang takut padaku. “
Dengan menyimak teks Carita Parahiyangan secara lebih lengkap tampak bahwa kata atau istilah “agama” pada teks, sama sekali tidak ada kaitannya dengan Hindu maupun Budha. Kata “agama” di situ lebih merupakan cara, perilaku dan sifat Rahiyang Sanjaya yang dipenuhi rasa iri dan permusuhan terhadap pamannya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah mengapa sejarawan/arkheolog memaksakan stempel Hindu/Budha pada masyarakat Sunda?

Sumber : http://citralekha.com/religi-sunda/

Kisah Seekor Burung

Sambil menggenggam seekor burung kecil dalam kepakan tangannya, seorang anak datang menghadap seorang kakek. Kakek ini amat terkenal tidak hanya di daerahnya, tetapi bahkan pula di seluruh pelosok negri.
Ia tidak hanya dikenal sebagai seorang yang baik dan cerdas, namun lebih dari itu ia dipandang sebagai seorang yang amat bijaksana. Setiap kali berhadapan dengan persoalan yang paling rumit sekalipun, ia pasti akan mampu keluar dengan ide-ide yang cemerlang.

Anak kecil itu berdiri di hadapan kakek tua dan secara saksama memperhatikannya. Dalam hatinya ia berpikir bahwa saat ini akan berakhirlah reputasi bapak tua itu sebagai seorang bijak, karena ia amat yakin bahwa si kakek itu tak akan mampu memberikan jawaban yang memuaskan.

Setelah cukup lama memperhatikan kakek itu, dan sambil mengangkat tangannya yang tergenggam, anak itu mengajukan sebuah pertanyaan;
“Kakek yang bijaksana; katakanlah kepadaku, apakah burung kecil yang ada dalam genggaman tanganku ini masih hidup atau telah mati?” Anak itu berpikir, kalau dijawab sudah mati, maka ia akan melepaskan burung yang masih hidup dalam genggaman tangannya itu terbang. Sebaliknya, bila dijawab masih hidup maka ia akan meremuk keras burung tersebut hingga mati. Dengan itu pak tua tersebut akan kehilangan nama baiknya.

Anak itu semakin tidak sabar menanti, karena kakek tua tersebut tidak segera memberikan jawabannya. Setelah agak lama berpikir, kakek tua itu berkata;
“Secara jujur harus aku katakan bahwa aku tak tahu apakah burung kecil dalam genggamanmu itu masih hidup atau telah mati. Namun aku tahu satu hal, yakni bahwa nasib burung itu berada dalam genggaman tanganmu.”

Hidupkupun bagaikan nasib burung kecil itu, karena Tuhan menghargai kebebasanku untuk menentukan arah dan nasib hidupku sendiri. Amin.

Pemilu Dalam Sejarah

Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) "kekuasaan rakyat", yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) "rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan" Demokrasi perwakilan adalah sebuah varietas demokrasi yang didirikan di atas dasar prinsip sedikit orang yang dipilih untuk mewakili sekelompok orang yang lebih banyak (sumber id.wikipedia.org)

Pemilihan Umum atau disingkat Pemilu merupakan salah satu mekanisme demokrasi di NKRI. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa rakyat memiliki kekuasaan (kedaulatan) yang tertinggi. Mekanisme penyerahan kedaulatan rakyat melalui wakilnya (representative democracy) adalah melalui Pemilu. Pemilu diselenggarakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pemilu berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.

Pemilu 1955

Pemilihan Umum Indonesia 1955 adalah pemilihan umum pertama di Indonesia setelah kemerdekaan tahun 1945. Inilah tonggak pertama masyarakat Indonesia belajar tentang demokrasi. Indonesia baru yang sangat muda terseok- seok dalam mempersiapkan pemilu. Situasi keamanan yang belum kondusif, kabinet yang penuh friksi, dan gagalnya pemerintahan baru menyiapkan perangkat Undang-Undang pemilu membuat pemungutan suara baru bisa dilaksanakan 10 tahun setelah kemerdekaan.
Dalam pemilu pertama ini masyarakat memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Konstituante adalah lembaga negara yang ditugaskan untuk membentuk Undang-Undang Dasar baru menggantikan UUD sementara 1950. Anggota angkatan bersenjata dan polisi ikut berpartisipasi dalam pemungutan suara.
Pemilu tahun 1955 diadakan dalam dua periode. Pada periode pertama tanggal 29 September 1955 masyarakat memilih anggota DPR. Lalu, pada periode kedua pada 15 Desember 1955 masyarakat memilih anggota Konstituante. Tak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri.
Pada Maret 1956 parlemen terbentuk dengan jumlah angggota sebanyak 272 orang. Ada 17 fraksi yang mewakili 28 partai peserta pemilu, organisasi, dan perkumpulan pemilih. Sedangkan anggota Konstituante berjumlah 542 orang. Mereka dilantik pada 10 November 1956.
Selanjutnya, kondisi politik Indonesia pasca pemilu 1955 sarat dengan berbagai konflik. Akibatnya, pemilu berikutnya yang dijadwalkan pada tahun 1960 tidak dapat terselenggara. Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959 yang membubarkan DPR dan Konstituante hasil pemilu 1955 serta menyatakan kembali ke UUD 1945. Soekarno secara sepihak membentuk DPR-Gotong Royong (DPR-GR) dan MPR Sementara (MPRS) yang semua anggotanya diangkat oleh presiden.

Pemilu 1971

Gonjang-gonjang politik pasca pemilu 1955 berujung pada huru-hara gerakan 30 september Partai Komunis Indonesia pada tahun 1966. Presiden Soekarno yang memimpin Indonesia sejak tahun 1945 akhirnya lengser satu tahun kemudian. Pada tahun 1968 Soeharto ditetapkan oleh MPR Sementara sebagai Presiden Indonesia. Era kepemimpinan Soeharto selanjutnya disebut sebagai zaman orde baru, untuk membedakan dengan zaman Soekarno yang disebut sebagai orde lama.
Tiga tahun memerintah Indonesia, Soeharto akhirnya menggelar pemilu kedua yang tertunda-tunda di negeri ini pada 5 Juli 1951. Ini adalah pemilu pertama setelah orde lama atau pemilu pertama di zaman orde baru. Pemilu diikuti oleh 10 partai politik dari beragam aliran politik. Hal baru yang menarik pada pemilu tahun ini adalah ketentuan yang mengharuskan semua pejabat negara bersikap netral. Ini berbeda dengan pemilu tahun 1955 di mana para pejabat negara yang berasal dari partai ikut menjadi calon partai secara formal. Namun, dalam prakteknya, para pejabat negara berpihak ke salah satu peserta pemilu yaitu Golongan Karya. "Rekayasa politik" orde baru yang berlangsung hingga 1998 di mulai pada tahun ini. Sejumlah kebijakan ditelurkan demi menguntungkan Golongan Karya.

Pemilu Orde Baru (1977-1997)
Pasca pemilu 1971 ada lima pemilu yang diselenggarakan di bawah rezim orde baru, yaitu pemilu tahun 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Lima pemilu itu berlangsung "seragam" dan diikuti oleh dua partai yaitu, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Pemilu selalu dimenangkan oleh Golongan Karya dan MPR selalu menunjuk Soeharto sebagai Presiden.
Setelah pemilu 1971 yang diikuti 10 konstestan, terbitlah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Undang-Undang baru ini mengatur soal penggabungan partai politik. Sembilan partai politik yang ada diciutkan menjadi hanya dua. Partai-partai beraliran islam bergabung dalam satu wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara, partai-partai di luar islam bergabung dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Kedua partai itu bertarung dengan Golongan Karya dalam setiap pemilu di masa orde baru.
Selama periode orde baru masyarakat Indonesia memilih partai dalam setiap pemilu. Lalu partai menentukan siapa yang menjadi wakil rakyat di Dewan Permusyarawatan Rakyat (DPR). Semua anggota DPR adalah anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selain anggota DPR, anggota MPR berisikan utusan golongan. MPR bermusyawarah untuk menunjuk presiden.
Pemilu 1977 : 2 Mei
Pemilu 1982 : 4 Mei
Pemilu 1987 : 23 April
Pemilu 1992 : 9 Juni
Pemilu 1997 : 29 Mei

Pemilu 1999

Pemilu 1999 merupakan tonggak baru demokrasi Indonesia. Penguasa Orde Baru Soeharto mundur dari kekuasaan pada 20 Mei 1998 karena desakan masyarakat. BJ Habibie yang semula adalah wakil presiden naik menjadi Presiden menggantikan Soeharto. Roh demokrasi yang semasa rezim orde baru dipasung hidup kembali. Ratusan partai politik terbentuk dan mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu. Komisi Pemilihan Umum melakukan seleksi dan meloloskan 48 partai politik. Golkar yang semula bukan partai di tahun ini berubah menjadi partai politik. Lima besar partai pemenang pemilu adalah:

No Partai Suara Persen Kursi DPR
1 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 35.689.073 33,74 153
2 Partai Golkar  23.741.749 22,44 120
3 Partai Persatuan Pembangunan 11.329.905 10,71 58
4 Partai Kebangkitan Bangsa 13.336.982 12,61 51
5 Partai Amanat Nasional 7.528.956 7,12 34

Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menjadi partai pemenang, namun ketua umum partainya, Megawati Soekarnoputri, gagal menjadi presiden. Di zaman ini presiden masih dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Musyawarah di MPR memutuskan mengangkat Abdurrahman Wahid dari Partai Kebangkitan Bangsa sebagai presiden dengan Megawati sebagai wakil presiden.

Pemilu 2004

Pemilu 2004 menjadi catatan sangat penting dalam sejarah pemilu di Indonesia. Pada tahun ini untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih langsung wakilnya di parlemen dan pasangan presiden dan wakil presiden. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Oleh karena itu pelaksanaan pemilu dibagi menjadi dua yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Pemilu legislatif
Pemilu legislatif digelar sebagai rangkaian pertama pada 5 April 2004 dan diikuti 24 partai politik. Partai-partai politik yang memperoleh suara lebih besar atau sama dengan tiga persen dapat mencalonkan pasangan calonnya untuk maju pada pemilihan Presiden.
Hasil lima besar pemilu legislatif 2004

No Partai Suara Persen Kursi DPR
1 Partai Golongan Karya 24.480.757 21,58 128
2 Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 21.026.629 18,53 109
3 Partai Kebangkitan Bangsa 11.989.564 10,57 52
4 Partai Persatuan Pembangunan 9.248.764 8,15 58
5 Partai Demokrat 8.455.225 7,45 57

Pemilu Presiden
Pemilu presiden tahun 2004 diikuti lima pasang calon yaitu,
  1. Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla
  2. Megawati Soekarnoputri – Hasyim Muzadi
  3. Wiranto - Solahuddin Wahid
  4. Amien Rais – Siswono YudoHusodo
  5. Hamzah Haz – Agum Gumelar
Hasil pemilu presiden putaran pertama 5 April 2004
Ranking Pasangan Capres Suara Persen
1 Susilo B.Y. - J. Kalla 36.070.622 33.58 %
2 Megawati - Hasyim M. 28.186.780 26.24 %
3 Wiranto-Sallahudin W. 23.827.512 22.19 %
4 AmienRais - Siswono Y.H. 16.042.105 14.94 %
5 Hamzah H. - Agum G. 3.276.001 3.05 %
Jumlah Suara 107.403.020 100%
Sumber data : KPU

Karena tidak ada yang memperoleh suara 50 persen plus satu, maka diselenggarakan putaran kedua yang diikuti oleh dua besar yaitu pasangan Susilo Bambang Yudhoyono – Jusuf Kalla dan Megawati Soekarno putri - Hasyim Muzadi.
Hasil pemilu presiden putaran kedua 5 Juli 2004

PEMILU 2009

Pemilu Legislatif 2009 digelar pada 9 April 2009 dan diikuti 38 partai politik. Ribuan calon anggota legislatif memperebutkan 560 kursi DPR, 132 kursi DPD, dan banyak kursi di DPRD tingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Untuk pertama kalinya, sistem sistem proporsional terbuka diterapkan pada Pileg 2009. Melalui sistem ini, pemilih tak lagi memilih partai politik, melainkan caleg. Penetapan calon terpilih pada suatu daerah pemilihan dilakukan berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan nomor urut.

Sebanyak 121.588.366 pemilih yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia berpartisipasi dalam pileg 2009. Partai Demokrat yang dipimpin oleh Ketua Dewan Pembina Susilo Bambang Yudhoyono berhasil memenangi pileg 2009 dengan meraup 21.703.137 suara atau sebanyak 20,85 persen. Selain itu, ada 8 partai lainnya yang lolos parliamentary threshold, yakni, Partai Golkar, PDI Perjuangan, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Hanura, dan Partai Gerindra.

Hadiah Malaikat Kecil

Malaikat Kecil
Pada suatu hari, di sebuah desa ada seorang nenek tua yang sakit-sakitan. Nenek tua ini hidup dari belas kasihan orang-orang. Nenek tua ini tinggal berdua dengan cucunya yang masih remaja karena dari kecil mamanya meninggalkannya
dan papanya meninggalkan mamanya saat mamanya mengandung anak remaja ini. Singkat cerita dia sama sekali tidak mengenal orangtua-nya. Semenjak bayi, sang cucu dirawat dengan penuh kasih sayang dari sang nenek sampai tiba waktunya nenek itu sudah tua dan mulai sakit-sakitan. Anak remaja ini sangat sedih melihat kondisi neneknya dan ingin membawa neneknya ke rumah sakit namun tidak ada uang. Sedangkan untuk bersekolah saja tidak bisa, anak remaja ini sekolah sampai kelas 3 SMP. Desa yang ditempati oleh mereka adalah desa yang sangat jarang penduduknya dan merupakan desa terpencil. Dia tidak tahu harus bagaimana sementara kondisi neneknya makin parah.

Sementara cucunya ( anak remaja ini) berjalan kian kemari meminta pertolongan. Sambil mengamen di jalanan untuk biaya makan dan berobat neneknya, ada seorang anak TK yang melambaikan tangan ke arah anak remaja itu dari dalam mobil. Anak remaja itu melihat ke arah anak TK itu dan anak TK itu memanggilnya "Hai kak, ayo kemari". Di tangan anak itu dipegangnya sebuah kantong plastik berwarna hitam lalu diberikannya.

Sang remaja ini heran dan membukanya dan ternyata nasi kotak dengan lauk yang enak. Sang remaja ini berpikir "Pas sekali, bisa dimakan untuk kami berdua dengan nenek." Lalu anak remaja itu mengucapkan terima kasih kepada anak TK ini dan segera pergi membawanya kepada neneknya.

Namun, sementara anak remaja ini hendak pergi, sang anak TK itu memanggil lagi "Kak kemari!". Lalu dia melap mukanya yang kotor dan bajunya yang kusam dan bau dan segera menghampiri anak TK ini.

Sang remaja berkata " Ada apa, Dik ? " Dia terheran-heran dengan anak TK ini. Lalu sang ayah membuka mobilnya dan segera turun menjumpainya. Anak remaja ini mulai ketakutan dan berkata " Ada apa Pak, apakah saya salah ?"

Lalu sang bapak segera tertawa dan mengajak remaja itu naik ke mobilnya bersama anaknya untuk pergi jalan-jalan ke mal. Spontan anak remaja itu menolak dan mengatakan "tidak usah, terima kasih. Di rumah saya ada seorang nenek yang sedang menunggu saya , namun dia sedang sakit keras, dia butuh pengobatan untuk kesembuhannya dan jikalau tidak maka nenek akan segera meninggal".

Bapak itu terharu, sementara anaknya yang TK asyik merengek meminta anak remaja itu ikut . Bapak itu berkata "Nak, naiklah, kita pergi membeli pakaian untukmu dan kemudian kita segera pergi ke rumahmu dan membawa nenekmu ke rumah sakit."

Remaja itu menangis seolah tidak percaya maka dia menanyakan ulang "Apa Pak, benarkah demikian?"

Bapak itu mengatakan, "Betul Nak, mari naiklah."

Singkat cerita bapak itu naik dan kemudian dia baru menyadari bahwa bapak dan anak TK itu adalah orang Kristen. Kemudian remaja ini bertanya "Pak, kenapa bapak dan anak bapak baik sekali pada kami orang pengamen?"

Lalu bapak itu tersenyum dan berkata "Nak, ini adalah hadiah terindah yang Tuhan berikan kepadamu yaitu lewat seorang anak TK yang memberikan nasi kotak yang dimilikinya untukmu dan terlebih lagi nenekmu akan segera sembuh dan kamu akan segera sekolah kembali dan tinggal di rumah kami yang besar."

Remaja ini menangis terharu dan berkata "Terima kasih Tuhan, hari ini Engkau memberikan kepadaku malaikat kecil yang mau membantuku dan seorang bapak yang mau memperhatikan keadaanku."

Hanya Cinta

Suatu ketika, ada seorang wanita yang kembali pulang ke rumah,dan ia melihat ada 3 orang pria berjanggut yang duduk di halaman depan. Wanita itu tidak mengenal mereka semua. Wanita itu berkata: “Aku tidak mengenal Anda, tapi aku yakin Anda semua pasti sedang lapar. Mari masuk ke dalam, aku pasti punya sesuatu untuk menganjal perut.”

Pria berjanggut itu lalu balik bertanya, “Apakah suamimu sudah pulang?”

Wanita itu menjawab, “Belum, dia sedang keluar.”

“Oh kalau begitu, kami tak ingin masuk. Kami akan menunggu sampai suami mu kembali,” kata pria itu.

Di waktu senja, saat keluarga itu berkumpul, sang isteri menceritakan semua kejadian tadi. Sang suami, awalnya bingung dengan kejadian ini, lalu ia berkata pada istrinya, “Sampaikan pada mereka, aku telah kembali, dan mereka semua boleh masuk untuk menikmati makan malam ini.”

Wanita itu kemudian keluar dan mengundang mereka untuk masuk ke dalam. “Maaf, kami semua tak bisa masuk bersama-sama,” kata pria itu hampir bersamaan. “Lho, kenapa? tanya wanita itu karena merasa heran.

Salah seorang pria itu berkata, “Nama dia Kekayaan,” katanya sambil menunjuk seorang pria berjanggut di sebelahnya, dan “sedangkan yang ini bernama Kesuksesan”, sambil memegang bahu pria berjanggut lainnya. “Sedangkan aku sendiri bernama Cinta. Sekarang, coba tanya kepada suamimu, siapa di antara kami yang boleh masuk ke rumahmu.”

Wanita itu kembali masuk kedalam, dan memberitahu pesan pria di luar. Suaminya pun merasa heran. “Ohho… menyenangkan sekali. Baiklah, kalau begitu, coba kamu ajak si Kekayaan masuk ke dalam. Aku ingin rumah ini penuh dengan Kekayaan.”

Istrinya tak setuju dengan pilihan itu. Ia bertanya, “Sayangku, kenapa kita tak mengundang si Kesuksesan saja? Sebab sepertinya kita perlu dia untuk membantu keberhasilan panen gandum kita.”

Ternyata, anak mereka mendengarkan percakapan itu. Ia pun ikut mengusulkan siapa yang akan masuk ke dalam rumah. “Bukankah lebih baik jika kita mengajak si Cinta yang masuk ke dalam? Rumah kita ini akan nyaman dan penuh dengan kehangatan Cinta.”

Suami-istri itu setuju dengan pilihan buah hati mereka. “Baiklah, ajak masuk si Cinta ini ke dalam. Dan malam ini, Si Cinta menjadi teman santap malam kita.”

Wanita itu kembali ke luar, dan bertanya kepada 3 pria itu. “Siapa di antara Anda yang bernama Cinta? Ayo, silahkan masuk, Anda menjadi tamu kita malam ini.”

Si Cinta bangkit, dan berjalan menuju beranda rumah. Ohho.. ternyata, kedua pria berjanggut lainnya pun ikut serta.

Karena merasa ganjil, wanita itu bertanya kepada si Kekayaan dan si kesuksesan. “Aku hanya mengundang si Cinta yang masuk ke dalam, tapi kenapa kamu ikut juga?”

Kedua pria yang ditanya itu menjawab bersamaan. “Kalau Anda mengundang si kekayaan, atau si Kesuksesan, maka yang lainnya akan tinggal di luar. Namun, karena Anda mengundang si Cinta, maka, kemana pun Cinta pergi, kami akan ikut selalu bersamanya. Di mana ada Cinta, maka Kekayaan dan Kesuksesan juga akan ikut serta. Sebab, ketahuilah, sebenarnya kami buta. Dan hanya si Cinta yang bisa melihat. Hanya dia yang bisa menunjukkan kita pada jalan kebaikan, kepada jalan yang lurus. Maka, kami butuh bimbingannya dengan cinta saat berjalan. Saat kami menjalani hidup ini tanpa cinta kami sudah mati.

Menuai Kasih

Sebuah cerita dari Tiongkok Di sebuah daerah tinggal seorang saudagar kaya raya. Dia mempunyai seorang hamba yang sangat lugu - begitu lugu, hingga orang-orang menyebutnya si bodoh.
Suatu kali sang tuan menyuruh si bodoh pergi ke sebuah perkampungan miskin untuk menagih hutang para penduduk di sana. "Hutang mereka sudah jatuh tempo," kata sang tuan.
"Baik, Tuan," sahut si bodoh. "Tetapi nanti uangnya mau diapakan?"

"Belikan sesuatu yang aku belum punyai," jawab sang tuan.
Maka pergilah si bodoh ke perkampungan yang dimaksud. Cukup kerepotan juga si bodoh menjalankan tugasnya; mengumpulkan receh demi receh uang hutang dari para penduduk kampung. Para penduduk itu memang sangat miskin, dan pula ketika itu tengah terjadi kemarau panjang.
Akhirnya si bodoh berhasil jua menyelesaikan tugasnya. Dalam perjalanan pulang ia teringat pesan tuannya, "Belikan sesuatu yang belum aku miliki."

"Apa, ya?" tanya si bodoh dalam hati.
"Tuanku sangat kaya, apa lagi yang belum dia punyai?"
Setelah berpikir agak lama, si bodoh pun menemukan jawabannya. Dia kembali ke perkampungan miskin tadi. Lalu dia bagikan lagi uang yang sudah dikumpulkannya tadi kepada para penduduk. "Tuanku, memberikan uang ini kepada kalian," katanya.
Para penduduk sangat gembira. Mereka memuji kemurahan hati sang tuan.

Ketika si bodoh pulang dan melaporkan apa yang telah dilakukannya, sang tuan geleng-geleng kepala.
"Benar-benar bodoh," omelnya. Waktu berlalu. Terjadilah hal yang tidak disangka-sangka; pergantian pemimpin karena pemberontakan membuat usaha sang tuan tidak semulus dulu.
Belum lagi bencana banjir yang menghabiskan semua harta bendanya.

Pendek kata sang tuan jatuh bangkrut dan melarat. Dia terlunta meninggalkan rumahnya. Hanya si bodoh yang ikut serta. Ketika tiba di sebuah kampung, entah mengapa para penduduknya menyambut mereka dengan riang dan hangat, mereka menyediakan tumpangan dan makanan buat sang tuan.

"Siapakah para penduduk kampung itu, dan mengapa mereka sampai mau berbaik hati menolongku?" tanya sang tuan.
"Dulu tuan pernah menyuruh saya menagih hutang kepada para penduduk miskin kampung ini," jawab si bodoh.
"Tuan berpesan agar uang yang terkumpul saya belikan sesuatu yang belum tuan punyai. Ketika itu saya berpikir, tuan sudah memiliki segala sesuatu.Satu-satunya hal yang belum tuanku punyai adalah cinta di hati mereka.Maka saya membagikan uang itu kepada mereka atas nama tuan. Sekarang tuan menuai cinta mereka."